Memaknai Tahun Baru Hijriah


Memaknai Tahun Baru Hijriah


Sang waktu terus berjalan. Tak terasa kita masuki tahun baru 1424 Hijriah. Itu artinya, hijrah Rasulullah saw. beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1424 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati, yang mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun. Agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan, meski karenanya harus berdarah-darah, mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak, dan handai-taulan tercinta.
Dalam Ath-Thabaqat, Al-Laits bin Sa'ad mengutip sebuah riwayat dari Ibunda Aisyah r.a., adalah Rasulullah saw. bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang, karena itu artinya Allah telah membuatkan "tameng pertahanan". Bukan sembarangan, mereka terdiri dari kaum profesional di bidang peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Toh, permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan, tingkat siksaan dan celaan yang dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah saw., "Sesungguhnya aku pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yang ingin keluar--hijrah-- maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib."
Para sahabat kemudian hijrah secara bergelombang, dan tentu saja dengan sembunyi-sembunyi, kecuali Umar bin al-Khattab r.a. Dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang, "Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini." Sebuah tantangan yang antiklimaks, karena tak satu pun orang kafir Quraisy yang berani menampakkan batang hidungnya. Tibalah Rasulullah di Yatsrib, setelah sebelumnya para sahabatnya lebih dulu sampai. Belia disambut dengan penuh suka cita oleh sahabat Anshar. Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam.
Makna Hijrah

Secara harfiah, hijrah artinya berpindah. Secara istilah, ia mengandung dua makna: hijrah makani (tempat) dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya hijrah secara fisik, berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Ringkasnya, hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw. dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani (fisik), jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah, menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas, mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala' wal-bara' (loyalitas dan berlepas diri). Bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi (muwalah) yang paling penting. Penting, karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian, kesetiaan, dan pembelaan. Juga, menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi.
Dalam sejarah, para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah, dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas, kesetiaan, keimanan, yang berujung pada menuju yang lebih baik atas rida Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah, beliau telah melakukan hijrah beberapa kali, dari Babilon ke Palestina, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci. Termasuk, hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yang dalam perkembangannya menjadi syariat haji.

Adalah Ibrahim a.s. yang baru dikarunia Ismail, anak yang selama ini dinanti, harus meninggalkan Palestina bersama istrinya, Hajar, menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dengan hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya, Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu, sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, "Apakah Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman, lagi tak bertuan?" Ibrahim a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, "Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini." "Benar," jawab Ibrahim. Hajar menimpali, "Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami."

Sungguh, sebuah dialog yang menusuk hati, merefleksikan keimanan yang amat dalam, sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan, Maha Memberi Rezeki, Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim a.s. dan keluarganya, baik secara makani maupun maknawi.
Ibrah dari Hijrah
Pelajaran yang nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah, tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah, bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta, rumah, pekerjaan, tanah air, dan sanak kadang. Secara lahiriyah, umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh, kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan, betapa maslahat din menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain.
Pelajaran lain, hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan air, ia tidak akan bisa bertemu, karenanya, adalah sebuah utopia upaya-upaya "mengawinkan" antara nilai Islam dengan civic culture (budaya masyarakat) yang bertentangan dengan Islam, terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai Islam atas nama pluralisme dan humanisme.
Pelajaran berikutnya adalah perseteruan kebenaran versus kebatilan mengharuskan manusia memilih salah satu di antara keduanya, tidak ada sikap "non-blok". Allah SWT berfirman yang artinya, "Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu." (Al-Baqarah: 147).
Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh, rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik, katanya, dalam kata hijrah terkandung arti berpindah "dari" dan berpindah "menuju". Maksudnya, berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya, para preman akan menghentikan aksi bromocorahnya, tidak ada lagi muslim penimbun, orang miskin akan bersuka cita karena kucuran infak para dermawan. Para dai berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yang kurang prinsip, dan seterusnya. Lantas, mengapa kenyataannya tidak demikian? Barangkali karena kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya. Wallahu a'lam. (Abu Zahrah).
Referensi :
1. Tafsir Al-Qur'an al-Azhim, Ibnu Katsir
2. Al-Wala' wal-Bara' fil-Islam, Muhammad Sa'id al-Qahthani
3. Fiqhus-Sirah, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi

Tidak ada komentar