MERAIH RIDHA ILAHI

MERAIH RIDHA ILAHI
Ramadhan dan Idul Fitri pada tahun ini kita lalui dengan kondisi bangsa dan masyarakat yang masih dilanda berbagai persoalan yang belum kunjung teratasi, bahkan cenderung semakin mengkhawatirkan, baik dari sisi moral, ekonomi, sosial politik hingga persatuan dan kesatuan. Berbagai persoalan yang kian sulit mengatasinya itu bukanlah akibat gerakan reformasi, tapi justeru karena kebijakan yang keliru dalam pembangunan bangsa pada masa-masa terdahulu, ditambah dengan sikap mental sebagian masyarakat dan para pemimpinnya yang belum sesungguhnya berupaya secara maksimal untuk mengatasi krisis ini.
Sebagai umat Islam, yang kita dambakan pada hakikatnya adalah ridha Allah Swt, sebab masyarakat yang diridahi Allah adalah masyarakat yang akan mampu menghadapi dan mengatasi kesulitan hidupnya untuk selanjutnya dapat menjalani kehidupan secara baik dan benar. Agar kita dapat memperoleh ridha Allah Swt, dalam satu hadits, Rasulullah Saw menyebutkan tiga hal yang harus kita lakukan atau kita miliki, hadits tersebut berbunyi:
Sesungguhnya Allah ridha untuk kamu tiga perkara: (1) kamu beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya. (2) kamu berpegah teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai berai (3) kamu menasihati dengan tulus terhadap orang yang diangkat oleh Allah menguasai urusanmu (HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah).TIGA KUNCI
Dari hadits di atas, bila kita ingin memperoleh ridha dari Allah Swt, maka tiga hal yang harus lekat pada diri kita masing-masing, baik sebagai pribadi, keluarga maupun masyarakat.
Pertama,
Indikasi kemusyrikan pada masyarakat kita nampaknya masih sangat banyak. Banyak masyarakat yang terlalu menggantungkan harapan hidupnya kepada seseorang, baik dia pemimpin dalam suatu negara, suami kalau dia isteri, orang tua kalau dia anak dan begitulah seterusnya. Padahal kita harus bergantung hanya kepada Allah, karena Allah memang tempat bergantung, Allahus shomad. Disamping itu, tidak sedikit orang yang masih begitu percaya kepada bentuk-bentuk perdukunan, para normal dan sebagainya.
Kedua, Bersatu padu dalam ikatan ilahi rabbi dan tidak suka bercerai berai dalam kerangka ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam yang didasari pada nilai-nilai Islam dan dikembangkan sesuai dengannya. Oleh karena itu, Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Al Ukhuwwah Al Islamiyyah menyatakan: ukhuwah adalah kekuatan iman dan spiritual yang melahirkan perasaan yang dalam terhadap kasih sayang, mahabbah (kecintaan), kemuliaan dan saling percaya dengan sesama orang yang terikat dengan aqidah Islam, iman dan taqwa. Perasaan persaudaraan ini melahirkan keutamaan dan keikhlasan kasih sayang yang melahirkan sikap positif seperti tolong menolong, mengutamakan orang lain, pemaaf, pemurah, setia kawan dan sikap mulia lainnya. Demikian pula persaudaraan ini dapat melahirkan sikap terhadap hal-hal yang negatif seperti menjauhkan setiap yang membahayakan manusia, baik yang menyangkut diri, harta, kehormatan maupun martabat manusia. Oleh karena itu, ukhuwah Islamiyah adalah sifat yang menyatu dengan iman dan taqwa. Tak ada ukhuwah tanpa iman dan tak ada iman tanpa ukhuwah. Tak ada persahabatan tanpa taqwa dan tak ada taqwa tanpa persahabatan. Bila ukhuwah kosong dari iman, maka yang menjadi ikatannya adalah kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Bila persahabatan tanpa taqwa, maka hal itu akan mewariskan permusuhan dan kebencian. Inilah makna dari firman Allah yang artinya:Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara (QS 49:10).Sedangkan dalam satu hadits, Rasulullah Saw menyatakan: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim).Dengan demikian, nilai dari ukhuwah islamiyah itu adalah konsekuensi keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, bahkan Allah juga menyatakan bahwa ukhuwah merupakan salah satu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita sebagaimana firman-Nya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kami dahulu (masa jahiliyah) bercerai berai, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara (QS 3:110).Karena ukhuwah islamiyah merupakan sesuatu yang amat tinggi nilainya dihadapan Allah Swt, maka siapa saja yang menghambat penegakannya boleh saja diperangi, ini dipertegas Allah dalam firman-Nya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS 49:9).
Oleh karena itu, untuk mewujudkan ukhuwah islamiyah, maka yang paling minimal adalah bersihnya hati seorang muslim terhadap muslim lainnya sehingga tidak ada lagi perasaan iri, benci dan dengki terhadap kemajuan dan kebaikan yang dicapai seorang muslim, sedangkan realisasi yang maksimal adalah bersikap itsar atau mengutamakan kepentingan saudaranya yang muslim ketimbang dirinya sendiri, inilah yang telah ditunjukkan oleh para sahabat dahulu dalam membangun ukhuwah islamiyah sehingga nampak menjadi begitu indah. Dua hal inilah yang nampak hilang dari diri dan masyarakat kita, padahal kita amat menginginkan terwujudnya ukhuwah Islamiyah. Akibatnya, tidak sedikit persoalan-persoalan umat Islam, baik di dalam maupun di luar negeri yang tidak bisa kita atasi, bahkan sangat sedikit dan kecil bantuan yang bisa kita berikan kepada kaum muslimin yang hingga kini masih mengalami penderitaan.
Kita sedih dan prihatin dengan kondisi saudara kita di Aceh yang sepanjang perjalanan bangsa ini terus dikhianati oleh para penguasa negeri ini, akibatnya Islamisasi atau penegakkan nilai-nilai dan syari’at Islam dalam arti yang seluas-luasnya dalam kehidupan masyarakat yang sudah dilakukan sejak Indonesia belum merdeka semakin jauh dari kenyataan. Kita menyadari betapa pedihnya akibat pengkhianatan yang mereka rasakan, kita menyadari belum bisa menunjukkan solidaritas yang sesungguhnya, namun kita berharap agar Masyarakat Aceh tetap bersama-sama kita dalam upaya mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan di negari ini. Karenanya kita harus mendukung perjuangan masyarakat Aceh untuk memberlakukan syari’at Islam dalam arti yang seluas-luas dan bisa menikmati hasil-hasil kekayaaan alam di Tanah Aceh bagi kemajuan dan kesejahtraan mereka.
Kita juga menyampaikan kesedihan dan keprihatinan kita yang mendalam terhadap saudara-saudara kita di kepulauan Maluku yang sejak setahun lalu bergejolak karena diperangi oleh kalangan non muslim. Kita memang sudah mengerti, bahwa kasih sayang dalam agama mereka hanyalah semboyan karena hal itu telah melahirkan kebencian yang begitu besar kepada saudara-saudara kita muslim disana hingga begitu banyak kerugian harta dan nyawa, bahkan kerugian berupa tekanan jiwa yang amat lama untuk memulihkannya. Begitu juga keprihatinan kita kepada wilayah-wilayah muslim lainnya yang hingga kini belum teratasi masalahnya, kita patut menyesali diri, mengapa kita belum bisa membantu mereka secara maksimal, bahkan jangankan mau kita atasi atau kita rasakan, kita tahu saja tidak terhadap penderitaan yang mereka alami itu.
Ketiga, memberi nasihat kepada penguasa, pemimpin atau pemerintah, ini merupakan keharusan kita semua, sebagai masyarakat dari suatu bangsa. Karenanya kritik tidak hanya urusan pengurus partai politik dan anggota DPR/MPR. Pemimpin pada dasarnya memang harus ditaati, namun hal itu sebatas dalam soal-soal yang benar, karena itu ketaatan pada pemimpin tidaklah bersifat mutlak, isyarat ini bisa kita tangkap dengan tidak digunakannya kata atiy’u kepada ulil amri, padahal kata itu digunakan untuk menunjukkan ketaatan yang bersifat mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin diantara kamu (QS 4:59).Meskipun kita harus melakukan kritik kepada pemimpin, tetap saja kritik itu harus kita sampaikan dengan sebaik-baiknya, yakni kata-kata yang lemah lembut. Nabi Musa dan Harun saja untuk mengingatkan Fir’aun harus dengan kata-kata yang baik, karena pada hakikatnya kritik itu untuk mengingatkan penguasa dari kemungkinan melakukan kesalahan atau kesalahan yang sudah dilakukannya sehingga nantinya menjadi penguasa yang takut kepada Allah Swt, hal ini dinyatakan di dalam Al-Qur’an:Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS 20:44)Dengan demikian, nasihat dan kritik yang benar kepada penguasa atau pemimpin adalah adalah yang tulus, nasihat dan kritik yang berorientasi pada keadilan dan kebenaran bukan nasihat dan kritik yang berorientasi pada kepentingan. Nasihat yang membawa kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, watawashou bil haq, watawashou bish shobr dan watawashou bil marhamah.Dari uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa, manakala ridha Allah Swt yang ingin kita raih dalam hidup ini, maka tak bisa tidak bahwa apa yang Allah kehendaki, kita harus menyesuaikan diri dengan melaksanakan dan menegakkannya, sedangkan apa yang Allah benci, maka kita harus menjauhi dan menghancurkannya. Kalau masyarakat dan bangsa kita masih saja melakukan apa yang Allah benci, bahkan meninggalkan apa yang semestinya kita lakukan, maka Allah menjadi murka dan kemurkaan Allah akan membuat suatu bangsa terhindar dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang membuat tidak ada keberkahan yang diperoleh. Allah Swt berfirman: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa. Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS 7:97).Akhirnya, kita berharap semoga siksa dan murka Allah jauh dari diri, keluarga, masyarakat dan bangsa kita. SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, TAQABBALALLAHU MINNA WA MINKUM.
beribadah kepada Allah dengan landasan iman, aqidah atau tauhid yang kokoh dan bersih sehingga tidak dicampuri dengan kemusyrikan sedikitpun. Ibadah merupakan satu-satu tugas kita dalam hidup ini, karena itu seluruh yang kita lakukan dari mulai bangun tidur di pagi hari hingga tidur lagi di malam hari semuanya harus bernilai ibadah, dan hal itu bisa kita capai manakala dilandasi dengan niat yang ikhlas, cara yang benar dan tujuannya adalah untuk mencapai ridha Allah Swt, ini pulalah yang dimaksud dengan tidak mensekutukan Allah dengan apapun dan siapapun juga dalam beribadah kepada-Nya. Ramadhan yang telah melatih kita untuk beribadah dengan baik seharusnya memberi pengaruh positif yang besar dalam kehidupan sebelas bulan mendatang hingga Ramadhan berikutnya. Dalam kerangka menjaga nilai-nilai tauhid itulah, Ramadhan kita akhiri dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid.

Tidak ada komentar