Dalil Disyariatkannya Keragaman Metode & Cara Dakwah Pada Masa Nabi & Rasul

Dalil Disyariatkannya Keragaman Metode & Cara Dakwah Pada Masa Nabi & Rasul

E-Mail This Post/Page Kirim ke teman | Print This Post/Page Print AL-ADILLATU ‘ALAA MASYRU’IYYATI AT-TANAWWU’IL WASAA’ILI WAL ASAALIBI AD-DA’AWIYATI FII ‘ASHR AL-ANBIYAA’I WAL MURSALIIN
Ikhwah wa akhawat fiddiin,
Berbagai uslub & iqtiraahaat (cara & metode) dakwah adalah merupakan sebuah ijtihad AL-IKHWAN dalam meletakkan prioritas dalam berdakwah berdasarkan kedekatan & kemudahan dalam perbaikan dan pembangunannya, oleh karena hal ini merupakan makaanul-ijtihaad (tempat ijtihad) maka ia sama sekali bukan hal yang bersifat qath’iy (tidak bisa berubah).
Mungkin ada yang akan mengatakan bahwa mereka akan atau ingin menggunakan metode dakwah & cara yang lain, maka kepada mereka kami katakan: Min fadhlika wa ihsaanika (Silakan).. Karena tujuan AL-IKHWAN membuat tahapan-tahapan dalam dakwah adalah hanya untuk menentukan skala prioritas & penetapan target-target yang terukur & terencana dengan baik. Bisa jadi ada yang menggunakan cara berbeda, maka itupun ijtihaad pula, yang penting tidak didasari semangat hizbiyyah (merasa hanya kelompoknya saja yang sesuai sunnah) atau ta’ashhubiyyah (fanatik terhadap kelompok/pemikiran sendiri)..
Jika dikatakan mengapa AL-IKHWAN berani mengatakan bahwa hal ini termasuk makaanul-ijtihaad? Dan apakah tidak cukup kita meniru salaful-ummah saja? Ana katakan jika kita melihat sirah para anbiyaa’ wal mursaliin -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada mereka semua- sebagai sebaik-baik salaful-ummah, maka antum akan dapatkan berbagai ijtihaad mereka dalam masalah ini & tidak hanya menggunakan 1 cara saja, yang kesemua ijtihaad mereka itu tercantum dalam KitabuLLAAH, bilaa naskh fiihaa (tanpa di-nasakh oleh ALLAAH), lihatlah ayat-ayat sebagai berikut:
1. MAWQIFU NUH: DAKWAH SECARA RAHASIA DAN TERANG-TERANGAN
ALLAAH - Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi - berfirman tentang Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagai berikut:
“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (QS Nuh, 71/8-9)
Dalam ayat di atas digambarkan bagaimana berbagai metode dakwah telah ditempuh oleh Nabi Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- dalam mendakwahi kaum & ummatnya. Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- adalah 1 di antara ‘ulul-’azmi minar rusul (Rasul-rasul yang memiliki ‘azzam yang kuat yang merupakan Rasul-rasil yang paling tinggi derajatnya disisi ALLAH SWT [1]), dimana beliau ‘alaihish shalatu was salam telah melakukan berbagai metode dalam dakwahnya baik sirriyyah maupun ‘alaniyyah.
Berkata Imam at-Thabari [2] bahwa makna ASRARTU LAHUM ISRARA adalah: Hanya antara Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- dengan kaumnya secara rahasia. Berkata Imam Al-Qurthubi [3] bahwa maknanya adalah Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendatangi mereka satu persatu ke rumah-rumah mereka. Sementara Imam An-Nasafi [4] menyebutkan bagaimana Nuh -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mengoptimalkan semua potensi dan semua cara dalam berdakwah, pertama beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendakwahi kaumnya secara rahasia siang & malam, lalu beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendakwahi mereka secara terang-terangan, kemudian beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- menggabungkan cara rahasia dengan cara terang-terangan, demikianlah cara ber-amar ma’ruf nahyul munkar, hendaklah dimulai dengan rahasia & lembut lalu jika tidak berhasil maka barulah menggunakan cara terang-terangan & tegas.
Imam al-Maqrizi dalam kitabnya [5] menyitir pendapat ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab & Ibnu Ishaq tentang waktu antara awal kenabian (turunnya QS Al-’Alaq di gua Hira’) sampai turunnya ayat FASHDA’ BIMAA TU’MARU WA A’RIDH ‘ANIL MUSYRIKIIN [6] sampai pada WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [7] dan ayat QUL INNII ANAN NADZIIRUL MUBIIN [8] adalah 3 tahun, Al-Baladziri [9] menyebutkan 4 tahun. Ada pula beberapa pendapat yang menganggap masa terputusnya wahyu tersebut sekitar 40 hari, 15 hari atau bahkan 3 hari [10].
Dalam sirah [11] disebutkan saat Abubakar -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi beliau- memulai dakwah maka ia mulai mengajak kepada ALLAH & Islam, yaitu orang yang diyakinkannya bisa merahasiakan & mendengarkan dakwah, melalui dakwahnya maka masuk Islamlah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, AbduRRAHMAN bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash & Thalhah bin ‘UbaidiLLAH -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi mereka-. Dalam riwayat masuk Islamnya Ammar -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi beliau- di antaranya disebutkan [12]: “… aku melihat RasuluLLAH -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sedang bersembunyi karena dimusuhi kaumnya…” Bukti lain atas masalah ini ialah perkataan Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya atas Shahih Bukhari [13], beliau menyebutkan bahwa timbulnya perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu masuk Islam disebabkan masing-masing sahabat -Semoga ALLAH yang Maha Suci lagi Maha Tinggi meridhoi mereka- tidak tahu siapa saja yang sudah Islam. Bukti lain dakwah Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- secara rahasia pada periode awal tersebut adalah kisah masuk islamnya segolongan Jin yang diriwayatkan dalam hadits shahih [14] yaitu saat Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mengumpulkan para sahabatnya di luar Makkah.
Dalam sunnah Nabi muhammad -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- terlihat bahwa fase dakwah sirriyyah berakhir setelah Nabi -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- mendapatkan jaminan keamanan dari ALLAH -Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi- [15]. Demikianlah yang harus diikuti, yaitu pertimbangan sirriyyah & ‘alaniyyah dalam berdakwah adalah keamanan & perkiraan sampai serta diterimanya dakwah itu sendiri, setelah dakwah aman dilakukan secara jahriyyah, maka wajib bagi para da’i menyampaikannya secara jahriyyah, dan itulah yang dilakukan oleh para da’i AL-IKHWAN sesuai dengan as-sunnah yang shahih sampai saat ini, waliLLAHil hamdu wal minah.
Jika dikatakan bahwa peristiwa sirriyyah itu telah dihapuskan (di-nasakh) dengan ayat WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [16] dan ayat YAA AYYUHAR RASUL BALLIGH MAA UNZILA ILAYKA MIN RABBIKA [17], maka saya katakan bahwa ayat ini sama sekali tidak menasakh dakwah sirriyyah, selain karena dakwah sirriyyah merupakan cara dakwah yang diakui dalam Al-Qur’an & tidak pernah dihapuskan hukumnya, selain itu nabi SAW-pun pernah melakukan dakwah sirriyyah ini sekalipun setelah ayat-ayat di atas diturunkan. Seperti saat peristiwa bai’ah Aqabah pertama [18], pada saat janji setia yang bukan janji untuk berperang ini beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula saat peristiwa ‘Aqabah yang kedua [19], yang disebut sebagai janji setia untuk peperangan [20] juga dilakukan di malam hari dan secara sembunyi-sembunyi [21], bahkan sesama suku Aus & Khazraj yang musyrik sama sekali tidak saling tahu [22]. Saat peristiwa hijrah sebagian besar sahabat ber-hijrah secara sembunyi-sembunyi [23], bahkan beliau -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi [24] walaupun sebagian sahabat ra ada pula yang melakukannya secara terang-terangan [25]. Demikianlah baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan adalah bagian dari metode dakwah, keduanya dapat dilakukan sesuai dengan maslahat dakwah. SELESAI.
2. MAWQIFU YUSUF: BERKOALISI DENGAN PEMERINTAH SEKULAR
Sementara kita dapati ijtihad yang berbeda dari Nabi Yusuf -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagaimana dituturkan dalam ayat yang mulia berikut ini:
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku sebagai menteri perbendaharaan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.” (QS Yusuf, 12:55)
Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya atas ayat tersebut (VII/241). Berkata Ibnu Zaid tentang makna kalimat QAALAJ’ALNII…: bahwa Fir’aun Mesir tersebut memiliki banyak sekali pembantu-pembantu selain untuk urusan menteri perbendaharaan (pertanian), maka semua pembesar Mesir setuju pada pengangkatan Yusuf di posisi tersebut & mereka semua tunduk pada putusannya. Berkata Syaibah Adh-Dhabiy: Maksudnya mengurus urusan pangan. Adapun makna INNII HAFIIZHUN ‘ALIIM: Hafiizh (mampu amanah dalam mengurus) tugas tersebut & ‘aliim (tahu ilmunya) atas pekerjaan tersebut.
Berkata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (II/633). Dalam ayat ini menunjukkan dibolehkan bagi seseorang memuji dirinya sendiri (tentang kelebihan & potensinya), jika orang lain tidak tahu & hal tersebut dibutuhkan.
Imam Al-Baghawiy dalam tafsirnya (I/251) menyitir hadits Nabi SAW dari Ibnu Abbas ra: “Semoga ALLAH SWT merahmati akhi Yusuf as, seandainya ia menyatakan ANGKATLAH AKU SEBAGAI MENTERI PERBENDAHARAAN, saat pertama bertemu maka ia akan diangkat. Tetapi ia sengaja mengakhirkannya selama setahun, sehingga ia bisa bersama Raja Mesir tersebut di rumahnya.”
Berkata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya (IX/181): Di dalam ayat ini ada beberapa hukum fiqh sebagai berikut:
PERTAMA, beliau (Yusuf a.s.) menjelaskan (memperkenalkan) siapa dirinya, yaitu orang yang mampu mengurus amanah tersebut & tahu ilmunya.
KEDUA, berkata sebagian ulama (di antaranya Imam Al-Mawardi) bahwa para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini, berkata sebagiannya bahwa dibolehkan bagi seorang yang memiliki keutamaan untuk bekerja pada seorang yang pendosa (fajir) atau penguasa yang kafir dengan syarat ia mengetahui hal-hal yang salah sehingga ia bisa memperbaikinya semampunya. Adapun jika yang dilakukannya tersebut untuk menuruti syahwat sang pendosa, maka hal yang demikian tidak diperkenankan. Dan berkata sebagian ulama lainnya, bahwa hukum ini hanya khusus untuk Yusuf a.s saja, & tidak berlaku bagi selainnya. Tetapi menurutku (Imam Al-Qurthubi) pendapat yang pertama lebih kuat, waLLAHu a’lam.
KETIGA, dalam ayat ini juga menunjukkan hukum dibolehkannya seseorang untuk menyampaikan keahliannya dalam sebuah pekerjaan. Ada yang menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Muslim dari AbduRRAHMAN bin Samrah ra, dimana telah bersabda nabi SAW: “Wahai AbduRRAHMAN jangan engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi karena engkau memintanya maka ia dibebankan seluruhnya padamu, sedangkan jika engkau diberi tanpa engkau memintanya maka engkau akan ditolong (ALLAH SWT).” Maka jawabanku (Imam Al-Qurthubi) atas hal ini 2 hal sebagai berikut: 1) ketika Yusuf a.s. meminta kekuasaan tersebut ia mengetahui tidak ada seorangpun yang lebih adil & lebih baik untuk menyantuni fakir-miskin untuk tugas tersebut, sehingga menjadi fadhu ‘ain baginya & bagi siapapun selain Yusuf a.s untuk menyampaikan kemampuannya, & maju ke depan mengambil jabatan tersebut. Adapun jika ia melihat ada orang lain yang lebih adil dari dirinya & lebih mampu maka wajib baginya menyerahkan pada orang lain tersebut sebagaimana hadits Muslim di atas. 2) Bahwa Yusuf a.s tidak memuji dirinya sendiri, ia tidak mengatakan bahwa ia orang baik atau ia tampan, melainkan ia hanya menyampaikan informasi yang benar tentang kemampuannya & tidak menyembunyikannya. Sehingga berkata Nabi SAW memuji Yusuf a.s: “AL-KARIIM, IBNUL KARIIM, IBNUL KARIIM, IBNUL KARIIM YUUSUF BIN YA’QUUB BIN ISHAAQ BIN IBRAHIIM.” 3) Bahwa beliau menyampaikan tentang hal tersebut karena orang-orang belum tahu, sehingga beliau a.s. menganggap fardhu ‘ain atas dirinya untuk menjelaskan agar mereka mengetahuinya, 4) Bahwa hal ini menjadi hukum bolehnya seseorang untuk mensifati dirinya tentang kemampuan & kelebihannya, berkata Imam Al-Mawardi bahwa maksudnya bukan seluruh kelebihannya disampaikan, melainkan hanya yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang sedang/akan dihadapi tersebut.
3. MAWQIFU HARUN: MEMBIARKAN KEMUSYRIKAN KARENA PERTIMBANGAN MASHLAHAT YANG JELAS & PASTI YANG LEBIH BESAR
Lalu kita dapati pula ijtihad lain dari Nabi Harun -Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah pada beliau- sebagaimana dituturkan dalam ayat yang mulia berikut ini:
“Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu tarik janggutku dan jangan (pula rambut) kepalaku; Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu Telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”.” (QS Thaha, 20:94)
Berkata Imam At-Thabari [26] saat menafsirkan kalimat: “Sungguh aku takut kamu berkata… dst”; bahwa maknanya menurut sebagian ulama [27] adalah bahwa Harun kuatir sebagian kaumnya akan mengikutinya sementara sebagian yang lain akan menyelisihinya. Sementara menurut sebagian ulama yang lain [28] maknanya adalah Harun kuatir sebagian memerangi sebagian yang lain.
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Ibnu Katsir, IV/219; At-Thabari XI/302
[2] Tafsir At-Thabari, XII/248
[3] Tafsir Al-Qurthubi, XVIII/120
[4] Tafsir An-Nasafi, IV/282
[5] Imta’ul Asma’, I/15 (ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Syakir)
[6] QS Al-Hijr, 15/94
[7] QS Asy-Syu’araa’, 26/214
[8] QS Al-Hijr, 15/89
[9] Ansab al-Asyraf, I/116
[10] Ini juga disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Ummu Jamil bin Harb tentang turunnya QS Adh-Dhuha.
[11] Sirah Ibnu Hisyam, I/262-269.
[12] Shahih Muslim, I/596
[13] Fathul Bari’, VII/84
[14] Shahih Muslim bis Syarh Nawawi, IV/168-170
[15] QS Al-Hijr, 15/95
[16] QS Asy-Syu’araa’, 26/214
[17] QS Al-Ma’idah, 5/67
[18] Sirah Ibnu Hisyam, II/41-42, lih. Juga dalam Fathul Bari’ I/66 & Shahih Muslim III/1333
[19] Ibid, I/438
[20] Ibid, II/63; lih. Juga Musnad Ahmad V/316
[21] Ibid, I/439-443, 447-448; lih. Juga Fathul Bari’ VII/221; Musnad Ahmad III/460
[22] Ibid.
[23] Ibid, I/468; juga Fathul Bari’ VII/260-261; Shahih Muslim II/632
[24] Fathul Bari’ , VII/226, 231-232, 389; Al-Bidayah wan Nihayah, III/179; Syarhul Mawahib liz Zarqani, I/323; Musnad Ahmad, I/248; lih. Juga tafsir QS Al-Anfal, 8/30; QS At-Taubah, 9/40.
[25] Fathul Bari’, VII/260
[26] Tafsir At-Thabari, XVIII/360
[27] Telah menceritakan Yunus, telah menceritakan Ibnu Wahhab dari Ibnu Zaid.
[28] Telah menceritakan Al-Qasim, telah menceritakan Al-Husein, telah menceritakan Hajjaj, dari Ibnu Juraij.

Tidak ada komentar