Menggagas Fikih Iklan


Menggagas Fikih Iklan     

Seorang wanita sedang berjoged, berpakaian minim, dan dengan dada separoh terbuka, bernyanyi. begini, “.............sedotannya kuat! Semburan cepat!.” Itulah salah satu iklan sebuah produk pompa air merk ternama.
Apakah ada hubungan antara kemampuan air, dengan dada si wanita, atau tubuhnya? Jelas tak ada sama sakali. Beginilah cara iklan di TV atau di media massa kita.
Akhir-akhir ini setiap nafas kehidupan manusia mulai bayi baru lahir sampai orang yang meninggal pun tidak pernah lepas dari sasaran iklan 'yang menjanjikan'.
Alhasil, di era globalisasi dan multi informasi ini iklan telah merambah ke setiap lorong waktu, gerak nadi dan sisi kehidupan semua lapisan manusia. Iklan dengan berbagai visi dan misinya disampaikannya kepada masyarakat kelas bawah hingga kelas atas dengan meyakinkan, mulai dari tukang obat maupun pengumbar syahwat hingga calon pejabat mereka tidak segan-segan dan malu-malu berjanji, berorasi dan membeli dengan harga mahal jam tayang televisi dan radio maupun halaman koran dan majalah untuk menyampikan maksudnya.
Tak mau ketinggalan, dunia pendidikan (tak terkecuali pesantren) pun mulai bangkit dari 'ketertinggalannya' dari para penjual jamu dan obat kuat. Menebar brosur, spanduk dan berbagai publikasi lainnya tentang lembaga pendidikan yang dikelolanya, di banyak media cetak dan eloktronik. Sebagian iklan memang sungguh-sunggu memberikan informasi yang benar. Namun sebagian termasuk pembohongan publik (al-kadzib) sekaligus menyesatkan ummat.
Bagaimana pandangan fikih atas kondisi iklan, brosur, spanduk dan sejenisnya yang menyampaikan pesan dan janji kepada publik tapi tidak sesuai dengan kenyataan?
Defenisi dan Kode Etik Iklan
Kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani. . Adapun pengertian iklan secara komprehensif adalah, "Semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu". Secara umum, iklan berwujud penyajian informasi nonpersonal tentang suatu produk, merek, perusahaan, atau toko yang dijalankan dengan kompensasi biaya tertentu. Dengan demikian, iklan merupakan suatu proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk atau menggiring orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak pembuat iklan.
Karena itulah semestinya para ahli periklanan sepakat untuk membuat dan menetapkan batasan dan etika beriklan agar tidak merugikan konsumen(masyarakat) hal itu dimaksudkan disamping untuk menjaga etika beriklan juga menjaga stabilitas masyarakat agar tidak rusak akibat dampak iklan yang berlebihan. Karena bagaimanapun, kampanye dan promosi gagasan atau individu pada Pemilu, Pilkada, Pendidikan adalah juga kegiatan periklanan, sehingga ia sudah seharusnya 'tunduk' pula kepada etika periklanan.
Salah satu yang perlu diingat bahwa satu landasan utama dalam penyelenggaraan periklanan adalah kenyataan sekaligus kemampuannya untuk mengidentifikasi produk-produk yang sah atau resmi, dan sudah tersedia (terbukti) di pasar atau di tengah masyarakat. Memayungi semua jenis periklanan baik politik maupun Pendidikan dalam naungan 'kode etik' periklanan umum akan membuat gagasan kebijakan publik atau ketokohan seseorang dan nama baik lembaga (perusahaan) menjadi benar-benar memiliki legitimasi sebagai produk-produk yang layak dipasarkan.
Hal itu berdasarkan fakta bahwa tidak semua produk yang beriklan dapat mencapai sukses seperti yang diharapkannya. Kampanye periklanan yang keliru justru kian menghancurkan produk tersebut. Ini berarti ada risiko yang harus juga selalu diperhitungkan oleh pengiklan, periklanan produk/Pemilu/Pilkada/pendidikan. Sehingga mereka dapat lebih jujur dan berhati-hati dalam mengemukakan janji-janjinya. Karena janji-janji pada pesan periklanan Produk/Pemilu/Pilkada/Pendidikan, di kemudian hari, akan dijadikan rujukan oleh masyarakat dalam menilai kinerja pihak yang berkepentingan tersebut.
Itulah pengertian bentuk, kode etik iklan yang kita sepakati karena semua itu sesuai dengan semangat syariah Islamiyah (fikih) yang menjunjung maqasid dan maslahat umum daripada teks.
Pembohongan dan Pembodohan?
Besdasarkan data dan fakta di lapangan, hampir setiap detik nafas dan sisi hidup kita tidak sepi dari sasaran iklan mulai dari soal pendidikan, pekerjaan, jodoh, ekonomi dan terutamanya kesehatan dan politik. Kalau kita kalkulasikan secara ekonomis sangtlah besar nilai modal dan penghasilan yang didapat oleh perusahaan iklan. Dan 'akal bodoh' kita akan memahami betapa indahnya hidup ini begitu ada persoalan kesehatan kita bisa langsung 'sembuh' dalam waktu beberapa detik dengan hanya minum obat merek tertentu, begitu juga dengan persoalan ekonomi, pendidikan dan karir sampai jodohpun bisa teratasi dengan instant seperti yang kita lihat dalam tanyangan iklan.
Iklan jelas penting dan visualisasi yang semakin hebat dalam beriklan juga harus, karena itu politik ekonomi yang harus dibangun dalam mengembangkan hasil produksi. Tapi tidak harus berlebihan dari fakta dan data apalagi masuk kepada pembohongan publik yang bisa menyesatkan dan berakibat buruk. Karena itu ada beberapa iklan paling mencolok dan berpengaruh secara langsung terhadap pola pikir dan budaya masyarakat, yang menjadi sorotan adalah:
Pertama, Iklan komersial yang kita temukan kapan dan di mana saja mulai dari obat sakit perut karena buncit, obat kuat sampai cara cantik dalam sekejap. Kalau kita jujur iklan seperti itu jelas keluar dari ketentuan dan etika iklan yang kita sepakati di atas. Bahkan termasuk 'kriminalitas' berupa pemalsuan dan pembohongan produksi yang tidak memiliki kualitas dan bukti nilai produksi yang diakui masyarakat. Karena sebaliknya banyak iklan komersial kesehatan justru memperburuk kesehatan konsumen dan ini umumnya terjadi dengan obat-obatan, makanan dan kosmetik 'murahan' yang mengiklankan diri secara membabi-buta dengan cara-cara explotais. Sehingga dapat menghipnotis pemirsa (masyarakat).
Kedua, Iklan politik yang selama ini kita lihat merupakan perbuatan "haram" karena hampir semuanya merupkan kebohongan publik. Karena umumnya pengiklan politik mau berbuat apa saja untuk mencapai tujuan dan ambisinya, karena semuanya hampir tidak disertai fakta dan bukti rasional yang akan diberikan kepada publik. Kebohongan iklan politik banyak dilihat dari berbagai faktor dan sudut pandang mulai dari etika, pemalsuan status akademik dan sosial, keperibadian, niat dan janji-janji kosong kepada masyarakat. Contoh lain yang sering terjadi adalah penyuapan, dan pengerahan masa semuanya itu jelas merupakan tindakan "kriminalitas" dan pendustaan yang sangat mempengaruhi pola pikir dan nuansa hidup masyarakat.
Ketiga, Iklan pendidikan yang menjamur dan bertebaran ke plosok-plosok kampung mulai dari sekolah yang "elit" sampai yang "pailit" dan tidak ketinggalan Pondok Pesantren juga ikut-ikutan membuat iklan untuk meramaikan persaingan dunia pendidikan. Jenis ketiga ini juga tidak lepas dari kebohongan publik karena banyak brosur dan iklan pendidikan (sekolah/pesantren) begitu menjanjikan dan menarik, ekseklusif dengan program-program 'imajinernya'? Tapi semua itu ternyata banyak dibuat oleh lembaga Pendidikan yang sebenarnya sedang 'sekarat' karena tidak ada dana oprasional, tapi tetap berusaha menjaring pemasukan dana dari siswa/mahasiswa baru. Sehingga terjadilah 'penumpukan dosa' yaitu kebohongan publik dan pembodohan masyarakat. Dalam hal ini banyak kita temukan jargon, visi dan misi lembaga pendidikan yang menarik, bagus, 'menggigit telinga' tapi ternyata dibuat hanya untuk menghadapi persaingan dunia pendidikan dan dibuat oleh lembaga yang tertinggal jauh.
Iklan apapun jenis dan bentuknya, selama mendidik dan tidak bertentangan dengan etika periklanan dan tidak melawan budaya lokal apalagi norma Agama, sangat dibutuhkan dan penting. Tapi kenyataannya etika periklanan dewasa ini tidak lagi berlaku, sehingga banyak menimbulkan efek negatif dalam skala besar yang mengkhawatirkan.
Efek Samping
Dari data dan fakta di atas sampailah kita pada puncak penelitian, konsekuensi negatif iklan yang selama ini 'menghiasai' gerak nadi kehidupan masyarakat. Dan ternyata luar biasa sisi negatif yang diakibatkan oleh iklan sampai bisa menjadikan pemirsa iklan menjadi "murtad" bahkan pembunuh atau pencuri? Ada beberap sisi negatif yang ditimbulkan oleh tanyangan iklan yang berlebihan.
Konteks aqidah. Seperti kita ketahui bahwa pakar periklanan Indonesia adalah murid kesayangan pakar periklanan Barat atau Erofa sehingga tidak heran banyak poin-poin etika periklanan tidak memotret kehidupan dan budaya Indonesia akan dampak negatifnya. Karena itulah banyak kita temukan tanyangan iklan yang secara tidak langsung menjadi media pendangkalan aqidah dan Islam anak-anak kita. Karena hampir semua iklan mutu produk makanan dan benda mati lainnya diilustrasikan dengan keindahan tubuh telanjang wanita cantik dan istilah-istilah yang berbau pornografi.
Konteks ahlak. Secara langsung banyak tanyangan iklan yang madlorotnya (sisi negatifnya) lebih besar ketimbang maslahatnya. Contoh paling gampang adalah iklan rokok yang bombastis di setiap sudut kehidupan anak muda, resikonya banyak anak di bawah umur sudah menjadi perokok berat. Dan masih banyak iklan produk yang sasarannya anak muda dan telah berhasil membentuk karakter dan prilaku tunas muda Indonesia 'modern' yang tidak memiliki jati diri dan sepi dari nilai-nilai ahlakulkarimah.
Dan hl ini sudah banyak kita temukan bukti seorang anak bisa menjadi pembunuh atau pencuri hanya karena melihat tanyangan iklan/film yang membangkitkan amarah dan mendorong anak untuk berbuat nekat. Karena iklan sekarang bukan hanya di TV dan tepi jalan saja, tapi telah masuk ke sekolah dan kamar rumah. Sungguh bahaya!
Konteks sosial. Secara langsung banyak iklan yang sebenarnya dapat membuat tatanan sosial menjadi bias dan rusak, seperti orang menjadi malas memperbaiki hidupannya dengan bekerja karena terbuai iklan. Karena hampir semua sisi kehidupannya merasa sudah "terselesaikan" dengan konsep iklan yang begitu mudah dan ramah bukan? Mulai dari persoalan yang ringan sampai yang berat sekalipun dapat diselesaikan setelah kita melihat iklan dalam waktu sekejap. Sehingga banyak orang meganggap ringan dan mudah semua persoalan hidupnya, malas berusaha dan bekerja.
Konteks religuitas. Agama-pun bisa menjadi mangsa iklan. Berapa banyak orang meninggalkan kewajibannya sebagai Muslim hanya karena tertarik melihat iklan yang menurutnya sangat menguntungkan dan menjanjikan perbaikan hidup dan Negara? Bahkan lebih tragisnya banyak orang meninggalkan Sholat hanya karena mencari iklan lowongan kerja yang belum tentu dapat atau cocok dan karena menanti atau menonton tayangan sepak bola dengan iklannya yang luar biasa?
Konteks ekonomi. Masalah ekonomi jelas sebagai modal pokok dalam beriklan. Seseorang jelas tidak akan bisa mengiklankan pemikiran, ide, gagasan dan programnya kalau tidak memiliki kekuatan untuk membayar media yang mempublikasikannya. Sehingga hal ini sering menjadi perhitungan Cabup, Cagub, Caleg, Capres dan lainnya setelah memenangi pemilihan. Bahkan jauh-jauh sebelumnya telah mampu mendorong mereka melakukan tindakan 'kotor' untuk mendapatkan modal beriklan.
Iklan yang tidak realistis dari dua sisi sama-sama memberikan dampak negatif karena dapat mendorong pengiklan dan pemirsa untuk berbuat sesuatu tindakan yang kadang menghancurkan kehidupannya sendiri. Bisa jadi seseorang melakukan korupsi, hutang berbunga dan manipulasi dana dan lain sebagainya karena terpengaruh iklan.
Begitu Hebatkah Iklan?
Sebenarnya iklan tidak begitu gawat kalau pelakunya memahami kembali eksistensi dan tujuan iklan seperti yang dijelaskan di atas. Bahwa iklan adalah media informasi yang tidak bisa ditambah dengan maksud dan tujuan ideologis dan doktrin tertentu. Tapi karena pelakunya berangkat dan datang dari kelompok tertentu dan telah terjerumus kepada persaingan ekonomi/iklan yang semakin menjanjikan, menjadikan banyak orang lupa hakekat makna dan tujuan iklan, apapun akan dilakukan yang penting uang.
Jika demikian, maka semua itu termasuk sesuatu yang haram. Karena setiap sesuatu yang asalnya halal bisa menjadi haram jika dapat merugikan orang lain(madlorot), termasuk iklan. Apalagi iklan yang mengumbar aurat wanita dan pose-pose merangsang lainnya. Atau kita perbaiki sistim periklanan, pertegas hukum dan etika periklanan dan mengawasi dana beriklan?
Kalau iklan adalah media untuk menginformasikan sesuatu yang bermutu dan penting kepada masyarakat, maka sesungguhnya yang terjadi sekarang adalah memasarkan sesuatu yang tidak bermutu dan valid. Maka, anggaplah iklan sebagai berita yang biasa saja. Tapi ambilah iklan yang bermutu dan valid karena itu penting. Dan bagi Pesantren tidak perlu menambah "dosa" dengan membuat iklan yang terlalu "bonafid" tapi cukup dengan pembuktian diri di masyarakat sebagai lembaga pendidikan dan dakwah dalam mencetak ulama, fuqaha yang allamah dan beramal shaleh(a'milin).

Akhirnya, yang paling kita butuhkan sekarang adalah aturan yang kuat tentang hukum, etika dan sektor iklan tertentu. Jangan sampai anak SD (Sekolah Dasar) diberi iklan kondom atau minuman keras!

Tidak ada komentar