KEWAJIBAN TAKAFUL IJTlMA'I (JAMINAN SOSIAL)
KEWAJIBAN TAKAFUL IJTlMA'I (JAMINAN SOSIAL)
Telah kita katakan bahwa Islam menuntut kepada setiap orang yang mampu
bekerja hendaklah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam kerjanya, sehingga ia
dapat mencukupi dirinya dan keluarganya. Tetapi ada di antara anggota
masyarakat yang tidak mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan. Ada
juga yang mampu bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber
ma'isyah mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk mempersiapkan lapangan
kerja yang sesuai bagi mereka. Ada pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya
saja pemasukan mereka belum mencukupi standar yang layak, karena sedikitnya
pemasukan (income) atau banyaknya keluarga yang ditanggung atau mahalnya harga
barang atau karena sebab-sebab yang lain.
Maka bagaimana peran sistem Islam terhadap mereka itu? Apakah akan
membiarkan mereka untuk menjadi umpan kemiskinan dan kebutuhan yang siap
menerkamnya? Atau memberikan solusi terhadap problematika mereka?
Jelas bahwa sistem Islam tidak membiarkan mereka menjadi miskin dan
terlantar, tetapi berupaya mewujudkan bagi mereka kehidupan yang layak. Di
antaranya dengan konsep-konsep berikut ini:
1. Memberikan nafkah kepada sanak kerabat
Islam telah mewajibkan atas seseorang yang berkecukupan untuk memberi nafkah
kepada keluarganya yang membutuhkan, sebagai bentuk silaturrahim dan pemenuhan
kewajiban yang dibebankan kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
SWT,
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknnya
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan." (Al Isra': 26)
Barangsiapa yang tidak melaksanakan kewajiban ini untuk keluarganya, maka
ia terkena hukuman. Adapun mengenai syarat-syarat memberikan nafkah, ukurannya,
siapa yang wajib dan siapa yang tidak wajib, para fugaha' mempunyai rincian
yang detail mengenai ini semua. Kita bisa menunjuk dalam bab
"Nafaqaat" dari kitab-kitab fiqih yang ada.
2. Kewajiban zakat
Zakat merupakan faridhah maliyah (kewajiban berkenaan dengan harta) dan
bersifat sosial. Dia merupakan rukun yang ketiga dari rukun Islam. Barangsiapa
yang tidak mau menunaikan zakat karena pelit maka ia dita'zir (hukuman yang
mendidik) atau diambil secara paksa. Apabila ia memiliki kekuatan untuk
melawan, maka diperangi sampai takluk dan mau melaksanakannya. Apabila secara
terang-terangan ia mengingkari akan wajibnya, sedang dia bukan orang yang baru
dalam berislam, maka pantaslah dihukumi murtad dan keluar dari agama Islam.
Harus dipahami bahwa zakat bukanlah hibah (pemberian) seorang kaya raya
kepada si fakir, sama sekali bukan. Akan tetapi itu merupakan hak yang pasti
bagi si fakir dan kewajiban atas para muzakki tempat daulah (negara) berwenang
untuk memungutnya, kemudian membagikannya kepada yang berhak menerimanya
melalui para pegawai zakat yang di sebut dengan istilah "Badan Amil
Zakat." Karena itulah Rasulullah SAW mengatakan, "Dipungut dari
aghniya' (orang-orang kaya) mereka (kaum Muslimin), kemudian diberikan kepada
fuqara' (kaum Muslimin)" sehingga seakan seperti pajak yang dipungut,
bukan tathawwu' (sedekah) yang diberikan dengan kerelaan hati.
Zakat dalam banyak hal berbeda dengan pajak yang diambil dari para pekerja
dan usahawan sampai para pedagang kaki lima para pegawai untuk membiayai
kepentingan pemerintah dan perangkatnya. Sering kita lihat bahwa dalam
prakteknya pajak itu diambil dari kaum fuqara' untuk diberikan kepada aghiya'.
Ungkapan Rasulullah SAW "Diambil dari aghniya' mereka dan diberikan
kepada fuqara' mereka" ini menunjukkan bahwa zakat tidak lain kecuali
memberikan harta ummat -dalam hal ini dilaksanakan oleh orang-orang kaya-
kepada ummat itu sendiri yaitu orang-orang fakir mereka. Dengan demikian maka
zakat adalah dari ummat untuk ummat, dari tangan yang diberi amanat harta
kepada tangan yang membutuhkan, dan kedua tangan itu baik yang memberi atau
yang mengambil merupakan dua tangan yang ada pada satu orang, satu orang itu
adalah ummat Islam.19)
Zakat diwajibkan pada
setiap harta yang aktif atau siap dikembangkan, yang sudah mencapai nishab dan
sudah mencapai satu tahun serta bersih dari hutang. Ini berlaku pada binatang
ternak, emas, perak dan harta dagangan. Ada
pun pada tanaman dan buah-buahan wajib ketika panen, dan pada tambang dan barang temuan purbakala maka wajib ketika
menemukan.
Islam tidak menetapkan
nishab itu suatu jumlah yang besar, agar ummat ikut serta dalam menunaikan
zakat dan menjadikan prosentase yang wajib dizakati sederhana. Yaitu 2,5 % pada
emas, perak dan barang perdagangan, 5% untuk tanaman yang disiram memakai alat,
10 % untuk yang disiram tanpa alat, dan 20 % untuk rikaz (barang temuan
purbakala) dan tambang. Semakin
besar kepayahan seseorang maka semakin ringan kadar zakatnya.
3. Pemasukan Negara yang lainnya
Apabila zakat belum mencukupi seluruh kebutuhan orang-orang fakir, maka
masih ada pemasukan Daulah Islamiyah untuk mencukupi dan menjamin kebutuhan
mereka, yaitu dari lima persen (5 %) harta rampasan (ghanimah) atau dari harta
Fai' dan hasil bumi dan yang lainnya. Allah SWT berfirman,
"Ketahuilah, sesungguhnnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesunggahnnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil..." (Al Anfal:41)
Tentang Fai' Allah SWT berfirman:
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kalian ..." (Al Hasyr: 7)
Di antaranya termasuk juga apa yang dimiliki oleh negara berupa sumber
minyak, tambang, lahan pertanian dan
perkebunan dan yang lainnya dari apa saja yang menjadi income negara yang cukup
besar.
Negara dalam Islam tidak hanya bertanggungjawab terhadap masalah keamanan
saja, akan tetapi juga bertanggungjawab atas pemeliharaan terhadap orang-orang
lemah dan orang-orang yang membutuhkan serta menjamin kehidupan yang layak
untuk mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:
"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai tanggung
jawab terhadap yang dipimpinnya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya
tentang rakyat yang dipimpinnya)..." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Demikianlah Rasulullah SAW menjelaskan kepada kita. Sebagai pemimpin kaum
Muslimin, beliau bertanggungjawab atas seluruh ummat, terutama orang-orang yang
beriman. Maka barangsiapa dari mereka meninggalkan harta maka itu untuk ahli
warisnya, dan barangsiapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak terlantar
yang terancam oleh kefakiran dan keyatiman, itu kembali kepada Rasul, dan Rasul
pun memperhatikannya.
Umar berkata tentang harta negara, "Tidak seorang pun kecuali dia
berhak memperoleh harta ini."
Umar telah mewajibkan dari Baitul Maal gaji untuk seorang Yahudi yang
dilihat meminta-minta di pintu. Demikian menetapkan untuk tiap anak yang
dilahirkan dalam Islam pemberian santunan yang terus bertambah seiring dengan
semakin tumbuh dan dewasanya mereka.
4. Hak-hak lain di dalam harta
Apabila zakat belum mencukupi -begitu pula pemasukan-pemasukan yang
lainnya- untuk menanggung kehidupan orang-orang fakir, maka wajib bagi
orang-orang kaya di masyarakat untuk mencukupi mereka. Karena bukanlah seorang
mukmin itu orang yang semalaman perutnya kenyang sementara tetangganya
kelaparan. Bukan pula seorang mukmin itu orang yang tidak mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya. Oleh sebab itu jika mereka mampu mengamalkan
ini semua karena kesadaran mereka dan karena dorongan iman dan taqwa, maka itu
lebih baik dan lebih kekal. Sebagaimana Nabi SAW menceritakan kepada kita
tentang kaum "Asy'ariyyiin."
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya kaum "Asy'ariyyiin" itu
apabila hendak berangkat berperang, atau karena perbekalan keluarga mereka
habis di kota Madinah, mereka mengumpulkan apa yang ada pada mereka di dalam
satu baju, kemudian membagi-bagi di antara mereka dalam satu tempat secara sama
rata, mereka adalah bagian dariku dan aku bagian dari mereka" (HR. Bukhari
Muslim)
Apabila masyarakat tidak bisa berbuat sesuatu dari kesadaran mereka untuk
memperhatikan orang-orang fakir, maka imam (pemimpin)lah yang mewajibkan kepada
para aghniya' untuk mencukupi mereka. Sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW,
"Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak (kewajiban) selain zakat." Ini
juga dikuatkan oleh Al Qur'an sebagai berikut:
"Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menurunkan zakat." (Al Baqarah: 177)
Ayat tersebut memisahkan antara memberikan harta kepada yang membutuhkannya
-yaitu sanak kerabat, anak-anak yatim dan seterusnya- dengan menunaikan zakat,
ini menunjukkan bahwa keduanya merupakan hak (kewajiban) dalam harta.
Akan tetapi zakat itu merupakan hak yang bersifat rutin, tetap dan terbatas
(ditentukan). Adapun kewajiban-kewajiban lainnya lebih bersifat sewaktu-waktu
diperlukan, dan tidak ada batas tertentu dan tidak pula waktu tertentu.
Apabila tidak menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut secara rela, maka
mereka akan dipaksa untuk mengeluarkannya.
Utsman bin Affan berkata, "Sesungguhnya Allah akan mencabut melaIui
penguasa terhadap sesuatu yang tidak bisa dicabut dengan Al Qur'an."
5. Shadaqah Sunnah
Di dalam menegaskan masalah takaful (saling menanggung), Islam tidak hanya
membatasi pada undang-undang yang bersifat wajib, tetapi juga mendidik seorang
Muslim untuk berkurban, meskipun tidak diminta dan untuk berinfaq meskipun
tidak diwajibkan kepadanya, dan bahwa harta dan dunia bagi mereka adalah kecil.
Islam juga memperingatkan pemiliknya dari sifat pelit dan kikir, sebaliknya
mendorong untuk berinfaq, baik dalam keadaan suka maupun duka, di waktu lapang
ataupun sempit, rahasia maupun terang-terangan. Islam menjanjikan ganti berupa
karunia Allah di dunia dan pahala di akhirat kelak. Allah berfirman:
"Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan
menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu
ampunan dari-Nya dan karunia..." (Al Baqarah:
268)
"Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan
Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya." (Saba':
39)
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati " (Al Baqarah: 274)
Post a Comment