WANITA SEBAGAI IBU
WANITA SEBAGAI IBU
Sejarah tidak pernah
mengenal adanya agama atau sistem yang menghargai keberadaan wanita sebagai ibu
yang lebih mulia daripada Islam.
Sungguh Islam telah
menegaskan wasiat (pesan penting) terhadap wanita dan meletakkan wasiat itu
setelah wasiat untuk bertauhid kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Islam
juga menjadikan berbuat baik kepada wanita itu termasuk sendi-sendi kemuliaan,
sebagaimana telah menjadikan hak seorang ibu itu lebih kuat daripada hak
seorang ayah, karena beban yang amat berat ia rasakan ketika hamil, menyusui,
melahirkan dan mendidik. Inilah yang ditegaskan oleh Al Qur'an dengan
diulang-ulang lebih dari satu surat
agar benar-benar difahami oleh kita anak manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan Kami
wasiatkan (perintahkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya telah mengandungnnya dalam keadaan lemah yang betambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hannya kepada-Kulah kembalimu." (Luqman:
14)
"Kmi wasiatkan
(perintahkan) kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula). Mengandungnnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan...." (Al
Ahqaf: 15)
Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lalu
bertanya,
"Siapakah yang
paling berhak saya pergauli dengan baik?" Nabi bersabda,
"Ibumu," orang itu bertanya, "kemudian siapa lagi?" Nabi
bersabda, "Ibumu," orang itu bertanya, "Kemudian siapa
lagi?" Nabi bersabda, "Ibumu, - orang itu bertanya, "Kemudian
siapa lagi?" Nabi bersabda, "Ayahmu. (HR. Bukhan Muslim)
Al Bazzar meriwayatkan,
ada seorang lelaki sedang thawaf dengan menggendong ibunya, maka lelaki itu
bertanya kepada Nabi SAW "Apakah (dengan ini) saya telah melaksanakan
kewajiban saya kepadanya?" Nabi menjawab, "Tidak, tidak sebanding
dengan satu kali melahirkan."
Berbuat baik kepada ibu
berarti baik dalam mempergauli dan menghormatinya, merasa rendah di hadapannya,
mentaatinya selain dalam kemaksiatan dan mencari ridhanya dalam segala sesuatu.
Sehingga dalam masalah jihad sekalipun, apabila itu fardhu kifayah, maka tidak
boleh kecuali dengan izinnya, karena berbuat baik kepadanya termasuk fardhu
'ain.
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia
berkata, "Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang, saya datang untuk
bermusyawarah dengan engkau." Maka Nabi SAW bertanya, "Apakah kamu
masih mempunyai ibu?" Orang itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda,
"Tetaplah kamu tinggal bersamanya, sesungguhnya surga itu berada di bawah
kedua telapak kakinya." (HR.Nasa'i)
Ada sebagian sistem yang menghilangkan kekerabatan
seorang ibu dan tidak menganggapnya penting, maka datanglah Islam memberikan
wasiat kepada saudara ibu laki-laki dan perempuan dan saudara ayah laki-laki
dan perempuan.
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata,
"Sesungguhnya saya telah berbuat dosa, apakah saya masih bisa
bertaubat?" Maka Nabi SAW bersabda, 'apakah kamu mempunyai ibu?" la
berkata, "Tidak." Nabi bertanya, "Apakah kamu mempunyai
bibi?" la menjawab, "Ya" Nabi bersabda, "Berbuat baiklah
kepadanya." (HR. Tirmidzi)
Di antara keajaiban
Syari'at Islam itu adalah bahwa Islam itu memerintahkan kita untuk berbuat baik
kepada ibu, meskipun ia musyrik. Sebagaimana yang ditanyakan oleh Asma' binti
Abu Bakar kepada Nabi SAW tentang hubungannya dengan ibunya yang musyrik. Maka
Rasulullah SAW bersabda, "Ya, tetaplah kamu menyambung silaturrahmi dengan
ibumu." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Di antara perhatian
Islam terhadap seorang ibu dan haknya serta perasaannya bahwa Islam telah
menjadikan ibu yang dicerai itu lebih berhak untuk merawat anaknya dan lebih
baik daripada seorang ayah.
Ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini dahulu saya yang mengandungnya, dan susuku menjadi
minumannya dan pangkuanku menjadi tempat ia berlindung. Tetapi ayahnya telah
menceraiku dan ingin mengambilnya dariku, maka Nabi SAW bersabda kepadanya'
"Engkau lebih berhak (untuk merawatnya) selama engkau belum menikah."
(HR. Ahmad)
Umar dengan isterinya
yang dicerai pernah mengadu kepada Abu Bakar tentang putranya yang bernama
'Ashim, maka Abu Bakar memutuskan untuk memberikan anak itu kepada ibunya.
Kemudian Abu Bakar berkata kepada Umar, "Baunya, ciumannya dan
kata-katanya lebih baik untuk anak itu daripada darimu." (HR. Sa'id)
Kekerabatan ibu itu
lebih mulia daripada kekerabatan ayah di dalam masalah perawatan.
Keberadaan ibu yang
telah diperhatikan oleh Islam dengan sepenuh perhatian ini dan yang telah
diberikan untuknya hak-hak, maka dia juga mempunyai kewajiban, yakni mendidik
anak-anaknya, dengan menanamkan kemuliaan kepada mereka dan menjauhkan mereka
dari kerendahan. Membiasakan mereka untuk taat kepada Allah dan mendorong
mereka untuk mendukung kebenaran dan tidak menghalang-halangi mereka untuk
turut berjihad karena mengikuti perasaan keibuan dalam hatinya. Sebaliknya
ia harus berusaha memenangkan seruan kebenaran daripada seruan perasaan.
Kita pernah melihat seorang ibu yang beriman seperti Khansa di dalam
peperangan Qadisiyah. Dialah yang mendorong empat anaknya dan berpesan kepada
mereka untuk berani maju ke depan dan teguh menghadapi peperangan dalam
kata-katanya yang mantap dan menarik. Ketika peperangan belum selesai, sudah
ada pemberitahuan bahwa semua anaknya telah syahid, maka Khansa tidak gusar
ataupun berteriak-teriak, bahkan ia berkata dengan penuh ridha dan yakin,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi kemuliaan kepadaku dengan
gugurnya mereka di jalan-Nya."
PARA IBU YANG DIABADIKAN
<< Kembali ke Daftar Isi
>>
Di antara taujih Al Qur'an adalah bahwa Al Qur'an telah meletakkan di
hadapan orang-orang yang beriman (laki-laki atau wanita) berbagai contoh
teladan dari para ummahat shalihat, yang mempunyai pengaruh dan peran penting
di dalam sejarah keimanan.
Di antaranya adalah ibu dari Nabi Musa yang memenuhi seruan wahyu Allah dan
llham-Nya, lalu melemparkan buah hatinya ke dalam lautan dengan penuh
ketenangan dan percaya penuh terhadap janji Rabb-nya. Allah berfirman:
"Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah
kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikan kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para
Rasul." (Al Qashash: 7)
Dan ibunya Maryam yang bernadzar ingin mempunyai anak yang ikut membebaskan
"Baitul Maqdist" karena Allah, bersih dari segala bentuk kemusyrikan
atau 'ubudiyah kepada selain-Nya. Ia berdoa agar Allah berkenan menerima
nadzarnya itu, Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika isteri Imran berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku bernadzar kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang
shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis), Karena itu terimalah (nadzar) itu
dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Ali 'Imran: 35)
Maka ketika anak yang baru lahir itu ternyata perempuan di luar harapan
yang diinginkan, ia tetap dalam kesetiaan untuk memenuhi nadzarnya, sambil
memohon kepada Allah SWT agar Allah melindunginya dari segala keburukan, Allah
SWT berfirman:
"Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan
untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari syetan
yang terkutuk." (Ali 'Imran: 36)
Maryam puteri Imran itu adalah Ibunya Al Masih yang telah dijadikan oleh Al
Qur'an sebagai lambang kesucian dan
ketaatan kepada Allah serta meyakini kalimat-kalimat-Nya. Allah SWT berfirman:
"Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami
tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan
kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia adalah termasuk
orang-orang yang taat." (At-Tahrim: 12)
Post a Comment