Kritik Al Quran Terhadap Pandangan Geosentrik

Kritik Al Quran Terhadap Pandangan Geosentrik 

Geosentrik (ejaan lama Geocentris) adalah suatu pemahaman yang menganggap bumi sebagai pusat alam. Dengan anggapan ini kalau kita melihat ke atas akan tampaklah langit berbentuk setengah bola, yang disebut bola langit. Pada bola langit melekatlah benda-benda langit, yang semuanya terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat. Di antara benda-benda langit itu ada dua yang besar, yang lain kecil-kecil saja. Yang kecil-kecil dinamakan bintang-bintang dan dua yang besar itu adalah matahari dan bulan. 
Dengan pandangan geosentrik ini marilah kita mengamati gerak matahari dan bulan. Sebenarnya setiap tahun ummat Islam melakukan pengamatan itu. Yaitu dalam bulan-bulan Ramadhan dan bulan Syawwal. Mengapa, karena ummat Islam amat berkepentingan mengenai posisi kedua benda langit itu pada bola langit. Ini dalam hubungannya dengan penentuan masuknya bulan Ramadhan atau masuknya bulan Syawwal. Apabila pada waktu siang harinya posisi matahari dan bulan sama tingginya di atas ufuk, maka pada waktu matahari terbenam, bulan yang lebih lambat geraknya, posisinya masih di atas ufuk. Dan itu artinya masuklah 1 Ramadhan, atau 1 Syawwal. Posisi matahari dan bulan yang sama tinggi di atas ufuk dalam ilmu falak disebut dengan istilah ijtima' (conjuction). Apabila posisi matahari dan bulan dalam keadaan ijtima' dan pada waktu itu terletak dalam satu titik pada bola langit, maka terjadilah gerhana matahari. 
Ijtima' terjadi satu kali dalam 29 atau 30 hari. Itulah sebabnya satu bulan jumlahnya 29 atau 30 hari. Jadi dengan pandangan yang geosentrik ini pada bola langit setiap bulan matahari menyusul bulan, akibat gerak bulan yang lebih lambat dari matahari. Dan pandangan geosentrik inilah yang dikritik dalam S.Yasin 40: La sysyamsu yanbaghilaha an tudrika lqamara wa la llaylu sabiqu nnahar wa kullun fie falakin yasbahun. Artinya: Tidak seyogianya matahari menyusul bulan, tidaklah malam mendahului siang, dan semuanya itu berenang dalam falaknya. 
Selama kita berpandangan geosentrik, bumi sebagai pusat alam, selama itu pula kita katakan matahari menyusul bulan. Pada hakekatnya tidaklah demikian. Bulan mengedari bumi dan bumi mengedari matahari. Dan sementara itu kita penghuni bumi yang ada pada permukaan bumi bergerak melingkari pula sumbu bumi, karena bumi berpusing pada sumbunya 1 kali dalam 1 hari, sekitar 24 jam. Dari kombinasi kita bergerak melingkar itu, bulan mengedari bumi itu dan bumi mengedari matahari itu, maka kita seakan-akan melihat pada bola langit matahari, bulan dan bintang-bintang terbit di sebelah timur, terbenam di barat, dan sementara itu matahari menyusul bulan sekali dalam satu bulan. Demikian pula tidaklah dapat kita akatakan malam mendahului siang, oleh karena terjadinya malam dan siang itu akibat perpusingan bumi pada sumbunya di mana kita ada pada permukaan bumi. Dalam gerak melingkar itu yang menyebabkan siang dan malam itu tidak dapat kita katakan amalam lebih dahulu dari siang, karena gerak melingkar itu tidak tentu ujung pangkalnya. Jadi matahari menyusul bulan, malam mendahului siang itu hanya akibat dari pandangan kita yang geosentrik. Jadi kuncinya terletak dalam Kullun fie falakin yasbahun, semuanya berenang dalam falaknya. Bulan mengedari bumi, bumi mengedari matahari dan sementara itu pula bumi perpusing pada sumbunya, matahari mengedari pusat Milky Way, Milky way dan semua galaxy dan super galaxy bergerak saling menjauhi, tidak ada benda langit ciptaan Allah yang diam, semuanya bergerak. Dalam hal ini Al Quran juga mengeritik pandangan helio sentrik, matahari sebagai pusat alam, yaitu pandangan Koppernigk (Copernicus). 
Ada suatu nilai yang dapat kita simak dari S. Yasin 40 itu. Dalam memberikan kritik, tidak hanya asal kritik saja, melainkan di samping kritik yang dilancarkan, haruslah pula diberikan jalan keluar. Artinya, secara etik kita tidaklah berhenti pada kritik dan titik. Melainkan kritik itu ditutup dengan koma, masih ada lanjutannya, yaitu bagaimana semestinya. Seperti dalam ayat di atas tidak berhenti pada kritik terhadap pandangan geosentrik, melainkan kritik itu ditutup dengan suatu pemecahan masalah, yaitu kullun fie falakin yasbahun, semuanya berenang dalam falaknya. WaLlahu a'lamu bishshawab 

Tidak ada komentar