PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN
PEMIKIRAN DAN PEMAHAMAN
Sebagaimana masyarakat
Islam itu berbeda (memiliki ciri khas) dengan aqidah dan ibadahnya, ia juga
memiliki keistimewaan dengan pemikiran (fikrah) dan sistem nilainya.
Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan
pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang,
nilai dan hubungan. Masyarakat Islam menentukan ini semuanya dari sudut pandang
Islam, mereka tidak mengambil hukum kecuali dari sumber referensi Islam yang
bersih dan jernih dari kotoran-kotoran dan penambahan-penambahan, sebagai
akibat dari rusaknya zaman. Sumber yang bersih itulah yang mampu menangkal
pemikiran yang ekstrim dan pemikiran yang cenderung kendor, penyimpangan
orang-orang yang membuat kebatilan dan penakwilan orang-orang yang bodoh.
Islam sangat memperhatikannya untuk meluruskan pemahaman pengikutnya,
sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi
lurus dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu
menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan pemikiran
yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari
jalan yang lurus.
Oleh karena itu Al Qur'an dan As-Sunnah selalu meluruskan pemahaman-pemahaman
yang menyimpang, pemikiran-pemikiran keliru yang tersebar di masyarakat.
Sebagian dari orang-orang Badui memahami bahwa keimanan itu sekedar
pengumuman identitas dan menampakkan perbuatan. Maka Al Qur'an turun untuk
meluruskan pemahaman seperti itu, sebagaimana Firman Allah SWT:
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah
(kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, "Kami telah
tunduk (Islam)." Karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika
kamu tobat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun
(pahala) amalmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya
orang -orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (Al Hujurat: 14 - 15)
Telah masyhur di kalangan Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi bahwa
kebajikan dan ketaqwaan itu tergantung pada sejauh mana perhatian seseorang
terhadap bentuk-bentuk (simbol) tertentu. Oleh karena itu mereka merasa heran
ketika melihat Rasulullah SAW mengubah arah kiblatnya dari Baitul Maqdis ke
Ka'bah. Kernudian Al Qur'an turun menjelaskan hakekat kebajikan dan ketaqwaan
serta agama yang benar, Allah SWT berfirman:
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (Al Baqarah: 177)
Sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu penuh mawar
dan melati, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada tekanan serta tidak ada
siksaan, maka Al Qur'an turun untuk membetulkan pemahaman yang salah ini, yaitu
dalam firman Allah SWT:
"Aliif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji
lagi? Sesungguuhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta." (Al Ankabut: 1 - 3)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata
bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang
yang sabar." (Ali Imran: 142)
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang
bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (Al Baqarah: 214)
Sebagian orang mengira bahwa orang yang dibunuh di jalan Allah itu telah
mati, seperti matinya orang-orang biasa, maka Al Qur'an menolak perkiraan itu
dan memberikan pemahaman yang baru, yaitu dalam firman Allah SWT:
"Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka hidup, tetapi kamu tidak
menyadarnya." (Al Baqarah: 154)
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-oang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannnya dengan mendapat rizki." (Ali Imran: 169)
Sebagian orang mengira bahwa perubahan dibidang materi itu merupakan sebab
perubahan jiwa manusia, maka Al Qur'an menegaskan sebaliknya bahwa perubahan
ruhi dan ma'nawi itulah asas perubahan yang sebenarnya, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Ar-Ra'du: 11)
Al Qur'an juga membenarkan/meluruskan pemikiran manusia tentang konsep
kebahagiaan dan kerugian, sehingga Al Qur'an mengalihkan perhatian itu dari
ruang lingkupnya yang sempit dalam pemikiran kebanyakan manusia yaitu berkisar
pada masalah materi duniawi yang cepat hilang menuju ruang lingkup yang lebih
luas dan kekal abadi, Allah berfirman:
"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka
sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan
yang memperdayakan." (Ali Imran: 185)
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al
Mu'minun: 1-2)
"Sesungguhnnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (Al A'laa: 1-15)
"Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah
orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari
kiamat." Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)
Sebagian manusia mengira bahwa wanita itu adalah syetan-syetan yang
diciptakan untuk menyesatkan kaum laki-laki. dan sesungguhnya wanita itu
merupakan laknat yang nyata dan fitnah yang berjalan di atas bumi, maka Al Qur'an
menafikan persangkaan ini, Allah SWT berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaannnya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isten dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadannya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhrya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Ruum: 21)
Sebagian manusia juga mengira bahwa sesungguhnya gelap dan terang itu
pengaruh dari dua tuhan yang berbeda yang selalu bertengkar, sehingga yang
menang itulah yang mendominasi atas yang lainnya. Maka Al Qur'an menjelaskan
bahwa gelap terang itu pengaruh dari pencipta yang satu dan Tuhan yang satu
pula, yakni Allah.
"Dialah (Allah) yang menciptakan langit, dan bumi dan menjadikan gelap
dan cahaya." (Al An'am: 1)
"Dan Kami telah menjadikan malam sebagai pakaian dan Kami jadikan
siang untuk mencari penghidupan." (An-Naba':
10-11)
"Katakanlah, "Terangkan kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu
siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang
akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah
kamu tidak memperhatikan?" (Al Qashshash: 72)
Demikian Al Qur'an terus diturunkan selama 23 tahun untuk menjelaskan yang
haq dan yang bathil, serta meluruskan berbagai persepsi dan pemahaman yang
salah kaprah.
Sunnah Nabi juga datang untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat
tersebut, baik secara teoritis maupun dalam pelaksanaannya. Rasulullah terus
menerus membetulkan dan menjelaskan, membangun dan merobohkan, hingga masyarakat
Islam itu memiliki persepsi yang lurus benar, pemahaman yang wadhih (jelas) dan
memiliki bashirah (pandangan hati) dari Tuhannya. Sebagaimana firman Allah SWT
kepada Rasul-Nya:
"Katakanlah, "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci
Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yusuf: 108)
"Katakanlah, "Sesungguhnya aku telah ditunjukki oleh Tuhanku
kepada jalan yang lurus, (Yaitu) agama yang benar; agama lbrahim yang lurus,
dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musrik." (Al An'am: 161)
Nabi SAW telah meluruskan berbagai pemahaman yang banyak sekali, di antara
yang terpenting adalah pemahaman masalah iman. Maka keimanan itu bukanlah
sekedar berangan-angan, tetapi iman adalah sesuatu yang meresap ke dalam hati
dan dibuktikan dengan perbuatan. Rasulullah bersabda dalam hadist-hadistnya
sebagai berikut:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya." (HR. Bukhari-Muslim)
"Tidak sempurna iman di antara kalian, sehingga hawa nafsunya mau
mengikuti (risalah) yang aku bawa." (Imam Nawawi mengatakan dalam Arba'in,
kami meriwayatkannya dalam Al Hujjah dengan sanad Shahih)
"Bukanlah disebut orang beriman, orang yang semalam suntuk dalam
kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan." (HR. Thabrani dan Abu Ya'laa)
"Iman itu ada tujuh puluh cabang, dan malu adalah cabang dari
iman." (Mutafaqan 'alaih)
Dan juga hadits-hadits yang lainnya yang banyak sekali, sebagaimana yang
dihimpun oleh salah seorang ulama yaitu Imam Baihaqi dalam satu kitab besar
yang berjudul "Syu'abul Iman."
Islam telah meletakkan pemahaman baru dalam hal diterimanya amal, sehingga
amal itu dihubungkan dengan maksud dan niat yang memotivasi terlaksanannya amal
tersebut, Islam telah memfokuskan pandangannya kepada hati, bukan pada bentuk
lahiriahnya saja, Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya nilai amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya
tiap-tiap (amal) itu tergantung pada niatnya." (HR. Bukhari-Muslim)
"Sesungguhrya Allah tidak melihat pada bentuk dan tubuh kamu, tetapi
Ia melihat pada hati dan amal kamu." (HR. Muslim)
"Ingatlah! Bahwa sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging,
apabila ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak, maka rusaklah
seluruh tubuh, itulah hati." (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah SAW juga menjelaskan hakekat orang yang kaya:
"Bukanlah kekayaan itu dilihat dari banyaknya harta, tetapi kekayaan
itu dilihat dari kekayaan hati." (HR. Bukhari-Muslim)
Kemudian beliau juga menjelaskan hakekat kekuatan, maka dikembalikan pada
kekuatan mental, bukan kekuatan fisik:
"Bukanlah orang yang kuat itu (dilihat) dari kekuatan dorongannya,
tetapi orang yang kuat ialah yang mampu menahan nafsunya ketika marah." (HR.
Bukhari-Muslim)
Rasulullah SAW juga menjelaskan hakekat orang yang miskin dengan penjelasan
yang berbeda dengan pemahaman manusia pada umumnya manusia, beliau bersabda:
"Bukanlah orang yang miskin itu orang yang hanya sampai padanya satu
atau dua biji kurma, tidak pula satu atau dua suapan, akan tetapi orang yang
miskin adalah orang yang tidak mendapatkan dan sisa dan ia tidak dilihat
sehingga ia diberi sedekah, dan tidak bekerja sehingga meminta kepada
manusia." (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah juga menjelaskan standar keutamaan yang ada pada manusia, baik
secara individu maupun dalam bermasyarakat."abi SAW membatasi keutamaan
itu terletak pada keimanan, ketaqwaan dan amal shalih, dan menolak pemahaman
yang berkembang pada umumnya yang mengukur dengan perhiasan, pangkat, harta,
kekayaan, kebangsaan dan keturunan atau yang serupa dengan itu semua dari
standar-standar materi duniawi."abi SAW bersabda:
"Betapa banyak orang yang (penampilannya) tidak rapi, didorong dengan
pintu (jika berkunjung), tapi seandainya ia bersumpah kepada Allah pasti Allah
akan memperhatikannya." (HR. Muslim)
"Banyak orang yang fakir itu lebih baik dari sepenuh bumi dari orang
kaya yang masyhur" (HR. Mutafaq 'alaih -secara makna-)
"Dan tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang 'Ajam, dan tidak
ada keutaman bagi orang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam kecuali
dengan ketaqwaan." (HR. Al Bazzar)
"Barang siapa yang amalnya Iambat, maka tidak bisa dipercepat oleh
nasabnya." (HR. Muslim)
"Akan datang seorang lelaki besar gemuk di sisiku di hari kiamat,
tetapi beratnnya di sisi Allah tidak melebihi berat sayap nyamuk." (HR.
Bukhari)
Rasulullah SAW pernah menjelaskan kerusakan standar pada akhir zaman,
beliau bersabda:
"Akan datang pada manusia suatu zaman (masa), di mana pada masa itu
seseorang dikatakan, "Alangkah wibawannya, alarngkah cerdasnnya, dan
alangkah kuatnya, " tetapi dalam hatinya tidak ada seberat biji pun dari
keimanan." (HR. Bukhari)
Pemikiran Islam pemahaman dan persepsinya yang bersih itulah satu-satunya
yang bisa mewarnai masyarakat Islam dan menguasai fikiran orang-orangnya, yang
mengarahkan moral dan seninya, ilmu dan mass medianya dan yang mengarahkan
pendidikan dan pengajarannya.
Yakni konsep dan pandangan Islam yang jelas tentang manusia, kehidupan dan
dunia, harta kekayaan dan kemiskinan, agama, kebajikan dan ketakwaan, keadilan
dan kebaikan, kemajuan dan kemunduran, modern dan primitif, zuhud dan qanaah
(menerima), sabar dan ridha.
Pemikiran Islam tentang laki-laki dan wanita, dan hubungan antara keduanya.
Pemikiran antara si kaya dan si miskin, dan bagaimana hubungan antara keduanya.
Pemikiran Islam tentang penguasa dan rakyat, dan bagaimana hubungan di antara
keduanya. Serta pemikiran Islam antara pribadi dan masyarakat serta hubungan
antara keduanya.
Demikian itu karena konsep pemikiran Islam telah diambil dari sumber ilahi
yang terpelihara, yakni:
"Itulah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan, dan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu." (Hud: 1)
Dan Sunnah Rasulullah SAW yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya,
"Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya." (An-Najm: 4)
Karena itulah maka hanya pemikiran (Islam) inilah yang mencakup semua
bidang kehidupan, mendalam dan seimbang dalam menentukan ukuran dari segala
sesuatu dan keterkaitan hubungan satu sama lain.
Itulah pemikiran yang tawazun dan tengah-tengah (adil) yang menganggap
dunia sebagai mazra'atul akhirah (ladang akhirat) dan sebagai jalan/tangga menuju
perkampungan yang kekal. Jalan itu haruslah nyaman dan indah dengan pohon-pohon
yang rindang, sehingga memudahkan bagi orang-orang yang melewatinya.
Bukanlah pandangan Islam tentang kehidupan dunia itu pandangan pesimis yang
mengatakan bahwa kehidupan itu laknat (kejam); sesungguhnya alam itu jahat dan
harus segera hancur; dengan mengisolir diri atau tidak mau menikah selamanya
dan tidak mau segala yang baik-baik. Sebagaimana dalam aliran AlManawi di Paris
dan sebagaimana biasa dilakukan para pendeta Nasrani dan orang-orang miskin
dalam agama Hindu.
Bukanlah pemikiran Islam itu pemikiran "Zhahiriyah" yang kafir,
yang intinya disebutkan dalam Al Qur'an:
"Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan
di dunia ini saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan
kita selain masa." (Al Jatsiyah: 24)
Pemikiran Islam tentang manusia adalah pemikiran yang seimbang dan lurus
yang memandang manusia sebagai makhluk yang mulia (dimuliakan), yang memiliki
tabiat yang berbeda-beda. Ia terdiri dari jasmani dan ruhani, atau ia merupakan
ruh yang bertempat dalam sosok tubuh. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh (ciptaanKu); maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Shad: 71-72)
Maka dalam syari'at Islam tubuh itu wajib diberikan haknya, sebagaimana ruh
juga wajib diberikan haknya.
Pemikiran Islam bukanlah pemikiran materialistis yang mengatakan bahwa
manusia hanyalah jasmani saja, dengan susunan tubuhnya, dengan daging, saraf
dan tulang belakangnya, dan di balik tubuh tidak ada sesuatu yang lain. Ia
melihat manusia seperti melihat alam, alam itu sekedar benda, tidak ada Tuhan
yang mengatur baginya.
Pemikiran Islam juga
bukan pemikiran kebathinan (ruhiyah) yang berlebihan seperti mereka katakan
bahwa manusia itu secara fisik jahat dan kotor, sedangkan yang suci dan tinggi
(mulia) adalah ruhnya saja. Maka tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan
menyiksa tubuh dan menyakitinya, agar ruhnya bisa bersenang-senang dan menjadi
bersih, meningkat dan ber-tazkiyah (menyucikan diri).
Maka bukanlah
masyarakat Islam yang benar keislamannya itu, masyarakat yang pemahaman
hidupnya seperti pemahaman orang-orang Barat dan orang-orang Budha.
Bukan pula masyarakat
Islam itu masyarakat yang memahami manusia dengan pemahaman orang-orang ahli
ruhani yang pesimis, bukan pula pemahaman orang-orang materialis yang
berlebihan.
Bukan pula masyarakat
Islam yang shahih adalah masyarakat yang memahami ketaqwaan itu sekedar dengan
pakaian yang banyak tambalan atau jenggot yang dipanjangkan, atau tasbih yang
diputar-putar di tangan, sementara di balik itu tidak memiliki dasar ilmu yang
bermanfaat, hati yang khusyu' dan amal yang shalih.
Bukanlah masyarakat
Islam itu masyarakat yang memahami agama sekedar melaksanakan syiar-syiar
ibadah tertentu, seperti shalat, puasa,. haji dan umrah. Tetapi ia juga
berhubungan dengan riba dalam bisnisnya atau membiarkan isterinya terbuka auratnya
atau membiarkan anaknya berada di sekolah-sekolah Kristen atau membiarkan
mereka menjadi sasaran pendidikan guru yang kafir dan fasiq.
Mereka melihat
kemunkaran dan kerusakan berada di segala penjuru, sementara dia hanya
mengatakan "nafsi-nafsi" dengan melalaikan kewajiban beramar ma'ruf
nahi munkar, serta berjihad untuk melawan kebathilan.
Bukan pula masyarakat
Muslim itu masyarakat yang memahami keadilan sosial itu dengan merampas harta
yang bertumpuk-tumpuk kemudian disedekahkan hanya beberapa dirham kepada
sebagian fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Bukanlah keadilan itu
merampas harta yang dimiliki dengan sah dari pemiliknya yang mereka adalah
orang-orang kaya, dengan alasan akan dibagikan kepada fakir miskin, sementara
tidak disampaikan kepada fakir miskin sedikit pun. Pemahaman seperti ini adalah
keliru jika dinisbatkan ke dalam pemikiran Islam.
Bukan pula masyarakat
Islam itu masyarakat yang memandang kemiskinan dan kekayaan itu seperti
pandangan orang sufi yang mengatakan, "Jika kamu melihat kemiskinan itu
tiba, maka katakanlah, 'Marhaban'(selamat datang) syiar orang-orang shalih!',
dan jika kamu melihat kekayaan itu tiba, maka katakanlah, 'Ini dosa yang cepat
mendatangkan siksa."
Bukan pula masyarakat
Islam itu masyarakat yang memandang kedudukan wanita sebagai perangkap syetan
dan iblis, dan dialah yang telah mengeluarkan Adam dari surga. Sebagaimana
difahami oleh Taurat yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani, atau
sebagaimana juga difahami oleh sebagian besar kaum Muslimin sebagai pengetahuan
yang keliru yang mereka peroleh dari sekolah-sekolah atau dari mass media.
Bukan pula masyarakat
Islam itu masyarakat yang berkembang di dalamnya pemahaman yang keliru dalam
masalah persamaan hak antara laki-laki dan wanita, padahal ciptaan Allah
membedakan antara keduanya dan menjadikan kepemimpinan dan tanggung jawab itu
berada di tangan laki-laki. Allah SWT berfirman:
"Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dan harta mereka." (An-Nisa': 34)
Sesungguhnya berbagai
pemikiran dan pemahaman yang saat ini berkembang dalam masyarakat yang mengaku
Muslim sangat banyak dan beraneka ragam, antara lain sebagai berikut:
Pemikiran itu berasal
dan nilai-nilai dan ajaran Islam yang benar, yang sampai saat ini masih
mempunyai pengaruh dalam jiwa dan akal, terutama setelah maraknya para da'i
yang faham akan hakekat Islam di berbagai negara. Mereka berupaya menjelaskan
risalahnya sesuai dengan fithrah dan keuniversalannya dan menolak berbagai
tuduhan terhadap risalah ini.
Pemikiran mereka
berasal dari sisa-sisa peninggalan masa-masa terakhir, saat pemikiran Islam
mengalami kemunduran di segala bidang, sehingga kehilangan orisinalitasnya.
Sementara kaum Muslimin sedang dilanda kesalah fahaman terhadap Islam itu
sendiri, sebagaimana mereka juga salah dalam penerapan/pengamalan terhadap
Islam.
Pemikiran yang berasal
dan pemikiran asing yang ditransfer masuk ke dalam negara-negara Islam bersama
kaum imperalis yang stressingnya adalah merubah pemikiran dan persepsi kaum
Muslimin serta selera mereka agar mudah bagi mereka untuk mengendalikan kaum
Muslimin ke arah yang mereka inginkan
Kewajiban masyarakat
Islam adalah menolak seluruh pemahaman yang tidak bersumber dari Islam yang
shahih, baik dari sisa peninggalan keterbelakangan dan penyimpangan berbagai
aliran dalam Islam itu sendiri atau dari pemikiran-pemikiran yang ditransfer
dari penjajah Barat.
Di antara contoh
pemikiran yang keliru dari kebanyakan kaum Muslimin di berbagai negara adalah
tentang wanita dan hubungannnya dengan pria. Mereka memandang bahwa wanita itu
makhlukyang kurang sempurna dan berbahaya, ia harus tetap tinggal di rumah
sampai masuk ke dalam kubur. Tidak boleh melihat laki-laki dan tidak boleh
dilihat oleh laki-laki, ia tidak boleh keluar untuk beribadah dan beramal
shalih atau memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Adapun contoh yang
kedua, yaitu pemikiran kebanyakan kaum Muslimin dari kalangan post modernis
yang telah terdidik dengan pendidikan Barat-baik dengan cara langsung atau
dengan tidak langsung- mereka menganggap keluarnya wanita dari fitrhah dan
tugasnya itu termasuk hak-hak yang disahkan dan mereka menganggap percampuran
antara wanita dengan laki-laki yang tanpa batas dan tanpa ikatan itu termasuk
kebebasan yang dituntut. Sementara mereka mengatakan bahwa pendapat yang tidak
sesuai dengan pendapat mereka itu dianggap primitif (ketinggalan) dan ekstrim.
Pemikiran asing yang ditransfer itulah yang kini dominan dan berkembang di
kalangan mayoritas mahasiswa Muslim.
Di antara pemahaman
yang paling berbahaya yang diajarkan kepada mereka oleh "Ghazwul
Tsaqafi" adalah pemahaman tentang "Dien" (agama) sebagaimana
difahami oleh orang-orang barat.
Sesungguhnya agama
menurut mereka sekedar hubungan bathin antara Tuhan dengan manusia, tidak ada
urusan yang berkaitan dengan urusan negara dan sistem kemasyarakatan. Untuk itu
kehidupan di sana
saat ini berpijak pada asas pemisahan antara negara dan agama.
Adapun agama (Islam)
menurut pandangan kaum Muslimin adalah manhaj (sistem hidup) yang syamil
(universal) yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari qadha'il hajah
(buang air) sampai qiyaamid daulah (mendirikan negara) dari tata cara makan
minum sampai sistem ekonomi dan politik, dari shalat dan puasa sampai masalah
perang, damai dan hubungan internasional.
Syari'at (hukum) Islam
itulah yang menentukan seluruh perilaku orang-orang makallaf ('aqil baligh).
Tidak ada satu pun ucapan atau perbuatan keluar dari kekuasaan hukum. Maka
setiap aktivitas yang keluar/muncul dari seorang mukallaf harus ditentukan
hukumnya oleh syari'at, apakah itu wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.
Tugas syari'at adalah mengeluarkan seorang mukallaf dari mengikuti kemauan hawa
nafsunya, untuk terikat dengan hukum-hukum Allah.
Sumber ajaran Islam
(syari'at) telah menjamin dengan sempurna untuk mengatasi segala peristiwa dan
kasus yang terjadi pada manusia, sesuai dengan kaidah-kaidah dan nash-nash,
Allah SWT berfirman:
"Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (An-Nahl: 89)
Penerapan Islam di masa
Rasulullah telah membuktikan kebenaran pemikiran itu. Rasulullah SAW telah
menyampaikan wahyu dari Allah, beliaulah yang melaksanakan perintah agama ini,
beliau juga sebagai Imamul Muslimin dan pemimpin negara, selaku qadhi (yang
memutuskan) dalam perselisihan mereka, dan dia tidak disertai seorang raja atau
hakim yang mengatur urusan politik, sebagaimana pernah terjadi pada Bani Israil
yang pernah mengatakan kepada Nabinya:
"Angkatlah untuk
kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) dijalan
Allah." (Al Baqarah: 246)
"Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu." (Al Baqarah: 247)
Para khalifah setelah Rasulullah SAW juga
menjadi imam bagi kaum Muslimin baik dalam shalat atau dalam idaroh dan
siyasah, demikian juga para khalifah setelah mereka yaitu dari Bani Umayah dan
'Abbaslyah.
Oleh karena itu para
ulama mendefinisikan khilafah sebagai berikut: "Pengganti secara umum
terhadap Rasulullah SAW dalam hal memelihara agama dan mengatur dunia
dengannya."
Inilah pemahaman yang
benar tentang 'Dien' yang harus berlaku dan berkembang di dalam masyarakat
Islam, sehingga setelah itu dapat mengembalikan setiap Muslim kepada agamanya
yang ia cintai, yang ia yakini dan yang diridhai oleh Allah SWT untuknya, dan
ia rela untuk dirinya, dan setelah itu bisa mengukur setiap anggapan dan
pemahaman, perkataan dan perbuatan dengan standar agama yang tidak pernah
salah, menyesatkan atau melupakan.
Post a Comment