BEBERAPA TUDUHAN YANG TERTOLAK
BEBERAPA TUDUHAN YANG TERTOLAK
Di sini ada beberapa
tuduhan kepada Islam yang disampaikan oleh sebagian orang dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
Apabila Islam itu telah
memperhitungkan kemanusiaan kaum wanita itu sama dengan kemanusiaan kaum pria,
lantas mengapa Islam masih melebihkan kaum laki-laki atas wanita di dalam
beberapa masalah, seperti dalam persaksian, hukum waris, kepemimpinan rumah
tangga dan sebagian hukum-hukum cabang yang lainnya?
Sebenarnya perbedaan
kaum laki-laki dengan kaum wanita di dalam hukum tersebut bukan karena jenis
laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat dengan-Nya daripada
jenis wanita. Karena sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang paling taqwa, baik laki-laki atau perempuan. Akan tetapi perbedaan
itu disebabkan karena pembagian secara fungsional sesuai dengan fithrah yang
sehat bagi masing-masing dari laki-laki dan wanita, sebagaimana yang akan kita
jelaskan sebagai berikut.
SYAHADAH (PERSAKSIAN)
Di dalam Al Qur'an, ayat
tentang hutang piutang, yang Allah SWT perintahkan kepada kita agar mencatat
hutang untuk lebih berhati-hati, Allah SWT berfirman:
"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dan orang laki-laki di
antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil ...." (Al
Baqarah: 283)
Dengan demikian, maka Al Qur'an telah menjadikan persaksian laki-laki sama
dengan persaksian dua perempuan, sebagaimana juga ketetapan para fuqaha' bahwa
persaksian kaum wanita itu tidak diterima di dalam had dan qishash.
Alhamdulillah, perbedaan ini bukanlah karena mengurangi bobot kemanusiaan
wanita atau mengurangi kemuliaannya, akan tetapi disebabkan karena fithrah dan
karakternya yang mengharuskan demikian. Biasanya wanita itu tidak bisa
disibukkan dengan urusan harta dan muamalah pemerintahan. Akan tetapi mereka
lebih cenderung dan cocok dengan urusan kewanitaan seperti urusan rumah tangga
dan mendidik anak-anak sebagai seorang ibu dan istri bagi suaminya. Atau
disibukkan dengan aktifitas mempersiapkan diri untuk menikah jika ia seorang
yang masih gadis. Karena itu maka kemampuan penalaran mereka terbatas dalam
memikirkan urusan-urusan muamalah.
Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang melakukan
hutang piutang apabila ingin meyakinkan perjanjiannya, agar disaksikan oleh dua
orang lelaki atau satu lelaki dengan dua wanita. Al Qur'an mengingatkan alasan
dari ketetapan itu, yaitu apabila yang satu lupa, maka yang lain mengingatkan.
Sebagaimana juga pendapat mayoritas fuqaha' yang tidak menganggap sah
kesaksian wanita di dalam masalah hudud dan qishash, hal itu untuk rnenjauhkan
wanita dari interaksi dengan kekerasan dan kriminalitas serta permusuhan
terhadap jiwa, harta dan kehormatan. Selain itu jika wanita ikut menyaksikan
kriminalitas seringkali memejamkan kedua matanya dan lari sambil menjerit
sehingga sulit untuk menjelaskan kriminalitas tersebut secara detail dan nyata.
Hal ini disebabkan perasaannya tidak kuat untuk menahan dalam kondisi seperti
itu.
Para fuqaha' berpendapat, bahwa boleh kita menjadikan wanita sebagai saksi
-walaupun seorang diri- dalam hal-hal yang khusus menyangkut dunia kewanitaan,
seperti menyusui, keperawanan, janda, haidh, dan kelahiran anak, atau yang
lain-lainnya yang khusus diketahui oleh kaum wanita.
Betapapun hukum ini belum menjadi kesepakatan para ulama, Madzhab 'Atha' dari
kalangan Tabi'in telah mengambil kesaksian wanita.
Sebagian ulama fiqih berpendapat bolehnya kita mengambil kesaksian wanita
di dalam hukum pidana di masyarakat yang di sana tidak ada kaum pria. Seperti
di kolam renang khusus wanita, rias penganten (salon), dan lainnya yang mana
biasanya dikhususkan untuk kaum wanita saja. Misalnya jika ada salah seorang
wanita yang menyakiti wanita lainnya, atau bahkan pembunuhan, kemudian hal itu
disaksikan oleh beberapa saksi dari kaum wanita itu sendiri, maka apakah
persaksian mereka itu ditiadakan sekedar karena mereka kaum wanita? Ataukah
harus disaksikan oleh kaum pria, sementara kasus itu berada di suatu tempat
yang tidak dihadiri oleh kaum pria? Maka yang benar adalah bahwa persaksian
mereka kaum wanita itu dianggap sah, selama mereka itu adil, teliti dan faham.
HUKUM WARIS
Adapun perbedaan di dalam masalah waris antara laki-laki dan wanita, maka
yang jelas ini akibat dari perbedaan antara keduanya dalam beban dan kewajiban
yang berkaitan dengan harta, yang secara syar'i diwajibkan atas masing-masing
dari keduanya.
Kalau seandainya ada seorang ayah meninggal, dan ia meninggalkan satu anak
laki-laki dan satu anak perempuan, maka ketika anak laki-laki itu ingin menikah
ia harus memberi mahar (maskawin). Ketika sudah menikah, ia wajib menanggung
nafkah isterinya. Tetapi jika anak perempuan itu yang menikah, maka ia berhak
mengambil maskawin. Kemudian setelah menikah, suaminya yang memberikan nafkah
kepadanya dan ia tidak dibebani sepeser pun, meski dia tergolong orang yang
kaya.
Jika seorang ayah meninggalkan untuk kedua anaknya seratus lima puIuh ribu
(150.000) umpamanya, maka anak lelakinya mengambil dari harta itu seratus ribu
(100.000), sedangkan anak perempuannya mengambil lima puluh ribu (50.000). Tetapi
ketika anak lelakinya itu ingin menikah, ia harus memberi maskawin dan
hadiah-hadiah lainnya yang kita perkirakan kurang lebih dua puIuh lima ribu
(25.000), sehingga uangnya tinggal tujuh puluh lima ribu (75.000). Sementara
jika saudara perempuannya menikah ia menerima maskawin dan hadiah yang kita
perkirakan seperti yang diberikan oleh saudara laki-lakinya kepada istrinya. Di
sini uangnya bertambah menjadi tujuh puluh lima ribu (75.000), sehingga menjadi
sama.
DlYAT
Adapun diyat atau denda, maka tidak ada hadits yang disepakati shahihnya,
tidak pula ada ijma' yang meyakinkan. Bahkan Ibnu 'Aliyah dan Al Asham (dari
fuqaha' salaf) berpendapat disamakan antara laki-laki dan perempuan di dalam
masalah denda. Pendapat
inilah yang sesuai dengan umumnya nash-nash Al Qur'an dan hadits-hadits Nabi
yang shahih. Sehingga kalau sekarang ada yang berpendapat seperti ini maka
tidak berdosa baginya, karena fatwa itu dapat berubah dengan perubahan zaman
dan tempat. Apalagi kalau itu sejalan dengan nash-nash juz'iyah dan tujuan
secara umum.
KEPEMIMPINAN RUMAH TANGGA
Adapun masalah
kepemimpinan rumah tangga, maka Allah menjelaskan di dalam Al Qur'an karena dua
alasan sebagai berikut:
1. Telah dilebihkan
oleh Allah untuk kaum laki-laki berupa mengetahui akibat-akibat dan melihat
masalah dengan akal lebih banyak daripada wanita. Sedang wanita dipersiapkan
oleh Allah memiliki perasaan yang sensitif untuk mendukung tugas keibuannya.
2. Sesungguhnya
laki-laki telah dibebani untuk memberikan nafkah guna membangun rumah
tangganya. Maka kalau rumah tangga itu sampai roboh (berantakan),
akan berantakan pula dari dasarnya. Karena itu seorang lelaki berfikir seribu
kali sebelum bercerai.
TUGAS-TUGAS HUKUM DAN POLITIK
Masalah jabatan peradilan (hukum) dan politik, Abu Hanifah memperbolehkan
bagi kaum wanita untuk menempati jabatan hukum sepanjang diperbolehkan
memberikan kesaksian di situ, maksudnya selain masalah-masalah kriminalitas. Sedang
Imam Ath-Thabari dan Ibnu Hazm juga memperbolehkan wanita menempati jabatan
dalam masalah harta dan lembaga yang menangani masalah kriminalitas dan
lainnya.
Diperbolehkannya hal itu bukan berarti wajib dan harus, tetapi dilihatdari
sisi kemaslahatan bagi wanita itu seridin dan kemaslahatan bagi usrah
(keluarga), kemaslahatan masyarakat, serta kemaslahatan Islam. Karena boleh
jadi hal itu dapat berakibat dipilihnya sebagian wanita tertentu pada usia
tertentu, untuk memutuskan masalah-masalah tertentu dan pada kondisi-kondisi
tertentu.
Adapun dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, karena
potensi wanita biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang
mengandung resiko besar. Kita katakan tertentu, karena terkadang ada seorang
wanita yang lebih mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba' yang telah
diceritakan olah Al Qur'an kepada kita. Tetapi hukum tidak bisa berdasarkan
asas yang langka, melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena
itu ulama mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan
hukum."
Adapun wanita sebagai direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majlis
perwakilan rakyat atau yang lainnya, maka tidak mengapa selama memang
diperlukan. Masalah ini telah saya bahas secara rinci berikut dalil-dalilnya di
dalam kitab saya "Fataawa Mu'aashirah" juz dua.
Post a Comment