AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNKAR
AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNKAR
Inilah kewajiban atau syi'ar yang kelima atau syi'ar yang ada, kewajiban
ini merupakan baju pelindung bagi syi'ar-syi'ar lainnya. Barangkali akan
membuat terkejut bagi sebagian orang jika kewajiban amar maÕruf nahi munkar ini
termasuk kewajiban-kewajiban yang asasi dalam Islam, karena selama ini yang
terkenal adalah empat yang telah disebutkan pertama.
Tetapi bagi siapa saja yang mau mempelajari Al Qur'an dan As-Sunnah dia
akan menemukan bahwa itu lebih jelas dan terang dari terangnya sinar fajar.
Al Qur'an telah menjadikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai keistimewaan
yang pertama yang dimiliki oleh ummat ini dan yang mengungguli ummat-ummat
lainnya. Allah SWT berfirman:
"Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah." (Ali Imran: 110)
Dalam ayat ini penyebutan amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan
daripada penyebutan iman, padahal iman merupakan asas. Hal ini karena iman kepada
Allah itu merupakan ketentuan yang bersifat umum (dimiliki) antara umat-umat
Ahlul Kitab semuanya, tetapi amar ma'ruf nahi munkar merupakan kemuliaan ummat
ini. Seperti tumbuh-tumbuhan padang pasir, Allah-lah yang mengeluarkannya, dan
dia tidak dikeluarkan agar hidup untuk dirinya saja, tetapi dikeluarkan untuk
(kemaslahatan) ummat manusia seluruhnya. Ummat ini adalah ummat dakwah dan
risalah, tugasnya menyebarkan yang ma'ruf dan memperkuatnya, dan mencegah yang
munkar serta menghancurkannya.
Sebelum ayat di atas disebutkan, dalam beberapa ayat sebelumnya Allah SWT
berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)
Ayat di atas memiliki dua makna; yang pertama kalimat "min"
berarti lit-tajrid, dengan demikian artinya hendaklah kamu menjadi ummat yang
selalu mengajak kepada kebajikan. Dan barangkali yang memperkuat makna ini
adalah pembatasan keberuntungan kepada mereka, bukan kepada yang lain, seperti
yang ada pada kalimat "wa ulauika humul muflihuun."
Makna tafsirnya: hendaklah seluruh ummat Islam menjadi penyeru kebaikan,
memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, masing-masing sesuai dengan
kedudukan dan kemampuannya, sehingga termasuk berhak memperoleh keberuntungan.
Makna yang kedua, kata "min" berarti lit-tab'idh--sebagaimana ini
terkenal--artinya hendaklah di dalam masyarakat Islam itu ada sekelompok kaum
Muslimin yang memiliki spesialisasi, memiliki kemampuan dan memiliki persiapan
yang sesuai untuk mengemban kewajiban.berdakwah dan beramar ma'ruf nahi munkar.
Yang dimaksud "thaifah" di sini adalah mewuludkan Jamaatul Muslimin
secara umum dan ulil amri secara khusus. Maka wajib bagi mereka mempersiapkan
sebab-sebab (sarana) untuk terwujudnya thaifah tersebut dan mendukungnya baik
secara moril maupun materiil agar dapat tertegak risalah-Nya. Selagi ummat atau
thaifah yang dicita-citakan ini belum terwujud maka dosanya akan ditanggung
oleh seluruh kaum Muslimin, sebagai fardhu kifayah yang ditinggalkan dan
diabaikan.
Tidak cukup adartya afrad (individu-individu) yang berserakan (tidak
teratur), yang hanya melakukan ceramah dalam suatu negara yang mengatur mereka
atau suatu masyarakat yang jauh dari mereka. Al Qur'an tidak menginginkan yang
demikian, melainkan Al Qur'an menghendaki adanya ummat, yang mengharuskan ummat
itu untuk memiliki kebebasan berdakwah ke arah kebaikan, di mana pintu kebaikan
yang terbesar ialah Islam. Hendaknya ummat itu mampu memerintah dan melarang,
karena hal itu adalah perkara yang lebih khusus dan lebih besar daripada
sekedar mau 'izhah dan tadzkir (nasehat dan peringatan). Setiap orang yang
mempunyai lidah, ia bisa memberi nasehat dan peringatan, tetapi tidak selamanya
bisa memerintah dan melarang. Dan yang dituntut oleh ayat tersebut adalah
mewujudkan ummat yang mampu berdakwah, memerintah dan melarang.
Dalam menjelaskan ciri-ciri secara umum bagi masyarakat mukmin yang berbeda
dengan masyarakat orang-orang kafir dan munafik, Al Qur'an berbicara dalam
surat At-Taubah:
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf dan melarang dari yang munkar dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 71)
Di antara keindahan ayat ini, bahwa Dia menyertakan mukminah di samping
mukminin dan menjadikan kasih sayang serta saling mendukung antara mereka. Serta
memikulkan kepada mereka, baik laki-laki maupun perempuan, tugas amar ma'ruf
nahi munkar, dan mendahulukan tugas itu atas shalat dan zakat. Karena amar
ma'ruf dan nahi munkar merupakan ciri utama bagi masyarakat Islam dan bagi
individu anggota masyarakat tersebut. Islam tidak menghendaki mereka baik hanya
untuk diri sendiri. sementara mereka tidak berupaya untuk memperbaiki orang
lain. Dalam hal ini Allah menjelaskan dalam Surat Al Ashr:
"Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
mentaati kesabaran." (Al Ashr: 1-3)
Maka tidak cukup hanya dengan iman dan beramal shalih untuk memperoleh
keselamatan dari kerugian dan kehancuran, sehingga mereka mau melaksanakan
saling berwasiat dalam melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk tetap
bersabar. Dengan kata lain, sehingga mereka mau memperbaiki orang lain dan menyebarkan
makna saling menasehati dan dakwah di masyarakat untuk berpegang kepada
kebenaran dan tetap dalam kesabaran. Dan hal itu termasuk pilar kekuatan
masyarakat setelah iman dan amal shalih.
Di dalam surat At-Taubah juga ada penjelasan tentang sifat-sifat orang yang
beriman yang mana Allah telah membeli (menukar) diri dan harta mereka dengan
surga, demikian itu tersebut dalam firman Allah SWT:
"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang
memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang rnakmin itu." (At-Taubah:
112)
Dalam Surat Al Hajj, Al Qur'an menjelaskan kewajiban yang terpenting ketika
ummat Islam diberi kesempatan oleh Allah SWT di bumi ini untuk memiliki daulah
dan kekuasaan, Allah berfirman:
"sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya,
sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang
jika kami teguhkan kedudukan mereka di maka bumi, niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Al Hajj: 40-41)
Amar ma'ruf dan nahi munkar' setelah shalat dan zakat adalah faktor
terpenting dalam Daulah Islamiyah. Setelah Allah memberikan daulah itu kepada
ummat Islam dan memenangkan atas musuhnya. Bahkan mereka tidak berhak
memperoleh pertolongan Allah kecuali dengan melaksanakan tugas itu, sebagaimana
diterangkan dalam dua ayat tersebut.
Inilah kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar dalam Al Qur'an. Sesungguhnya
ia merupakan lambang atas wajibnya
takaful (saling memikul beban) secara moral di antara kaum Muslimin,
sebagaimana zakat merupakan lambang
atas wajibnya takaful materi di antara mereka.
Rasulullah SAW telah menggambarkan takaful adabi (moral) itu dengan
gambaran atau ilustrasi yang menarik sekali, sebagaimana diriwayatkan oleh
Nu'man bin Basyir RA, Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan yang
melanggarnya itu bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal, sebagian ada yang
di atas dan sebagian ada yang di bawah, orang-orang yang berada di bawah
apabila ingin mengambil air mereka mesti melalui orang-orang yang berada di
atas, la1u orang-orang yang di bawah itu berkata, "Seandainya kita lubangi
(kapal ini) untuk memenuhi kebutuhan kita maka kita tidak usah mengganggu
orang-orang yang ada di atas kita!" Maka jika orang-orang yang di atas itu
membiarkan kemauan mereka yang di bawah, akan tenggelamlah semuanya, dan jika
mereka menahan tangan orang-orang, yang di bawah, maka akan selamat, dari
selamatlah semuanya." (HR. Bukhari)
Sesungguhnya seburuk-buruk sesuatu yang menimpa masyarakat adalah zhalimnya
para thaghut atau takutnya rakyat terhadap mereka, sehingga tidak ada suara
haq, da'wah, nasihat, amar ma'ruf dan nahi munkar. Dengan demikian hancurlah
mimbar-mimbar perbaikan, semakin surut nilai-nilai kekuatan dan semakin layu
pula pohon-pohon kebaikan, sementara kejahatan dan para penyerunya semakin
berani untuk bermunculan dan menyebarkannya, sehingga mereka berhasil membuka
pasar-pasar kerusakan, memasarkan dagangan Iblis dan tentaranya, tanpa ada yang
melawan dan menghentikan.
Ketika itulah maka masyarakat itu akan menerima ancaman Allah dan
siksa-Nya, sehingga bala, dan bencana itu akan menimpa orang-orang yang berbuat
kemunkaran dan yang mendiamkannya, Allah SWT berfirman:
"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zhalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat
keras siksaan-Nya." (Al Anfal: 25)
Rasulullah juga bersabda:
"Sesungguhnya manusia itu apabila melihat orang yang zhalim, lalu
mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan meratakan
siksa dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i)
Sesungguhnya Allah telah melaknat Bani Israil melalui lisan para Nabi-Nya
dan memukul hati sebagian mereka dengan sebagian serta mengangkat pemimpin dari
orang yang tidak berbelas kasihan kepada mereka. Hal itu disebabkan karena
tersebarnya kemungkaran di antara mereka tanpa ada orang yang merubah atau
melarangnya.
Allah SWT berfirman:
"Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud
dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkari mereka durhaka dan selalu
melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar
yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat
itu." (Al Maidah: 78-79)
Lebih buruk dari apa yang telah kita sebutkan adalah jika hati masyarakat
itu telah mati atau paling tidak sakit, setelah lamanya bergaul dengan
kemungkaran dan mendiamkannya, sehingga kehilangan rasa keberagamaan dan
akhlaqnya. Yang dengan perasaan itu akan diketahui yang ma ruf dari yang
mungkar. Mereka telah kehilangan kecerdasan yang (seharusnya) mampu membedakan
antara yang baik dengan yang buruk, yang halal dan yang haram, yang lurus dan
yang menyimpang, maka ketika itu rusaklah standar masyarakat. Sehingga mereka
melihat perkara yang sunnah menjadi bid'ah, yang bid'ah menjadi sunnah. Gejala
lain adalah apa yang saat ini kita lihat dan rasakan di kalangan kebanyakan
anak-anak kaum Muslimin, yaitu anggapan bahwa beragama itu suatu kemunduran,
istiqamah itu kuno dan teguh dalam pendirian justru dianggap jumud (beku),
sementara kemaksiatan dikatakan sebagai seni, kekufuran menjadi sebuah
kebebasan, dekadensi moral menjadi suatu kemajuan dan memanfaatkan warisan
salaf dianggap keterbelakangan dalam berfikir. Sampai pada hal-hal yang tidak kita
ketahui, atau dengan kata lain yang singkat, yang ma'ruf telah menjadi munkar,
dan yang munkar telah menjadi ma'ruf dalam pandangan mereka.
Lebih buruk dari itu semua ketika suara kebenaran itu mulai meredup
(hilang), sementara teriakan kebathilan semakin menggelora memenuhi seluruh
penjuru dunia untuk mengajak pada kerusakan, memerintahkan untuk berbuat
kemungkaran dan melarang dari yang ma'ruf. Itulah teriakan orang-orang yang
ciri-cirinya telah disebutkan di dalam hadits Rasulullah SAU: bahwa mereka adalah
"Du'aat 'ala abwaabi jahannam, man ajaa-bahum ilahaa qadzafuuhu
jahannam," barangsiapa menyambut ajakan mereka, maka mereka akan
melemparkannya ke neraka jahannam.
Inilah keadaan orang-orang munafik yang Al Qur'an telah mengatakan bahwa
mereka adalah penghuni dasar yang terbawah dari neraka. Itulah masyarakat yang
ciri-cirinya telah disebutkan dalam ayat berikut ini:
"Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang munkar dan melarang
berbuat yang ma'uf dan mereka menggenggam tangannya. Mereka telah lupa kepada
Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesunggluhnya orang-orang munafik itulah
orang-orang yang fasik." (At-Taubah: 67)
Sifat-sifat itu sangat bertentangan dengan sifat-sifat masyarakat Islam,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma'ruf; mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 71)
Yang patut kita perhatikan di sini bahwa mereka (orang-orang munafik) itu
masyarakat yang kepalanya terbalik, yang memerintahkan untuk berbuat kemunkaran
dan mencegah dari yang ma'ruf.
Maka apabila suara haq itu telah menggema untuk mengajak kepada Allah,
memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang dari kerusakan dan kezhaliman,
maka pembalasan yang mereka (para da'i) terima adalah pemberangusan secara
terang-terangan berupa kematian di tiang gantungan di siang hari atau
penangkapan secara rahasia kemudian dibunuh dengan senjata atau disiksa dengan
cemeti (cambuk) di tengah-tengah malam. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh Bani
Israil terhadap para Nabi-Nya. Mereka membunuhnya tanpa alasan yang benar,
sehingga sebagian mereka ada lagi yang membuat rencana buruk untuk membunuh dan
menyalib nabinya, sampai akhirnya Allah mengangkat dan menyelamatkannya. Mereka
benar-benar telah membunuh para nabi dan para da'i. sebagaimana dinyatakan oleh
firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang
menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan
menerima siksa yang pedih. Mereka itulah orang-orang yang lenyap (pahala)
amal-amalnya di dunia dan akherat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh
penolong." (Ali Imran: 21-22)
Sesungguhnya berbagai tahapan dalam kemerosotan dan kerusakan itu saling
terkait antara satu tahapan dengan tahapan yang lainnya. Hal-hal yang syubhat
menarik atau mengarahkan pada terjadinya dosa-dosa kecil, dan dosa-dosa kecil
itu menarik atau mengarahkan pada dosa-dosa besar, sedangkan dosa-dosa yang
besar itu mengarah pada kekufuran. Semoga Allah melindungi kita dari yang
demikian.
Di antara hadits-hadits yang paling menank, yang menjelaskan tentang arus
kemerosotan, kejahatan dan kemaksiatan adalah hadits-hadits yang diriwayatkan
Abu Umamah, marfu':
"Bagaimana kamu, jika isteri-isterimu telah berbuat zina, dan
pemuda-pemudanya telah fasik, dan kamu telah meninggalkan jihad?" Sahabat
bertanya, "Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah?" Nabi menjawab,
"Ya, demi Dzat yang diriku ada ditangan-Nya' lebih dari itu akan
terjadi." Sahabat bertanya, "Apa yang lebih berat dari itu wahai
Rasulullah?" Nabi bersabda, "Bagaimana kamu, jika kamu tidak
melaksanakan amar ma'ruf dan nahi mungkar?" Mereka bertanya, "Apakah
itu akan terjadi wahai Rasulullah ?" Nabi bersabda, "Ya, demi Dzat
yang diriku berada di tangan-Nya, lebih dari itu akan terjadi!" Mereka
bertanya, "Apakah yang lebih dari itu wahai Rasul Allah?" Nabi
bersabda, "Bagaimana kamu jika kamu melihat yang ma'ruf menjadi munkar dan
yang munkar menjadi ma'ruf?" Mereka bertanya, "Apa kah itu akan terjadi wahai
Rasulullah?" Nabi menjawab, "Ya, demi Dzat yang diriku berada di
tangan-Nya, yang lebih dari itu akan terjadi !" Mereka bertanya, "Apa
yang lebih dari itu wahai Rasulullah?" Nabi bersabda, "Bagaimana
pendapatmu jika kamu memerintahkan yang mungkar dan melarang yang ma'ruf?"
Mereka bertanya, "Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah?" Nabi
menjawab, "Ya, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, lebih dari itu
akan terjadi !"Allah SWT bersabda, "Aku bersumpah demi Aku, akan Aku
buka untuk mereka fitnah, di mana orang yang sabar (penyantun) karena fitnah
itu menjadi kebingungan." (HR. Abid Dunya -Dha'if-)
Nampaknya kebanyakan
dari hal-hal yang diperingatkan oleh hadits ini sudah terjadi, sehingga yang
ma'ruf menjadi munkar, dan yang munkar menjadi ma'ruf, seakan-akan dakwah
kepada Islam dan syari'atnya itu suatu kesalahan atau dosa. Dan para da'i pun
telah dituduh sebagai fundamentalis, ekstrim, yang posisinya selalu tertuduh.
Tetapi para da'i
ilallah, orang-orang yang beramar ma'ruf nahi munkar dan para pelindung dan
pembangkit agama Allah, suara mereka masih tetap kuat bersama kebenaran (yang
dibawanya), meskipun suara kebatilan di kanan kirinya terus menggema.
Yang penting adalah
memperkuat pelaksanaan kewajiban yang besar ini dan menghidupkannya kembali,
serta menghidupkan aktifitas dakwah, yang dengannya akan sanggup melaksanakan
syiar ini dalam kehidupan yang nyata. Dan para da'i dalam hal ini memiliki
peran yang sangat penting dalam masyarakat Islam.
Jika sebagian manusia
dewasa ini berbicara tentang pentingnya membentuk opini umum dan pengaruhnya
dalam mengawasi dan memelihara prinsip-prinsip umat, akhlaq, moral dan
kepentingannya serta meluruskan apa-apa yang dianggap bengkok (tidak benar)
dari masalah-masalah kehidupannya, maka kewajiban beramar ma'ruf nahi munkar
adalah sarana terbaik yang menjamin tercapainya tujuan tersebut untuk membentuk
opini umum yang bersandar pada standar akhlak Islami, tata susila yang paling
benar, paling adil, paling kekal dan paling kuat, karena standar itu diambil
dari Al Haq yang 'azli dan abadi, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Post a Comment