Asuransi Menurut Aturan Islam


 Asuransi Menurut Aturan Islam

Kalau kita telah mengetahui, bahwa Islam tidak dapat menerima asuransi model sekarang ini dengan segala aktivitasnya yang telah berlaku, maka ini bukan berarti Islam menentang gagasan asuransi itu ansich.
Samasekali tidak demikian! Yang ditentang oleh Islam ialah beberapa prinsip dan caranya. Adapun jika ada cara-cara lain yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sudah pasti Islam akan menyambutnya dengan baik.
Ringkasnya, bahwa aturan Islam telah menjamin ummatnya dan orang-orang yang berada di bawah naungan pemerintahan Islam dengan cara-cara tersendiri, dalam seluruh peraturan dan pengarahannya. Ada kalanya jaminannya itu melalui sikap solider dari anggota masyarakat itu sendiri, dan ada kalanya melalui pemerintah dan lembaga baitul-maal.
Baitul-maal adalah asuransi secara umum untuk semua orang yang bernaung di bawah pemerintahan Islam.
Dalam syariat Islam ada suatu jaminan dan cara-cara menyalurkannya kepada seseorang yang sedang mendapat musibah,
Di bab yang terdahulu telah kami sebutkan, bahwa di antara hal-hal yang membolehkan seseorang meminta, yaitu apabila dia ditimpa kelaparan. Dia boleh minta kepada pemerintah (waliyul amri), dan waliyul amri akan memberi ganti semua yang dideritanya itu atau yang kiranya cukup untuk meringankan sebagiannya.
Kita dapati juga suatu jaminan untuk ahli waris karena kematian keluarga, yaitu seperti yang disabdakan Nabi s.a.w.:
"Saya lebih berhak mengurus setiap muslim daripada dirinya sendiri; barangsiapa meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan hutang atau kebangkrutan, maka untuk saya dan menjadi tanggungan saya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Di antara jaminan Islam terhadap ummatnya, ialah apa yang disebut bagian khusus untuk orang-orang yang berhutang (gharimin) dalam pembagian zakat.
Sementara ahli tafsir dari ulama-ulama salaf ada yang menafsirkan kata gharimin, yaitu: orang yang rumahnya terbakar, atau hartanya hanyut oleh banjir dan sebagainya.
Sementara ahli fiqih juga ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan demikian dia boleh diberi bantuan dari uang zakat, sebanyak harta yang dideritanya itu, sekalipun beribu-ribu banyaknya.

Memanfaatkan Tanah Pertanian

Apabila seorang muslim memiliki tanah pertanian, maka dia harus memanfaatkan tanah tersebut dengan bercocoktanam.
Islam samasekali tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal tersebut berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah s.a.w. melarang keras disia-siakannya harta.
"Rasulullah s.a.w. melarang membuang-buang harta."
Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya dengan berbagai cara.

Cara Pemanfaatannya

Cara pertama. Diurus sendiri dengan ditanaminya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam ini adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari Allah karena tanamannya itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang ternak. Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus sendiri tanah-tanah mereka itu, sebagaimana telah diterangkan terdahulu.
Cara kedua. Kalau dia tidak mungkin dapat mengurus sendiri, maka dipinjamkannya tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat, bibit ataupun binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak mengambil hasilnya. Cara semacam ini sangat dituntut oleh Islam.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat dikatakan demikian:
"Dari Jabir ia berkata: Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan sebagai dari hasil (mukhabarah), kemudian kami mendapat hasil tanah itu begini dan begini. Maka sabda Nabi: barangsiapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah." (Riwayat Ahmad dan Muslim)
Berdasar dhahir hadis ini sementara ulama salaf berpendapat, bahwa pemanfaatan tanah hanya dapat ditempuh dengan salah satu dua cara:
1.      Mungkin ditanaminya sendiri, atau
2.      Mungkin diserahkan kepada orang lain untuk ditanami tanpa imbalan suatu apapun. Yakni pengawasan terhadap tanah dilakukan oleh pemiliknya sedang hasilnya diambil oleh yang mengerjakannya.
Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya sendiri sampai kepada al-Auza'i, bahwa ia berkata: "Atha', Makhul, Mujahid dan Hasan Basri semuanya berpendapat, bahwa tanah yang tidak ditanami, tidak boleh disewakan dengan dirham maupun dinar dan tidak juga dipekerjakan, melainkan harus ditanami oleh si pemiliknya sendiri atau diberikannya kepada orang lain."
Diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Abbas berpendapat, bahwa perintah memberi tanah dalam hadis-hadis di atas, bukan wajib tetapi hanya sunnat belaka.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa 'Amr bin Dinar berkata: aku berkata kepada Thawus, salah seorang rekan Ibnu Abbas: kalau kamu tinggalkan mukhabarah, maka mereka akan beranggapan, bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: orang yang lebih tahu, yakni Ibnu Abbas, pernah memberitahukan kepadaku, bahwa Rasulullah s.a.w. tidak melarangnya, cuma beliau bersabda demikian:
"Sungguh salah seorang di antara kamu akan memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih baik daripada dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan." (Riwayat Bukhari)
Cara ketiga, ialah cara muzara'ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut persetujuan bersama.
Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya berupa bibit, alat atau hewan.
Cara seperti ini disebut: muzara'ah, musagaat atau mukhabarah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w. menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya untuk pemilik tanah.
Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di antaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah.
Hadis ini dijadikan alasan oleh orang yang membolehkan muzara'ah; dan mereka berkata: "Muzara'ah adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah yang tidak mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi s.a.w. sepeninggal beliau."
Cara seperti ini tidak boleh dianggap mansukh.19 Sebab terjadinya mansukh harus semasa hidup Rasulullah s.a.w. Adapun sesuatu yang dikerjakan oleh Nabi sampai beliau meninggal dunia, dan kemudian disepakati oleh para khalifahnya dan mereka pun mengerjakannya, dan tidak seorangpun yang menentangnya, maka bagaimana mungkin hal semacam ini dianggap mansukh? Kalau hal itu dimansukh semasa hidup Nabi, tetapi mengapa beliau sendiri mengerjakannya sesudah dimansukhnya hukum tersebut? Mengapa mansukhnya itu justru dirahasiakan sehingga tidak seorang khalifah pun yang menyampaikan hal itu, padahal kisah Khaibar ini sangat masyhur di kalangan mereka? Siapakah perawi mansukh ini, sehingga mereka tidak menyebut dan dia sendiri tidak menyampaikan hal itu kepada para sahabat yang lain?
19.Suatu hukum yang dihapus dan diganti hukum baru. (Pent)

Tidak ada komentar