AMAL
AMAL
Amal adalah buah ilmu, karena itu dikatakan dalam pepatah, "Ilmu tanpa
amal sama dengan pohon tanpa buah atau awan tanpa hujan."
Amal juga merupakan buah keimanan yang benar, karena tidak mungkin ada
keimanan tanpa amal. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang dimasukkannya
amal sebagai bagian dan hakikat iman atau syarat sahnya iman atau buah dari
iman, adalah merupakan sesuatu yang tidak diragukan bahwa keimanan yang benar
(hakiki) itu harus membuahkan amal. Oleh karena Al Qur'an mengumpulkan antara
iman dan amal dalam berpuluh-puluh dan ayatnya, karena itu ulama salaf berkata,
"Iman adalah sesuatu yang meresap dalam hati dan dibuktikan dengan
amal."
Amal yang dituntut di sini adalah mencurahkan segala upaya yang positif
untuk merealisasikan tujuan-tujuan syar'i terhadap manusia di atas bumi ini.
Tujuan-tujuan itu, sebagaimana diisyaratkan oleh Al Qur'an dikumpulkan
dalam tiga hal, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Raghib Al Ashfahani dalam
kitabnya, "Adz-Dzarii'ah ilaa Makaarimisy-Syarii'ah," yaitu sebagai
berikut:
1. Ibadah.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku." (Adz-Dzaariyaat: 56)
2. Khilafah.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan di bumi seseorang khalifah (Al Baqarah: 30)
3. 'Imaarah (memakmurkan bumi).
Sebagaimana firman Allah SWT
"Dialah (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah dan menjadikan kamu
pemakmurnya..." (Hud: 61)
Tiga hal tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. 'Imaarah
(memakmurkan) ketika dilaksanakan dengan niat ikhlas, maka akan kenilai ibadah
sekaligus melaksanakan tugas khilafah. Sedangkan ibadah dalam arti yang luas
meliputi khilafah dan 'imaarah, dan tidak mungkin akan terwujud khilafah
kecuali dengan adanya ibadah dan 'imaarah.
Amal yang diinginkan oleh Islam adalah "amal shalihat." Kata
shalihat dalam Al Qur'an memiliki makna yang luas, meliputi segala sesuatu yang
membawa maslahat kepada agama dan dunia, membawa maslahat untuk individu dan
masyarakat. Ia juga meliputi ibadah dan muamalah, atau aktifitas hidup dunia
dan akhirat sebagaimana diajarkan oleh ulama kita rahimahumullah.
Al Qur'an menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi,
menghidupkan dan mematikan dan telah menjadikan apa yang ada di atas bumi ini
sebagai hiasan. Itu semua untuk suatu tujuan yang jelas sebagaimana telah
ditentukan oleh Allah dalam firman-Nya:
"Supaya Dia menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik
amalnya." (Al Mulk: 2)
"Supaya Kami menguji mereka, siapa di antara mereka yang paling banyak
amalnya." (Al Kahffi: 7)
Artinya bahwa Allah SWT tidak menginginkan amal yang sembarang amal, tidak
pula sekedar amal yang baik, tetapi menginginkan dari mereka amal yang paling
baik.
Maka perlombaan di antara mereka bukan antara amal yang buruk dan baik,
tetapi antara amal yang baik dan yang paling baik.
Tidak heran jika kita dapatkan dari ungkapan ayat-ayat Al Qur'an yang
menyenangkan, yaitu kata-kata "Allatii hiya ahsan." Seperti misalnya,
bahwa hendaknya seorang Muslim berdebat dengan cara yang lebih balk (Anhl:
125), menolak dengan cara yang lebih baik (Al Mukminun: 96), dan
menginvestasikan harta anak yatim dengan cara yang paling baik (Al Isra': 34),
serta mengikuti sebaik-baik apa yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya,
"Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
..." (Az-Zumar: 55).
Al Qur'an selamanya mengajak kepada sesuatu yang paling baik, dan bukan
sekedar baik.
Kerja perekonomian dengan segala cabang dan ragamnya adalah termasuk ibadah
yang paling utama apabila disertai dengan niat yang benar dan dilakukan dengan
itqan (sebaik-baiknya) serta terikat oleh ketentuan hukum Allah. Terutama kerja
yang produktif dalam pertanian, industri, besi dan pertambangan.
Bangsa Arab telah turun-temurun sejak dahulu meremehkan kerja ketrampilan
tangan, dan mereka lebih mengutamakan untuk pergi (berkunjung) ke Amir atau
kepala suku untuk minta bantuan daripada bekerja untuk mencari ma'isyah
(penghidupan). Maka Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya bekerja apa
pun untuk mencari ma'isyah, meskipun sedikit pemasukannya dan banyak kerjanya,
itu lebih baik daripada meminta-minta.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh jika ada di antara kamu yang mengikatkan tali di atas
punggungnya, kemudian datang dengan membawa sebongkok kayu bakar, lalu
menjualnya, sehingga Allah menutupi wajahnnya, itu lebih baik daripada
meminta-minta kepada manusia, apakah mereka memberi atau menolaknya." (HR.
Bukhari)
Rasulullah SAW juga mendorong ummatnya untuk berwiraswasta dan bekerja
dengan tangannya sendiri. Beliau bersabda:
"Tdaklah seseorang makan makanan yang lebih baik dari pada makan dari
hasil pekerjaan tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah (Dawud) makan
dari hasil pekerjaan tangannya." (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada seorang Muslim yang bercocok tanam, kemudian ada burung,
manusia atau binatang yang memakannya, kecuali itu menjadi sedekah
baginya." (HR. Bukhari)
Di antara taujih Nabi SAW yang paling menarik dalam menjelaskan nilai beramal
(bekerja) adalah hadits yang berbunyi:
"Apabila kiamat terjadi, sementara di tanganmu ada bibit kurma, maka
jika mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, maka tanamlah." (HR. Ahmad)
Kenapa dia harus menanamnya, sementara kiamat sudah hampir terjadi. Bukankah
nantinya tidak akan ada yang memanfaatkannya, baik yang menanam ataupun
orang-orang setelahnya.
Ini membuktikan bahwasanya bekerja itu pada dasarnya sangat ditekankan, dan
sesungguhnya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk tetap bekerja dan senantiasa
produktif, sampai habis tetes terakhir minyak dalam pelita kehidupan ini.
Sesungguhnya bekerja itu merupakan ibadah dan taqarrub kepada Allah, baik
buahnya bisa dimakan manusia atau tidak. Seandainya kaum Muslimin memahami ini,
niscaya Allah akan membukakan berkah dari langit dan bumi untuk mereka, dan
mereka bisa memakan hasilnya dari atas dan dari bawah. Dan mereka akan menjadi
masyarakat yang paling produktif dan paling kaya di antara masyarakat dunia
yang lain. Mereka tidak akan hidup bergantung kepada ummat yang lainnya, mereka
tidak akan kekurangan makanan pokok sehari-hari, karena negerinya negeri
agraris, dan mereka juga tidak membutuhkan senjata yang mereka perlukan untuk
memelihara kehormatan, tanah air dan 'izzah mereka. Cukuplah seandainya ummat
lain itu tidak di suplai dari ummat Islam mereka akan mati kelaparan dan mereka
akan mengalami kekalahan mental karena hinanya.
KEBEBASAN
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam
adalah "kebebasan," yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari
segala bentuk tekanan, paksaan, kediktatoran dan penjajahan. Selain itu juga
bisa menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam kehidupan ini, tetapi pada saat
yang sama ia juga sebagai hamba Allah.
Kebebasan di sini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berfikir,
kebebasan berpolitik, kebebasan madaniyah (bertempat tinggal) dan segala bentuk
kebebasan yang hakiki dalam kebenaran .
Yang kita maksud dengan kebebasan agama adalah kebebasan dalam beraqidah
(berkeyakinan) dan kebebasan melakukan ibadah. Maka tidak diterima keislaman
seseorang di saat ia dipaksa untuk meninggalkan agama yang ia cintai dan ia
peluk, atau dipaksa untuk memeluk agama yang tidak ia sukai."ash-nash Al
Qur'an secara terang-terangan melarang tindakan seperti itu, sebagaimana
tersebut dalam ayat Makkiyah:
"Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?" (Yunus:
99)
Atau sebagaimana disebutkan di dalam ayat-ayat Madaniyah sebagai berikut:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat." (Al
Baqarah: 256)
Siapa saja dari orang-orang di luar Islam yang berada dalam tanggung jawab
kaum Muslimin maka dia telah mendapat hak seperti kaum Muslimin secara umum,
dengan beberapa pengecualian yang ditentukan oleh agama. Maka tidak wajib
baginya segala sesuatu yang diwajibkan kepada kaum Muslimin, dan tidak
terlarang baginya sesuatu yang diharamkan kepada kaum Muslimin. Dengan beberapa
pembatasan tertentu sesuai syari'at Islam.
Ada sebagian manusia yang menulis pada zaman ini, ia mengatakan bahwa
sesungguhnya warisan Khasanah Arab dan Islam tidak mengenal adanya kebebasan
dengan pemahaman modern sebagaimana yang kita dapatkan dari barat, tepatnya
setelah revolusi Perancis. Akan tetapi Islam hanya mengenal makna kemerdekaan
(kebebasan) itu dalam arti sekedar tidak memperbudak saja, hingga orang yang
merdeka adalah orang yang bukan budak. Dan kemerdekaan itu adalah kebalikan
dari perbudakan dan penghambaan.
Maka sangat memprihatinkan ketika kita mempercayai adanya kebebasan atau
menyerukan kebebasan dengan mengacu pada Perancis, padahal sebelumnya kita
tidak mengenalnya! Saya sungguh heran ketika mereka mengatakan seperti itu
padahal mereka mengaku atau diakui sebagai intelektual atau ilmuwan.
Karena melihat fenomena seperti ini maka wajib bagi kita untuk menjelaskan
beberapa hakikat kebenaran agar menjadi peringatan bagi semua pihak, antara
lain sebagai berikut:
Pertama: kita tidak mengingkari bahwa asal mula dan hakikat secara bahasa
dalam memberikan arti kata kemerdekaan adalah lawan dari perbudakan, yang
berarti menguasai dan mendominasi terhadap seseorang. Sementara kemerdekaan
berarti membebaskan dari kekuasaan tersebut dan melepaskan perbudakannya. Tetapi
ini bukan arti satu-satunya dalam bahasa.
Kemerdekaan atau kebebasan memiliki arti yang luas yang juga berarti
membebaskan manusia dari segala cengkeraman dan kekuasaan tidak benar, dari
penguasa yang zhalim atau kekuatan yang diktator.
Makna ini sebagaimana dikatakan oleh Umar Bin Khattab kepada gubernur Mesir
'Amr bin 'Ash, yang kemudian kata-kata itu sempat terlupakan dalam timbunan
sejarah. Umar berkata:
"Bilakah engkau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh
ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka!?"
Kata-kata tersebut sekarang telah menjadi undang-undang dan deklarasi
hak-hak asasi manusia. Ali bin Abi Thalib juga pernah berpesan kepada
puteranya:
"Janganlah kamu menjadi budak orang lain, karena Allah telah
menjadikan kamu merdeka."
Para penyair banyak mempergunakan kata-kata "kemerdekaan" dengan
arti manusia terhormat, seperti kata seorang penyair sebagai berikut:
"Seorang hamba sahaya dipukul dengan tongkat, sedangkan orang yang
mulia cukup dengan celaan."
Dalam pepatah dikatakan:
"Sabar adalah pahit, dan tidak ada yang sanggup menegaknya kecuali
orang yang mulia."
Tidak adanya kata-kata atau istilah tertentu yang menunjukkan satu
pengertian atau kandungan makna yang kita ketahui sekarang itu bukan berarti
tidak adanya arti atau kandungan tersebut. Karena kadang-kadang arti itu kita
dapatkan pada kata-kata atau istilah yang lain, kadang-kadang juga banyak
digunakan dalam kata-kata atau istilah-istilah yang lainnya.
Misalnya, seorang peneliti tidak mendapatkan dalam khasanah kata kalimat
"Al Musaawaat" (emansipasi) digunakan sebagaimana kita pergunakan
sekarang ini.
Tetapi dengan pembahasan yang sederhana ia akan mendapatkan maknanya banyak
tersebar di dalam ayat-ayat Al Qur'an Al Karim dan hadits-hadits Rasulullah SAW
dan dalam berbagai ibadah dalam Islam. Seperti dalam shalat, puasa, haji dan
umrah, dan di dalam hukum-hukum Islam dan sanksi-sanksinya yang tidak
membedakan antara orang bangsawan atau orang rendahan, serta di dalam
prinsip-prinsip Islam yang menghilangkan perbedaan antar jenis kelamin, warna
kulit dan status sosial ekonomi, dan menjadikan manusia sama rata seperti
samanya gigi sisir, kecuali oleh taqwanya.
Contoh dari hal tersebut di atas adalah kata-kata "Al Hurriyah"
yang kadang-kadang diartikan dengan "karamah" (kemuliaan), seperti
dalam firman Allah SWT:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam." (Al Isra': 70)
Atau terkadang diartikan dengan 'izzah (kekuatan), seperti dalam firman
Allah SWT:
"Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mukmin." (Al Munafiqun: 7)
Atau dengan arti diharamkannya memaksa dan menghardik (membentak), seperti
dalam firman Allah SWT:
"Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu
menghardiknya." (Adh-Dhuha: 9-10)
Atau dengan arti menteror dan menakut-nakuti, seperti sabda Rasul SAW:
"Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti Muslim lainnya." (HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi)
Atau dengan arti diharamkannya memukul dan menyiksa, seperti sabda
Rasulullah SAW:
"Barangsiapa mencambuk punggung seorang Muslim dengan tanpa kebenaran
maka ia akan bertemu dengan Allah, sedang Allah murka kepadanya." (HR.
Thabrani)
Atau dengan selain itu semuanya.
Lebih dari itu Islam menyeru kepada kita untuk berperang dan mengumumkan
peperangan dalam rangka untuk membebaskan orang-orang yang tertindas di bumi
ini dari cengkeraman para penindas, penjajah dan orang-orang yang diktator. Allah
SWT berfirman:
"Mengapa kamu tidak rnau berperang di jalan Allah dan (membela)
orang-orang yang lemah baik dari laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
(Mekkah) yang zhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau,
dan berilah kami penolong dari sisi Engkau." (An-Nisa':
75)
Apabila manusia tidak mampu untuk memberantas tekanan dan penindasan, maka
tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak bisa hijrah dari kampung halaman
mereka, dan tidak alasan atas diri mereka untuk menerima kehinaan dan tetap di
bawah cengkeraman kezhaliman dan penindasan. Al Qur'an telah memberi ancaman
yang keras bagi orang yang rela untuk hidup terhina dan menyerah, di mana ia
tidak termasuk orang yang memerangi, dan tidak pula termasuk orang yang
berhijrah bersama Muhajirin. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, "Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Mekkah)." Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi
Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang
itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun
anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan õidak mengetahui jalan (untuk
hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha
Pemaaaf lagi Maha Pengampun." (An-Nisa':
97-99)
Sesungguhnya orang yang memberikan haknya kepada Islam berupa pemahaman dan
merenungkannya akan mendapatkan bahwa sesungguhnva inti dari semuanya adalah
tauhid. Taubid adalah "ruh eksistensi Islam," tauhid merupakan asas
pemikiran dan asas fiIsafat yang merealisasikan prinsip kebebasan, persaudaraan
dan persamaan secara keseluruhan.
Kalimat tauhid adalah kalimat "Laa ilaaha illallah" yang berarti
menggugurkan orang-orang yang mengaku tuhan dan yang diktator di bumi dan
menurunkan mereka dari singgasana rubbubiyah yang palsu dan kesombongan (merasa
tinggi) di atas makhluk sesamanya menuju persamaan hak antar manusia seluruhnya
dalam beribadah kepada Allah.
Oleh karena itu surat-surat Nabi SAW dikirimkan kepada kaisar dan para
pemimpin kaum Nasrani serta raja-raja mereka di Mesir, Habasyah (Ethiopia) dan
lainnya ditutup dengan seruan firman Allah SWT:
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(letetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lainnya sebagai tuhan
selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka,
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)." (Ali Imran: 64)
Sesungguhnya sesuatu yang paling besar perannya dalam menghancurkan
kebebasan manusia dan yang datang untuk merusak bangunannya adalah penghambaan
antar manusia satu dengan yang lainnya dari selain Allah. Kita dituntut agar
dapat mengembalikan kemerdekaan dan kehormatan mereka, oleh karenanya kita
harus menghancurkan tuhan-tuhan palsu yang mereka yakini, terutama di dalam
jiwa orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai tuhan, padahal mereka
adalah makhluk sebagaimana makhluk yang lain. Yang tidak bisa mendatangkan
bahaya atau manfaat, yang tidak bisa mematikan dan menghidupkan serta tidak
bisa membangkitkan.
Orang-orang musyrik Arab memahami akan hakikat tersebut sejak Rasulullah
SAW pertama kali mendakwahkan tauhid dan syahadah bahwa tidak ada llah selain
Allah. Mereka mengetahui bahwa di balik kalimat syahadah itu terdapat
perombakan dalam kehidupan sosial masyarakat, dan sesungguhnya kalimat itu
menginginkan kelahiran baru bagi anak manusia, terutama orang-orang fakir dan
kaum yang tertindas. Maka tidak heran jika orang-orang musyrik itu berdiri di
hadapan kalimat ini dan memobilisasi segala kekuatan mereka untuk memerangi
setiap orang yang beriman terhadap kalimat ini dan memenuhi seruannya.
Post a Comment