AL IKHA' (PERSAUDARAAN)
AL IKHA' (PERSAUDARAAN)
Di antara nilai-nilai
sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwah).
Bahwa hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai dan saling
menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga.
Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa
kekuatan saudara adalah kekuatannya, dan kelemahan saudaranya adalah
kelemahannya. Dan bahwa sesungguhnya ia akan merasa kecil (tidak
berarti) jika sendirian dan dia akan banyak (bernilai) manakala bersama
saudara-saudaranya.
Karena urgennya permasalahan ini dalam pembinaan masyarakat Islam maka kami
akan menjelaskan hal tersebut secara rinci. Seperti kitab, "Al Islam Wal
Audha' Al Iqtishadiyah" "Al Islam Wal Manahijil Isytirakiyah,"
dan "Al Islam Al Muftara 'alaihi," semua karya Syaikh Muhammad Al
Ghazali dan lain-lain.
Al Qur'an telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang
terbesar. Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah akan kenikmatan Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (Ali Imran: 103)
Al Qur'an juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang
mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di
antara keduanya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (Al Hujurat: 10)
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
.".. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para
mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya
Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al
Anfal: 62-63)
Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak
menganiayanya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)..., janganlah saling
menghasud, janganlah saling bermusuhan, dan janganlah saling bertengkar ...,
dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara."
Telah kami jelaskan sebelumnya tentang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dari haditsnya Zaid bin Arqam, bahwa Rasulullah SAW berdoa pada
setiap selesai shalat sebagai berikut:
"Ya Allah ya Tuhan kami, dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya,
saya bersaksi bahwa Engkaulah Allah yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Ya
Allah ya Tuhan kami dan tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, sesungguhnya aku
bersaksi bahwa sesunggahnya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Ya Allah ya
Tuhan kami, tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya kami bersaksi
bahwa sesungguhnya seluruh hamba(Mu) adalah bersaudara."
Dalam doa tersebut, pengakuan prinsip ukhuwwah (bersaudara) diletakkan
setelah bersyahadah kepada Allah dengan mengesakan Dia dan bersaksi bahwa
Muhammad SAW adalah sebagai hamba dan rasul-Nya. Dalam ungkapan "Seluruh
hamba (Mu) adalah saudara" ada dua makna yang keduanya sama-sama benar,
yaitu:
Pertama, Sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh
manusia, mereka adalah bersaudara antara yang satu dengan lainnya, dengan
alasan bahwa mereka semua putera Adam dan hamba Allah. Ini adalah Ukkuwwah
Insaniyah 'Ammah (persaudaraan antar manusia secara umum).
Allah SWT telah menyiasati sejumlah Rasul dalam Al Qur'an bahwa mereka itu
adalah bersaudara bagi kaumnya, meskipun mereka kufur terhadap risalahnya. Karena
adanya sisi persamaan dengan mereka di dalam jenis dan asal mula, sebagaimana
firman Allah SWT:
"Dan Kami telah mengutus kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud." (Al A'raf: 65)
"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka,
Shalih." (Al A'raf: 73)
"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka,
Syu'aib." (Al A'raf: 85)
Kedua, Bahwa sesungguhnya yang dimaksud hamba di sini adalah khusus kaum
Muslimin, karena kesamaan mereka dalam satu millah (agama). Mereka bersatu
dalam satu aqidah yaitu mentauhidkan Allah, dan kiblat yang satu yaitu Ka'bah
di Baitul Haram. Mereka mereka diikat oleh kitab yang satu yaitu Al Qur'an dan
Rasul yang satu yaitu Muhammad SAW serta oleh satu Manhaj yaitu Syari'at Islam.
Inilah yang disebut Ukhuwwah Diniyah (Islamiyah) yang khusus yang tidak
bertentangan dengan yang pertama. Karena tidak saling menafikan antara yang
khusus dan yang umum. Hanya saja ukhuwwah diniyah ini memiliki hak-hak yang
lebih banyak, sesuai dengan ikatan aqidah dan syari'ah serta pemikiran dan
tingkah laku.
MAHABBAH (RASA CINTA) DAN TINGKATANNYA
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Di antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwwah adalah mahabbah (kecintaan). Adapun
tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr)
dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan pertengkaran.
Al Qur'an menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai siksaan
yang dijatuhkan (oleh Allah) terhadap orang-orang yang kufur terhadap
risalah-Nya dan menyimpang dari ayat-ayat-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami
ini orang-orang Nasrani, telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka
(sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan
dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai
hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu
mereka kerjakan." (Al Maidah: 14)
Al Qur'an telah berbicara tentang khamr dan judi yang keduanya termasuk
dosa besar yang mencelakakan dalam pandangan Islam. Sebagai alasan pertama
diharamkannya adalah menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat,
betapa pun keduanya berbahaya dari sisi yang lainnya yang juga tidak bisa
disembunyikan, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjan itu). (Al Maidah: 91)
Di dalam hadits penyakit-penyakit itu disebut sebagai "Penyakit Ummat
(Da'ul Umam). Di kesempatan lain Rasulullah juga menamakannya sebagai
"Perusak" (Al Haliqah). Yaitu yang merusak agama, bukan merusak
(memotong) rambut, disebabkan bahayanya bagi kesatuan jamaah dan keterkaitannya
dengan sisi materi dan moral. Rasulullah SAW bersabda:
"Maukah kamu saya tunjukkan amal yang lebih utama derajatnya daripada
derajat shalat, puasa dan sedekah? Yaitu memperbaiki hubungan antar dua orang
(yang berselisih), sesungguhnya rusaknya hubungan itulah yang merusak
(memutuskan)." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
"Telah merata kepadamu penyakit ummat terdahulu, "Itulah hasud
dan kebencian, sementara kebencian itulah yang merusak, saya tidak mengatakan
'merusak (memotong) rambut' tetapi merusak agama." (HR. Al Bazzar)
"Pintu-pintu surga itu dibuka pada hari Senin dan Kamis, maka diampuni
pada tiap hamba yang tidak syirik kepada Allah, kecuali seseorang yang antara
dia dengan saudaranya terjadi permusuhan, maka dikatakan, "Lihatlah kedua
orang itu!," hingga mereka berdamai, (disampaikan tiga kali)" (HR. Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya selama tiga
hari, yang apabila saling bertemu maka ia berpaling, dan yang terbaik di antara
keduanya adalah yang memulai dengan ucapan salam." (HR. Bukhari Muslim)
"Ada tiga orang yang shalatnya tidak diangkat di atas kepala sejengkal
pun, "Seseorang yang mengimami suatu kaum, sedangkan kaum itu membencinya,
dan wanita yang diam semalam suntuk sedang suaminya marah ke.padanya, dan dua
saudara yang memutus hubungan di antara keduanya." (HR. Ibnu Majah)
Sesungguhnya suasana benci dan permusuhan adalah suasana yang busuk yang
tidak menyenangkan, saat itulah syetan bisa menjual dagangannya dengan laris,
seperti berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, ghibah
(membicarakan aib orang lain), mengadu domba, berkata bohong dan mencari serta
melaknat, sampai pada tingkatan saling membunuh di antara saudara. Ini adalah
suatu bahaya yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dan dianggap sebagai sisa
kejahiliyahan, Nabi SAW bersabda:
"Janganlah kamu kembali menjadi kafir setelahku, (yaitu) dengan
memukul sebagian di antara kamu terhadap leher yang lain." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Nabi SAW juga bersabda:
"Mencaci maki seorang Muslim itu suatu kefasikan, dan membunuhnya
adalah suatu kekufuran." (HR. Bukhari-Muslim)
Oleh karena itu memperbaiki hubungan saudara adalah termasuk amal ibadah
yang paling mulia. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara dua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat" (Al Hujuraat: 10)
"Bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu,
dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman." (Al Anfal: 1)
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dan orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat
ma 'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang
berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi
kepadanya pahala yang besar." (An-Nisa': 114)
Bahkan syari'at telah memberikan bagian tersendiri dari hasil zakat untuk
orang-orang yang memiliki hutang dalam memperbaiki hubungan di antara mereka. Untuk
membantu mereka agar dapat melakukan kemuliaan ini yang semula dilakukan oleh
orang-orang yang berjiwa besar dan memiliki cita-cita yang luhur (tinggi). Maka
mereka itulah yang menanggung denda dan hutang para kabilah yang sedang
bertengkar. meskipun mereka sendiri tidak memiliki harta secara leluasa.
Karena pentingnya memperbaiki hubungan antara dua fihak, maka Rasulullah
SAW memberikan rukhsah (keringanan) terhadap orang yang melakukan perbaikan
hubungan untuk tidak selalu dalam kejujuran yang sempurna dalam menentukan
sikap pada masing-masing dari dua kelompok (pihak). Sehingga ia bisa
(dibolehkan) memindahkan sebagian kata-kata sebagaimana dikatakan, yang telah
menyalakan api permusuhan dan tidak memadamkannya, maka tidaklah mengapa dengan
sedikit memperindah atau sedikit berdiplomasi (tauriyah). Rasulullah SAW
bersabda:
"Bukanlah pembohong orang yang memperbaiki (mendamaikan) antara dua
orang, lalu ia berkata dengan baik atau menambahi lebih baik. (HR. Ahmad)
Yang lebih tinggi dari tingkatan salaamatush shadr (bersihnya hati) dari
rasa dengki dan permusuhan adalah tingkatan yang diungkapkan dalam hadits
shahih sebagai berikut:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Berarti dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa
atas saudaranya sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika
ia senang jika dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan
demikian itu terhadap orang lain. Dan jika ia menginginkan mendapat kemudahan
dalam kehidupan berkeluarga(nya), maka ia juga menginginkan hal itu diperoleh
orang lain. Dan jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia juga
menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan jika !a menginginkan untuk
tidak disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian, maka
begitu pula ia menginginkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia
menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai dan
ia benci.
DERAJAD ITSAR
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Ada derajat (tingkatan) yang lebih tinggi dari salamatush shadr dan rasa
cinta yaitu tingkatan "Itsar." Itsar adalah mendahulukan kepentingan
saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai. Ia rela untuk
lapar demi mengenyangkan saudaranya, ia rela haus untuk menyegarkan saudaranya,
berjaga demi menidurkan saudaranya, ia bersungguh-sungguh untuk
mengistirahatkan saudaranya, ia rela untuk ditembus peluru dadanya untuk
menebus saudaranya.
Al Qur'an telah mengemukakan kepada kita gambaran yang terang tentang
masyarakat Islam di Madinah yang nampak di dalamnya makna itsar dan
pengorbanan, tidak pelit dan tidak bakhil. Allah berfirman:
"Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al Hasyr: 9)
Di dalam Sunnah (hadits) kita dapatkan gambaran lain sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, bahwa Sa'ad bin Rabbi' telah menawarkan kepada Abdur Rahman
bin Auf setelah keduanya dipersaudarakan oleh Nabi SAW untuk bersedia diberi
separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya
untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin Auf berkata kepada
Sa'ad bin Rabi' "Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah
memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku
adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar."
Ini gambaran itsar yang langka dan hampir tidak akan kita dapatkan di masa
kini, yang kemudian dibalas dengan sikap 'iffah (kehati-hatian, yang mulia dan
bijaksana. Keduanya menampilkan contoh ideal sikap masyarakat Islam yang
dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah, yang senantiasa kita idam-idamkan
sebagai bentuk ideal sebuah masyarakat.
Islam menginginkan dengan sangat agar mahabbah dan ukhuwwah di antara
manusia seluruhnya itu bisa merata di kalangan bangsa-bangsa antara sebagian
dengan sebagian yang lainnya. Yang tidak dipecah belah dengan perbedaan unsur,
warna bahasa dan iklim atau negara. Sehingga tidak ada kesempatan untuk
bertikai atau saling dengki, meskipun berbeda-beda dalam harta dan
kedudukannya, karena rezeki itu ketentuan Allah SWT. Merata di antara
pemerintah dan rakyat, sehingga tidak ada tempat untuk kesombongan pemerintah
terhadap rakyat, karena sesungguhnya hukumah (pemerintah) adalah wakil atau
pelayan ummat. Dan tidak ada tempat untuk kebencian rakyat kepada pemerintah
selama ia berbuat kebenaran dan melaksanakan kewajibannya. Rasulullah SAW
bersabda:
"Sebaik-baik pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu mencintai
mereka dan mereka mencintai kamu, kamu mendoakan mereka dan mereka mendoakan
kamu." (HR. Muslim)
MENYELARASKAN TEORI DENGAN PELAKSANAAN
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Islam tidak suka jika dakwahnya itu hanya semata-mata pemikiran (konsep) di
kepala saja, atau impian di benak para da'i, akan tetapi Islam menyelaraskan
antara pemikiran (teori) dengan pelaksanaan, dan antara konsep dengan
penerapan. Oleh karena itu Islam mengajak kita untuk melaksanakan sejumlah
syi'ar, adab-adab kebiasaan yang dapat memperkuat ikatan mahabbah di antara
kita manusia.
Di antara adab itu adalah menyebarkan ucapan salam setiap bertemu antara
yang satu dengan yang lainnya. Inilah yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah
SAW sebagai berikut:
"Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalian tidak masuk surga
hingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai,
maukah kamu saya tunjukkan sesuatu yang apabila kamu melakukannya kamu akan
saling mencintai? Sebarkan ucapan salam di antara kamu!" (HR. Muslim).
Di antaranya lagi adalah bermujamalah (berwajah ceria) dalam menyambut
datangnya nikmat, berta'ziah ketika ada musibah, menjenguk orang sakit dan
mendoakan orang yang bersin.
Kita juga dianjurkan untuk saling memberi hadiah satu sama lain dalam acara
dan peristiwa yang baik, sebagaimana tersebut dalam hadits:
"(Hendaklah) kamu saling memberi hadiah, maka akan saling
mencintai." (HR. Abu Ya'laa)
Dalam rangka memupuk rasa cinta kasih bisa juga melalui pertemuan-pertemuan
di mana kita bisa mengenal wajah-wajah dan saling berjabat tangan, inilah yang
disyari'atkan oleh Islam melalui kewajiban shalat berjamaah, shalat Jum'at dan
shalat dua Hari Raya.
Islam telah mengharamkan kerusakan akhlaq dan sosial yang dapat memutuskan
ikatan mahabbah dan mawaddah di antara manusia. Al Qur'an Al Karim menetapkan
bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara, kemudian dilanjutkan dengan
larangan terhadap sejumlah kebiasaan yang buruk yang dapat meretakkan keutuhan
ukhuwwah dan yang merobohkan sendi-sendinya. Seperti menghina dan mencela,
memanggil dengan sebutan yang tidak menyenangkan, mencari-cari kesalahan orang
lain, mencari aurat manusia, berburuk sangka kepada manusia dan ghibah
(menggunjing). Sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
lain karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang burak. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka ialah orang-orang yang zhalim. Hai orang-orang yang
beriman, Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangla
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Al
Hujuraat: 11-12)
Post a Comment