SYURA (MUSYAWARAH)
SYURA (MUSYAWARAH)
Di antara nilai-nilai
kemanusiaan dan sosial yang dibawa oleh Islam adalah syura (musyawarah). Makna
syura adalah bahwa hendaknya seseorang tidak menyendiri pendapatnya dan dalam
persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan fikiran dengan orang lain. Karena
pendapat dua orang atau lebih dalam jamaah itu dianggap lebih mendekati
kebenaran daripada pendapat seorang saja.
Sebagaimana musyawarah dalam suatu urusan itu dapat membuka pintu kesulitan
dan memberi kesempatan untuk melihat urusan itu dari berbagai sudut, sesuai
dengan perbedaan perhatian tiap individu dan perbedaan tingkat pemikiran serta
tingkat pengetahuan mereka. Dengan demikian maka keputusan yang diperoleh
adalah berdasarkan persepsi (tashawwur) yang syamil (sempurna) dan berdasarkan
studi yang menyeluruh (komprehensi).
Dengan adanya aktifitas bermusyawarah, manusia akan mempunyai nilai tambah,
selain dan yang bersumber dari pikirannya sendiri. Yakni pemikiran orang lain.
Selain itu ilmunya juga bertambah oleh ilmu orang lain. Seorang penyair
mengatakan:
"Apabila suatu ide itu telah sampai pada musyawarah, maka minta
tolonglah dengan ide orang yang memberi nasihat dengan mantab, dan jangan kamu
mengira bahwa musyawarah itu akan merugikan kamu, karena para pendahulu itu
menjadi penguat generasi masa kini."
Islam telah menyuruh kita untuk bermusyawarah dalam kehidupan individu,
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
SYURA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Dalam kehidupan individu Islam mendidik seorang Muslim apabila hendak
melakukan sesuatu urusan yang penting yang di dalamnya masih terdapat banyak
perbedaan pandangan dan pendapat serta kecenderungan-kecenderungan, sehingga
membuat ia ragu antara melaksanakan dan tidak, hendaknya ia menempuh dua jalan
dalam rangka untuk memperoleh keputusan yang benar.
Dua jalan itu adalah, yang pertama, bersifat Rabbani; yaitu istikharah
kepada Allah SWT, dengan melakukan shalat dua rakaat, setelah itu berdoa yang
intinya adalah meminta pilihan kepada Allah SWT kebaikan dunia dan akhirat,
untuk agama dan dunianya.
Yang kedua bersifat Insani, yaitu dengan musyawarah dengan orang yang dapat
dipercaya pendapat, pengalaman, nasihat dan keikhlasannya. Dengan demikian ia
menggabung antara istikharah kepada Allah dan bermusyawarah dengan manusia.
Kaum Muslimin masih hafal dengan warisannya, yaitu kata-kata Umar:
"Tidak rugi orang yang beristikharah dan tidak merugi orang yang
bermusyawarah."
Para sahabat Radhiyallahu 'anhum dahulu sering bermusyawarah dengan Nabi
SAW dalam banyak masalah yang khusus, maka Nabi SAW pun memberikan pendapatnya
yang benar dan baik. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Fatimah binti Qais pernah
bermusyawarah kepada beliau tentang masalah pernikahannya, karena ada dua
laki-laki yang mencintainya yaitu Mu'awiyah dan Abu Jahm. Maka Nabi SAW bersabda,
"Adapun Mu'awiyah, dia adalah seorang yang pelit, tidak mempunyai harta,
sedangkan Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari lehernya
(sering memukul wanita)," kemudian Nabi SAW menawarkan untuk menikah
dengan Usamah bin Zaid.
SYURA DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGA
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Dalam kehidupan berkeluarga, Islam mengajak kita untuk membina kehidupan
keluarga atas dasar musyawarah dan saling ridha. Demikian itu sejak awal
pembentukan terbinanya rumah tangga.
Oleh karena itu nash-nash syari'at menolak adanya paksaan seorang ayah
untuk menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putrinya itu
masih gadis. Sebaliknya Islam mewajibkan sebagaimana disebutkan dalam Taujih
Nabawi agar anak wanita gadis itu dimintai izin, meskipun ia merasa malu, maka
izinnya adalah diamnya, karena diam ketika ditawari sesuatu itu menunjukkan
ridha dan menerima.
Nabi SAW pernah menolak sebagian akad nikah yang telah terjadi, di samping
karena bukan keinginan anak puteri, hukum syari'at tidak memperbolehkan kepada
siapa pun untuk mempergunakan harta miliknya tanpa seizin dia. Apalagi masalah
pernikahan yang itu menyangkut masa depan kehidupannya.
Bahkan Sunnah mendorong para wali wanita untuk bermusyawarah dengan ibu
anak wanita tersebut dalam masalah pernikahannya, yakni seorang suami
bermusyawarah dengan istrinya ketika ingin menikahkan anak gadisnya. Dalam hal
ini ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
"Bermusyawarahlah dengan kaum wanita (isteri-isterimu) dalam urusan
anak-anaknya." (HR. Ahmad)
Demikian itu karena ibu lebih tahu terhadap anak perempuannya daripada
ayahnya, karena seorang ibu dan anaknya itu adalah sama-sama wanita sehingga
lebih faham keinginan dan perasaannya, sementara anak wanita itu sering
berterus terang kepada ibunya untuk mengungkapkan rahasianya, yang itu tidak
diperoleh dari ayahnya.
Setelah terbinanya rumah tangga maka wajib bagi suami isteri untuk saling
memahami dan saling bermusyawarah dalam hal yang membawa kepentingan bersama,
demikian juga untuk kepentingan anak-anaknya di masa depan.
Di sini kita tidak boleh meremeh kan pendapat wanita, sebagaimana
masyarakat pada umumnya. Karena banyak wanita yang pendapatnya lebih baik dan
membawa berkah untuk keluarga dan kaumnya (masyarakatnya).
Alangkah cemerlangnya pendapat Khadijah dan sikapnya pada awal turunnya
wahyu, dan betapa peran Khadijah dalam memperkuat mentalitas Nabi SAW sampai
beliau membawa pergi Rasulullah SAW kepada anak pamannya (sepupunya) yaitu
Waraqah bin Naufal, semuanya demi menenangkan dan menggembirakan Nabi SAW
Demikian juga pendapat Ummu Salamah ketika terjadi perdamaian Hudaibiyah (akan
ada pembahasan tersendiri tentang masalah tersebut).
Di antara ayat-ayat Al Qur'an yang menarik adalah menyebutkan pentingnya
bermusyawarah dan saling ridha antara suami isteri, yaitu yang berkaitan dengan
menyusui anak dan menyapihnya, meskipun setelah cerai di antara keduanya. Allah
SWT berfirman:
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknnya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan persusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (baik). Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanrya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduannya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya." (Al Baqarah: 233)
SYURA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA
<< Kembali ke Daftar Isi >>
Adapun syura dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka Al Qur'an
memasukkannya sebagai unsur terpenting dalam berjamaah (bermasyarakat). Demikian
itu disebutkan dalam Al Qur'an Makky (yang diturunkan di Mekkah) yang telah
membangun kaidah-kaidah asasi dan meletakkan dasar-dasar kehidupan Islam. Maka
syura itu juga dimasukkan dalam sifat-sifat orang yang beriman, disertai dengan
sifat-sifat lainnya yang asasi, di mana keislaman dan keimanan seseorang tidak
sempurna kecuali dengan sifat-sifat itu. Yaitu, istijabah (menyambut) seruan
Allah, mendirikan shalat, dan menginfakkan apa yang diberikan Allah kepadanya. Ini
disebutkan dalam surat yang membawa nama "As-Syura." Allah SWT
berfirman:
"Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan
hidup didunia; dan apa yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi
orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhannya, mereka bertawakkal, dan
(bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji,
dan apabila mereka marah mereka memberi mnaf Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannnya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka." (Asy Syura: 36-38)
Yang dimaksud dengan firman Allah "Wa Amruhum," di sini adalah
urusan mereka yang bersifat umum, sebagai kepentingan bersama. Itulah yang
diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk bermusyawarah. Allah SWT
berfirman dalam surat Ali Imran yang turun di Madinah:
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." (Ali Imran: 159)
Perintah dalam ayat ini turun serelah perang Uhud, di mana Rasulullah SAW
bermusyawarah dengan para sahabatnya, tetapi Rasulullah mengikuti pendapat
mayoritas sahabat. Dan hasilnya, adalah kekalahan yang menimpa ummat Islam
sehingga gugur tujuh puluh syuhada' dari para sahabat pilihan, termasuk di
antaranya Hamzah, Mush'ab, Sa'ad bin Rabbi dan lain-lain.
Meskipun demikian Allah tetap memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk
bermusyawarah dengan mereka, artinya, kita harus terus bermusyawarah, karena di
dalamnya ada kebaikan dan berkah, meskipun sesekali hasilnya tidak menyenangkan
(tidak menggembirakan), karena yang lebih penting adalah akibat (akhir)nya.
Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para
sahabatnya, beliau pernah bermusyawarah dengan mereka pada perang Badar
menjelang dimulainya peperangan, di tengah-tengahnya perang serta setelahnya. Beliau
tidak memasuki medan perang kecuali setelah merasa tenang dengan keinginan dan
aspirasi para sahabatnya.
Rasulullah SAW juga pernah musyawarah dengan mereka dalam perang Uhud,
sehingga beliau mengikuti pendapat mayoritas yang menginkan keluar dari Madinah
untuk menemui musuh daripada tetap tinggal di dalam kota Madinah.
Rasulullah SAW juga pernah bermusyawarah dengan mereka ketika perang
Khandaq, dan beliau sempat berkeinginan untuk berdamai dengan suku Ghathafan
dengan memberikan sebagian dari hasil kurma Madinah untuk membatalkan
perjanjian mereka dengan Quraisy. Tetapi wakil dari orang-orang Anshar menolak
yang demikian itu, maka Nabi SAW pun mengikuti pendapat mereka karena dipandang
lebih baik.
Ketika peristiwa "Hudaibiyah" Rasulullah SAW bermusyawarah dengan
Ummu Salamah untuk melarang para sahabatnya dari tahallul ihram mereka setelah
berdamai, padahal para sahabat telah serius berniat untuk berumrah. Maka Ummu
Salamah mengusulkan agar Rasulullah keluar di hadapan mereka dan bertahallul di
hadapan mereka tanpa berbicara. Dan benar, ketika para shahabat melihat
Rasulullah berbuat demikian mereka segera melakukan hal serupa secara serentak.
Sebagaimana Islam juga memerintahkan seorang hakim (penguasa) untuk
bermusyawarah di satu sisi, dan ia juga memerintahkan ummat untuk memberikan
nasihat kepadanya di sisi lain. Seperti diterangkan dalam hadits shahih:
"Agama adalah Nasihat .., untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para imam
Muslimin dan rakyatnya (kaum Muslimin pada umumnya)." (HR. Muslim)
Kewajiban beramar ma'ruf dan nahi munkar adalah kewajiban yang bersifat
umum, mencakup para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan. Demikian juga
kewajiban memberikan wasiat akan yang benar, wasiat untuk berlaku sabar, di
mana tidak ada keselamatan bagi manusia dari kerugian dunia dan akhirat kecuali
dengan melaksanakan semua itu. Maka tidak ada di kalangan kaum Muslimin
seseorang yang lebih tua kecuali dia harus menerima wasiat dan nasihat,
diperintah dan dilarang, dan tidak ada di kalangan ummat Islam yang lebih muda
kecuali harus menerima wasiat dan nasihat, diperintah dan dicegah. Tidak jarang
Rasulullah SAW mendapati pendapat para shahabat yang berbeda dengan pendapat
beliau, maka Nabi SAW mengambil pendapat yang ditawarkan tersebut dan
meninggalkan pendapatnya sendiri.
Rasulullah SAW pernah mengutus Abu Hurairah untuk memberikan kegembiraan
kepada masyarakat bahwa barang siapa yang mengatakan "Laa ilaaha
illallah" maka ia akan masuk syurga. Maka Umar khawatir kalau masyarakat
memahaminya dengan pemahaman yang salah dan memisahkan antara kata-katanya
dengan pelaksanaannya. Oleh karena itu Umar sempat menyuruh Abu Hurairah
berhenti sejenak dan menjelaskan kepada Rasulullah SAW akan kekhawatirannya
kalau-kalau manusia itu berpegang pada ucapannya saja sambil mengatakan,
"Biarkan mereka beramal," maka Rasulullah SAW bersabda, "Biarkan
mereka beramal" (HR. Muslim)
Abu Bakar berkata dalam pidato kenegaraannya yang pertama setelah beliau
diangkat sebagai khalifah, beliau menjelaskan tentang manhajnya dalam memimpin:
"Jika kamu melihat aku dalam kebenaran, maka bantulah aku, tetapi jika
kama melihat aku dalam kebathilan maka luruskan aku, taatilah aku selama aku
taat kepada Allah, dan jika aku bermaksiat kepada-Nya maka tidak ada lagi
kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku."
Umar bin Khatthab RA berkata, "Wahai manusia, barangsiapa di antara
kamu melihat aku dalam kesalahan maka luruskanlah aku." Kemudian ada
seseorang yang berkata kepadanya, "Kalau kami melihat kamu berbuat
kesalahan maka akan kami luruskan dengan pedang kami!" Umar berkata,
"Alhamdulillah yang telah menjadikan rakyat Umar orang yang mau meluruskan
Umar dengan ketajaman pedangnya."
Pada suatu hari ada seseorang yang berkata kepada Umar, "Bertaqwalah
kamu wahai Umar!" maka ada sebagian orang di sisi Umar mengingkari
perkataan itu, maka Umar berkata, "Biarkan dia, karena tidak ada kebaikan
di tengah-tengah kamu jika kamu tidak mengatakannya (kalimat taqwa), dan tidak
ada kebaikan di tengah-tengah kita apabila kita tidak mendengarkannya."
Bahkan Rasulullah SAW memperbolehkan menentang kepada Amir (pemimpin) yang
dhalim dengan dua syarat:
Pertama: karena penyimpangan yang nyata dari manhaj Islam, baik
dalam masalah aqidah atau ibadah, inilah yang diistilahkan dalam hadits Nabawi
sebagai "Kufrun Bawwah.""abi SAW pernah berwasiat kepada
orang-orang yang berbaitat kepadanya yaitu dari para sahabat untuk bersabar
terhadap amir mereka, meskipun amir itu mengutamakan sebagian pekerjaan
duniawi, Nabi SAW bersabda:
"Kecuali apabila kamu melihat kekufuran yang bawwah (nyata) yang
menurut kamu ada burhan (bukti) atau dalil dari Allah." (Muttafaqun 'alaih)
Kedua: Apabila kita memiliki kemampuan untuk menghilangkan
kemungkaran, tanpa berakibat menimbulkan kemunkaran yang lebih besar
daripadanya. Jika itu tidak mungkin, maka wajib menanggung kemungkaran yang
lebih ringan karena takut terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Hal itu
berdasarkan kaidah, "bolehnya memilih yang paling ringan di antara dua
bahaya atau dua keburukan."
Ketika dikhawatirkan akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka
perlawanan beralih dari memerangi dengan tangan kepada siasat dengan lesan dan
pena, kemudian pengingkaran hati. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan suatu hadits, dari Rasulullah SAW beliau bersabda:
"Tiada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah pada ummat sebelumku
kecuali ada dari kalangan ummatnya "Hawariyyun" (para pendukung) dan
para sahabat yang mengikuti Sunnahnya, dan berqudwah terhadap perilakunya,
kemudian akan ada generasi setelahnya, yang mengatakan sesuatu yang tidak
mereka perbuat, dan melaksanakan sesuatu yang tidak diperintahkan, maka
barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya maka ia mahmin, dan
barangsiapa yang memerangi mereka dengan lesannya maka ia mukmin, dan
barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya rnaka ia mukmin, dan tidak ada
setelah demikian itu dari keimanan sebiji sawi pun" (HR. Muslim)
Al Qur'an Al Karim mengisahkan kepada kita contoh yang baik tentang suatu
hukum (keputusan) yang berdasarkan musyawarah, yaitu kisah Ratu Saba' (Bilqis),
yang dikejutkan dengan surat Nabi Sulaiman AS yang dibawa oleh burung Hud-hud,
lalu ratu itu mengumpulkan kaumnya dan berkata:
"Berkata dia (Bilqis), "Hai para pembesar !, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan
sebelum kamu berada dalam majelis(ku). Mereka menjawab, "Kita adalah
orang-orang yang memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan
keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu
perintahkan. Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membina, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi
hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan
mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu
apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu ." (An-Naml: 32-35)
Akhirnya perilaku syura yang bijaksana ini sampai pada masuk Islamnya ratu
Bilqis di hadapan Nabi Sulaiman AS, sehingga selamatlah dia, dan kaumnya dari
peperanganyang merugikan, dan dengan demikian dia memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat.
Al Qur'an juga mengisahkan bentuk lain (yang tidak benar) dari suatu hukum
yang tegak di atas dasar penisbatan diri sebagai tuhan dan kediktatoran. Seperti
hukum Fir'aun yang berkata kepada manusia:
"Saya adalah tuhanmu yang mulia." (An
Nazi'at: 24)
"Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku." (Al Qashash: 38)
Fir'aun tidak mau bermusyawarah kecuali dengan para menterinya secara
khusus, sebagaimana yang kita lihat dalam kisah Fir'aun dengan Musa, ketika
Musa berdialog dengannya maka ia mengancamnya dengan penjara, Musa berkata:
"Apakah (kamu akan melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu
sesuatu (keterangan) yang nyata?" Fir'aun berkata, "Datangkanlah
sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang
benar. "Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu
(menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka
tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya. Fir'aun
berkata kepada pembesar-pembesarnya yang berada di sekelilingnya,
"Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia
hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu
apakah yang kamu anjurkan?" (Asy-Syu'ara:
30-35)
Ini sesungguhnya bukanlah musyawarah yang benar, karena musyawarah ini
hanya dikhususkan untuk pembesar-pembesar yang ada di sekelilingnya saja
(orang-orang sendiri). Selain itu musyawarah ini adalah musyawarah yang sudah
terarah (disesuaikan dengan keinginannya). Fir'aun tidak mau mengambil pendapat
mereka dalam masalah Musa dan sikap terhadap risalah yang dibawanya. Tetapi
pada hakekatnya dia telah memutuskan sesuatu sebelum bertanya kepada mereka
yaitu dengan kata-katanya yang dimuat oleh Al Qur'an
"Sesungguhnya Musa ini benar-benar ahli sihir yang pandai, ia hendak
mengusirmu dari negerimu sendiri dengan sihirnya." (Asy-Syu'ara: 34-35)
Al Qur'an telah menjelaskan hakikat hukum Fir'aun dan sikapnya terhadap
rakyatnya, sebagaimana firrnan Allah SWT:
"Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di maka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan
mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan."
(Al Qashash: 4)
Kesombongan di bumi inilah yang kita istilahkan dalam bahasa politik modern
dengan "Thughyaan" (diktator). Al Qur'an juga sering mengulang-ulang
dalam menyifati Fir'aun. sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Sesungguhnya dia (Fir'aun) adalah orang yang sornbong, salah seorang
dan orang-orang yang melampaui batas." (Ad-Dukhan:
31)
Kesombongan Fir'aun bukan hanya ditujukan kepada Bani Israil saja, tetapi
juga kepada orang-orang Mesir, jika ternyata ada di antara mereka atau
sekelompok dari mereka yang keluar dari rencananya dan menolak pengakuan bahwa
dirinya adalah tuhan.
Itulah sikap yang nampak jelas dari Fir'aun terhadap tukang-tukang sihirnya
yang diminta setiap saat untuk menolong dirinya dalam melawan Nabi Musa. Tetapi
akhirnya Allah menjatuhkan Fir'aun melalui mereka juga, yaitu ketika mereka
beriman kepada Rabb Musa dan Harun setelah kebenaran itu jelas di hadapan
mereka dari pada kebathilan.
Allah SWT berfirman:
"Berkata Fir'aun, "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa)
sebelum aku memberi ijin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu
yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong
tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara timbal balik, dan
sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan
sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan
lebih kekal siksannnya." (Thaaha: 71)
Ungkapan Fir'aun, "Mengapa kamu beriman kepadanya sebelum aku
mengijinkan kamu," ini membuktikan bahwa ia ingin memaksa pikiran dan hati
manusia (untuk mengikutinya), sehingga tidak boleh akal dan hati untuk percaya
kepada sesuatu kecuali atas izinnya dan mendapat keputusan darinya.
Al Qur'an mencela Fir'aun dan segala kekuatan kotor yang bersekongkol
dengannya. Seperti "Qarun" yang menampilkan faham materialistis yang
kejam dan kotor yang tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
memiliki harta. Sikap
ini tergambar dalam perkataan Qarun:
"Sesungguhnya aku
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." (Al Qashash: 78)
Seperti juga
"Haman" yang menampilkan sosok politikus yang menjilat karena materi,
di mana ia persembahkan kemampuan akal dan kreasinya untuk melayani thaghut
yang sombong, Hamanlah sebagai otak pemikirnya (dalang) sekaligus pelaksananya.
Al Qur'an mencela
secara keseluruhannya, yaitu Fir'aun dan para tentaranya yang dijadikan sebagai
alat kekuasaan, yang ia pergunakan untuk menyiksa rakyat dan menindas mereka.
Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya
Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang
bersalah." (Al Qashash: 8)
Allah juga berfirman:
"Maka Kami
binasakan Fir'aun dan bala tentaranya, lalu kami lemparkan mereka ke dalam
laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zhalim." (Al Qashash: 40)
Kata-kata "Al
Junud" meliputi seluruh pendukung orang yang zhalim, baik dari kalangan
militer maupun sipil.
Al Qur'an memerangi
kezhaliman dan penindasan dari berbagai segi sebagai berikut:
Kelompok penguasa yang
zhalim dan diktator di bumi ini, sebagaimana firman Allah SWT:
"Demikianlah Allah
mengunci mata hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (Al Mukmin: 35)
"Dan mereka
memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua orang yang
berlaku sewenang-wenang, lagi keras kepala." (Ibrahim:
15)
Kelompok para pendukung
kekuasaan, seperti Haman, Qarun atau dari kalangan militer dan sipil, seperti
tentara Fir'aun.
Dari kelompok
rakyatyang menyerahkan ketaatannya kepada pemimpin yang zhalim, tanpa pernah
bertanya kepada mereka suatu hal apa pun: mengapa?, atau bagaimana?, apalagi
sampai berani mengatakan, "tidak."
Al Qur'an juga telah
mencela kaum Nabi Nuh, seperti firman Allah SWT:
"Ya Tuhanku,
sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang
harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian
belaka." (Nuh: 21)
Al Qur'an pun mencela
kaum Hud AS,
dengan firman-Nya:
"Mereka menuruti
perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Dan
mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di hari
kiamat." (Huud: 59-60)
Al Qur'an juga pernah
mencela kaum Fir'aun, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Maka Fir'aun
mempengarahi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena
sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik." (Az
Zukhruf: 54)
Al Qur'an telah
memaparkan kepada kita berbagai gambaran (contoh) yang banyak dari pemandangan
kiamat, pada saat itulah terjadi saling mencela antara para pemimpin dan
pembesar yang menyesatkan dengan para pengikut yang disesatkan, dan
masing-masing saling berlepas tangan, saling melaknat dan berusaha untuk
melemparkan tanggung jawab kepada yang lainnya. Tetapi Allah SWT memutuskan
untuk semuanya bahwa mereka semua adalah termasuk ahli Neraka. Allah SWT
berfirman:
"Dan mereka
berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin
pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan
(yang benar), Ya Tuhan kami timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan
kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (Al Ahzab: 67-68)
"(Yaitu) ketika
orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus
sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami
dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada amal perbuatannnya menjadi sesalan bagi mereka; dan
sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka." (Al Baqarah: 166-167)
Sesungguhnya
diterimanya kepemimpinan politik bagi ummat dalam Islam adalah ridha dan bai'ah
yang atas kehendak sendiri (kesadaran). Maka barangsiapa yang diterima oleh
kaum Muslimin untuk menjadi imam, amir atau pimpinan bagi mereka dan mereka
telah membai'atnya untuk yang demikian itu, berarti dia telah menjadi wali yang
sah (secara syar'i) yang wajib ditaati dalam hal yang ma'ruf, dan wajib
menasihatinya dengan benar serta membantunya atas setiap kebaikan.
Islam tidak menyukai
seseorang yang menjadi imam shalat berjamaah, sementara para jamaah tidak
menyukainya. Maka bagaimana Islam bisa menerima seseorang yang memimpin seluruh
ummat dalam mengatur urusannya secara umum sedangkan ummat itu tidak suka, dan
dengan itu ummat menjadi tersiksa dan marah? Rasulullah SAW pernah bersabda
dalam haditsnya yang mulia:
Tiga orang yang
shalatnya tidak diangkat di atas kepala mereka sejengkal pun; seseorang yang
mengimami kaum sedangkan kaum itu benci padanya, wanita yang yang berdiam diri
semalaman sedang suaminya marah kepadanya, dan dua bersaudara yang saling
bertenghar. (HR. Ibnu Majah)
Post a Comment