WAKAF DAN SHADAQAH JARIYAH
WAKAF DAN SHADAQAH JARIYAH
Di antara persoalan
penting yang ditekankan dalam Islam adalah shadaqah jariyah (yang terus menerus
bermanfaat sampai setelah matinya orang yang memberi shadaqah). Inilah yang
secara istilah disebut "wakaf Khairi." Secara definitif dapat
diuraikan sebagai berikut, "Harta yang dikeluarkan dari (berasal) milik
perorangan, untuk diambil manfaatnya oleh salah satu lembaga sosial Islam,
karena mencari pahala dari Allah SWT"
Rasulullah SAW pernah
mengisyaratkan (memerintahkan) kepada Umar RA untuk mewakafkan hartanya di
Khaibar, dan tidak ada seorang pun dari sahabat, kecuali mereka memiliki
kemampuan dalam berwakaf. Dan siapa saja yang membaca sejarah tentang alasan
wakaf dan syarat-syarat orang yang mewakafkan maka akan nampak jelas baginya
bagaimana hakikat takaful (saling menanggung) dalam masyarakat Islam yang
dilakukan berdasarkan kemurnian hati untuk berbuat kebajikan dan perasaan kasih
sayang yang mendalam serta pancaran nilai-nilai kemanusiaan yang mulia. Sehingga
kebaikannya tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi bahkan sampai pada
binatang dan tanaman. 20)
TAKAFUL ANTAR GENERASI
Di sana ada salah satu bentuk takaful yang
jarang diperhatikan oleh para ulama dan kami telah berulang kali mengingatkan
di dalam kitab-kitab kami. Yang dimaksud di sini adalah takaful
antara ummat dari generasi ke generasi setelahnya. Ini juga meliputi takaful
antar negara-negara Islam satu dengan yang lainnya. Ini semua merupakan takaful
zamani (sepanjang masa, kapan saja), selain juga merupakan takaful makaani
(berlaku di mana saja).
Yang dimaksud dengan takaful Aiyyaal (antar generasi) adalah hendaknya satu
generasi itu jangan rakus dengan kekayaan bumi baik yang tersimpan maupun yang
tersebar hanya untuk kepentingan hari ini saja, sementara ia tidak menyisakan
sedikit pun untuk generasi setelahnya.
Wajib bagi generasi kini untuk memperhitungkan generasi mendatang.
Hendaknya mereka berbuat seperti seorang bapak yang penuh perhitungan, di mana
ia sedang berupaya untuk dapat meninggalkan anak turunnya dalam keadaan berkecukupan.
Dan hendaknya mereka bersikap sederhana dalam berinfaq dan mengatur
pengeluaran, sehingga bisa meninggalkan sesuatu yang bermanfaat untuk generasi
sesudahnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam berkecakupan itu
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan (yang kemudian)
memita-minta kepada manusia. (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Abu Bakar RA berkata, "Saya tidak senang dengan seorang kafir yang
memakan rezeki (yang mestinya cukup untuk berhari-hari) tetapi dimakan dalam
satu hari."
Ini bisa kita analogikan dengan generasi juga, yang mestinya cukup untuk
beberapa generasi, tetapi dimakan dalam satu generasi.
Itulah yang membuat Umar bin Khathab tidak mau membagikan tanah Iraq untuk
para Mujahidin yang telah menaklukkannya, karena dia merupakan kekayaan besar
yang bisa dinikmati oleh generasi (anak turun) mereka. Kamu tidak akan
mendapatkan generasi mendatang yang mampu membela kehormatan ummat dan agamanya
jika mereka tidak terurus. Apa yang kita tinggalkan adalah untuk mempersiapkan
bekal mereka dan memenuhi kebutuhan mereka.
Oleh karena itu Umar mengatakan kepada orang-orang yang menentangnya,
"Apakah kalian ingin akan datangnya manusia akhir (generasi di belakang
hari) yang tidak memiliki apa-apa."
Pada saat itu yang sependapat dengannya adalah Ali dan Mu'adz RA. Umar juga
berkata dengan lantang, "Sesungguhnya aku menginginkan sesuatu yang
mencukupi generasi awal dan akhir."
Terdapat beberapa ayat
dalam surat Al
Hasyr yang memperkuat taujih Umar. Ayat tersebut menjadikan pembagian
harta rampasan untuk generasi saat itu dari kaum Muhajirin dan Anshar, kemudian
diikuti oleh generasi setelahnya. Demikian itu tersebut dalam firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar)
mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah mendahului kami dengan keimanan.. (Al
Hasyr: 10)
Dengan demikian maka antar generasi itu saling menanggung dan saling
memiliki keterkaitan. Sehingga generasi yang menyusul mendoakan generasi yang
telah lewat. Bukannya melaknati dengan mengatakan, "Mereka (pendahulu
kami) telah mengambil segala sesuatu dan tidak menyisakan sedikit pun untuk
kami." Inilah yang saya khawatirkan akan dikatakan oleh generasi mendatang
di negara-negara sumber minyak, setelah pendahulu mereka menghabiskannya untuk
hiasan dan kenikmatan serta berlebihan dalam membuat anggaran. Mereka israf
dalam mengeluarkannya, sehingga banyak dipamerkan, lalu mereka jual dengan
harga yang terendah. Seandainya mereka mau melihat hak generasi mendatang
niscaya mereka akan menghemat dan berhati-hati.
MEMPERSEMPIT PERBEDAAN ANTAR GOLONGAN
Islam mengakui adanya perbedaan antar manusia dalam masalah hak milik dan
rezeki, karena fitrah (ciptaan) Allah menghendaki adanya perbedaan di antara
mereka. Bahkan yang lebih dari itu, yaitu dalam hal kecerdasan, kecantikan,
kekuatan fisik dan seluruh pemberian dan kemampuan secara khusus, maka tidak
aneh jika terjadi perbedaan antara manusia di dalam harta dan kekayaan, dan di
bawah faktor-faktor yang lainnya, Allah SWT berfirman:
"Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezeki..." (An-Nahl: 71)
Perbedaan itu bukan merupakan suatu permainan belaka atau tanpa arti, akan
tetapi memiliki hikmah, karena dengannya kehidupan ini akan tegak dan
teraturlah urusan hidup. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Kami telah membagi (menentukan) antara mereka penghidupan mereka
dalam kehidupan dunia, dan Kami telah mengangkat (meninggikan) sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain..." (Az-Zukhruf:
32)
Yang dimaksud dengan mempergunakan di sini bukan paksaan dan merendahkan,
akan tetapi dengan sistem yang administratif, karena kehidupan ini bagaikan
pabrik yang besar (raksasa), yang di dalamnya ada yang memimpin dan dipimpin,
ada supervisor ada karyawan biasa, ada juga satpam dan ada pelayan. Masing-masing
dari mereka mempunyai tugas sendiri-sendiri, dan masing-masing mereka itu
penting keberadaannya agar mesin kehidupan bisa beroperasi dan produktif.
Meskipun Islam menegaskan adanya prinsip perbedaan di dalam masalah rezeki
dan perbedaan dalam kekayaan dan kemiskinan, tetapi jika kita lihat maka Islam
juga berupaya untuk mendekatkan (mengurangi) sisi perbedaan antar golongan,
sehingga membatasi penyimpangan orang-orang kaya dan mengangkat martabat
orang-orang fakir dalam rangka mewujudkan tawazun (keseimbangan) dan
menghilangkan sebab-sebab pertarungan dan permusuhan antara anggota masyarakat
yang satu dengan yang lainnya.
Demikian itu karena sesungguhnya Islam membenci berputarnya kekayaan di
tangan orang-orang tertentu yang mereka putar di antara mereka, sementara
sebagian besar orang tidak memilikinya. Islam senang kalau harta itu tidak
hanya berkisar pada orang-orang kaya saja. Oleh karena itu Islam memiliki
beberapa sarana untuk mengatasi hal-hal seperti itu, antara lain sebagai
berikut:
Pertama, Mengharuskan orang kaya untuk tidak mengembangkan
kekayaannya dengan cara-cara yang diharamkan, seperti riba, menimbun, menipu,
memperdagangkan barang-barang terlarang dan sebagainya, seperti yang telah kita
sebutkan sebelum ini. Dengan pembatasan masalah pengembangan harta ini, dapat
menutup jalan menuju kekayaan yang curang dan keji.
Kedua, Diwajibkannya zakat pada harta
orang-orang kaya, untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Ia merupakan
pemungutan dan pemberian. Zakat sebagaimana disyari'atkan oleh Islam, tidak
lain kecuali merupakan sarana untuk memberi pemilikan kepada kaum fuqara'
sehingga dapat mencukupi kebutuhan mereka. Baik yang bersifat rutin tahunan
atau secara terus menerus.
Imam Nawawi dan lainnya mengatakan, "Orang fakir dan miskin itu terus
diberi sehingga terpenuhi kebutuhannya dan memperoleh kecukupan darinya. Hal
itu berbeda-beda tergantung kepada kondisi orangnya. Orang yang mampu bekerja
tetapi tidak mendapatkan alat ketrampilannya maka ia diberi uang untuk membeli
alat itu, baik harganya murah atau mahal. Atau seorang pedagang diberi modal
untuk memperbaiki bisnisnya, sekiranya keuntungannya dari bisnis bisa mencukupi
kebutuhannya secara umum. Dan barangsiapa yang tidak pandai bekerja atau
berdagang maka ia diberi secukupnya untuk pemenuhan kebutuhan seumur hidupnya
secara umum."21)
Dengan demikian zakat
bisa berfungsi untuk memperbanyak jumlah pemilikan dari orang-orang fakir.
Dengan zakat itu Islam memberikan hak milik kepada orang yang bekerja yaitu
dengan memberikan perabotan produksi, baik peralatannya atau pabrik atau
sebagian dari pabrik, dan memberikan hak milik kepada petani berupa sawah atau
sebagian dari sawah yang dimiliki bersama orang lain. Atau memberikan hak milik
kepada pedagang dengan memberi tempat untuk berdagang dan peralatannya, dan
juga memberikan hak milik kepada selain mereka berupa pekarangan atau lainnya.
Atau sesuatu yang sekiranya bisa menjadi pemasukan rutin yang teratur sehingga
bisa mencukupi kebutuhannya dengan sempurna dan juga mencukupi orang-orang yang
berada di bawah tanggung jawabnya. Semua itu diatur oleh lembaga zakat dengan
memperhatikan secara optimal terhadap mereka dan apa yang ada di bawah tangan
mereka.
Ketiga, Diwajibkannya penunaian
kewajiban-kewajiban selain zakat kepada para aghniya', seperti nafkah untuk
para kerabat, berbagai nadzar dan kaffaraat, menyembelih korban (wajib menurut
madzhab Abu Hanifah), hak-hak tetangga dan famili, menyuguh tamu, memberi makan
orang yang kelaparan, menolong orang yang terkena musibah, melepaskan tawanan,
mengobati orang sakit, bantuan ketika ada musibah mendadak yang menimpa ummat
seperti peperangan, kelaparan dan lain sebagainya. Rasulullah SAW bersabda:
"Tdak beriman
kepadaku orang yang semalam suntuk ia kekenyangan, sementara tetanggannya
kelaparan di sisinya sedangkan ia mengetahuinya" (HR. Thabrani dan Hakim)
Keempat, Pewarisan yang disyari'atkan oleh
Islam ditujukan kepada anak-anak, kedua orang tua, para suami dan pemilik
'Ashabaat (sisa), dan orang yang punya hubungan famili, dengan syarat-syarat
dan perincian perhitungan yang jelas. Ini merupakan faktor terbesar dalam
membagi kekayaan dan mendistribusikannya, yaitu setelah matinya orang yang
mewariskan dengan jumlah ahli waris yang cukup besar. Berbeda dengan sebagian
sistem yang memberikan tarikah (tinggalan mayyit) untuk anaknya yang tertua dan
sistem-sistem lain yang mirip dengan itu. Disamping itu ada yang disebut dengan
"Wasiat" untuk selain ahli waris. Sebagian ulama salaf mewajibkan
wasiat, berdasarkan firman Allah SWT:
"Diwajibkan atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda maut), jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. Maka
barangsiapa yang mengubah warna wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui." (Al
Baqarah: 180)
Dari ayat inilah
diambil undang-undang wasiat yang wajib, yang berupaya ingin mengobati penyakit
terlantarnya anak cucu.
Kelima, Hak waliyyul
'Amrisyar'i dalam mengembalikan keseimbangan apabila rusak, dengan melalui
harta umum seperti fai' dan lainnya. Bukan dengan cara mushadarah
(mengeluarkan) hak milik yang resmi di mana pemiliknya harus komitmen terhadap
hukum Islam. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membagi harta fai'
Bani Nadhir, beliau membagikannya kepada Muhajirin saja tanpa melibatkan kaum
Anshar kecuali hanya dua orang dari mereka yang sangat memerlukannya. Rahasia
dari itu bahwa sesungguhnya kaum Muhajirin telah mengeluarkan diri dari
rumah-rumah mereka dan mengorbankan harta mereka, sehingga perbedaan kondisi
antara mereka dan saudara-saudaranya kaum Anshar besar sekali. Kaum Anshar
memiliki tanah dan pekarangan sedangkan kaum Muhajirin hampir tidak memiliki
apa-apa, betapa pun kaum Anshar juga telah memberikan teladan yang menarik dalam
penghormatan mereka dan kesediaan mereka untuk ditempati serta itsar (sikap
mendahulukan kepentingan saudaranya) mereka terhadap kaum Muhajirin. Tetapi
tawazun yang diinginkan oleh Islam menjadikan Nabi SAW menyelesaikan persoalan
ketika ada kesempatan yang pertama kali, dan Al Qur'an sendiri mendukung sikap
Rasulullah SAW yang seperti ini. Bahkan juga menyebutkan hikmahnya bahwa harta
rampasan itu dibagi hanya kepada kaum tertentu yang membutuhkan dari anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (musafir yang membutuhkan). Allah SWT
berfirman:
"Apa saja harta
rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan (diputuskan) Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesunggahnnya
Allah sangat keras hukum-Nya. (Al Hasyr: 7)
Sesungguhnya sikap
Rasulullah SAW ini yang memberikan contoh yang haq kepada penguasa Muslim yang
adil yaitu berhukum pada apa yang diturunkan Allah dengan mengkhususkan
orang-orang fakir untuk diberi harta negara yang dapat mempersempit kesenjangan
dan jurang pemisah antara mereka dengan orang-orang kaya, sehingga mampu
mewujudkan keseimbangan ekonomi di dalam masyarakat Islam.
Post a Comment