HARUS ADA IJTIHAD BARU YANG TEPAT
HARUS ADA IJTIHAD BARU YANG TEPAT
Sesungguhnya hukum
Islam yang dicita-citakan adalah tegak berdasarkan ijtihad saat ini yang benar,
baik itu ijtihad yang bersifat menyeleksi atau bersifat baru sama sekali. Saya
telah berbicara tentang standar ijtihad ini dalam bidang yang lain 15).
Tetapi di sini saya
perlu mengingatkan dua hal atau dua kelompok manusia, yakni ada di antara
mereka yang ingin memperlakukan Islam agar mengikuti zaman dan menjadikan Islam
itu seperti "adonan roti" yang lunak yang siap untuk dibentuk menjadi
apa saja dan mereka tidak mau memakai dasar Al Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qias.
Seperti mereka yang saat ini berupaya menghalalkan bunga bank padahal seluruh
lembaga dan Muktamar llmiyah Islamiyah telah mengharamkan bunga itu.
Ada juga kelompok lain yang menginginkan Islam itu beku
seperti batu, ini dilakukan oleh orang-orang sebelum kita karena sesuai dengan
zaman mereka, tetapi tidak sesuai dengan zaman kita. Mereka itu sendiri ada dua
macam:
Pertama, Orang-orang
yang taklid dan fanatik terhadap madzhabnya, mereka tidak ingin keluar sehelai
rambut pun, terutama dari kalangan mutaakhkhiriin.
Kedua, Orang-orang yang
tidak terikat oleh madzhab, yang saya istilahkan sebagai "Zhahirriyah
model baru."
Mereka semua itulah
yang mempublikasikan "pedang terorisme" kepada setiap ulama yang
mempunyai pendapat baru atau bertentangan dengan orang sebelumnya, meskipun
dari kalangan ulama besar dan guru besar yang telah menghabiskan usianya
berenang dan mengarungi babtera ilmu keislaman dan memiliki karya yang terkenal
di seluruh penjuru dunia.
Saya sebutkan bahwa
seorang ulama faqih yang mulia seperti Syaikh Imam Muhammad Abu Zahrah
rahimahullah pernah berada dalam salah satu acara seminar beliau mengumumkan
tentang pandangan fiqih yang baru baginya. Beliau mengatakan,
"Sesungguhnya aku menyimpan pendapatku ini sejak dua puluh tahun atau
lebih, sekarang saya telah terlepas dari tanggungan saya."
Bukan sesuatu yang
penting apakah pendapat itu benar atau salah, tetapi yang penting di sini dan
yang benar-benar menyakitkan hati beliau adalah seorang ulama besar yang
menyembunyikan pendapatnya dan merahasiakan ijtihadnya selama dua puluh tahun
atau lebih karena tidak mendapat kesempatan atau keberanian untuk menulis
dengan tulisan dan menyampaikan secara lesan, karena takut diserang oleh
orang-orang keras yang memiliki pisau yang tajam dan anak panah yang melukai.
Mereka menyalahkan dengan secepat kilat pada setiap pendapat yang berbeda
dengan pendapat mereka, dengan demikian matilah berbagai pendapat itu dari
pemiliknya dan tidak ada jalan keluar lagi untuk mengutarakan.
IJTIHAD BUKAN ASAL TAJDID, BUKAN PULA
TABDID
<< Kembali ke Daftar Isi >>
Sesungguhnya seruan
untuk berijtihad dewasa ini bukan sekedar asal-asalan dan membuka pintunya
kepada setiap orang yang mengaku dengan lantang padahal belum terpenuhi
syarat-syarat utama dalam ijtihad.
Sesungguhnya sebagian
da'i atau aktivis Tajdid (pembaharuan) dan 'Ath-Thawwur', (perkembangan) ada
yang menghendaki untuk mengembangkan Islam sesuai dengan keinginan dan hawa
nafsu mereka. Allah SWT berfirman:
"Andaikan
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. ." (Al
Mu'minun: 71)
Hawa nafsu mereka itu
dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka peroleh dari pengetahuan Barat dengan
pemahaman yang dangkal atau sudah dikaburkan dari orisinalitas Islam.
Mereka tidak mampu
memisahkan antara sisi keislaman yang memiliki sifat konstan dan tetap
selamanya dalam hukum Islam dan ajarannya dengan sisi, fleksibel yang
berkembang dan yang berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tempat dan
kondisi.
Mereka mengkritik fiqih
dan menganggapnya sebagai sekedar sudut pandang yang menggambarkan pendapat
orang tertentu dalam lingkungan tertentu dan pada masa tertentu. Sehingga
apabila teriadi perbedaan masa, perbedaan lingkungan dan perbedaan orangnya
maka dibolehkan untuk membuat fiqih baru yang menggambarkan perubahan masa,
tempat dan orangnya.
Ini memang benar jika
dilihat dari rincian pendapat sebagaimana dikatakan oleh para fuqaha' dalam
berbagai ijtihad, tetapi tidak benar jika dilihat dari fiqih secara keseluruhan
sebagai khasanah kekayaan hukum yang besar yang telah dibangun oleh orang-orang
yang berakal cerdas dimulai dari para sahabat, kemudian generasi setelahnya
sepanjang masa dengan berpedoman pada Al Qur'an Al Karim dan Sunnah Muthaharah.
Saya tidak tahu dan
saya kira tidak ada orang yang tahu bahwa ada sebuah ummat yang membuang
warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat
undang-undang baru untuk hari ini dan esok, tanpa mau mengambil faedah dari
sejarah masa lalunya. Apatah lagi terhadap warisan fiqih yang memancar dari
sumber Rabani (dari Allah).
Jika kita serahkan
mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan fiqih dan fuqaha' maka kita akan
mendapatkan mereka itu melompat dengan lompatan lain, yang dengan itu mereka
ingin menolak Sunnah Nabawiyah yang berfungsi sebagai penjelas Al Qur'an baik
secara teori ataupun secara aplikatif, padahal Allah telah mewajibkan kepada
kita untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Sebagaimana
dalam firman-Nya:
"Katakanlah, "Taatilah Allah dan taatilah Rasul...." (An Nuur: 54)
Allah menjadikan taat kepada Rasul-Nya itu sebagai taat kepada-Nya:
"Barangsiapa taat kepada Rasul maka ia kepada Allah." (An-Nisa':80)
Tidak heran jika kita menemukan di antara mereka ada yang mengajak untuk
cukup dengan Al Qur'an dan menolak seluruh Sunnah atau hanya mengambil Sunnah
hadits mutawatir saja sementara meniadakan hadits-hadits ahad, padahal sebagian
besar hadits adalah hadits ahad. Atau ada yang mengajak untuk mengambil
hadits-hadits, fi'liyah saja, sementara menolak hadits-hadits qauliyah, padahal
perputaran Sunnah itu banyak berkisar pada hadits-hadits qauliyah.
Termasuk kebodohan mereka adalah bahwa dengan itu sebenarnya mereka telah
bertentangan dengan Al Qur'an itu sendiri dan keluar dari ijma' ummat serta
mengingkari sesuatu yang sudah menjadi kepastian dari agama.
Jika kita biarkan mereka dan kita terima kata-kata mereka yang mardud yaitu
tentang Sunnah, maka mereka akan segera melangkah dengan langkah yang lebih
berani dan lebih keji, yaitu berani untuk menolak Al Qur'an itu sendiri dan
juga menolak hukum-hukum Al Quran yang permanen dan pasti.
Tidak heran jika kita dapatkan di antara mereka ada yang menulis tanpa
mempunyai perasaan malu dengan maksud ingin menghilangkan ketentuan-ketentuan
Allah, baik berupa perintah atau larangan, menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Semua itu mereka lakukan dengan alasan mengikuti
perkembangan zaman dan atas nama "reaktualisasi" dengan memelihara
ruh Islam bukan bentuk zhahirnya.
Ada salah seorang di antara mereka yang memiliki kesempatan untuk menulis
di surat-surat kabar dan majalah-majalah dengan semaunya ia mengatakan dalam
tulisannya, "Sesungguhnya Al Qur'an itu tidak diturunkan untuk mengatur
era ruang angkasa, tetapi untuk mengatur masyarakat primintif jahiliyah." Ini
merupakan tuduhan kepada Allah yang Maha Agung akan dangkalnya ilmu-Nya, seakan
Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh makhluk-Nya setelah satu masa
ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa ayat tentang hukum potong tangan itu
diturunkan sekedar untuk menakut-nakuti orang yang mencuri onta orang Arab di
padang pasir jazirah Arab karena di atas unta itu terdapat benda-benda berharga
dan kehidupannya.
Seandainya orang yang menuduh seperti itu memiliki sedikit pengetahuan
tentang sejarah bangsa Arab pada masa kenabian pasti akan mengetahui bahwa
tidak ada pencurian terhadap unta mereka pada saat itu. Bahkan dibiarkan bebas
di daratan pun tidak ada yang mau mengambil. Padahal bersamanya ada terumpah
dan minumannya. Adapun kasus pencurian pada saat itu tidak ada kaitannya dengan
unta.
Kita mengajak untuk berijtihad dan bukan asal-asalan, untuk tajdid
(pembaharuan) dan bukan perusakan, untuk fiqih yang terjaga orisinalitasnya dan
bukan saling tuduh yang tanpa dasar.
Post a Comment