TAKAFUL DI BIDANG MATERI DAN MORAL


TAKAFUL DI BIDANG MATERI DAN MORAL

Di antara bentuk ta'awun, taraahum dan tanaashur adalah takaful (saling menanggung) di antara anggota masyarakat Islam. Baik takaful di bidang materi dan moral, ekonomi dan politik, militer dan sipil, sosiai dan budaya.
Takaful itu dimulai dengan yang mempunyai hubungan kerabat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya, sebagaimana hal itu dijelaskan secara rinci dalam aturan nafkah menurut syariat Islam. Maka keluarga yang kaya memberikan infaq kepada keluarga yang miskin sesuai dengan syarat-syarat dan hukum-hukum yang dijelaskan di dalam fiqh Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Anfal: 75)
Kemudian lingkup takaful ini menjadi melebar ke tetangga dan penghuni kampung, sesuai dengan hak tetangga yang telah ditekankan oleh Islam. Di dalam hadits disebutkan:
"Bukanlah termasuk orang beriman orang yang semalaman ia kenyang, sedang tetangga di sebelahnya kelaparan." (HR. Thabrani)
Dalam hadits lainnya disebutkan:
"Siapa saja penduduk di sekitar rumah jika ada di antara mereka yang kelaparan maka tanggungan Allah dan Rasul-Nya akan terlepas dari mereka." (HR. Ahmad)
Kemudian wilayah takaful itu menjadi semakin lebar dan meluas sampai satu desa atau lebih luas dari itu, yaitu melalui zakat yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar diambil dari orang-orang kaya setiap daerah untuk diberikan kepada fakir miskin daerah tersebut. Dengan demikian maka bisa dilakukan sesuai dengan pembagian wilayah. Berbeda dengan yang dilakukan oleh peradaban masa lalu sebelum Islam di mana pajak itu diambil dari para petani dan pengusaha daerah atau perkampungan yang cukup jauh untuk dibagi dikota-kota besar, terutama ibukota tempat tinggalnya seorang raja atau imbratur (imperium). Kemudian semakin bertambah luas wilayah takaful itu sampai merata seluruh masyarakat.
Sejak munculnya fajar dakwah Islam di Mekkah, ketika ummat Islani masih sedikit jumlahnya dan mereka tertindas, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, Al Qur'an sudah menyeru dengan kuat untuk bertakaful (saling menanggung). Yaitu dengan menjadikan anggota masyarakat seperti satu keluarga, yaitu orang yang kaya menanggung orang yang fakir.
Al Qur'an tidak memandang demikian itu sebagai Sunnah agama yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki derajat iman dan ihsan yang tinggi, sedangkan selain mereka tidak dituntut, melainkan Al Qur'an menjadikan hal itu suatu permasalahan yang asasi dari pilar-pilar agama, di mana tidak akan memperoleh ridha Allah siapa yang tidak melakukannya dan tidak akan selamat dari adzab-Nya orang yang meninggalkannya.
Bacalah firman Allah SWT dalam Surat Makkiyah berikut ini:
"Maka tidakkah sebaiknya (dengan harta itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang orang yang beriman dan saling berpesan untuk berkasih sayang ...." (Al Balad: 11-17)
"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga, mereka saling bertanya tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin." (Al Muddatstsir: 34-44)
Tempat tinggal mereka di neraka, karena mereka telah menyia-nyiakan hak Allah dan hak-hak hamba-Nya, yaitu dengan menelantarkan shalat dan tidak memberi makan orang miskin.
Memberi makan orang miskin adalah suatu gambaran tentang kepentingan dan kebutuhan mereka secara keseluruhan. Tidak berarti bahwa kita memberi makan orang miskin sementara dia kita biarkan terkatung-katung tanpa tempat tinggal atau telanjang tanpa pakaian atau sakit tanpa ada yang mengobati.
Al Qur'an tidak hanya cukup mewajibkan memberi makan orang miskin, tetapi lebih dari itu Al Qur'an mewajibkan menyeru untuk memberi makan orang miskin dan menghimbau untuk memperhatikannya dan menganggap bahwa mengabaikan hal itu termasuk tanda kesombongan dan dusta terhadap agama lain, Allah SWT berfirman:
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin!" (Al Ma'un: 1-3)
Kemudian Al Qur'an menjadikan sikap di atas sebagai kufur kepada Allah sehingga menjadi sebab datangnya adzab yang pedih dan mereka menghuni neraka Jahim. Maka Allah berfirman tentang orang-orang golongan kiri, yaitu orang-orang yang dicelakakan oleh harta dan kekuasaannya, maka semua itu tidak bisa mencukupi di sisi Allah SWT. Allah berfirman:
(Allah berfirman): "Peganglah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta." (Al Haqqah: 30-33)
Kemudian Al Qur'an menyebutkan sebab-sebab hukuman yang berat. Allah berfirman:
"Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga tidak mendorong (orang lain) untuk mernberi makan orang miskin." (Al Haqqah: 33-34)
Lebih dari itu Al Qur'an mewajibkan bahwa di dalam harta itu ada hak yang telah ditentukan, bukan sedekah Sunnah, bukan kebajikan secara sukarela siapa yang ingin maka mengeluarkan dan siapa yang ingin maka ia meninggalkannya. Bahkan merupakan hak atau hutang di pundak orang-orang yang mukallaf sebagai kewajiban yang pasti dan bukan tidak pasti. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin tidak mendapat bagian." (Adz Dzariyaat: 19)
"Hai orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)" (Al Ma'arij: 24-25)
Berbicara tentang tanam-tanaman dan buah-buahan serta kebun-kebun yang beruas-ruas dan yang tidak beruas-ruas, Allah SWT berfirman:
"Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)." (Al An'am: 141)
Yang dimaksud "Hak" di sini adalah zakat yang telah diwajibkan di Mekkah yang belum ada ketentuan batas nishab dan rinciannya.
Ini semua di dalam Al Qur'an Makky. Ketika kaum Muslimin memiliki daulah dan pemerintahan, maka nishab zakat dan ukurannya ditentukan dengan jelas dan dikirimlah para utusan untuk mengumpulkannya dari orang yang berkewajiban untuk mengeluarkannya, kemudian diberikan orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang oleh Al Qur'an dinamakan "Al'Amiliina'Alaihaa" (para'amil) dan mereka diberi bagian tersendiri dari hasil zakat untuk menjamin penarikan dan pembagiannya. Dan Islam telah meletakkan kewajiban harta ini ke posisi kewajiban moral dan hukum sehingga dimasukkan sebagai rukun Islam yang ketiga. Zakat wajib dipungut, bahkan kalau perlu secara paksa jika tidak diberikan dengan kesadaran. Atau bila perlu tidak tanggung-tanggung untuk memerangi orangorang yang tidak mau mengeluarkannya padahal mereka mampu mengeluarkan zakat.
Takaful materi ini bukanlah merupakan segala-galanya yang dituntut oleh Islam dalam bidang ini. Tetapi di sana ada bentuk-bentuk lainnya dari takaful, sebagaimana disebutkan oleh seorang da'i, Dr. Mushthafa As-Siba'i (semoga Allah merahmatinya). Beliau membagi takaful itu menjadi sepuluh macam, yaitu: takaful adabi (moral), ilmi (keilmuan), siyasi (politik), difa'i (pertahanan), jina'i (perdata), akhlaqi, iqtishadi (ekonomi), 'ibadi (peribadatan), hadhari (peradaban) dan ma'asyi (kehidupan/pencaharian) atau yang sekarang dikenal dengan istilah "Takaful Ittima'l" (dana sosial).
 


UKHUWAH ITU MELIPUTI SELURUH GOLONGAN, BUKAN KASTA
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Ukhuwah (persaudaraan) dalam Islam meliputi seluruh golongan masyarakat, maka di sana tidak ada segolongan manusia lebih tinggi daripada segolongan yang lainnya. Tidak boleh harta, kedudukan, nasab atau status sosial atau apa pun menjadi penyebab sombongnya sebagian manusia atas sebagian yang lain.
Seorang hakim (pemerintah) adalah saudara rakyat, sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
"Sebaik-baik para pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu sukai dan mereka menyukai kamu, kamu selalu mendoakan mereka dan mereka pun selalu mendoakanmu, dan seburuk-buruk para pemimpinmu adalah orangorang yang kamu benci dan mereka juga membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknat kamu." (HR. Muslim)
Sayyid (juragan) adalah saudara bagi hamba sahayanya, meskipun kondisi khusus kadang memaksa sahayanya untuk berada di bawah kekuasaannya. Dalam hadits shahih Nabi bersabda:
"Saudara-saudara kamu (para pembantumu), Allah telah menjadikan mereka berada di bawah kekuasaanmu, jika Allah berkehendak maka akan menjadikan kamu di bawah kekuasaan mereka, maka barang siapa saudaranya berada di bawah kekuasaannya maka hendaklah memberi makan kepadanya sebagaimana ia makan, memberi pakaian kepadanya sebagaimana ia berpakaian, dan janganlah kamu memaksa mereka untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang mereka tidak mampu, dan jika kamu memaksa mereka juga, maka bantulah mereka itu." (HR.Muttafaqun 'Alaih)
Para aghniya', fuqara', buruh, karyawan, orang-orang yang disewa semuanya adalah bersaudara antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. Maka tidak ada peluang (kesempatan) bagi mereka dalam naungan ajaran Islam- untuk terjadinya konflik sosial atau dendam golongan.
Tidak ada di dalam masyarakat Islam kasta-kasta, sebagaimana hal itu dikenal dalam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Di mana dikenal bahwa golongan cendikiawan dan para penunggang kuda, para uskup dan lainnya itulah yang berhak mewarisi untuk menentukan nilai, tradisi dan hukum yang berlaku.
Sampai hari ini masih ada sebagian bangsa di mana kelompok tertentu berhak untuk menentukan dan mengendalikan garis ideologi bangsa tersebut, hukum-hukumnya serta sistem sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Misalnya negara India.
Di dalam Islam memang ada orang-orang kaya, akan tetapi mereka itu tidak membentuk kelompok tersendiri yang mewariskan kekayaannya Mereka adalah individu-individu yang biasa seperti lainnya, karena si kaya setiap saat bisa saja menjadi miskin, dan si miskin bisa juga tiba-tiba menjadi kaya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan." (Al Insyirah:5)
Di dalam Islam memang ada ulama, tetapi mereka itu tidak membentuk golongan yang mewariskan tugas tersebut. Melainkan bahwa tugas itu terbuka untuk siapa saja yang berhasil memperoleh keahlian di bidang keilmuan dan studi. Dia bukan merupakan tugas kependetaan seperti yang dilakukan oleh para pendeta dan uskup dalam agama lain, tetapi merupakan tugas mengajar, dakwah dan memberi fatwa. Mereka adalah ulama bukan pendeta.
Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya SAW sebagai berikut:
"Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Al Ghasyiyah: 21-22)
"Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan Al Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku." (Qaaf: 45)
Maka bagaimana dengan pewarisnya para ulama. Sesungguhnya mereka itu bukanlah yang menguasai atau memaksa manusia, tetapi mereka adalah pengajar dan pemberi peringatan.

Tidak ada komentar