Menyikapi Perbedaan


Menyikapi Perbedaan

SAUDARAKU, alangkah indahnya taman bunga di sekeliling kita. Aneka warna, perbedaan, ragam, dan bau wewangian. Sungguh, keindahan itu mewujud karena adanya perbedaan. Keindahan bukan mewujud dari persamaan atau kesamaan warna kulit, bentuk, bahasa, dan lainnya. Perbedaan akan menjadi keindahan dan kian indah apabila diikat dengan hati. Saudaraku, Allah menghadirkan hidup di negeri ini dalam perbedaan. Alangkah indahnya kalau perbedaan ini kita pahami dan kita jadikan sebagai suatu potensi bagi terwujudnya persatuan. Ketahuilah, kita berbeda tetapi sama-sama ciptaan-Nya.
Sudah cukup kita saksikan dan rasakan bersama betapa tindakan-tindakan yang tidak bijaksana, bahkan anarkis (membuat kerusakan) selain tidak menyelesaikan masalah, yang terjadi malah menambah masalah. Betapa tindakan-tindakan yang membuat kerusakan di mana pun dan kapan pun ternyata mengakibatkan beragam masalah yang tiba-tiba muncul, secara diduga atau tidak.
Janganlah akibat suatu perbedaan kita malah saling menzalimi. Kejadian apa pun yang telah menimpa negeri ini, sudah semestinya menjadi pelajaran bagi kita semua. Di antara yang bisa kita ambil hikmahnya adalah kita harus punya tekad yang sama untuk membangun kebersamaan di negeri tercinta ini. Jangan biarkan kekerasan menjadi solusi dari permasalahan yang ada.
Lebih dari itu masalah yang sedang menimpa kita semua adalah bagian dari karunia Allah SWT. yang dapat membuat kita menjadi lebih maju, beradab, dan kuat dalam menghadapi masa yang akan datang, sepanjang kita menyikapinya dengan cara yang benar. Bagi orang yang imannya kokoh tidak pernah ada kejadian yang merugikan. Diberi nikmat kita bersyukur, syukur itulah kebaikan. Diberi ujian kita bersabar, sabar itu pun kebaikan. Kerugian hanyalah milik orang-orang yang tidak punya keyakinan yang kokoh dan tidak punya akhlak yang mulia.
Mungkin sebenarnya tidak ada yang salah dari perbedaan. Yang salah adalah jikalau kita tidak bisa menyikapi perbedaan yang ada. Bukankah Allah menciptakan keindahan itu justru dari perbedaan yang ada? Indahnya kebersamaan justru kalau kita dapat merasakannya sebagaimana kita melihat suatu rangkaian bunga. Lihatlah! Dalam sebuah rangkaian kita dapat menemukan bunga yang berwarna cokelat, merah, jingga, atau merah muda. Semuanya berpadu memberi semburat nuansa indah yang memikat mata untuk melihat. Ya! Kita melihat keindahan justru melalui perbedaan.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. perbedaan merupakan sebuah rahmat. Di sinilah tampaknya kita -- umat Islam -- harus mulai lebih memikirkan jalinan ukhuwah islamiah dibandingkan memperbesar jurang perbedaan. Dalam suatu riwayat Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?" Sahabat menjawab, "Tentu saja!" Rasulullah pun kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan" (H.R. Bukhari-Muslim).
Perbedaan adalah rahmat, karena itu setidaknya ada lima hal yang patut kita renungkan dalam menghadapi perbedaan. Pertama, menyadari. Kita harus mulai melihat perbedaan ini dengan menyadari bahwa perbedaan itu pasti ada dan bahkan harus ada. Kedua, memahami. Artinya, kita harus senantiasa mencoba memahami setiap perbedaan yang ada. Ketiga, memaklumi. Sejak saat ini kita harus belajar untuk memaklumi setiap perbedaan yang ada di antara kita. Keempat, memaafkan. Perbedaan tak jarang membuat adanya ketersinggungan-ketersinggungan. Oleh karena itulah, kita harus mampu memberi keluasan maaf. Kelima, memperbaiki. Terkadang perbedaan memang tidak selalu baik, di sinilah kita perlu kemauan untuk memperbaiki, bukan menyalahkan.
Saudaraku, dapat kita renungkan bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan persaudaraan dalam menyikapi perbedaan. Oleh karena itu, memperkokoh pilar-pilar ukhuwah islamiah merupakan salah satu tugas penting bagi kita.
Lalu, bagaimanakah agar ruh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya ternyata terletak pada sejauh mana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki qalbu (hati) yang bening bersih dan selamat. Karena qalbu yang kotor dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk sangka, hampir dapat dipastikan akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang justru dapat merusak ukhuwah. Mengapa? Sebab bila di antara sesama muslim saja sudah saling berburuk sangka, saling iri, dan saling mendengki, maka bagaimana mungkin akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?
Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah berpadu dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam qalbu yang kusam dan busuk inilah justru tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang mengejawantah dalam aneka bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama muslim.
Coba tanyakan kepada diri kita. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak enak hati terhadap adik, kakak, atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih menyimpan kesal kepada teman sekantor karena ia lebih diperhatikan oleh atasan? Bila demikian, bagaimana bisa terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang Muslim yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat Muslim yang diperangi? Bagaimana mungkin kita mampu bangkit serentak manakala hak-hak Muslim dirampas oleh kaum yang zalim? Bagaimana mungkin kita akan mampu menata kembali kejayaan umat Islam?
Nah, dari sinilah seyogianya memulai langkah untuk merenungkan dan mengkaji ulang sejauhmana kita telah memahami makna ukhuwah islamiah karena justru dari sini pula Rasulullah saw. mengawali amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah merubah karakter dasar manusia. Karakter akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya.
Manakala kesadaran telah tersemai, jangan heran kalau Umar bin Khathab yang pemberang adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang sahabat menempelkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas budak hitam yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah, dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sedangkan kaum Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat tinggal dengan saudara-saudaranya seiman seakidah tersebut.
Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan dengan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, tampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang menorehkan keluhuran akhlak. Pribadi-pribadi yang aneka buah pikirannya, sesederhana apa pun, adalah buah pikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah-masalah yang menggelayut pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya sehingga berdialog dengannya selalu membuahkan kelapangan. Wallahu'alam.***

Tidak ada komentar