ISLAM BUKANLAH AJARAN YANG LABIL


ISLAM BUKANLAH AJARAN YANG LABIL

Sesungguhnya prinsip-prinsip umum yang kita dakwahkan itu jelas dan nyata, sebagaimana telah kita jelaskan di dalam pembahasan dan kitab-kitab lainnya.
Sebagian orang yang meragukan atau menentang dakwah untuk terlaksanannya syari'at Islam itu menulis dengan salah faham, mereka mengira bahwa syari'at Islam yang didakwahkan merupakan sesuatu yang labil, tidak memiliki kriteria dan batasan yang pasti, sehingga setiap hakim (penguasa) atau setiap kelompok memberikan penafsiran sendiri-sendiri, semaunya.
Sehingga kita dapatkan ada yang mengatakan, "Islam yang manakah yang kalian dakwahkan kepada kita dan yang kalian tuntut kami untuk melaksanakannya? Kita telah melihat Islam yang sebagian penguasa mengaku menerapkannya saat ini adalah berbeda-beda satu negara dengan negara lainnya. Di sana ada Islam Sudan, Islam Iran, Islam Pakistan dan Islam Libya!! Atau sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang dengan istilah; Islam Numairi, Islam Khumaini, Islam Dhiya'ul Haq dan Islam Qadafi. Islam yang manakah yang kalian maksud?"
Maka kita katakan kepada mereka, "Sesungguhnya Islam adalah Islam, tanpa disandarkan kepada seseorang atau suatu golongan kecuali kepada pembuatnya atau yang menyampaikannya. Itulah Islam versi Al Qur'an dan As-Sunnah. Tidak dikaitkan dengan nama seseorang, kecuali nama Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah sebagai pembawa khabar gembira, memberi peringatan kepada manusia serta mengajak mereka ke jalan Allah. Maka menjadilah ia ibarat pelita yang terang.
Meskipun terdapat banyak penafsiran (interpretasi) dan praktek pengamalan syari'at Islam yang berbeda-beda satu sama lain, namun di sana tetap ada suatu substansi dan esensi yang sama dalam masalah-masalah yang ushul (pokok). Hal ini menunjukkan adanya kesatuan (keseragaman) dalam hal aqidah, prinsip, perasaan dan perilaku bagi ummat. Itulah lingkup Al Qath'iyat (hal-hal yang bersifat aksiomatis) di mana ummat bersepakat baik secara teori (konsep, maupun secara pelaksanaan, dan telah meresap di dalam fikiran dan hati serta kehidupan mereka selama beberapa kurun (empat belas abad) yang telah dilalui oleh mereka.
Banyak hal yang bersifat aksiomatis dalam masalah aqidah dan pemikiran, dalam ibadah dan syi'ar, dalam hukum dan perundang-undangan, dalam akhlaq dan tata kehidupan, semua itu termasuk sesuatu yang tidak diperselisihkan dan tidak berbenturan di antara kaum Muslimin.
Hal-hal seperti inilah yang menjadi asas syari'at dan intinya. Itulah yang dapat menentukan arah dan tujuan, dan menggambarkan sistem dan metodenya serta menentukan gambaran dan pengelompokannya.
Adapun masalah-masalah yang tidak qath'i (tidak bersifat aksiomatis) dari hukum-hukum dan aturan-aturan, itu pun tidak dibiarkan untuk dijadikan permainan hawa nafsu yang menguasai, atau kerancuan pemikiran yang menyerang, atau kesewenang-wenangan penguasa yang ada untuk memahami semaunya dan menafsirkan seenaknya, tanpa landasan yang benar dan bukti yang kuat.
Tidak, tetapi di sana ada "Ushul" dan "Kaidah-kaidah" yang dibuat oleh para imam untuk memperkuat adanya nash syarti terlebih dahulu, kemudian memahami maknanya dan selanjutnya beristinbath (mengeluarkan hukum dan menyimpulkan) permasalahan yang tidak ada nashnya.
Oleh karena itu di sana terdapat ilmu ushul fiqih, kaidah-kaidah fiqih ushulul hadits, ushulut-tafsir dan yang lainnya dari berbagai bidang ilmu yang menjadi perangkat untuk memahami dan menyimpulkan.
Tidak mengapa bahwa di sana terdapat banyak lembaga dan madzhab dalam memahami dan menyimpulkan permasalahan, selama dia berdasarkan pada prinsip-prinsip dan sistematika keilmuan yang mapan, serta berdasarkan dalil dan bukan atas dasar hawa nafsu atau taklid buta.
Barangkali perbedaan pendapat di sini juga berfungsi sebagai sumber pengayaan khasanah pemikiran Islam dan amal Islami apabila diletakkan dalam kerangka yang benar.
 


KEMESTIAN ADANYA TADARRUJ (TAHAPAN)
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Sesungguhnya tadarruj (tahapan) itu merupakan salah satu Sunnah (ketetapan) Allah yang berlaku pada seluruh makhluk ciptaan-Nya. Sungguh Allah telah menciptakan manusia dalam beberapa fase, yaitu dari segumpal darah, kemudian segumpal daging, lalu diberi tulang dan seterusnya. Allah juga menciptakan dunia selama enam hari, Allah Maha Mengetahui terhadap setiap hari dari enam-hari tersebut berapa lamanya?
Sebagaimana Allah telah memerintahkan dengan yang wajib dan melarang dari yang haram dengan proses dan tahapan. Yang demikian ini karena mempertimbangkan kelemahan manusia dan karena kasih sayang kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa syari'at Islam itu telah sempurna, akan tetapi penerapannya pada saat ini memerlukan pengkondisian dan persiapan, untuk dapat mengarahkan masyarakat menuju iltizam (komitmen) kepada keislaman yang shahih, setelah sekian waktu mereka tenggelam dalam kehidupan yang kebarat-baratan.
Beberapa negara telah mulai melaksanakan sebagian dari hal tersebut, sementara sebagaian yang lain masih tetap konsisten dengan atribut kejahiliyahannya. Ini semua memerlukan usaha dan kesungguhan yang maksimal, sehingga kita mampu menghilangkan kendala-kendala dan meredam goncangan-goncangan. Untuk kemudian berupaya mewujudkan alternatif pengganti dan mendidik kader-kader pelaksana yang terpercaya, yang tergabung padanya antara kekuatan dan amanah (kepercayaan), karena untuk memperoleh kedua-duanya pada diri manusia itu sungguh sulit dan langka. Sebagaimana dirasakan oleh pendahulu kita, sampai Umar RA pernah berkata (berdoa):
"Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu akan lemahnya orang yang bisa dipercaya dan kuatnya orang yang fajir (tidak bisa dipercaya dan banyak dosa)."
Oleh karena itu tidak terlarang menggunakan tahapan dalam menerapkan (suatu hukum), karena demi menjaga kondisi manusia dan dalam rangka mengikuti taujih Rasulullah SAW sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan (sikap lemah lembut) dalam segala sesuatu."
Sebagaimana hal seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA.
Ahli sejarah menceriterakan dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa anaknya yang bernama Abdul Malik pernah berkata kepadanya, "Wahai bapakku, mengapa engkau tidak melaksanakan hukuman (untuk mereka)? Demi Allah saya tidak peduli meskipun periuk mendidih merebus saya dan engkau selama dalam kebenaran."
Ini adalah ungkapan seorang pemuda yang bertaqwa dan penuh semangat. Dia berpikir bahwa bapaknya telah dikaruniai oleh Allah kekuasaan (kepemimpinan) atas orang-orang yang beriman, sehingga dapat menghukum dan memberantas segala bentuk kezhaliman dan kerusakan secara spontan tanpa pelan-pelan. Sehingga untuk itu dia siap menerima segala resiko yang akan menimpa. Maka bagaimana jawaban sang ayah sebagai seorang khalifah yang bijaksana sekaligus seorang mujtahid yang faqih?
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Jangan engkau tergesa-gesa wahai anakku, sesungguhnya Allah pernah mencela khamr dalam Al Qur'an dua kali dan mengharamkannya pada kali yang ketiga. Aku khawatir jika membawa kebenaran ini kepada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan pula, sehingga dari sinilah akan muncul fitnah."
Tampak di sini bahwa khalifah ingin menyelesaikan sesuatu dengan bijaksana dan bertahap, dengan mengambil petunjuk dari manhaj Allah Ta'ala yang telah mengharamkan khamr kepada hamba-hamba-Nya dengan cara bertahap. Lihatlah alasannya yang benar dan tepat yang membuktikan betapa beliau sangat mendalam kefahamannya dalam hal fiqih Siyasah Syar'iyah, "Sesungguhnya aku khawatir jika aku membawa kebenaran pada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan juga, sehingga dari sinilah munculnya fitnah." Maksudnya beliau ingin memberi minum kepada mereka seteguk demi seteguk dan membawa mereka untuk menuju kebenaran itu selangkah demi selangkah.
Pada kesempatan yang lain anaknya pernah masuk kerumahnya dengan semangat keimanan yang membara, ia berkata sambil emosi, "Wahai Amirul Mukminin! Apa yang akan engkau katakan kepada Tuhanmu besok jika Dia bertanya kepadamu, dengan firman-Nya, "Kamu melihat bid'ah tapi kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunnah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?" Ayahnya berkata, "Semoga Allah merahmati kamu dan semoga membalas kamu dengan kebaikan, wahai anakku! Sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu ikat satu ikat, dan ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika merebutnya dengan keras, karena akan semakin banyak mengeluarkan darah. Demi Allah lenyapnya dunia lebih ringan bagiku daripada penumpahan darah, yang disebabkan karena aku. Apakah kamu tidak rela jika tidak datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid'ah dan menghidupkan sunnah pada han itu."
Bertahap dengan arti seperti ini bisa diterima dan dia termasuk Sunnah kauniyah sekaligus Sunnah syar'iyah. Segala sesuatu yang kita tegaskan di sini hendaklah tidak menjadi alasan untuk menunda-nunda dan menyegerakan beramal terhadap syari'at Islam. Apalagi sampai mematikan tema (persoalan penting) itu sepanjang zaman atas nama tadarruj (bertahap). Yang wajib bagi kita adalah mengikuti siasat Umar bin Abdul Aziz, yaitu hendaklah jangan melewatkan satu hari kecuali sebuah bid'ah akan mati dan sebuah Sunnah hidup pada hari itu. Dengan demikian terwujudlah sebuah tahapan yang baik. Dari sinilah maka esensi tadarruj sesungguhnya adalah menentukan tujuan, menyiapkan perencanaan (planning), menentukan fase dan tahapannya dan memperkuat kemampuan untuk berkhidmah pada tujuan yang telah dicita-citakan.
Oleh karena itu kita dituntut untuk membuat perencanaan dan persiapan agar dapat menciptakan perubahan. Baik dalam aspek pendidikan maupun publisistik (pers dan informatika), secara keilmuan atau sosial kemasyarakatan. Dengan memulai dari sesuatu yang tidak memerlukan tahapan dan tidak pula memerlukan persiapan, tetapi memerlukan keshahihan orientasi dan kebenaran tekad, ketika tekad sudah bulat maka jalan pun menjadi terang.
 


TIDAK BISA MENERAPKAN ISLAM DENGAN BENAR KECUALI ORANG YANG MENGIMANINYA
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Sesungguhnya syari'at Islam tidak mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang yang beriman (percaya) terhadap kesuciannya, Rabbaniyah sumbernya, keadilan hukumnya, ketinggian tujuannya, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepada-Nya. Inilah yang membuat mereka bersemangat untuk memahaminya dengan pemahaman yang detail, memahami hukum-hukumnya dan tujuannya secara mendalam. Kemudian mereka berlomba untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada di hadapannya, sebagaimana mereka senang untuk menjadi contoh yang baik terhadap pelaksanaan prinsip-prinsipnya dan teladan yang baik bagi orang-orang yang belum puas terhadapnya, sehingga orang lain bisa melihat mereka dalam keimanan, akhlaq dan perilakunya. Dengan begitu orang-orang yang melihat mereka akan mencintai syari'at, karena telah melihat sendiri pengaruhnya yang nyata dalam kehidupan.
Demikianlah para sahabat dan kaum Muslimin generasi awal dahulu. Manusia mencintai Islam setelah Islam mencintai mereka. Kemudian mereka berbondong-bondong masuk ke dalam Islam karena tertarik dengan keindahan akhlaq dan keikhlasan para shahabat. Sungguh para shahabat adalah ibarat Qur'an yang hidup dan berialan di tengah-tengah mereka.
Sesungguhnya kebanyakan dari kendala yang dihadapi dewasa ini dalam menerapkan syari'at Islam--yang menjadi sasaran kritik dan pelecehan dari orang-orang yang mengkritik--adalah karena syari'at itu dinisbatkan, diserukan dan dipraktekkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Yang saya maksud "bukan ahlinya" di sini adalah mereka yang tidak memahami hakikat (esensi) dari syari'at Islam tersebut dan orang yang memahami namun melalaikannya. Rasa memiliki (sense of belonging) tidak lagi ada pada mereka, sehingga tidak bersemangat dan tidak beriltizam terhadap syari'at itu sendiri.
Sesungguhnya risalah yang besar memerlukan pemelihara dan pendukung yang kuat pula, mereka itulah yang pertama kali bertanggung jawab terhadap penyebaran dan pelaksanaan nilai-nilai dan ajarannya di tengah kehidupan masyarakat. Tanpa begitu, maka penerapan syari'at hanyalah sekedar lahirnya saja, dan tak akan sampai bisa merubah pola hidup masyarakat dari akarnya dan tidak bisa menerobos kebaikan itu dari dasarnya.


SYARI'AT BERLAKU UNTUK RAKYAT SEBAGAlMANA UNTUK PEMERINTAH
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Sesungguhnya penerapan syari'at bukanlah khusus diberlakukan atas para penguasa saja, meskipun mereka adalah orang yang pertama kali dituntut karena mereka memegang kekuasaan di tangannya, sehingga bisa banyak melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh yang lainnya. Dahulu ulama salaf mengatakan, "Seandainya kita memiliki doa yang dikabulkan maka kita akan berdoa untuk penguasa, karena sesungguhnya Allah memperbaiki makhluknya yang banyak dengan kebaikan penguasa itu."
Ini dilakukan di saat kendali pendidikan, penerangan dan sarana hiburan tidak berada di tangan penguasa seperti sekarang ini.
Selain itu kita katakan bahwa sesungguhnya bagi rakyat ada tanggung jawab untuk melaksanakan syari'at dalam banyak hal yang tidak memerIukan campur tangan pemerintah.
Sesungguhnya kebanyakan dari hukum halal dan haram dan hukum-hukum yang menentukan hubungan individu dengan individu yang lain, seseorang dengan rumah tangganya dan seseorang dengan masyarakatnya telah diabaikan oleh kaum Muslimin. Bahkan mereka menentang perintah Allah dan melanggar ketentuan-Nya, padahal mereka tidak akan memperoleh kebaikan kecuali kalau mereka mau melaksanakan hukum Allah dan beriltizam terhadap perintah dan larangan-Nya dengan kesadaran dari diri mereka sendiri dan perasaan mereka untuk senantiasa muraqabah (merasakan adanya pengawasan) Allah terhadap mereka.
Wajib bagi para da'i, pemikir dan pendidik untuk mencurahkan segenap usaha mereka agar ummat sadar dan mau melaksanakan kewajibannya dalam menjalankan syari'at Allah. Bukan sekedar memusatkan perhatian mereka dalam menuntut pemerintah untuk menerapkan syari'at Islam, yang seakan-akan dengan tuntutan seperti itu berarti mereka telah melaksanakan seluruh kewajiban mereka.
 

Tidak ada komentar