Da'wah: Cahaya Yang Meredup

Da'wah: Cahaya Yang Meredup
Virus lesu da'wah menyerang para aktivis?... Pertanyaan ini, belakangan sering terdengar di antara para aktivis da'wah. Dalam acara formal semacam seminar, maupun tatkala obrolan santai digelar. Data yang dikemukakan sebagian besar kasar. Dulu, begitu biasanya awal pembicaraan, aktivitas perekrutan dan gairah melaksanakan da'wah terasa sangat menggebu.

Bahkan sebagian aktivis merelakan diri mangkir dari berbagai aktivitas utama sebelumnya, seperti belajar, tekun bekerja dan bersantai dengan keluarga. Namun kini aktivitas yang penuh dengan semangat heroisme itu tak lagi sering terlihat. Aktivitas perekrutan dan langkah-langkah pembinaan pun kerap berjalan tak lancar. Tapi itukah indikasi munculnya penyakit lesu da'wah?


PERUBAHAN DA'WAH


Dalam terminologi da'wah ada istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena lesu da'wah ini; yaitu futur. Dalam bahasa aslinya sendiri salah satu makna futur adalah as-sukut ba'da al-harakah (berhenti setelah sebelumnya bergerak). Bentuknya bisa banyak; malas atau lalai melaksanakan kewajiban atau tak lagi sensitif terhadap maksiat. Kewajiban yang dilalaikan bisa yang :




Tapi betulkah sinyalemen bahwa banyak da'i dilanda penyakit lesu da'wah yang merupakan bagian dari futur? Jawabnya mestilah melihat pada beragam faktor. Yang pasti adalah bahwa da'wah masa kini telah mengalami banyak perubahan ketimbang masa lalu. Jika dahulu aktivitas da'wah lebih dititik beratkan pada aspek takwinu junud (membina dan membentuk aktivis), titik tekan da'wah masa kini telah meluas menyentuh apa yang dikatakan sebagai wilayah sya'biyah (kemasyarakatan). Dan perluasan bidang garap ini otomatis mengubah tampilan wajah da'wah.


Aktivitas yang kini marak tak lagi seputar pembinaan dan perekrutan. Tablig akbar, santunan sosial, bazar amal, pelayanan kesehatan bagi masyarakat tak mampu hingga upaya mewujudkan lembaga pendidikan dan pers Islami menjadi bagian dari kerja da'wah. Dan aktivitas-aktivitas ini otomatis menyerap sebagian energi para da'i. Faktor lain yang mengubah wajah da'wah bisa jadi berasal dari internal sang da'i. Setelah berinteraksi selama beberapa saat, berbagai masukan manhaj (metode) dan fikrah (pemikiran) telah mengalami intenalisasi dan kritalisasi. Jika sebelumnya seluruh masukan tersebut di kunyah secara instan (langsung menghasilkan gelora semangat dan berujung pada amal), kini setelah mengalami proses kristalisasi keluaran yang terjadi telah membawa muatan pribadi. Artinya, kondisi yang melingkupi sang da'i turut membentuk keluaran yang ada. Meminjam istilah pemasaran, setelah masa pertumbuhan (yang ditandai dengan pesatnya angka kenaikan penjualan), fase berikutnya dari sebuah produk adalah fase kematangan (maturity) yang ditandai dengan stabil dan tidak melonjak-lonjak.


Faktor lain yang menarik untuk disimak berkaitan dengan fase kehidupan yang kini dijalani banyak da'i. Berbagai prestasi spektakuler dalam da'wah yang dulu pernah diukir bisa jadi muncul saat perhatian dan waktu tercurah sepenuhnya untuk da'walh khosoh. Thus status sebagai pelajar atau mahasiswa. Namun tatkala tuntutan keluarga dan peran sosial juga mulai meminta haknya, mau tak mau alokasi yang ada kini mesti dibagi. Dan ini bisa berakibat pada menurunnya hasil da'wah khosoh.


TAWAZUN


Lalu, setelah kita kaji faktor-faktor di atas, masih relevankah kita bertanya "Benarkah para da'i kini lesu berda'wah?" Jawabnya mungkin masih. Karena ada fenomena lain yang memperkuat sinyalemen ini. Misalnya,


Pertama sebuah lembaga penelitian pernah membuat angket tentang aktivitas amalul yaum sekitar 100 da'i di sebuah wilayah. Hasilnya cukup mengejutkan, nilai merah banyak didapat para da'i untuk poin qiyamul lail, shaum sunnah dan aktivitas tatsqif (penambahan wawasan keislaman). Termasuk kelaziman diam (i'tikaf) di masjid walaupun untuk sejenak (dari maghrib hingga isya).


Kedua, faktor kaderisasi juga menampakkan fenomena yang kurang cerah. Jika sebelumnya aktivitas kaderisasi gencar dilakukan, dari hasil sebuah survey didapat laju pertumbuhan yang cenderung stagnan (tidak berkembang). Alasan bahwa aktivitas sya'biyah (kemasyarakatan) menghabiskan energi hingga kaderisasi tak berjalan mulus bukanlah alasan sebenarnya. Kisah al-akh Mahmud salah seorang pembantu umum Imam Hasan Al Bana yang sering mendapat order kerjaan bertubi-tubi bisa dijadikan cermin lain. Tatkala ia mengusulkan agar sang Imam mendistribusikan tugas-tugas itu pada yang lain, Imam Hasan Al-Bana menjawab, "Pekerjaan itu hanya bisa dilaksanakan oleh orang yang terbiasa sibuk."


Ketiga, kasus-kasus tasyakut (orang-orang yang terlempar dari jalan da'wah) yang belakangan agak sering terdengar seolah juga menegaskan bahwa fenomena lesu da'wah memang ada. Apatah lagi tantangan dan serangan peradaban jahiliyah dengan segala bentuknya (melalui media elektronik, cetak, mode, gaya hidup hingga sistem sosial, ekonomi dan politik) membuat daya tahan para da'i yang dulu cukup ampuh, kini tak lagi kokoh. Benteng yang rapuh itu kini amat mudah terlena oleh bisikan hawa nafsu dan godaan syaitan (dari jin dan manusia). Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan? Kelesuan dalam da'wah bisa disebabkan faktor internal dan eksternal. Namun bobot sebab internal lebih besar. Karena disinilah pangkal berhasilnya sebab eksternal menguasai kondisi jiwa seorang da'i.


Imam Al-ghozali mengatakan bahwa ada tiga hal yang menjadikan seseorang itu lemah atau tidak memiliki kemauan (irodah) :


Pertama, Tidak memiliki kekuatan aqidah dan iman. Aqidah dan iman adalah pilar utama seorang da'i. Aqidah yang kuat mengikat sang da'i dengan sumber kebenaran; Allah Ta'ala. Hubungannya yang akrab dengan Allah membuatnya selalu terhindar dari berbagai bisikan dan godaan negatif. Sebaliknya ia akan mudah melangkah menuju berbagai jalan kebajikan.


Kedua, Tidak jelasnya tujuan suatu pekerjaan. Kejelasan tujuan tak ubahnya rambu-rambu yang memudahkan sang da'i sampai ditujuan dengan selamat dan tepat. Di tengah perjalanan, demikian banyak halangan, rintangan dan godaan yang dapat membelokkan niat awal sang da'i. Tuntutan ekonomi, tekanan keluarga dan masyarakat hingga keinginan untuk melepas diri dari beban da'wah (awalnya ingin cuti sekejap dari tugas da'wah) membuat beberapa da'i gagal menjaga komitmennya pada jalan da'wah.


Ketiga, Tidak adanya kecocokan antara pekerjaan dengan kemauannya. Kondisi ini kadang menimpa orang yang memiliki kelebihan khusus. Biasanya mereka memiliki kemauan yang dilandasi ilmu. Sayangnya, kemauan yang kadang baik itu tak disertai dengan ketundukan dan kesiapan hati menerima keputusan yang bertentangan dengan keinginannya.


Selain itu, apa yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani juga layak mendapat perhatian kita,


" Barangsiapa makan terlalu kenyang, ia akan ditimpa enam penyakit. Pertama hilang kelezatan munajat. Kedua, tak mampu memelihara hikmah. Ketiga, Tak memiliki rasa kasih sayang karena merasa tiap orang kenyang seperti dirinya. Keempat perasaan malas beribadah. Kelima bertambah dorongan syahwatnya. Dan Keenam, tatkala muslim yang lain ramai mengelilingi masjid ia sibuk mengelilingi 'sampah'."


Kita gagal menekuni jalan da'wah tatkala kita tak berhasil mendisiplinkan diri sesuai dengan adab-adab seorang da'i sejati. Seorang yang hanya mengharapkan balasan dari Allah, walau itu berarti tak ada kesempatan mengecap nikmat dunia secara berlebihan. Seperti kata Ad-Darani di atas. Siapkah kita untuk menerapkan disiplin jalan da'wah dalam setiap fase kehidupan kita ?


Wallahu a'lam bish-shawab
· fardiyah (shalat tepat waktu, dzikir, membaca hingga ibadah-ibadah sunnah lainnya) atau · jama'iyah (meninggalkan da'wah, kurang beramal jama'i sampai menghindar dari kewajiban yang ditetapkan oleh syuro).

Tidak ada komentar