KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH


KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH

Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Ma'idah:5:44)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Ma'idah:5:45)

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al-Mai'dah:5:47)

ASBABUN NUZUL

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Bahwasanya Allah menurunkan tiga ayat di atas ditujukan kepada dua golongan dari kaum Yahudi. Pada zaman Jahiliyah, salah satunya menundukkan yang lain. Dan akhirnya mereka sepakat bahwa hukuman orang bangsawan yang membunuh rakyat jelata adalah 50 gantang, sedang hukuman rakyat jelata yang membunuh kaum bangasawan adalah 100 gantang. Begitulah sampai kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Keduanya akhirnya membuat perjanjian damai dengan Nabi.

Tak lama kemudian timbul satu kasus, seorang rakyat jelata membunuh seorang bangsawan. Lalu bangsawan yang lain diutus kepada rakyat jelata tadi, ia berkata: Berikan kepada kami 100 gantang, si rakyat jelata, menjawab," Apakah ada keistimewaan ?, kedua golongan kita agamanya satu, nasab kita satu, negeri kita satu; Kenapa diat sebagian mereka separoh dari sebagian lainnya ? Sesungguhnya kami telah menyerahkan kezaliman dan diskriminasi kepada kalian. Jikalau Muhammad datang, maka kami tidak akan memberikannya kepada kalian".

Hampir saja terjadi perang antara dua golongan (Yahudi) tersebut, lalu kedua golongan sepakat untuk menjadikan Rasulullah sebagai penengah mereka. Bangsawan berkata: Demi Allah, Muhammad bukanlah orang yang telah memutuskan suatu yang lemah sebagaimana kalian memutuskan. Perkataan Bangsawan ini dibenarkan mereka. Bangsawan berkata: sungguh apa yang telah kami putuskan adalah suatu kelaliman dan penaklukan atas mereka. Selundupkan seseorang yang mengetahui pendapat Muhammad. Jika Ia memberikan keputusan yang seperti yang yang kalian kehendaki, maka jadikanlah ia penengah, tapi jika ia memutuskan yang lain maka janganlah kalian jadikan dia penengah. Kemudian mereka menyelundupkan orang munafik untuk memberitahu kepada mereka pendapat Rasulullah. Ketika orang-orang munafik tadi sampai kepada Rasul, maka Allah memberitahukan tentang urusan mereka semuanya serta apa sebenarnya yang mereka kehendaki.

PENJELASAN

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang penafsiran ayat di atas. Fakhr ar- Razi, misalnya, menyatakan ada dua hal utama dalam memahami ayat-ayat di atas: Pertama, bahwa yang dimaksud firman Allah di atas adalah ancaman terhadap orang Yahudi atas keberanian mereka mengingkari hukum Allah yang telah dinashkan dalam Taurat, mereka berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah mereka menjadi kafir secara mutlak. Mereka tidak berhak lagi menyandang gelar "iman", tidak berhak atas Musa dan Taurat, serta tidak berhak pula atas Muhammad dan Al-Qur'an.

Kedua, Kaum Khawarij berpendapat bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah, maka ia kafir. sedangkan Jumhur berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ancaman bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia menjadi kafir, zalim, dan fasik.

Dua hal utama di atas dibahas oleh para mufassir klasik. Berikut ini ikhtisar pendapar para mufassir :

1) Sebagian Mufassir sepakat bahwa ayat ini khithabnya khusus. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan kekhususannya. Ada yang berpendapat ayat ini untuk orang Yahudi semata. Pendapat ini didukung oleh Abdullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud. Hasan Basri berkata bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang Yahudi, tapi bagi muslim tetap wajib berhukum pada apa yang diturunkan Allah (bi ma anzal Allah). Ibnu Mansur, Abu Syekh, dan Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut diturunkan Allah khusus untuk orang Yahudi. Mufassir yang lain berpendapat bahwa ayat tersebut untuk Ahli Kitab yakni Yahudi dan Nasrani.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Sholeh bahwa tiga ayat surat Al-Maidah tersebut tidak berlaku atas kaum muslimin, tapi untuk orang kafir, yakni Ahli Kitab. Ibnu Abbas berkata: Sebaik-baik kaum adalah kalian, apa yang baik itu bagi kalian, sedang apa yang buruk itu adalah buat ahli Kitab. Barangsiapa menentang hukum Allah sungguh ia telah kafir dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia telah berbuat zalim dan fasik. Ada yang berpendapat bahwa ketiga ayat tersebut memang bersifat khusus tetapi konteks ketiga ayat itu berbeda. Asy-Sya'bi, misalnya, ia berkata: Julukan kafir itu bagi orang Islam, zalim bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang Nasrani. Al-Zamakhsyari berkata bahwa tiga sifat yang dinisbatkan kepada orang kafir (Ahli Kitab) menunjukkan penghinaan terhadap mereka karena mereka melampaui batas dalam kekufuran mereka, perbuatan zalim mereka terhadap ayat-ayat mereka dengan ejekan dan keengganan mereka lalu mereka berhukum dengan selainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa sifat kufur itu maksudnya adalah kufur nikmat.

Fakhr ar-Razi menyatakan bahwa pendapat tentang ayat-ayat di atas berlaku khusus adalah lemah. Pertama: bertentangan dengan kaedah "al-'Ibrah bi 'umum al-lafdzi, la bi khushus al-sabab". Kedua, pendapat ini juga lemah sebab firman di atas memakai kata man yang menunjukkan sifat umum (sebagai syarat).

2) Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat di atas umum. Tetapi itu tidak berarti jika seorang muslim maka ia menjadi kufur. Thawus, misalnya, berkata: Ia tidak kafir seperti kafirnya orang yang pindah agama dan seperti orang kafir yang ingkar kepada Allah dan hari kebangkitan. Atha' berpendapat senada: muslim yang demikian menjadi kufur tetapi tidak kafir secara hakiki. Mereka seolah-olah menafsirkan yang dimaksud dengan kafir, zalim dan fasik adalah kafir, zalim dan fasik terhadap nikmat. Pengarang

Tafsir Ruh al-Ma'any menjelaskan bahwa Abu Hamid dan lainnya meriwayatkan dari asy-Sya'bi, ia berkata tiga ayat di atas dapat dibedakan. Yang pertama (5:44) berlaku bagi muslim, sedangkan dua ayat berikutnya (5:45;47) Yahudi dan Nasrani, bahwa jika kufur tersebut dinisbatkan pada orang mukmin diartikan ancaman dan sikap keras. Tetapi jika sifat fasik dan kufur dinisbatkan pada orang kafir, hal itu berarti menunjukkan keingkaran dan keluarnya mereka dari hukum Allah.

Riwayat lain, yaitu Hakim, Abdur Razak, Ibn Jarir dari Khuzaifah bahwa tatkala ia membacakan ayat di atas, tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dan berkata: Ayat tersebut diperuntukkan untuk Bani Israel, lalu Huzaifah berkata: Sebaik-baik saudara adalah Bani Israel, jika kalian bahagia mereka susah. Perkataan Huzaifah di atas ditafsirkan sebagai kecenderungannya akan umumnya ayat tersebut. Ali Ibnu Husain meriwayatkan dengan pendapat umumnya ayat tersebut, tapi ia berkomentar: Kufur di atas bukan berarti kufur syirik, fasik bukanlah fasik syirik, dan zalim bukanlah zalimnya syirik.

Pendapat yang paling kuat menurut Fakh ar-Razi adalah pendapat Ikrimah bahwa ayat tersebut umum bagi setiap orang yang ingkar dalam hatinya dan menentang dengan lisannya. Penulis sependapat dengan Ikrimah, tetapi persoalannya bagaimana dengan konteks keindonesiaan.

Untuk menjawab ini, penulis merasa bahwa kita perlu mengembangkan adanya pendapat di masa kini, yakni lafaz bi ma anzala Allah dalam ketiga ayat di atas, sesungguhnya layak diperdebatkan. Apakah bi ma anzala Allah bermakna nashshan (secara teks nash) atau ruuhan (makna di balik teks nash, jiwa nash). Karenanya bisa saja ada hukum manusia (siyasah wadh'iyyah) bertentangan dengan hukum Allah secara teks nash; tetapi bersesuaian dengan ruh nash. Apakah kasus terakhir ini juga tetap terkena keumuman ketiga ayat di atas ? Kemudian apa klasifikasi ruh nash itu ? Dan apakah mungkin teks nash berbeda secara diametral dan konfrontatif dengan ruh nash ? Tentu saja persoalan-persoalan ini membutuhkan kajian khusus yang lebih mendalam, yang tidak mungkin ada dalam tulisan sederhana ini.

Al-Haq min Allah

 

Senarai Rujukan

Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12, hal. 3 - 18

Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal 122-124

Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000 -2001


Tidak ada komentar