MENUJU PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN KEMANDIRIAN UMMAT
MENUJU PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN KEMANDIRIAN UMMAT
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar ummat dapat memenuhi kebutuhannya
dan bisa mandiri, antara lain sebagai berikut:
1. Membuat Planing (Perencanaan)
Kita harus membuat planing (perencanaan) berdasarkan data statistik yang
rinci dan angka yang sebenarnya (kongkrit), pengetahuan yang sempurna terhadap
realitas di lapangan, memahami prioritas setiap program serta sejauh mana
kepentingannya. Mengenal kemampuan diri dan berupaya untuk meningkatkan
kemampuan dan yang terakhir menyiapkan sarana-sarana untuk memenuhi semua
kebutuhan.
Al Qur'an telah menyebutkan kepada kita sebuah contoh dari takhtith
(perencanaan) yang memakan waktu selama lima belas tahun yang dilakukan oleh
Nabi Yusuf AS yang meliputi peningkatan produktivitas, deposito, pengambilan
dan pendistribusian bahan makanan dalam menghadapi krisis kelaparan dan
tahun-tahun kekeringan yang terjadi di Mesir dan sekitarnya. Sebagaimana
diceritakan oleh Al Qur'an di dalam Surat Yusuf.
2. Mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan menempatkannya dengan tepat
Merupakan kewajiban bagi ummat untuk meningkatkan sistem pendidikan dan
pelatihan ummat agar dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
di segala bidang kehidupan. Setelah itu perlu adanya penempatan personal pada
job yang tepat sesuai keahlian masing-masing mereka, sehingga bisa
mengembangkan potensi yang dimiliki dan membagi potensi yang ada itu dalam
berbagai spesialisasi dengan seimbang. Berdasarkan firman Allah SWT:
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (tafaqquh fiddin) dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (At-Taubah:
122)
Selain itu diharapkan kita bisa memenuhi sisi-sisi yang sering dilupakan
dengan mengadakan terobosan-terobosan baru dan evaluasi secara berkala. Hendaknya
kita meletakkan seseorang pada posisi yang sesuai dengan keahliannya dan
berupaya menghindari dari menyerahkan sesuatu kepada yang bukan ahlinya. Rasulullah
SAW bersabda:
"Apabila sesuatu urusan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah saat kehancurannya." (HR. Bukhari)
Di sinilah Islam itu sangat memperhatikan kekayaan sumber daya manusia,
memelihara dan berusaha meningkatkan kualitasnya, baik di bidang fisik,
pemikiran, moral, maupun intelektual. Menempatkan secara seimbang antara kepentingan
agama dan dunia tanpa berlebihan dan mengurangi takaran.
3. Memfungsikan asset yang ada dengan sebaik-baiknya
Mempergunakan dan
memfungsikan aset ekonomi dan kekayaan materi dengan baik itu bisa dilakukan
dengan tidak membiarkan sesuatu tanpa guna dan tetap memeliharanya dengan baik.
Karena dia merupakan amanah yang harus dijaga dan nikmat yang wajib disyukuri
dengan mempergunakannya secara tepat dan maksimal.
Karena itulah Al Qur'an
mengingatkan pada kita terhadap apa saja yang ditundukkan oleh Allah untuk
kepentingan kita, baik yang ada di langit maupun di bumi, serta yang ada di
daratan maupun di lautan.
Al Qur'an juga bersikap
keras terhadap orang-orang yang tidak memfungsikan kekayaan hewani atau
pertanian karena mengikuti keinginan mereka yang tidak berdasarkan wahyu Allah.
Mereka mengharamkan apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka dengan
membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Tetapi hal itu di bantah dengan tegas
oleh Al Qur'an, sebagaimana di dalam surat
Al An'am:
"Dan mereka
mengatakan, "Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang tidak boleh
memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki" menurut anggapan mereka,
dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang ternak yang
mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata
membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka
terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. Dan mereka mengatakan: "Apa
yang ada di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan
diharamkan atas wanita kami" dan jika yang dalam perut itu dilahirkan
mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan
membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka
karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah
rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya
mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk." (Al An'am: 138-140)
Rasulullah SAW mengingatkan akan wajibnya kita untuk memanfaatkan apa saja
yang sekiranya bisa difungsikan dan tidak membiarkan atau menelantarkannya,
meskipun kebanyakan manusia melecehkannya.
Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan melewati bangkai kambing, kemudian
beliau bertanya tentang bangkai kambing itu. Mereka berkata. Sesungguhnya ia
adalah kambing milik pembantu Maimunah (Ummul Mukminin), maka Nabi bersabda:
"Mengapa kalian tidak mengambil kulitnnya (untuk kemudian disamak)
sehingga kamu dapat memanfaatkannya, sesungguhnya yang diharamkan adalah
memakannya..." (HR. Muttafaqun 'Ala'ih)
Bahkan Rasulullah SAW telah memperingatkan sikap meremehkan, sampai-sampai
terhadap suapan yang jatuh dari orang yang memakannya. Maka sebaiknya orang
tersebut membersihkan suapan itu, kemudian memakannya dan tidak dibiarkan untuk
syetan. Sebagaimana juga sebaiknya membersihkan makanan yang tersedia di nampan
atau yang menempel di tangan, dan tidak membuang sisa di tempat sampah.
Di antara yang patut diperingatkan di sini adalah pengarahan Nabi SAW
tentang masalah pertanian atau bercocok tanam bagi seseorang yang mampu untuk
menanami sendiri atau dipinjamkan kepada orang Muslim lainnya yang bisa
menanaminya. Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah menanaminya, atau
memberikannya kepada saudaranya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Apabila tanah itu bisa ditanami dengan perhitungan yang berlaku pada
umumnya maka itu termasuk sesuatu yang baik, karena termasuk bentuk kerjasama
antara pemilik tanah dengan petani yang menanami, mirip dengan mudharabah yang
dijalankan oleh pemilik modal dengan pekerja.
Nabi SAW pernah bekerjasama dengan kaum Yahudi untuk menanami tanah khaibar
dengan sistem paroan (bagi hasil) dari hasil tanah.
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Fungsikanlah tanah itu untuk ditanami
dengan memperoleh separuh, sepertiga, seperempat hingga sepersepuluhnya, dan
janganlah kamu biarkan tanah itu rusak."
Rasulullah SAW juga pernah bersikap keras terhadap orang yang membunuh
burung pipit karena main-main. Beliau memberitahu bahwa burung itu kelak akan
mengadu kepada Allah, yang akan membunuhnya pada hari kiamat sambil mengatakan,
"Hai Tuhanku dia telah membunuhku karena main-main, bukan karena
manfaat." (HR. Ahmad dan Nasa'i)
Dan disamakan dengan burung itu adalah segala binatang yang diperoleh
dengan berburu atau lainnya, baik binatang daratan atau lautan, maka tidak
boleh bermain-main dengannya, tanpa ada kemanfaatan bagi kaum Muslimin.
Sebagaimana juga Nabi SAW mengingkari perbuatan yang menggunakan sesuatu
yang tidak semestinya, atau berlawanan dengan fithrah dan kebiasaan. Di dalam
hadits shahih diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki yang menunggangi sapi,
maka sapi itu berbicara, "Aku diciptakan bukan untuk diperlakukan seperti
ini, tetapi aku diciptakan untuk bercocok tanam."
Apakah sapi itu berbicara dengan ucapan perilakunya, jika demikian maka itu
lebih mantap daripada dengan ucapan. Kalau berbicara dalam arti yang
sebenarnya, maka itu termasuk keanehan-keanehan, karena memang itulah zhahirnya
hadits dan bagi Allah yang demikian itu sangatlah mudah.
Yang penting bagi kita bahwa hadits di atas mengajak kita untuk menggunakan
sesuatu sebagaimana mestinya.
Ada baiknya di sini kita singgung firman Allah SWT mengenai wasiat harta
anak yatim:
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih baik (bermanfaat) hingga ia dewasa..." (Al Isra': 34)
Ini berulang kali disebutkan dalam Al Qur'an Al Karim, dengan bentuk
ungkapan yang sama, maka Al Qur'an tidak cukup menuntut kepada kita untuk
mendekati harta anak yatim dengan cara yang baik saja, tetapi juga dengan cara
yang lebih baik. Sehingga jika di sana ada dua cara untuk mengembangkan harta
anak yatim dan memeliharanya, salah satunya cara itu baik dan cara yang lain
lebih baik, maka yang diwajibkan untuk kita dahulukan adalah menggunakan yang
lebih baik. Bahkan haram bagi kita untuk tidak menggunakan cara kecuali cara
yang lebih baik, sebagaimana dalam memahami redaksi terhadap larangan dan uslub
Qashr (innama, sebagai pembatas yang bermakna hanyalah).
Harta ummat ini mirip-mirip dengan harta anak yatim, sedangkan daulah
(pemerintah) yang bertugas untuk memeliharanya dan lembaga-lembaganya itu
seperti wali anak yatim. Sebagaimana Umar pernah mengumpamakan dirinya terhadap
"Baitul Maalt" itu seperti wali anak yatim, apabila dalam keadaan
berkecukupan ia memelihara dirinya, dan jika ia dalam keadaan miskin ia
memakannya dengan baik. Untuk itu wajib bagi kita untuk memelihara dan
mengembangkan harta itu dengan sebaik-baiknya.
4. Konsolidasi antar cabang-cabang produksi
Yang terpenting di sini agar ummat bisa mencukupi kebutuhan mereka secara
mandiri. Hendaklah ia menyempurnakan konsolidasi antara berbagai bidang
produksi yang beraneka ragam, sehingga tidak terjadi saling tumpang tindih
antara yang satu dengan yang lainnya. Maka tidak baik jika perhatian itu
ditujukan pada masalah pertanian saja umpamanya, di saat yang sama masalah
industri diabaikan, atau sebaliknya. Atau pendidikan yang hanya mengeluarkan
para dokter sementara Insinyur dilupakan. Atau hanya memperhatikan tehnik sipil
dan teknik mesin, sementara melupakan tehnik elektro dan atom. Atau hanya
memperhatikan sisi konseptual dan pemikiran yang melangit, sementara aspek
amaliah (usaha) terbengkelai.
Oleh karena itu kami menegaskan kembali pentingnya membuat takhtith
(perencanaan) berdasarkan studi lapangan dan data statistik, untuk mengetahui
kebutuhan masyarakat dari setiap spesialisasi di bidang kerja yang kemudian
kita bisa memenuhinya, dan melihat kembali sisi-sisi kekurangan agar kita bisa
menutupinya (menyempurnakannya).
Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Apabila kamu telah melakukan jual beli dengan (sistem) 'Ainah
(menjual barang dengan dua harga) dan kamu rela (senang) dengan bertani, dan
kamu mengikuti ekor sapi, tetapi kamu meninggalkan jihad fi sabilillah, maka
Allah akan memberikan kerendahan (kehinaan) atas kamu yang sulit untuk
dihilangkan hingga kamu mau kembali pada agamamu." (HR. Ahmad, Abu Dawud
dan Thabrani)
Hadits ini menunjukkan bahwa merasa cukup dengan pertanian saja dan
keasyikan dengan kehidupan bertani yang digambarkan dengan mengikuti ekor sapi
sementara ia meninggalkan berjihad fi sabilillah dan apa yang menjadi
konsekuensinya, yaitu mempersiapkan kekuatan itu, menyebabkan ummat ini dalam
bahaya besar, yaitu kehinaan dan keterjajahan. Ini membuktikan betapa
pentingnya industri yang harus ada pada ummat. Karena sesuatu yang menunjang
(menjadi prasyarat) terlaksananya suatu kewajiban, itu keberadaannya menjadi
wajib.
Cukuplah bagi orang-orang yang beriman, bahwa Allah SWT telah menurunkan
satu surat di dalam Al Qur'an yang diberi nama dengan surat "AI
Hadid" yang artinya besi. Hal itu untuk mengingatkan akan pentingnya tambang ini. Allah SWT berfirman:
"Dan Kami ciptakan besi yang padannya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia ..." (Al Hadid:
25)
Di dalam firman Allah SWT, "Fihi ba'sun syadid" mengisyaratkan
pentingnya peralatan perang, sedangkan firman Allah "Wa manaafi'u
linnaas," mengisyaratkan pentingnya pembuatan peralatan sipil. Dengan
demikian maka sempurnalah kekuatan ummat dalam suasana aman maupun perang. Tetapi
sayang bahwa ummat "surat Hadid" hingga saat ini tidak lebih pandai
dalam memanfaatkan besi, baik di bidang militer maupun sipil dibanding ummat
lain.
Dalam memacu produktivitas kita harus mendahulukan yang lebih penting
daripada yang sekedar penting, dan mendahulukan yang penting daripada yang
tidak penting. Atau menurut istilah ulama ushul disebut mendahulukan
"Dharuriyyaat" (hal-hal yang bersifat primer) -karena kehidupan tidak
akan tegak kecuali dengannya- daripada "Haajiyyaat" (hal-hal yang
bersifat sekunder) -karena kehidupan akan sulit tanpa adanya hal itu- dan
mendahulukan "Haajiyyaat" atas"Tahsiniyyaat" (pelengkap).
Maka tidak boleh bagi masyarakat menanam buah-buahan yang mahal saja, yang
hanya terjangkau oleh orang-orang kaya dan berduit, sementara mereka tidak mau
menanam gandum, jagung dan padi yang itu merupakan makanan pokok sehari-hari,
bagi masyarakat pada umumnya.
Tidak boleh pula bagi masyarakat hanya memperhatikan produksi minyak wangi
dan alat-alat kecantikan (kosmetik) lainnya, sementara mereka tidak mau
memproduksi alat-alat pertanian, pengairan atau transportasi atau persenjataan
penting guna memperkuat pertahanan.
Adapun memproduksi apa-apa yang membahayakan individu atau masyarakat, baik
secara materi maupun moral, jasmani atau ruhani, maka itu tertolak dan dilarang
secara syar'i. Seperti menanam tanaman tertentu untuk dibuat minuman keras,
menanam ganja untuk bahan narkotik, atau menanam tembakau dan lain-lain, yang
itu merupakan penggunaan nikmat-nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya dan
membahayakan makhluq-Nya.
5. Mengoperasionalkan kekayaan harta (Emas dan Perak)
Di antara kewajiban masyarakat Islam adalah mengeluarkan harta yang di
tangannya untuk diputar dan diinvestasikan, karena uang dan harta itu ada bukan
untuk ditahan dan ditimbun. Akan tetapi uang itu dibuat untuk dipergunakan dan
berpindah dari tangan ke tangan, sebagai harga untuk jual beli, upah untuk
bekerja, mata uang yang bisa dimanfaatkan atau modal yang berputar (syirkah)
atau mudharabah. Ia merupakan sarana untuk berbagai keperluan. Sekali lagi,
semata-mata sarana, dan tidak boleh berubah menjadi tujuan, apalagi menjadi
berhala yang disembah. Kalau demikian adanya, maka akan menjadi penyebab
kenistaan dan kecelakaan, "Merugilah hamba dinar, merugilah hamba
dirham," demikian sabda Rasulullah SAW.
Imam Ghazali di dalam kitabnya "Ihya' Ulumuddiin" berbicara
tentang fungsi uang dalam kehidupan berekonomi dengan pembahasan yang lebih
rinci dan detail dibandingkan para pakar ekonomi sekarang ini. Beliau
mengungkapkan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan dirham dan dinar (uang)
itu untuk dioperasionalisasikan oleh tangan manusia dan agar keduanya menjadi
hakim dan wasit di antara harta yang ada secara adil dan karena hikmah lainnya,
yaitu menjadi sarana untuk memperoleh segala sesuatu. Karena pada dasarnya
keduanya mulia dan tidak ada tujuan pada mata uangnya dan disandarkannya pada
segala sesuatu itu satu. Maka barangsiapa yang memilikinya, seakan ia memiliki
segala sesuatu. Tidak seperti orang yang memiliki baju, maka ia tidak memiliki
kecuali baju itu. Sehingga setiap orang yang bekerja untuk memperoleh uang
tetapi caranya tidak sesuai dengan hukum, bahkan bertentangan dengan hukum,
maka ia telah kufur terhadap nikmat Allah berupa emas dan perak.
Karena itu barangsiapa yang menyimpan emas dan perak maka ia menzhalimi
keduanya dan menghilangkan hikmah di dalamnya, seperti orang yang menyandera
penguasa kaum Muslimin di dalam tahanan sehingga mencegah dia dari melaksanakan
hukum. Disebabkan karena mampu membaca lembaran-lembaran Illahi yang tertulis
di atas alam yang terbuka dengan suatu perkataan yang mereka dengar sehingga
maknanya bisa sampai kepadanya melalui huruf dan suara, Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan
pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih." (At Taubah: 34)
17)
Allah SWT telah mewajibkan zakat atas emas dan perak dalam setiap tahun,
baik dikembangkan oleh pemiliknya atau tidak. Agar dengan ini dapat menjadi
motivasi yang kuat bagi pemiliknya untuk mengembangkan dan menginvestasikannya,
sehingga tidak "habis dimakan" oleh zakat pada setiap tahunnya.18)
Inilah yang
diperintahkan oleh hadits Rasulullah SAW kepada para pemelihara anak yatim
terhadap harta mereka dengan perintah yang jelas, yaitu agar mereka
mengembangkan harta tersebut sehingga mendatangkan kemanfaatan dan tidak
"dimakan" oleh zakat.
18) Lihat Figih Zakat: 1/253 Yusuf Al Qardhawi.
Post a Comment