17-8-45 Alhamdulillah 18-8-45 Astaghfirullah

17-8-45 Alhamdulillah 18-8-45 Astaghfirullah
Portugis dan Belanda datang ke Indonesia bukan hanya ingin menguasai kekayaan alam, tetapi, mereka juga menyebarkan agama Kristen dengan “Trilogy Imperialisme”nya yang terkenal dengan Gospel, Gold dan Glory. Sehingga banyak umat Islam yang memandang agama Kristen Indentik dengan agama kolonial.

Pangeran Henry sang pelaut (1394-1460) datang ke Indonesia dengan tuju-an mengepung kekuatan Muslim dan membawa agama Kristen. Ketika berhasil menduduki Malaka Alfonso d’Albuquerqe berpidato :

“Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor (Muslim) dari negara ini dan memadamkan api sekte Muhammad sehingga tidak muncul lagi sesudah ini. saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka -orang-orang Moor-, Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venice tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi membelinya di Portugal.”.

Tahun 1810, Raja William I mengeluarkan dekrit yang menyatakan para misionaris akan diutus ke Indonesia oleh dan atas biaya pemerintah Belanda. Tahun 1835 dan 1840, keluar dekrit, administrasi gereja di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial. Tahun 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan untuk mendukung kegiatan misi Kristen di Indonesia, membiayai pembangunan gereja, membiayai tiket pergi-pulang misionaris Indonesia-Belanda, menggaji para pendeta, membantu para yatim piatu, rumah sakit dan sekolah-sekolah.

Tahun 1888, Menteri urusan kolonial, Kheuchenis menyatakan dukungan ke-pada kegiatan misionaris dan membatasi pengarush Islam. Begitu juga J.T. Cremer menteri Urusan Kolonial juga membantu kegiatan Misionaris.

Tahun 1901, subsidi secara besar-besaran diberikan kepada sekolah-sekolah Kristen dan lembaga-lembaga misionaris, kemudian tahun 1906-1916 secara terang-terangan mendukung kegiatan misonaris. Politik Netral Agama yang di-gembar-gemborkan Belanda ternyata hanya ilusi belaka. Jadi, di zaman kolonial Belanda, konflik Indonesia-Kolonial indentik dengan konflik Islam-Kristen, melawan Belanda ketika itu disebut sebagai jihad fi sabilillah.

Konflik Islam-Kristen pada masa BPUPKI

Konflik Islam-Kristen tidak berhenti pada hengkangnya Belanda dari Indonesia, dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, Kristen ternyata amat gigih untuk memberikan pengaruhnya terhadap wajah Republik Indonesia nantinya, dan berusaha agar Islam tidak memberikan pengaruhnya dalam pemerintahan Republik Indonesia, sehingga tidak terhindarkan konflik Islam-Kristen dalam menen-tukan dasar negara ini. Konflik dimulai ketika Jepang membentuk Ba-dan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PUPKI) yang terdiri dari dua kelompok yaitu Kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler.

Kelompok Nasionalis Islam mengusulkan agar ketika Indonesia Merdeka maka bentuk pemerintahannya adalah dalam bentuk negara Islam, hal ini sangat wajar karena mengingat perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan adalah perjuangan melawan Belanda yang secara nyata menjajah dalam memaksan agama di samping mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Namun kelompok Nasionalis Sekuler-Kristen menolak usul dari kelompok Nasionalis Islam, maka, terjadilah perdebatan sengit dalam sidang-sidang BPUPKI yang berakhir dengan tidak tercapai kesepakatan antara dua kelompok ini.

Untuk mengatasi perbedaan tersebut, BPUPKI membentuk panitia yang terdiri dari 9 orang yang disebut sebagai panitia sembilan dengan ketuanya Ir. Soekarno. Dari pihak Kristen diwakili oleh Mr. A.A. Maramis, Tugas utama dari panitia sembilan adalah mencapai kesepakatan antara kelompok Nasionalis Islam dengan kelompok Nasionalis Sekuler.

9 Juli 1945, panitia sembilan berhasil menyusun suatu ‘Gentlemen’s Agreement’ yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Ketua Panitia Sembilan, Ir. Soe-karno menyebut Piagam Jakarta sebagai :

“Satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama”

Tetapi, dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Piagam Jakarta digugat oleh seorang Kristen dari Maluku yang bernama Latuharhary, dengan alasan Piagam Jakarta dalam aplikasinya akan mengalami kesulitan diberbagai daerah, khususnya ketika berhadapan dengan adat istiadat, Ir. Soekarno meminta agar tujuh kata (lihat salinan piagam jakarta di kalimat yang bergaris), itu tidak dipersoalkan, karena tujuh kata tersebut merupakan jerih payah dan kompromi antara kelompok Nasionalis Islam dengan Nasionalis Sekuler.

Tokoh kebatinan Wongsonegoro, mengusulkan agar tujuh kata tersebut tidak usah diubah tetapi ditambahkan :

“Bagi pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing”

Akhirnya Wachid Hasyim, memperingatkan agar pembahasan soal ‘tujuh kata’ tidak diperpanjang lagi, lalu Ir. Soekarno kembali mengingatkan bahwa ‘tujuh kata’ itu adalah :

“Satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama”

13 Juli 1945, Wachid Hasyim, mengusulkan agar syarat presiden ditambah ‘yang beragama Is-lam’, juga, pasal 29 RUUD 1945 ditambahkan, ‘Agama negara ialah agama Islam’. Bahkan pada tanggal 14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadi-koesoemo, mengusulkan ‘bagi pemeluk - pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret saja, menjadi :

“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”

Tetapi usul tersebut ditolak keras oleh kelompok Nasionalis Sekuler. Sampai pada rapat BPUPKI tanggal 16 kuli 1945, tidak ada pencabutan kesepakatan dalam Piagam Jakarta, Bahkan ketika itu Ir. Soekarno menegaskan, disepakatinya klausul :

“Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia Asli yang beragama Islam”

Dan pada RUUD 1945 pasal 29 tetap berbunyi :

“Negara berdasar atas keTuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”

Terakhir, ketua BPUPKI yang merupakan aktivis Gerakan Teosofi, yaitu dr. Rajiman Widjodiningrat, menyimpulkan :

“Jadi, Rancangan ini sudah diterima semuanya… dengan suara bulat Undang-undang Dasar ini”

Konflik Islam-Kristen Pasca 17-08-45

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, konflik Islam-Kristen tersulut lagi oleh penolakan Kristen pada tanggal 18 Agustus 1945 terhadap :

- Piagam Jakarta yang telah disepakati dengan bersusah payah sebagai Gentlemen’s Agreement
- Klausul ‘Kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi kaum Muslim Indonesia”

Penolakan tersebut diwakili oleh Laturharary de-ngan alasan ada keberatan dari pihak Kristen Indonesia Timur. Keberatan tersebut konon dititip-kan melalui opsir tentara Jepang yang masih berwenang di Jakarta. Opsir tersebut menyampaikan pesan keberatan Kristen Indonesia Timur kepada Ir. Soekarno dan Bung Hatta, yang menyatakan :

“Ada tujuh katayang tercantum dalam Mukaddimah UUD 1945 yang harus dicabut. Kalau tidak, Umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut sertadalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Tujuh kata yang harus dicoret itu berbunyi ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’”

Mengomentari pihak Kristen yang mengultimatum Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan, Dr. Muhammad Natsir mengatakan :

“Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik! Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan itu diterima atau tidak. Asal tahu apa konskuensinya. Itu berupa ultimatum. Ultimatum bukan saja terhadap warga negara yang beragama Islam di Indonesia. Tetapi pada hakekatnya terhadap Republik Indonesia sendiri yang baru berumur 24 jam itu. Hari 17 Agustus adalah Hari Proklamasi, hari raya kita. Hari raya 18 Agustus adalah Hari Ultimatum dari umat Kristen bagian Timur. Kedua-dua peristiwa itu adalah peristiwa sejarah. Kalau yang pertama kita rayakan, yang kedua sekurang-kurangnya jangan dilupakan. Memyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita bertahmied. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa”

Menurut Natsir, umat Kristen sangat konsisten dengan ultimatumnya tanggal 18 Agustus 1945. Di legislatif umat Kristen sangat gigih dalam berusaha menggagalkan setiap usaha pengesahan Undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama.

Penerimaan tokoh-tokoh Islam ketika itu, un-tuk mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta, karena pertimbangan-pertimbangan situasional. Namun setelah itu usaha terus dilanjutkan dalam Majelis Kontituante walaupun selalu gagal. Perjuangan harus tetap dilanjutkan.

Prof. Kasman Singodimedjo mengatakan, Ki Bagus Hadikoesoemo sampai meninggal dalam penantiannya akan kembalinya Piagam Jakarta. Lalu Prof. Kasman dalam biografinya menyatakan :

“Piagam Jakarta sebenarnya merupakan Gentlemen’s A-greement dari bangsa ini. Sayang, kalau generasi selanjutnya justru mengingkari sejarah.”

Pelajaran dari Kecurangan Kristen

Dalam perjalanannya, Kristen seringkali melanggar peraturan dan kesepakatan dalam tata cara penyiaran agama. Sikap inilah yang menyulut konflik Islam-Kristen tiada henti-hentinya. Uraian sebelumnya membuktikan ketidak-konsistenan pihak Kristen pada kesepakatan yang telah dicapai, ternyata, sikap semacam ini, juga pernah dilakukan pada masa perang Salib ketika dia-dakan perjanjian genjatan senjata, mereka membantai orang-orang Islam yang akan pergi haji.

Begitu juga dengan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tahun 1969 dan SK Menteri Agama no 70 dan no 78, tentang pendirian gereja dan tata cara penyiaran agama, banyak gereja dan kegiatan misionaris yang melanggar peraturan.

Pada tahun 1999, DPR telah memutuskan :

“Setiap peserta didik, berhak mendapatkan pelajaran agama dari seorang guru yang seagama dengan murid yang diajarnya” RUU Sisdiknas pasal 22

Dan pada tahun 2003, DPR juga memutuskan :

“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, dan diajarkan oleh pendidik yang dianutnya” RUU Sisdiknas pasal 13 ayat 1

Namun, umat Kristen lagi-lagi melanggarnya, dengan tidak mau menyediakan guru agama Islam. Semestinya, kita sudah dapat belajar dari tindak-tanduk agama Kristen yang terbiasa melanggar peraturan, kita sebenarnya bisa untuk menyeretnya dalam peradilan di Indonesia ini. Memang sulit karena birokrasi yang berbelit-belit, tapi kita harus mulai mencobanya. Minimal, dunia tahu bahwa umat Kristen suka melanggar peraturan.

Seharusnya kita jangan membalas kesalahannya dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis, misalnya, dengan merusak gereja, karena tindakan seperti ini akan menutupi kesalahan awal pihak Kristen, dan kesan yang nampak di media masa adalah, Islam agama yang brutal dan Kristen agama terdzalimi, yang tentu saja akan merugikan serta merusak citra umat Islam.

Dalam perang salib, Islam menang secara me-ngagumkan dan mendapat simpati dunia, ketika itu Islam dapat menyikapi dengan baik pelanggar-an-pelanggaran pihak Kristen. Tidak membalasnya dengan pelanggaran. Film Kingdom of Heaven produksi Hollywood 2005, adalah sebagai bukti simpati dunia kepada Islam pada perang Salib.

PIAGAM JAKARTA

Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu jalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat jang berbahagia dengan selamat-sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indnesia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.

Djakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno
Mohammad Hatta
A.A. Maramis

Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim

Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Muhammad Yamin



Wachid Hasyim, Dr. Muhammad Natsir, Ki Bagus Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh Islam lainnya, adalah tokoh-tokoh yang fakih dalam agamanya yang berusaha keras agar umat Islam dapat menjalankan Syariat Islam, dan mereka satu suara dalam memperjuangkan syariat Islam, namun, sejarah telah mencatat, perjuangan beliau-beliau belumlah final bahkan bisa dikatakan gagal bila ditinjau dari segi ada tidak adanya syariat Islam.
Apalagi sekarang, kefakihan kita dalam beragama kemungkin-an jauh di bawah beliau-beliau, dan suara Islam sudah terpecah, sebagian ingin tetap memperjuang-kan kembalinya ‘tujuh kata’, dan sebagian lagi acuh bahkan menentang kembalinya ‘tujuh kata’. Tentu, akan lebih sulit bagi kita untuk dapat mengembalikan ‘tujuh kata’ yang dicoret tersebut.

Namun mengembalikan Piagam Jakarta, adalah cara yang diharapkan dapat efektif falam rangka usa ha untuk menerapkan sebagian besar syariat Islam di negeri ini, mengembalikan Piagam Jakarta tidak akan dicap pemberontak karena hal itu tidak melanggar konstitusi, kembalinya tujuh kata ke dalam Pia gam Jakarta, masih sangat terbuka luas keberhasilannya, Namun perlu orang-orang pejuang agama yang intelek, berwawasan luas, mengerti sejarah, mengerti gerak-gerik musuh, mengerti duduk permasalahan, mengerti konflik peradaban.

Dan itu tidak dapat dipikul oleh satu orang atau sekelompok orang, tapi harus oleh umat Islam. Kalau kita mau menyisihkan uang belanja beberapa persen saja untuk membeli buku dan mau mengorbankan sebagian waktu menonton TV untuk membaca buku, Insya Allah, sedikit demi sedikit akan terbentuk generasi pejuang agama yang intelek. Kalau mengembalikan ‘tujuh kata’ tidak dapat kita capai sekarang ini, setidak-tidaknya kita telah mempersiapkan untuk generasi penerus kita.

Tidak ada komentar