Menyembelih Sebagai Syarat Halalnya Binatang


Menyembelih Sebagai Syarat Halalnya Binatang

Binatang-binatang darat yang halal dimakan itu ada dua macam:
1.      Binatang-binatang tersebut mungkin untuk ditangkap, seperti unta, sapi, kambing dan binatang-binatang jinak lainnya, misalnya binatang-binatang peliharaan dan burung-burung yang dipelihara di rumah-rumah.
2.      Binatang-binatang yang tidak dapat ditangkap.
Untuk binatang-binatang yang mungkin ditangkap seperti tersebut di atas, supaya dapat dimakan, Islam memberikan persyaratan harus disembelih menurut aturan syara'.

Syarat-Syarat Penyembelihan Menurut Syara'

Penyembelihan menurut syara' yang dimaksud, hanya bisa sempurna jika terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
1). Binatang tersebut harus disembelih atau ditusuk (nahr) dengan suatu alat yang tajam yang dapat mengalirkan darah dan mencabut nyawa binatang tersebut, baik alat itu berupa batu ataupun kayu.
'Adi bin Hatim ath-Thai pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: "Ya Rasulullah! Kami berburu dan menangkap seekor binatang, tetapi waktu itu kami tidak mempunyai pisau, hanya batu tajam dan belahan tongkat yang kami miliki, dapatkah itu kami pakai untuk menyembelih?" Maka jawab Nabi:
"Alirkanlah darahnya dengan apa saja yang kamu suka, dan sebutlah nama Allah atasnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasal, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
2). Penyembelihan atau penusukan (nahr) itu harus dilakukan di leher binatang tersebut, yaitu: bahwa kematian binatang tersebut justru sebagai akibat dari terputusnya urat nadi atau kerongkongannya.
Penyembelihan yang paling sempurna, yaitu terputusnya kerongkongan, tenggorokan dan urat nadi.
Persyaratan ini dapat gugur apabila penyembelihan itu ternyata tidak dapat dilakukan pada tempatnya yang khas, misalnya karena binatang tersebut jatuh dalam sumur, sedang kepalanya berada di bawah yang tidak mungkin lehernya itu dapat dipotong; atau karena binatang tersebut menentang sifat kejinakannya. Waktu itu boleh diperlakukan seperti buronan, yang cukup dilukai dengan alat yang tajam di bagian manapun yang mungkin.
Raafi' bin Khadij menceriterakan:
"Kami pernah bersama Nabi dalam suatu bepergian, kemudian ada seekor unta milik orang kampung melarikan diri, sedang mereka tidak mempunyai kuda, untuk mengejar, maka ada seorang laki-laki yang melemparnya dengan panah. Kemudian bersabdalah Nabi: 'Binatang ini mempunyai sifat primitif seperti primitifnya binatang biadab (liar), oleh karena itu apa saja yang dapat dikerjakan, kerjakanlah; begitulah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3). Tidak disebut selain asma' Allah; dan ini sudah disepakati oleh semua ulama. Sebab orang-orang jahiliah bertaqarrub kepada Tuhan dan berhalanya dengan cara menyembelih binatang, yang ada kalanya mereka sebut berhala-berhala itu ketika menyembelih, dan ada kalanya penyembelihannya itu diperuntukkan kepada sesuatu berhala tertentu. Untuk itulah maka al-Quran melarangnya, yaitu sebagaimana disebutkan dalam firmannya:
"Dan binatang yang disembelih karena selain Allah ... dan binatang yang disembelih untuk berhala." (al-Maidah: 3)
4). Harus disebutnya nama Allah (membaca bismillah) ketika menyembelih. Ini menurut zahir nas al-Quran yang mengatakan:
"Makanlah dari apa-apa yang disebut asma' Allah atasnya, jika kamu benar-benar beriman kepada ayat-ayatNya." (al-An'am: 118)
"Dan janganlah kamu makan dari apa-apa yang tidak disebut asma' Allah atasnya, karena sesungguhnya dia itu suatu kedurhakaan." (al-An'am: 121)
Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut asma' Allah atasnya, maka makanlah dia." (Riwayat Bukhari)
Di antara yang memperkuat persyaratan ini, ialah beberapa hadis shahih yang mengharuskan menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah atau anjing berburu, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Sementara ulama ada juga yang berpendapat, bahwa menyebut asma' Allah itu sudah menjadi suatu keharusan, akan tetapi tidak harus ketika menyembelihnya itu. Bisa juga dilakukan ketika makan. Sebab kalau ketika makan itu telah disebutnya asma' Allah bukanlah berarti dia makan sesuatu yang disembelih dengan tidak disebut asma' Allah. Karena sesuai dengan ceritera Aisyah, bahwa ada beberapa orang yang baru masuk Islam menanyakan kepada Rasulullah:
"Sesungguhnya suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka itu menyebut asma' Allah atau tidak? Dan apakah kami boleh makan daripadanya atau tidak? Maka jawab Nabi: 'Sebutlah asma' Allah dan makanlah.'" (Riwayat Bukhari)

Rahasia Penyembelihan dan Hikmahnya

Rahasia penyembelihan, menurut yang kami ketahui, yaitu melepaskan nyawa binatang dengan jalan yang paling mudah, yang kiranya meringankan dan tidak menyakiti. Untuk itu maka disyaratkan alat yang dipakai harus tajam, supaya lebih cepat memberi pengaruh.
Di samping itu dipersyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan pada leher, karena tempat ini yang lebih dekat untuk memisahkan hidup binatang dan lebih mudah.
Dan dilarang menyembelih binatang dengan menggunakan gigi dan kuku, karena penyembelihan dengan alat-alat tersebut dapat menyakiti binatang. Pada umumnya alat-alat tersebut hanya bersifat mencekik.
Nabi memerintahkan, supaya pisau yang dipakai itu tajam dan dengan cara yang sopan.
Sabda Nabi:
"Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada sesuatu. Oleh karena itu jika kamu membunuh, maka perbaikilah cara membunuhnya, dan apabila kamu menyembelih maka perbaikilah cara menyembelihnya dan tajamkanlah pisaunya serta mudahkanlah penyembelihannya itu." (Riwayat Muslim)
Di antara bentuk kebaikan ialah seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah memerintahkan supaya pisaunya itu yang tajam.
Sabda Nabi:
"Apabila salah seorang di antara kamu memotong (binatang), maka sempurnakanlah." (Riwayat Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ada seorang yang membaringkan seekor kambing sambil ia mengasah pisaunya, maka kata Nabi:
"Apakah kamu akan membunuhnya, sesudah dia menjadi bangkai? Mengapa tidak kamu asah pisaumu itu sebelum binatang tersebut kamu baringkan?" (Riwayat Hakim)
Umar Ibnul-Khattab pernah juga melihat seorang laki-laki yang mengikat kaki seekor kambing dan diseretnya untuk disembelih, maka kata Umar: 'Sial kamu! Giringlah dia kepada mati dengan suatu cara yang baik.' (Riwayat Abdurrazzaq).
Begitulah kita dapati pemikiran secara umum dalam permasalahan ini, yaitu yang pada pokoknya harus menaruh belas-kasih kepada binatang dan meringankan dia dari segala penderitaan dengan segala cara yang mungkin.
Orang-orang jahiliah dahulu suka memotong kelasa unta (bhs Jawa, punuk) dan jembel kambing dalam keadaan hidup. Cara semacam itu adalah menyiksa binatang. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. kemudian menghalangi maksud mereka dan mengharamkan memanfaatkan binatang dengan cara semacam itu.
Maka kata Nabi:
"Daging yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, berarti bangkai." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)

Hikmah Menyebut Asma' Allah Waktu Menyembelih

Perintah untuk menyebut asma' Allah ketika menyembelih terkandung rahasia yang halus sekali, yang kiranya perlu untuk direnungkan dan diperhatikan:
1.      Ditinjau dari segi perbedaannya dengan orang musyrik. Bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika menyembelih. Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mu'min tidak menyebut nama Tuhannya?
2.      Segi kedua, yaitu bahwa binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan bernyawa. Oleh karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja mencabutnya binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta seluruh isi bumi ini? Justru itu menyebut asma' Allah di sini merupakan suatu pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah manusia itu mengatakan: Aku berbuat ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah, bukan pula untuk merendahkannya, tetapi adalah justru dengan nama Allah kami sembelih binatang itu dan dengan nama Allah juga kami berburu dan dengan namaNya juga kami makan.

Sembelihan Ahli Kitab

Kita tahu bagaimana Islam memperkeras persoalan penyembelihan dan menganggap penting persoalan ini. Hal ini adalah justru karena orang-orang musyrik Arab dan pengikut-pengikut agama lain telah menjadikan penyembelihan termasuk persoalan ibadah, bahkan masuk persoalan keyakinan dan pokok kepercayaan agama. Oleh karena itu menyembelih, mereka jadikan sebagai sesuatu cara untuk berbakti kepada tuhannya, maka disembelihnya binatang untuk berhala atau dengan menyebut nama tuhannya. Kemudian datanglah Islam menghapus cara-cara ini dan mewajibkan untuk tidak menyebut kecuali asma' Allah, serta mengharamkan binatang yang disembelih untuk berhala dan dengan menyebut nama berhala.
Kemudian setelah ahli kitab yang semula adalah bertauhid itu telah banyak dipengaruhi oleh perasaan-perasaan syirik dan samasekali tidak melepaskan dari kesyirikanriya yang dulu-dulu, sehingga sementara orang Islam menganggap, bahwa mereka tidak bisa lagi bergaul dan bertemu dengan mereka sebagaimana halnya terhadap orang-orang musyrik lainnya, maka Allah memberikan perkenan (rukhsah) kepada mereka untuk makan makanan ahli kitab sebagaimana halnya dalam persoalan-persoalan perkawinan. Hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya yang merupakan ayat terakhir, yaitu:
"Hari ini dihalalkan yang baik-baik buat kamu dan begitu juga makanan orang-orang yang pernah diberi kitab (ahli kitab) adalah halal buat kamu, dan sebaliknya makananmu halal buat mereka." (al-Maidah: 5)
Maksud ayat di atas secara ringkas: bahwa hari ini semua yang baik, halal buat kamu, karena itu tidak ada lagi apa yang disebut: Bahirah, saibah, washilah dan ham. Dan makanan ahli kitab pun halal buat kamu sesuai dengan hukum asal dimana samasekali Allah tidak mengharamkannya, dan sebaliknya makananmu pun halal buat mereka. Jadi kamu boleh makan binatang yang disembelih dan diburu oleh ahli kitab, dan sebaliknya kamu boleh memberi makan ahli kitab dengan binatang yang kamu sembelih atau yang kamu buru.
Islam bersifat keras terhadap orang musyrik tetapi terhadap ahli kitab sangat lunak dan mempermudah, karena mereka ini lebih dekat kepada orang mu'min, sebab sama-sama mengakui wahyu Allah, mengakui kenabian dan pokok-pokok agama secara global. Justru itu pula kita dianjurkan untuk menaruh mawaddah terhadap mereka, boleh makan makanan mereka, boleh kawin dengan perempuan-perempuan mereka dan bergaul dengan baik bersama mereka. Sebab kalau mereka itu sudah bergaul dengan kita dan memeluk Islam dengan penuh keyakinan dan kesadaran, mereka pun akan tahu bahwa agama kita itu justru agama mereka juga dalam pengertian yang lebih tinggi, lebih sempurna bentuk-bentuknya dan lebih bersih lembaran-lembarannya dari segala macam bid'ah, kebatilan dan persekutuan.
Perkataan makanan ahli kitab adalah suatu ungkapan yang bersifat umum, meliputi seluruh macam makanan: sembelihannya, biji-bijiannya dan sebagainya. Semua ini halal buat kita, selama barang-barang tersebut tidak termasuk kategori haram, karena zatnya seperti darah, bangkai dan daging babi. Semua ini tidak boleh kita makan dengan ijma' ulama, baik barang-barang tersebut makanan ahli kitab ataupun milik orang muslim.
Sampai di sini selesailah pembicaraan kita tentang masalah binatang yang halal dan haram. Sekarang tinggal yang perlu untuk diterangkan kepada orang-orang Islam beberapa masalah yang sangat urgen, yaitu:

Binatang yang Disembelih Untuk Gereja dan Hari-Hari Besar

1. Masalah pertama: Apabila tidak terdengar suara dari ahli kitab itu sebutan nama selain Allah, misalnya: Nama al-Masih dan Uzair ketika menyembelih, maka makanannya tersebut tetap halal buat orang Islam. Tetapi kalau sampai terdengar suara penyebutan nama selain Allah, maka dari kalangan ahli fiqih ada yang mengharamkannya karena termasuk apa yang disebut uhilla lighairillah (yang disembelih bukan karena Allah). Tetapi sementara ada juga yang berpendapat halal.
Abu Darda' pernah ditanya tentang kambing yang disembelih untuk suatu gereja yang disebut jurjas, binatang itu mereka hadiahkan buat gereja tersebut, apakah boleh kita makan? Maka jawab Abu Darda': "Boleh." Sebab mereka itu adalah ahli kitab yang makanannya sudah jelas halal buat kita, dan sebaliknya makanan kita pun halal buat mereka. Kemudian dia suruh memakannya.6
Imam Malik pernah ditanya tentang sembelihan ahli kitab untuk hari-hari besar dan gereja mereka, maka kata Imam Malik: Aku memakruhkannya dan aku tidak menganggapnya haram.
Imam Malik memakruhkannya, karena termasuk dalam kategori wara' (berhati-hati supaya tidak jatuh ke dalam maksiat) karena kawatir kalau-kalau dia itu termasuk ke dalam apa yang disebut binatang yang disembelih bukan karena Allah. Dan ia tidak mengharamkan, karena arti dan maksud apa yang disembelih bukan karena Allah itu menurut pendapatnya, sepanjang yang dinisbatkan kepada ahli kitab, yaitu yang disembelih untuk bertaqarrub kepada Tuhan sedang mereka (ahli kitab) itu sendiri tidak memakannya. Dan apa yang disembelih dan dimakan adalah termasuk makanan mereka, sedang dalam hal ini Allah telah menegaskan: "Bahwa makanan ahli kitab itu halal buat kamu."

Sembelihan yang Dilakukan Oleh Ahli Kitab dengan Tenaga Listrik dan Sebagainya

2. Masalah kedua: Apakah penyembelihan mereka itu dipersyaratkan seperti penyembelihan kita juga, yaitu dengan pisau yang tajam dan dilakukan pada leher binatang?
Kebanyakan para ulama berpendapat demikian. Tetapi menurut fatwa pengikut-pengikut madzhab Imam Malik, bahwa yang demikian itu tidak termasuk persyaratan.
Al-Qadhi Ibnu Arabi berkata ketika menafsiri ayat 5 surah al-Maidah itu sebagai berikut: Ini suatu dalil yang tegas, bahwa binatang buruan dan makanan ahli kitab itu adalah termasuk makan yang baik-baik (thayyibaat) yang telah dihalalkan Allah dengan mutlak. Allah mengulang-ulanginya itu hanyalah bermaksud untuk menghilangkan keragu-raguan pertentangan-pertentangan yang timbul dari perasaan-perasaan yang salah, yang memang sering menimbulkan suatu pertentangan dan memperpanjang omongan.
Saya pernah ditanya tentang seorang Kristen yang membelit leher ayam kemudian dimasaknya, apakah itu boleh dimakan atau diambil sebagian daripadanya sebagai makanan? Maka jawab saya: Boleh dimakan, karena dia itu termasuk makanannya dan makanan pendeta dan pastor, sekalipun ini menurut kita tidak termasuk penyembelihan, namun Allah telah menghalalkan makanan mereka itu secara mutlak. Makanan apapun yang dibenarkan oleh agama mereka berarti halal buat kita, kecuali yang memang oleh Allah telah didustakan.
Ulama-ulama kita pernah berkata: Mereka telah menyerahkan perempuan-perempuan mereka kepada kita untuk dikawin dan halal kita setubuhi, mengapa penyembelihannya tidak boleh kita makan, sedang makan tidak sama dengan setubuh, halal dan haramnya.
Demikian pendapat Ibnul-Arabi.
Kemudian di tempat lain ia berkata lagi: Mereka tidak makan yang bukan karena disembelih, misalnya dengan dicekik dan dipukul kepalanya (dengan tidak bermaksud menyembelih, karena itu binatang tersebut termasuk bangkai yang haram).
Kedua pendapat beliau ini tidak bertentangan, sebab yang dimaksud ialah: Apa yang mereka anggap sebagai penyembelihan, berarti halal buat kita sekalipun menurut kita sembelihannya itu tidak benar. Dan apa yang mereka anggap itu bukan sembelihan, tidaklah halal buat kita.
Dengan demikian, menurut mafhum musytarak apa yang disebut penyembelihan, yaitu bermaksud menyabung nyawa binatang dengan niat untuk halalnya memakan binatang tersebut.
Ini adalah pendapat ulama-ulama Malikiyah.
Dengan bercermin kepada apa yang telah kami sebutkan di atas, maka kita dapat mengetahui hukumnya daging-daging yang diimport dari negara-negara yang penduduknya majoritas ahli kitab, seperti ayam, corned sapi, yang semua itu kadang-kadang disembelih dengan menggunakan tenaga elektronik dan sebagainya. Selama binatang-binatang tersebut oleh mereka dianggapnya sebagai sembelihan, maka jelas halal buat kita, sesuai dengan umumnya ayat.
Adapun daging-daging yang diimport dari negara-negara Komunis, tidak boleh kita makan. Sebab mereka itu bukan ahli kitab, bahkan mereka adalah kufur dan anti kepada semua agama dan menentang Allah serta seluruh risalahnya.

Penyembelihan Orang Majusi dan Sebagainya

Para ulama berbeda pendapat tentang penyembelihan orang Majusi. Kebanyakan mereka berpendapat tidak boleh memakannya karena mereka termasuk orang musyrik.
Sedang yang lain berpendapat halal karena Nabi s.a.w. pernah bersabda:
"Perlakukanlah mereka itu seperti perlakuan terhadap ahli kitab." (Riwayat Malik dan Syafi'i)
Dan Nabi sendiri pernah menerima upeti dari Majusi Hajar. (Riwayat Bukhari).
Oleh karena itu, Ibnu Hazim berkata di bab penyembelihan dalam kitabnya Muhalla: "Mereka itu adalah ahli kitab, oleh karena itu mereka dihukumi seperti hukum yang berlaku untuk ahli kitab dalam segala hal." (Lihat juz 7: 456).7
Dan shabiun (penyembah binatang) oleh Abu Hanifah dianggap sebagai ahli kitab juga.8

Kaidah: "Apa Yang Ghaib Bagi Kita, Jangan Kita Tanyakan"

Tidak menjadi kewajiban seorang muslim untuk menanyakan hal-hal yang tidak disaksikan, misalnya: Bagaimana cara penyembelihannya? Terpenuhi syaratnya atau tidak? Disebut asma' Allah atau tidak? Bahkan apapun yang tidak kita saksikan sendiri tentang penyembelihannya baik dilakukan oleh seorang muslim, walaupun dia bodoh dan fasik, ataupun oleh ahli kitab, semuanya adalah halal buat kita.
Sebab, seperti apa yang telah kita sebutkan di atas, yaitu ada suatu kaum yang bertanya kepada Nabi: "Bahwa ada satu kaum yang memberinya daging, tetapi kita tidak tahu apakah disebut asma' Allah atau tidak. Maka jawab Nabi: Sebutlah asma' Allah atasnya dan makanlah," (Riwayat Bukhari).
Berdasar hadis ini para ulama berpendapat, bahwa semua perbuatan dan pengeluaran selalu dihukumi sah dan baik, kecuali ada dalil (bukti) yang menunjukkan rusakan batalnya perbuatan tersebut.
6. Riwayat Thabarani 1:42 Riwayat Thabarani 1:42.
7. Pendapat ini bukan mengherankan, karena Ibnu Hazim memang ahli dalam sejarah agama-agama, jadi dia mempunyai standard untuk menetapkan, bahwa Majusi itu termasuk ahli kitab. Sebab memang mereka ini menganggap Zoroaster itu sebagai nabinya. Ini diperkuat juga oleh penyelidik Islam Maulana Abil Kalam Azaad.
8. Termasuk Shabiun ialah Buddha dan Hindu (Lihat Tafsir al-Manar juz 6 bab makanan penyembah berhala).

Tidak ada komentar