HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Di antara pilar kekuatan masyarakat Islam adalah tasyri' atau qanun (hukum dan perundang-undangan) yang bersumber pada syari'at (lslam) dan memutuskan perkara dengannya.
Syari'at adalah minhaj
(pedoman) yang telah dibuat oleh Allah SWT untuk mengatur kehidupan yang Islami
sesuai dengan Al Qur'an dan As-Sunnah. Sebuah masyarakat tidak bisa dikatakan
sebagai masyarakat yang Islami kecuali apabila menerapkan syari'at dan merujuk
kepadanya dalam seluruh aspek kehidupannya, baik yang bersifat ibadah ataupun
muamalah. Maka tidak masuk akal, bila seorang Muslim mengambil perintah Allah
untuk berpuasa yang berbunyi Kutiba 'alaikumush-shiyaam, sementara dia tidak
mengambil perintah Allah untuk melaksanakan hukum qishash sebagaimana
diperintahkan, Kutiba 'alaikumul qishash. Dan tidak logis pula jika ia menerima
ayat-ayat yang mewajibkan shalat. sementara itu menolak ayar-ayat haramnya
riba.
Tema ini akan kita
bahas dalam beberapa point sebagai berikut:
PENTlNGNYA TASYRI' RABBANI BAGI MASYARAKAT
Hukum merupakan salah satu kekuatan utama bagi masyarakat. Maka masyarakat
manapun selalu memerlukan hukum atau undang-undang yang mengatur hubungan
sesama mereka. Hukum memberikan sanksi kepada orang yang menyimpang dari
kaidah-kaidahnya, baik hukum tersebut berasal dari langit (wahyu) atau buatan
manusia. Karena hati nurani dan motivasi saja tidak cukup untuk makhluk secara
umum dalam memelihara keselamatan berjamaah, menjaga eksistensinya baik yang
bersifat materi atau moral dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk
menentukan dan mengatur perjalanan hidup dengan benar. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Demikian juga Allah SWT telah menurunkan kitab-Nya yang abadi untuk
menghukumi manusia, bukan sekedar untuk dibacakan kepada orang-orang yang sudah
mati dan bukan pula untuk hiasan dinding. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu..." (An-Nisa': 105)
Ayat-ayat Al Qur'an jelas sekali dalam mewajibkan kita untuk berhukum pada
kitab yang diturunkan Allah SWT. Allah berfirman:
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk
tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan syari'at (aturan) dan minhaj
(jalan yang terang). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuannya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu, dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kami terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan
hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnnya Allah
menghendaki dan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
mereka. Dan sesunggahnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al Maidah: 48-50)
Dalam ayat tersebut ada
beberapa catatan penting sebagai berikut:
Pertama, Ayat tersebut
datang setelah ayat-ayat yang berbicara tentang Ahli kitab yang dua, yaitu Taurat
dan injil, yang di dalamnya terdapat firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang
hendak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." (Al Maidah: 44)
"Dan barangsiapa
yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Dan barangsiapa
yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik." (Al Maidah: 47)
Maka tidak sepantasnya
bagi Allah SWT yang telah menghukumi kepada Ahlul Kitab dengan kekufuran,
kezhaliman dan kefasikan atau dengan ketiganya, apabila mereka tidak berhukum
dengan apa yang diturunkan Allah. Kemudian mema'afkan kaum Muslimin yang
melakukan kesalahan serupa. Karena sesungguhnya keadilan Allah itu tetap dan
berlaku sampai kapan pun atas semua makhluk-Nya. Telah datang hukum Al Qur'an
dengan kata-kata yang bersifat umum, maka tidak ada alasan bagi orang yang
tidak mau melaksanakan untuk mengatakan bahwa ayat-ayat di atas hanya untuk Ahlul
Kitab bukan untuk kaum Muslimin13).
Kedua, Sesungguhnya kita tidak diperkenankan meninggalkan satu bagian dari
kitab yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Allah memperingatkan hal itu
dengan ungkapan yang keras sebagai berikut:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa
mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik." (Al Maidah: 49)
Ketiga, Sesungguhnya manusia itu berada di antara dua hukum, tidak ada yang
ketiganya.Yakni hukum Allah atau hukum jahiliyah. Maka barangsiapa tidak rela
untuk menerima yang pertama, berarti ia terjerumus pada yang kedua, tidak
mungkin tidak dan begitu pun sebaliknya. Karena itu Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al Maidah: 50)
Sesungguhnya tasyri' (hukum Allah) itulah yang mentransfer taujiihaat
(arahan-arahan) agama dan akhlaq pada undang-undang yang berlaku dan memberikan
sanksi apabila ditinggalkan.
Hajat manusia akan tasyri' Rabbani yang itu demi menjamin keselamatan
manusia dari kekurangan dan jerat hawa nafsunya. Dia merupakan hajat utama
(primer) yang tidak bisa diwujudkan kecuali oleh tasyri' islami (hukum Islam). Karena
hukum inilah yang akan membawa kepada hidayah Allah yang terakhir kepada
manusia dan tidak ada di bumi ini tasyri' Rabbani selainnya. Seluruh sumber
dari langit telah terkena penyimpangan dan perubahan, sebagaimana telah
ditegaskan oleh para peneliti lama maupun modern terhadap Taurat dan Injil. Maka
sumber langit satu-satunya yang masih terpelihara tanpa ada yang menambahi atau
mengurangi dan tanpa adanya penyimpangan atau perubahan adalah Al Qur'an.
Sesungguhnya manusia memerlukan taujih Ilahi yang dapat menjauhkan mereka
dari kesesatan dalam berfikir, dan penyimpangan dalam berbuat, karena
kebanyakan yang membuat akal manusia tertutup adalah dosa-dosa besar dan
penyelewengan yang dahsyat. Sehingga kita dapatkan bangsa
"Asbarithah" dahulu pernah membunuh anak-anak mereka yang lemah
fisiknya, bangsa Arab di zaman jahiliyah juga pernah mengubur hidup-hidup
setiap bayi atau bahkan anak wanitanya, kemudian bangsa lndia, Rumawi, Persi
serta bangsa lainnya telah membagi manusia dalam kasta-kasta, yang membolehkan
bagi level (tingkatan) tertentu sesuatu yang tidak boleh bagi yang lainnya,
bahkan sebagian membunuh yang lain secara sengaja tanpa ada pembalasan.
Kita dapatkan pada zaman kita sekarang ini ada orang yang memperbolehkan
homoseks (perkawinan laki-laki dengan laki-laki) dan bahkan dikeluarkan
undang-undang resmi dengan disetujui oleh sebagian pendeta di Barat saat ini.
Betapapun dangkalnya akal manusia jika dibanding dengan ilmu Allah, kita
dapatkan bahwa sesungguhnya manusia telah diberi bekal untuk bisa membedakan
antara petunjuk dengan kesesatan, antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya,
antara yang hitam dengan yang putih. Namun demikian, seringkali mereka dikalahkan
oleh hawa nafsu dan syahwat mereka atau mengikuti kemauan orang-orang yang
mempunyai pengaruh dan kepentingan khusus dari mereka. Sehingga yang terjadi
kemudian adalah mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang seharusnya
halal bagi mereka.
Barangkali contoh yang paling jelas untuk itu adalah sikap pemerintah
Amerika Serikat yang sempat mengharamkan khamr dan kemudian mencabut kembali
pengharaman tersebut, meskipun sudah jelas terbukti bahayanya terhadap
individu, rumah tangga dan masyarakat, baik secara moral maupun material.
13) Kami telah
menjelaskan perkataan itu dalam juz kedua Kitab 'Fatawa Mu'ashirah' Bab
'Berhukum dengan apa yang diturunkan Allah', hal.697-714
TASYRI' TIDAK HANYA TERBATAS PADA HUKUM PIDANA
Tasyri' (hukum) Islam tidak hanya terbatas pada hudud (hukum pidana) sebagaimana
difahami oleh kebanyakan orang atau dilakukan oleh sebagian orang. Sesungguhnya
hukum Islam berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya
dan manusia dengan sesamanya; antara keluarga dan masyarakatnya; antara
pemerintah dengan rakyatnya; antara orang-orang kaya dan para fakir; antara
pemilik modal dengan pelaku usaha dan lain sebagainya, baik dalam keadaan damai
ataupun perang. Ia
merupakan undang-undang (aturan) modern dan administratif, ia merupakan dustur
daulah selain juga merupakan hukum agama. Dia adalah hukum yang menjangkau
seluruh aspek dan segi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu Fiqih
Islam itu meliputi ibadah dan muamalah, hukum nikah dan waris, peradilan dan
dakwaan, had, qishash dan ta'zir, jihad dan mu'ahadaat (perjanjian), halal dan
haram, sunnah dan adab. Ia mengatur kehidupan manusia dari mulai tata cara
buang hajat bagi seseorang, hingga bagaimana menegakkan khilafah dan imamah
'uzhma (imam yang agung) bagi ummat.
Sesungguhnya hudud
(hukuman dalam Islam) itu hiasan, ia menandakan bahwa masyarakat Islam menolak
perbuatan kriminal, kapan pun dan dalam keadaan apa pun.
Hudud, sebagaimana
disyari'atkan oleh Islam bukanlah perbuatan kejam dan sadis (di luar
perikemanusiaan) sebagaimana difahami atau digambarkan oleh orang-orang Kristen
dan kaum Orentalis.
Sesungguhnya
orang-orang Barat menganggap hukuman itu suatu kekejaman dari dua sebab.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Al Maududi dalam pembahasannya tentang hukuman
bagi pezina dalam kitabnya "Al Hijab." Beliau mengatakan:
"Sesungguhnya hati
nurani orang Barat itu menjadi terkejut (ngeri) terhadap hukuman seratus
cambukan. Hal ini tidak disebabkan mereka tidak suka untuk menyakiti fisik
manusia. Tetapi sebab yang sebenarnya adalah lebih karena kekurang sempurnaan pertumbuhan
akhlaq mereka, yang semula zina itu dianggap suatu kehinaan yang kotor sekarang
telah dianggap permainan yang menyenangkan, di mana dua insan bila mengumbar
syahwatnya dalam waktu sesaat. Perbuatan itu dimanfaatkan dan tidak dihisab
(diperhitungkan) kecuali jika perbuatan tersebut melanggar kebebasan orang lain
atau terkena hak-hak secara hukum mereka. Bahkan ketika terjadi demikian pun,
perzinaan itu tidak mendapat hukuman kecuali di anggap kesalahan kecil yang
tidak mempengaruhi hak-hak seseorang, sehingga cukup diberikan sanksi ringan
atau denda.
Wajar bahwa kalau orang
memahami zina dengan cara seperti itu merasa jika hukuman seratus jilid
dianggap suatu kezhaliman dan kekejaman. Kalau saja syu'ur akhlaq (kepekaan
akhlaq) dan rasa sosial mereka meningkat dan mengetahui bahwa sesungguhnya zina
-baik di lakukan dengan suka rela atau terpaksa, baik dengan wanita yang sudah
menikah atau yang masih gadis- adalah merupakan kriminalitas sosial yang
bahayanya akan kembali pada masyarakat dengan seluruh keluarganya, niscaya
pandangan mereka tentang hukuman itu akan berubah dan mengakui wajibnya
melindungi masyarakat dari bahaya tersebut. Karena faktor yang mendorong
seseorang untuk berbuat zina itu kuat sekali, bahkan mengakar dalam tabiat
hewani mereka, sehingga tidak mungkin karakter itu dihilangkan hanya dengan
hukuman tahanan dan denda. Tidak akan ada hasilnya memberantas zina dengan
menggunakan berbagai aturan itu semua. Adalah sesuatu yang tidak diragukan
bahwa melindungi berjuta-juta manusia dari berbagai bahaya penyakit moral
dengan menyakiti satu orang atau dua orang dengan keras itu lebih baik daripada
memanjakan para pelaku kriminal dengan menjerumuskan seluruh ummat pada bahaya
yang tak terhingga besarnya, bahkan diwarisi oleh generasi yang akan datang
yang mereka tidak turut berbuat dosa.
Ada lagi sebab yang membuat mereka menganggap bahwa
hukuman seratus cambukan itu sebagai hukuman yang kejam dan zhalim. Yakni bahwa
peradaban Barat, sebagaimana telah kami terangkan, lebih mementingkan individu
daripada masyarakat, dan unsur-unsur yang ada padanya terangkai dengan persepsi
yang berlebihan terhadap hak-hak individu. Meskipun kezhaliman individu
terhadap kelompok dan masyarakat telah demikian terasa dan Barat sendiri tidak
mengingkari semua fakta ini, tetapi setiap ada sanksi yang ditetapkan atas
individu yang berbuat salah demi untuk memelihara hak-hak masyarakat, maka
mereka justru merasa khawatir dan tidak rela. Sehingga seluruh
nasihat dan semangat mereka adalah atas nama individu, bukan masyarakat.
Kemudian yang menjadi ciri khas orang-orang jahiliyah Barat sebagaimana
pada setiap zaman adalah bahwa mereka itu lebih memperhatikan hal-hal yang bisa
dilihat, daripada perhatian mereka terhadap hal-hal yang logis meski tidak
terlihat. Oleh karena itu mereka menganggap kejam bahaya yang menimpa kepada
individu karena terlihat di depan mata mereka dengan gambaran yang nyata,
tetapi mereka tidak mampu memahami bahaya besar yang akan menimpa masyarakat
dan generasi mendatang secara merata, dalam ruang lingkup yang luas."
Saya ingin mengingatkan di sini bahwa sesungguhnya Islam bersikap tegas
dalam menghukumi kriminalitas dengan kekerasan yang luar biasa, terutama dalam
masalah zina. Namun itu pun di zaman Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin tidak
langsung ditetapkan kecuali dengan adanya iqrar (pengakuan) dari pelakunya. Sebagaimana
dibuka kesempatan untuk bertaubat, maka barangsiapa yang taubatnya
sungguh-sungguh maka gugurlah darinya hukuman menurut pendapat rajih (terkuat).
Gugurnya hukuman bukan berarti menggugurkan hukuman secara keseluruhan, karena
bisa jadi berpindah menjadi ta'zir (hukuman yang mendidik) yang sesuai.
Post a Comment