LAPANGAN GHARIZAH

LAPANGAN GHARIZAH

ALLAH menjadikan manusia supaya menjadi khalifah di permukaan bumi dan mengatur kesejahteraan bumi itu. Tujuan ini tidak akan dapat tercapai, melainkan apabila jenis manusia ini terus berkembang. Hidupnya berlangsung terus di permukaan bumi ini baik dengan bercocok-tanam, mendirikan perusahaan, pertukangan atau membuat bangunan-bangunan serta melaksanakan hak-hak Allah yang dibebankan kepadanya. Dan supaya kesemuanya itu dapat tercapai juga, maka Allah melengkapi tubuh manusia ini dengan gharizah (instink) dan rangsangan-rangsangan yang dapat membawa manusia ini dengan seluruh daya kemampuannya untuk kelangsungan hidupnya secara pribadi dan kelangsungan jenis.

    Di antara sekian banyak gharizah itu ialah makan, dengan adanya makan ada kenyang, pribadi manusia itu boleh terus hidup. Dan ada pula gharizah seksual, dimana dengan tersalurnya gharizah ini jenis manusia itu dapat berlangsung.

    Gharizah kedua ini sangat kuat sekali pada tubuh manusia. Oleh kerana itu dia selalu minta tempat penyaluran untuk memenuhi fungsinya dan memuaskan keinginannya. Untuk itu manusia pasti berhadapan dengan salah sate posisi sebagai berikut:

    1. Mungkin manusia akan melepaskan kendali seksualnya, sehingga akan pergi ke mana saja dan berbuat apa saja tanpa batas perisai yang membendungnya berupa agama, budi ataupun adat. Situasi ini terjadi di kalangan aliran-aliran yang bebas (free thinker) yang tidak beriman kepada Allah dan nilai-nilai yang luhur. Situasi seperti ini cukup dapat menjatuhkan derajat manusia kepada derajat binatang dan menghancurkan pribadi dan rumahtangga serta masyarakat secara keseluruhan.

    2. Mungkin juga manusia akan menentang gharizah seksualnya itu, seperti halnya yang terjadi di kalangan aliran-aliran yang menganggap hubungan seksual itu suatu perbuatan yang kotor (cemar), melarang perkahwinan dan menganggap celaka kalau kahwin, seperti aliran Mano, kependetaan dan sebagainya. Pendirian ini berarti suatu penguburan terhadap gharizah dan menghilangkan fungsi gharizah seksual serta meniadakan kebijaksanaan dzat yang menciptakannya serta melawan aturan hidup yang mengatur gharizah ini supaya tersalur sesuai dengan fungsinya.

    3. Mungkin juga manusia akan membuat pembatas yang beroperasi ke dalam, tanpa menjatuhkan derajat manusia dan tanpa memberikan kebebasan yang kegila-gilaan itu.

    Pendirian ini berlaku di kalangan pemeluk-pemeluk agama Samawi (agama-agama yang datangnya dari Tuhan) iaitu dengan diharamkannya pembunuhan dan dianjurkannya kahwin. Pendirian ini lebih menonjol lagi terdapat di dalam ajaran Islam yang mengakui gharizah seksual ini. Untuk itu maka dipermudah jalan-jalan penyalurannya; di samping Islam melarang hidup membujang dan menjauhi perempuan. Kemudian dibuatlah aturan-aturan yang melarang perbuatan zina dengan segala macam manifestasi dan pendahuluannya.

    Pendirian inilah yang kiranya sangat adil dan bijaksana. Sebab andaikata tidak ada anjuran untuk kahwin, niscaya gharizah seksual ini tidak akan dapat memenuhi fungsinya dalam rangka kelangsungan manusia.

    Begitu juga andaikata pembunuhan itu tidak dilarang dan tidak diharuskannya seorang laki-laki mengadakan hubungan dengan perempuan, niscaya rumahtangga yang dibina di bawah naungan kehalusan budi yang tumbuh dari rasa cinta kasih (mawaddah warahmah) itu tidak akan ada. Dan jika rumahtangga tidak ada, masyarakat pun tidak akan ada; dan niscaya masyarakat tidak akan menemukan jalan untuk menuju kemajuan dan kesempurnaannya.



3.1.1  Jangan Mendekati Zina

Tidak menghairankan kalau seluruh agama Samawi mengharamkan dan memberantas perzinaan. Terakhir ialah Islam yang dengan keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam. kerana perzinaan itu dapat mengaburkan masalah keturunan, merusak keturunan, menghancurkan rumahtangga, meretakkan perhubungan, meluasnya penyakit kelamin, kejahatan nafsu dan merosotnya akhlak. Oleh kerana itu tepatlah apa yang dikatakan Allah:

    “Jangan kamu dekat-dekat pada perzinaan, kerana sesungguhnya dia itu perbuatan yang kotor dan cara yang sangat tidak baik.” (al-Isra': 32)

    Islam, sebagaimana kita maklumi, apabila mengharamkan sesuatu, maka ditutupnyalah jalan-jalan yang akan membawa kepada perbuatan haram itu, serta mengharamkan cara apa saja serta seluruh pendahuluannya yang mungkin dapat membawa kepada perbuatan haram itu.

    Justru itu pula, maka apa saja yang dapat membangkitkan seks dan membuka pintu fitnah baik oleh laki-laki atau perempuan, serta mendorong orang untuk berbuat yang keji atau paling tidak mendekatkan perbuatan yang keji itu, atau yang memberikan jalan-jalan untuk berbuat yang keji, maka Islam melarangnya demi untuk menutup jalan berbuat haram dan menjaga daripada perbuatan yang merusak.



3.1.2  Pergaulan Bebas adalah Haram

Di antara jalan-jalan yang diharamkan Islam ialah: Bersendirian dengan seorang perempuan lain. Yang dimaksud perempuan lain, iaitu: bukan isteri, bukan salah satu kerabat yang haram dikahwin untuk selama-lamanya, seperti ibu, saudara, bibi dan sebagainya yang insya Allah nanti akan kami bicarakan selanjutnya.

    Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan kedua belah pihak atau salah satunya, tetapi demi menjaga kedua insan tersebut dari perasaan-perasaan yang tidak baik yang biasa bergelora dalam hati ketika bertemunya dua jenis itu, tanpa ada orang ketiganya.

    Dalam hal ini Rasulullah bersabda sebagai berikut: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, kerana yang ketiganya ialah syaitan." (Riwayat Ahmad)

    "Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali bersama mahramnya."

    Imam Qurthubi dalam menafsirkan firman Allah yang berkenaan dengan isteri-isteri Nabi, iaitu yang tersebut dalam surah al-Ahzab ayat 53, yang artinya: “Apabila kamu minta sesuatu (makanan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. kerana yang demikian itu lebih dapat membersihkan hati-hati kamu dan hati-hati mereka itu,” mengatakan: maksudnya perasaan-perasaan yang timbul dari orang laki-laki terhadap orang perempuan, dan perasaan-perasaan perempuan terhadap laki-laki. Yakni cara seperti itu lebih ampuh untuk meniadakan perasaan-perasaan bimbang dan lebih dapat menjauhkan dari tuduhan yang bukan-bukan dan lebih positif untuk melindungi keluarga.

    Ini berarti, bahawa manusia tidak boleh percaya pada diri sendiri dalam hubungannya dengan masalah bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya. Oleh kerana itu menjauhi hal tersebut akan lebih baik dan lebih dapat melindungi serta lebih sempurna penjagaannya.

    Secara khusus, Rasulullah memperingatkan juga seorang laki-laki yang bersendirian dengan ipar. Sebab sering terjadi, kerana dianggap sudah terbiasa dan memperingan hal tersebut di kalangan keluarga, maka kadang-kadang membawa akibat yang tidak baik. kerana bersendirian dengan keluarga itu bahayanya lebih hebat daripada dengan orang lain, dan fitnah pun lebih kuat. Sebab memungkinkan dia dapat masuk tempat perempuan tersebut tanpa ada yang menegur. Berbeza sekali dengan orang lain.

    Yang sama dengan ini ialah keluarga perempuan yang bukan mahramnya seperti kemanakannya baik dari pihak ayah atau ibu. Dia tidak boleh berkhalwat dengan mereka ini. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:

    "Hindarilah keluar-masuk rumah seorang perempuan. Kemudian ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar bertanya: Ya Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang ipar? Maka jawab Nabi: Bersendirian dengan ipar itu sama dengan menjumpai mati." (Riwayat Bukhari)

    Yang dimaksud ipar, iaitu keluarga isteri/keluarga suami. Yakni, bahawa berkhalwat (bersendirian) dengan ipar membawa bahaya dan kehancuran, iaitu hancurnya agama, kerana terjadinya perbuatan maksiat; dan hancurnya seorang perempuan dengan dicerai oleh suaminya apabila sampai terjadi cemburu, serta membawa kehancuran hubungan sosial apabila salah satu keluarganya itu ada yang berburuk sangka kepadanya.

    Bahayanya ini bukan hanya sekadar kepada instink manusia dan perasaan-perasaan yang ditimbulkan saja, tetapi akan mengancam eksistensi rumahtangga dan kehidupan suami-isteri serta rahasia kedua belah pihak yang dibawa-bawa oleh lidah-lidah usil atau keinginan-keinginan untuk merusak rumahtangga orang.

    Justru itu pula, Ibnul Atsir dalam menafsirkan perkataan ipar adalah sama dengan mati itu mengatakan sebagai berikut: Perkataan tersebut biasa dikatakan oleh orang-orang Arab seperti mengatakan singa itu sama dengan mati, raja itu sama dengan api, yakni bertemu dengan singa dan raja sama dengan bertemu mati dan api.

    Jadi berkhalwat dengan ipar lebih hebat bahayanya daripada berkhalwat dengan orang lain. Sebab kemungkinan dia dapat berbuat baik yang banyak kepada si ipar tersebut dan akhirnya memberatkan kepada suami yang di luar kemampuan suami, pergaulan yang tidak baik atau lainnya, Sebab seorang suami tidak merasa kikuk untuk melihat dalamnya ipar dengan keluar-masuk rumah ipar tersebut.



3.1.3  Melihat Jenis Lain dengan Bersyahwat

Di antara sesuatu yang diharamkan Islam dalam hubungannya dengan masalah gharizah, iaitu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan dan seorang, perempuan memandang laki-laki. Mata adalah kuncinya hati, dan pandangan adalah jalan yang membawa fitnah dan sampai kepada perbuatan zina. Seperti kata seorang syair kuna:

        Semua peristiwa, asalnya kerana pandangan
        Kebanyakan orang masuk neraka adalah kerana dosa kecil
        Permulaannya pandangan, kemudian senyum, lantas beri salam
        Kemudian berbicara, lalu berjanji; dan sesudah itu bertemu.


    Oleh kerana itulah Allah menjuruskan perintahnya kepada orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan supaya menundukkan pandangannya, diiringi dengan perintah untuk memelihara kemaluannya. Firman Allah:

    “Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki: hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya; kerana yang demikian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha meneliti terhadap apa-apa yang kamu kerjakan. Dan katakanlah kepada orang-orang mu'min perempuan: hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan jangan menampak-nampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya, dan hendaknya mereka itu melabuhkan tudung sampai ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau kepada ayahnya atau kepada mertuanya atau kepada anak-anak laki-lakinya atau kepada anak-anak suaminya, atau kepada saudaranya atau anak-anak saudara laki-lakinya (keponakan) atau anak-anak saudara perempuannya atau kepada sesama perempuan atau kepada hamba sahayanya atau orang-orang yang mengikut (bujang) yang tidak mempunyai keinginan, iaitu orang laki-laki atau anak yang tidak suka memperhatikan aurat perempuan dan jangan memukul-mukulkan kakinya supaya diketahui apa-apa yang mereka rahasiakan dari perhiasannya.” (an-Nur: 30-31)

    Dalam dua ayat ini ada beberapa pengarahan. Dua diantaranya berlaku untuk laki-laki dan perempuan, iaitu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sedang yang lain khusus untuk perempuan.

    Dan kalau diperhatikan pula, bahawa dua ayat tersebut memerintahkan menundukkan sebahagian pandangan dengan menggunakan min tetapi dalam hal menjaga kemaluan, Allah tidak mengatakan wa yahfadhu min furujihim (dan menjaga sebahagian kemaluan) seperti halnya dalam menundukkan pandangan yang dikatakan di situ yaghudh-dhu min absharihim. Ini berarti kemaluan itu harus dijaga seluruhnya tidak ada apa yang disebut toleransi sedikitpun. Berbeza dengan masalah pandangan yang Allah masih memberi kelonggaran walaupun sedikit, guna mengurangi kesulitan dan melindungi kemasalahatan, sebagaimana yang akan kita ketahui nanti. Dan apa yang dimaksud menundukkan pandangan itu bukan berarti memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah. Bukan ini yang dimaksud dan ini satu hal yang tidak mungkin. Hal ini sama dengan menundukkan suara seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan tundukkanlah sebahagian suaramu (Luqman 19). Di sini tidak berarti kita harus membungkam mulut sehingga tidak berbicara.

    Tetapi apa yang dimaksud menundukkan pandangan, iaitu: menjaga pandangan, tidak dilepaskan begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan perempuan-perempuan atau laki-laki yang beraksi.

    Pandangan yang terpelihara, apabila memandang kepada jenis lain tidak mengamat-amati kecantikannya dan tidak lama menoleh kepadanya serta tidak melekatkan pandangannya kepada yang dilihatnya itu.

    Oleh kerana itu pesan Rasulullah kepada Sayyidina Ali: "Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh." (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)

    Rasulullah s.a.w. menganggap pandangan liar dan menjurus kepada lain jenis, sebagai suatu perbuatan zina mata. Sabda beliau: "Dua mata itu boleh berzina, dan zinanya ialah melihat." (Riwayat Bukhari)

    Dinamakannya berzina, kerana memandang itu salah satu bentuk bersenang-senang dan memuaskan gharizah seksual dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh syara'. Penegasan Rasulullah ini ada persamaannya dengan apa yang tersebut dalam Injil, dimana al-Masih pernah mengatakan sebagai berikut: Orang-orang sebelummu berkata: "Jangan berzinal" Tetapi aku berkata: "Barangsiapa melihat dengan dua matanya, maka ia berzina."

    Pandangan yang menggiurkan ini bukan saja membahayakan kemurnian budi, bahkan akan merusak kestabilan berfikir dan ketenteraman hati.

    Salah seorang penyair mengatakan: "Apabila engkau melepaskan pandanganmu untuk mencari kepuasan hati. Pada satu saat pandangan-pandangan itu akan menyusahkanmu jua. Engkau tidak mampu melihat semua yang kau lihat. Tetapi untuk sebagainya maka engkau tidak dapat tahan."

3.1.4  Haram Melihat Aurat

Di antara yang harus ditundukkannya pandangan, ialah kepada aurat. kerana Rasulullah s.a.w. telah melarangnya sekalipun antara laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan baik dengan syahwat ataupun tidak.

    Sabda Rasulullah s.a.w.: "Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam satu pakaian."[1] (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)

    Aurat laki-laki yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki lain atau aurat perempuan yang tidak boleh dilihat oleh perempuan lain, iaitu antara pusar dan lutut, sebagaimana yang diterangkan dalam Hadis Nabi. Tetapi sementara ulama, seperti Ibnu Hazm dan sebahagian ulama Maliki berpendapat, bahawa paha itu bukan aurat.

    Sedang aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain ialah seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan. Adapun yang dalam hubungannya dengan mahramnya seperti ayah dan saudara, maka seperti apa yang akan diterangkan dalam Hadis yang membicarakan masalah menampakkan perhiasan.

    Ada yang tidak boleh dilihat, tidak juga boleh disentuh, baik dengan anggota-anggota badan yang lain.

    Semua aurat yang haram dilihat seperti yang kami sebutkan di atas, baik dilihat ataupun disentuh, adalah dengan syarat dalam keadaan normal (tidak terpaksa dan tidak memerlukan). Tetapi jika dalam keadaan terpaksa seperti untuk mengubati, maka haram tersebut boleh hilang. Tetapi bolehnya melihat itu dengan syarat tidak akan menimbulkan fitnah dan tidak ada syahwat. Kalau ada fitnah atau syahwat, maka kebolehan tersebut boleh hilang juga justru untuk menutup pintu bahaya.


  Batas dibolehkannya Melihat Aurat Laki-Laki atau Perempuan

    Dan keterangan yang kami sebutkan di atas, jelas bahawa perempuan melihat laki-laki tidak pada auratnya, iaitu di bahagian atas pusar dan di bawah lutut, hukumnya mubah, selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikhuwatirkan akan menimbulkan fitnah. Sebab Rasulullah sendiri pernah memberikan izin kepada Aisyah untuk menyaksikan orang-orang Habasyi yang sedang mengadakan permainan di masjid Madinah sampai lama sekali sehingga dia bosan dan pergi [2].

    Yang seperti ini ialah seorang laki-laki melihat perempuan tidak kepada auratnya, iaitu di bahagian muka dan dua tapak tangan, hukumnya mubah selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikhuwatirkan menimbulkan fitnah.

    Aisyah meriwayatkan, bahawa saudaranya iaitu Asma' binti Abubakar pernah masuk di rumah Nabi dengan berpakaian jarang sehingga tampak kulitnya. Kemudian beliau berpaling dan mengatakan:

    "Hai Asma'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu, melainkan ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya." (Riwayat Abu Daud)

    Dalam hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat dengan hadis-hadis lain yang membolehkan melihat muka dan dua tapak tangan ketika diyakinkan tidak akan membawa fitnah.

    Ringkasnya, bahawa melihat biasa bukan kepada aurat baik terhadap laki-laki atau perempuan, selama tidak berulang dan menjurus yang pada umumnya untuk kemesraan dan tidak membawa fitnah, hukumnya tetap halal.

    Salah satu kelapangan Islam, iaitu: Dia membolehkan melihat yang sifatnya mendadak pada bahagian yang seharusnya tidak boleh, seperti tersebut dalam riwayat di bawah ini:

    "Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah s.a. w. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: Palingkanlah pandanganmu itu!" (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) -- yakni: Jangan kamu ulangi melihat untuk kedua kalinya.


  Perhiasan Perempuan yang Boleh Tampak dan yang Tidak Boleh

    Ini ada hubungannya dengan masalah menundukkan pandangan yang oleh dua ayat di surah an-Nur 30-31, Allah perintahkan kepada laki-laki dan perempuan. Adapun yang khusus buat orang perempuan dalam ayat kedua (ayat 31) iaitu:

    a) Firman Allah: “Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya.”

    Yang dimaksud perhiasan perempuan, iaitu apa saja yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, ataupun buatan seperti pakaian, perhiasan, make-up dan sebagainya.

    Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut dan melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan pengecualian, melainkan apa yang biasa tampak. Oleh kerana itu para ulama kemudian berbeza pendapat tentang arti apa yang biasa tampak itu dan ukurannya. Apakah artinya: apa yang tampak kerana terpaksa tanpa disengaja, misalnya terbuka kerana ditiup angin; ataukah apa yang biasa tampak dan memang dia itu asalnya tampak?

    Kebanyakan ulama salaf berpendapat menurut arti kedua, Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan apa yang tampak itu ialah: celak dan cincin.

    Yang berpendapat seperti ini ialah sahabat Anas. Sedang bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh dilihatnya kedua tempatnya, iaitu muka dan kedua tapak tangan. Demikianlah apa yang ditegaskan oleh Said bin Jubair, 'Atha', Auza'i dan lain-lain.

    Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain menisbatkan dua gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan demikian, maka sebahagian lengan ada yang dikecualikan. Tetapi tentang batasnya dari pergelangan sampai siku, masih diperselisihkan.

    Di samping satu kelonggaran ini, ada juga yang mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas'ud dan Nakha'i. Kedua beliau ini menafsirkan perhiasan yang boleh tampak, iaitu selendang dan pakaian yang biasa tampak, yang tidak mungkin disembunyikan.

    Tetapi pendapat yang kami anggap lebih kuat (rajih), iaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada wajah dan dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan, seperti celak di mata dan cincin pada tangan. Begitulah seperti apa yang ditegaskan oleh sekelompok sahabat dan tabi'in [3].

    Ini tidak sama dengan make-up dan cat-cat yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk mengecat pipi dan bibir serta kuku. Make-up ini semua termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab perempuan-perempuan sekarang memakai itu semua di luar rumah, adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi jelas hukumnya adalah haram.

    Sedang penafsiran apa yang tampak dengan pakaian dan selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab itu termasuk hal yang lumrah (tabi'i) yang tidak boleh dibayangkan untuk dilarangnya sehingga perlu dikecualikan. Termasuk juga terbukanya perhiasan kerana angin dan sebagainya yang boleh dianggap darurat. Sebab dalam keadaan darurat, bukan suatu yang dibuat-buat. Jadi baik dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat diterima akal apa yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah (keringanan) dan justru untuk mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan sesuatu yang mungkin disembunyikan; dan ma'qul sekali (boleh diterima akal) kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.

    Adanya kelonggaran pada muka dan dua taak tangan, adalah justru menutupi kedua anggota badan tersebut termasuk suatu hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau mereka perlu bepergian atau keluar yang sangat menghajatkan, misalnya dia orang yang tidak mampu. Dia perlu usaha untuk mencari nafkah buat anak anaknya, atau dia harus membantu suaminya. Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar dan menutup kedua tangannya adalah termasuk menyakitkan dan menyusahkan perempuan.

    Imam Qurthubi berkata: "Kalau menurut ghalibnya muka dan dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat ataupun dalam ibadat, seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak kiranya kalau pengecualian itu kembalinya kepada kedua anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini ialah hadis riwayat Abu Daud dari jalan Aisyah r.a., bahawa Asma' binti Abubakar pernah masuk ke rumah Nabi s.a.w. dengan berpakaian tipis, kemudian Nabi memalingkan mukanya sambil ia berkata: "Hai Asma'! Sesungguhnya perempuan apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah baligh) tidak patut dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya."

    Sedang firman Allah yang mengatakan: "Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki supaya menundukkan pandangan" itu memberikan suatu isyarat, bahawa muka perempuan itu tidak tertutup. Seandainya seluruh tubuh perempuan itu tertutup termasuk mukanya, niscaya tidak ada perintah menundukkan sebahagian pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu dilihat sehingga memerlukan menundukkan pandangan.

    Namun, kiranya sesempurna mungkin seorang muslimah harus bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan perhiasannya, termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga meluasnya kerusakan dan banyaknya kefasikan di zaman kita sekarang ini. Lebih-lebih kalau perempuan tersebut mempunyai paras yang cantik yang sangat dikhuwatirkan akan menimbulkan fitnah.

    b) Firman Allah: “Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya.” (an-Nur: 31)

    Pengertian khumur (kudung), iaitu semua alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut juyub kata jama' (bentuk plural) dari kata jaibun, iaitu belahan dada yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian/baju.

    Setiap perempuan muslimah harus menutup kepalanya dengan kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi dan iseng.

    c) Firman Allah: “Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya.” (an-Nur: 31)

    Pengarahan ini tertuju kepada perempuan-perempuan mu'minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya: perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk); perhiasan leher (kalung), perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang kaki). Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.

    Larangan ini dikecualikan untuk 12 orang:

    1. Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang mengatakan: "Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu."

    2. Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah ataupun ibu.

    3. Ayah mertua. kerana mereka ini sudah dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.

    4. Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.

    5. Anak-anaknya suami. kerana ada suatu keharusan untuk bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahawa si isteri waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut [4].

    6. Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu.

    7. Keponakan. kerana mereka ini selamanya tidak boleh dikahwin.

    8. Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang rajih.

    9. Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi sebahagian ulama ada yang berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba laki-laki.

    10. Keponakan dari saudara perempuan. kerana mereka ini haram dikahwin untuk selamanya.

    11. Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi kerana masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, iaitu mengikut dan tidak bersyahwat.

    12. Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.


    Dalam ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman, baik dari pihak ayah ('aam) atau dari pihak ibu (khal), kerana mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan dalam hadis Nabi: "Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri." (Riwayat Muslim)


  Aurat Perempuan

    Dari uraian terdahulu, kita tahu bahawa semua bahagian tubuh yang tidak boleh dinampakkan, adalah aurat. Oleh kerana itu dia harus menutupinya dan haram dibuka.

    Aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain atau perempuan yang tidak seagama, iaitu seluruh badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat yang kami anggap lebih kuat. kerana dibolehkannya membuka kedua anggota tersebut --seperti kata ar-Razi-- adalah kerana ada suatu kepentingan untuk bekerja, mengambil dan memberi. Oleh kerana itu orang perempuan diperintah untuk menutupi anggota yang tidak harus dibuka dan diberi rukhsah untuk membuka anggota yang biasa terbuka dan mengharuskan dibuka, justru syariat Islam adalah suatu syariat yang toleran.

    Ar-Razi selanjutnya berkata: "Oleh kerana membuka muka dan kedua tapak tangan itu hampir suatu keharusan, maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat, bahawa kedua anggota tersebut bukan aurat."

    Adapun kaki, kerana terbukanya itu bukan suatu keharusan, maka tidak salah juga kalau mereka itu berbeza pendapat (ikhtilaf), apakah dia itu termasuk aurat atau tidak?[5]

    Sedang aurat orang perempuan dalam hubungannya dengan duabelas orang seperti yang disebut dalam ayat an-Nur itu, terbatas pada perhiasan (zinah) yang tidak tersembunyi, iaitu telinga, leher, rambut, dada, tangan dan betis. Menampakkan anggota-anggota ini kepada duabelas orang tersebut diperkenankan oleh Islam. Selain itu misalnya punggung, kemaluan dan paha tidak boleh diperlihatkan baik kepada perempuan atau laki-laki kecuali terhadap suami.

    Pemahaman terhadap ayat ini lebih mendekati kepada kebenaran daripada pendapat sementara ulama yang mengatakan, bahawa aurat perempuan dalam hubungannya dengan mahram hanyalah antara pusar dan lutut. Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut yang kiranya lebih mendekati kepada pendapat sebahagian ulama, iaitu: "Bahawa aurat perempuan terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak tampak ketika melayani. Sedang apa yang biasa tampak ketika bekerja di rumah, mahram-mahram itu boleh melihatnya."

    Justru itu Allah memerintahkan kepada perempuan-perempuan mu'minah hendaknya mereka itu memakai jilbab ketika keluar rumah, supaya berbeza dengan perempuan-perempuan kafir dan perempuan-perempuan lacur. Untuk itu pula Allah perintahkan kepada Nabi-Nya supaya menyampaikan pengumuman Allah ini kepada ummatnya; yang berbunyi sebagai berikut:

"Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min semua hendaklah mereka menghulurkan jilbab-jilbab mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu lebih mendekati mereka untuk dikenal supaya mereka tidak diganggu." (al-Ahzab: 59)

    Jilbab, iaitu pakaian yang lebarnya semacam baju kurung untuk dipakai perempuan guna menutupi badannya.

    Sebahagian perempuan jahiliah apabila keluar rumah, mereka menampakkan sebahagian kecantikannya, misalnya dada, leher dan rambut, sehingga mereka ini diganggu oleh laki-laki fasik dan yang suka iseng, kemudian turunlah ayat di atas yang memerintahkan kepada orang-orang perempuan mu'minah untuk menghulurkan jilbabnya itu sehingga sedikitpun bahagian-bahagian tubuhnya yang biasa membawa fitnah itu tidak tampak. Dengan demikian secara lahiriah mereka itu dikenal sebagai wanita yang terpelihara (afifah) yang tidak mungkin diganggu oleh orang-orang yang suka iseng atau orang-orang munafik.

    Jadi jelasnya, bahawa ayat tersebut memberikan illah (alasan) perintahnya itu kerana khuwatir perempuan-perempuan muslimah itu diganggu oleh orang-orang fasik dan menjadi perhatian orang-orang yang suka iseng. Bukan ketakutan yang timbul dari perempuan itu sendiri atau kerana tidak percaya kepada mereka, sebagaimana anggapan sementara orang, sebab perempuan yang suka menampakkan perhiasannya, yang berjalan dengan penuh bergaya (in action) dan bicaranya dibuat-buat, sering membuat perhatian orang laki-laki dan membikin sasaran orang-orang yang suka iseng. Ini cocok dengan firman Allah yang mengatakan:

    “Janganlah perempuan-perempuan itu berlaku lemah dengan perkataannya, sebab akan menaruh harapan orang yang dalam hatinya ada penyakit.” (al-Ahzab: 32)

    Islam memperkeras persoalan menutup aurat dan menjaga perempuan muslimah. Hanya sedikit sekali perempuan diberinya rukhsah (keringanan), misalnya perempuan-perempuan yang sudah tua. Firman Allah:

    “Dan perempuan-perempuan yang sudah putus haidhnya dan tidak ada harapan untuk kahwin lagi, maka tidak berdosa baginya untuk melepas pakaiannya, asalkan tidak menampak-nampakkan perhiasannya. Tetapi kalau mereka menjaga diri akan lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)

    Yang dimaksud al-qawa'id (perempuan-perempuan yang duduk), iaitu perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh dan tidak beranak lagi kerana sudah tua. Justru itu mereka sudah tidak ada keinginan untuk kahwin dan sudah tidak suka kepada laki-laki, begitu juga laki-laki itu sendiri sudah tidak suka kepada mereka.

    Untuk mereka ini, Allah memberikan kelonggaran dan tidak menganggap suatu perbuatan dosa, jika mereka itu menanggalkan sebahagian pakaian luar yang biasa tampak, seperti baju kurung, kebaya, kudung dan sebagainya.

    Al-Quran memberikan batas rukhsah ini dengan kata: tidak menampak-nampakkan perhiasannya, yakni tidak bermaksud menanggalkan pakaiannya itu untuk menunjuk-nunjukkan. Akan tetapi kelonggaran ini diberikan jika memang mereka itu memerlukan.

    Berdasar rukhsah ini, maka kiranya yang lebih afdhal dan lebih baik hendaknya mereka tetap menjaga diri dengan selalu mengenakan pakaian-pakaian tersebut, untuk mencari kesempurnaan dan supaya terhindar dari segala syubhat. kerana itu Allah mengatakan dan kalau mereka itu menjaga diri adalah lebih baik bagi mereka.

3.1.5  Perempuan Masuk Pemandian

Demi perhatian Islam terhadap masalah pemeliharaan aurat, maka Rasulullah s.a.w. melarang perempuan-perempuan masuk pemandian umum dan telanjang di hadapan perempuan-perempuan lain yang memungkinkan sifat-sifat badannya itu akan menjadi pembicaraan dalam majlis-majlis dan oleh mulut-mulut yang usil.

    Begitu juga Rasulullah s.a.w. melarang laki-laki masuk pemandian kecuali dengan memakai kain yang dapat menutupi badannya dari pandangan mata orang lain. Sebagaimana tersebut dalam riwayat di bawah ini:

    "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan masuk pemandian kecuali dengan memakai kain. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan memasukkan (membiarkan masuk) isterinya ke pemandian." (Riwayat Nasa'i Tarmizi ia hasankan; dan Hakim ia berkata: hadis ini diriwayatkan dengan rawi-rawi Muslim) - lihat Targhib.

    "Dari Aisyah r.a., ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melarang perempuan-perempuan masuk pemandian, kemudian ia membolehkan laki-laki masuk pemandian dengan memakai kain." (Riwayat Abu Daud -- dan ia tidak melemahkan dan lafaz ini terdapat dalam sunannya -- juga diriwayatkan oleh Tarmizi dan Ibnu Majah, dan dalam sanadnya ada seorang yang tidak terkenal) - lihat Targhib.

    Dikecualikan perempuan yang masuk pemandian guna berubat kerana sakit yang dideritanya atau kerana nifas dan sebagainya. kerana ada suatu riwayat dari Abdullah bin Umar, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah mengatakan perihal pemandian sebagai berikut:

    "Janganlah seorang laki-laki masuk pemandian kecuali dengan memakai kain, dan hendaklah mereka itu melarang perempuan-perempuan masuk pemandian kecuali kerana sakit atau nifas." (Riwayat Ibnu Majah, Abu Daud - tetapi dalam sanadnya ada seorang yang bernama Abdurrahman bin Ziadah bin An'am al-Afriqi)

    Dalam hadis ini ada sedikit kelemahan, tetapi berdasar kaidah-kaidah syara' sehubungan dengan masalah rukhshah untuk orang yang sakit dan demi memudahkan mereka untuk beribadah dan menunaikan kewajiban-kewajiban, maka semua itu dapat memperkuat dan menunjang hadis tersebut. Diperkuat juga dengan kaidah yang sudah masyhur, bahawa sesuatu yang diharamkan kerana membendung bahaya, boleh menjadi mubah justru ada kepentingan yang sangat dan demi kemaslahatan.

    Dan dikuatkan juga oleh hadis riwayat Ibnu Abbas yang menerangkan, bahawa Rasuluilah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut: "Berhati-hatilah kamu terhadap rumah yang disebut pemandian. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah! Sesungguhnya dia itu dapat menghilangkan kotoran dan berguna bagi orang yang sakit. Maka jawab Nabi: (Bolehlah kamu masuk) tetapi barangsiapa yang masuk hendaknya memakai tutup." (Riwayat Hakim dan ia berkata: Sahih dengan sanad Muslim)

    Oleh kerana itu kalau seorang perempuan masuk pemandian tanpa ada uzur yang mengharuskan, maka berarti dia telah berbuat yang haram dan akan mendapat ancaman Rasulullah s.a.w. Dalam Hadisnya yang diriwayatkan dari jalan Abu Malik al-Hudzali, bahawa beberapa orang perempuan dari Himasha atau dari Syam masuk ke rumah Aisyah kemudian ia berkata: Apakah kamu ini perempuan-perempuan yang memasukkan anak-anak perempuanmu ke pemandian? Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:

    "Tidak seorang pun perempuan yang melepas pakaiannya bukan di rumah suaminya, melainkan dia merobek tabir antara dia dengan Tuhannya." (Riwayat Tarmizi - dan lafaz ini baginya, dan ia berkata: hadis ini hasan. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim; dan ia berkata: rawi-rawinya adalah rawi-rawi Bukhari dan Muslim) - lihat Targhib.

    "Dari Ummu Salamah, sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: Siapapun perempuan yang melepas pakaiannya bukan di rumahnya sendiri, maka Allah akan merobek daripadanya tabirnya." (Riwayat Ahmad, Abu Ya'Ia, Thabarani dan Hakim) - lihat Targhib.

    Kalau demikian kerasnya Islam dalam persoalan perempuan yang masuk pemandian, iaitu sebuah bangunan yang berdinding empat yang hanya dimasuki orang-orang perempuan, maka bagaimana lagi hukumnya orang-orang perempuan cabul yang mahu menampakkan auratnya di hadapan laki-laki yang suka iseng dan ditampakkan tubuhnya itu di pinggir laut yang menjadi sasaran semua mata yang sedang lapar dan membangkitkan gharizah yang menggelora?

    Dan kalau perempuan-perempuan tersebut telah merobek-robek dinding antara dia dan Tuhannya, maka suami-suaminya yang membiarkan mereka ini bersekutu dalam dosa, kerana mereka adalah yang tertanggungjawab kalau benar-benar mereka mengetahuinya.



3.1.6  Menampak-nampakkan Perhiasan adalah Haram

Seorang muslimah mempunyai budi yang dapat membezakan dari perempuan kafir atau perempuan jahiliah. Budi perempuan muslimah ialah pandai menjaga diri, tunduk, terhormat dan pemalu.

    Berbeza dengan perempuan jahiliah, moralnya senang menunjuk-nunjukkan perhiasannya (tabarruj) dan suka menarik laki-laki.

    Arti tabarruj yang sebenarnya ialah: membuka dan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata. Mahligai disebut buruj seperti ayat yang mengatakan burujim musyyadah, tempat perjalanan bintang juga disebut buruj, kerana tingginya dan tampak jelas oleh orang-orang yang melihatnya.

    Zamakhsyari berkata: "Bahawa tabarruj itu ialah memaksa diri untuk membuka sesuatu yang seharusnya disembunyikan." Seperti kata orang Arab: safinatun barij (perahu yang tidak pakai atap).

    Namun tabarruj dalam ayat di atas adalah khusus untuk perempuan terhadap laki-laki lain, iaitu mereka nampakkan perhiasannya dan kecantikannya.

    Dalam mengertikan tabarruj ini, Zamakhsyari menggunakan unsur baru, iaitu: takalluf (memaksa) dan qashad (sengaja) untuk menampakkan sesuatu perhiasan yang seharusnya disembunyikan. Sesuatu yang harus disembunyikan itu ada kalanya suatu tempat di badan, atau gerakan anggota, atau cara berkata dan berjalan, atau perhiasan yang biasa dipakai berhias oleh orang-orang perempuan dan lainlain.

    Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah dikenal oleh orang-orang ramai sejak zaman dahulu sampai sekarang. Ahli-ahli tafsir dalam menafsirkan ayat yang mengatakan:

    “Dan tinggallah kamu (hai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kamu dan jangan kamu menampak-nampakkan perhiasanmu seperti orang jahiliah dahulu.” (Ahzab: 33)

    sebagai berikut:

      Yujahid berkata: Perempuan ke luar dan berjalan di hadapan laki-laki.
      Qatadah berkata: Perempuan yang cara berjalannya dibikin-bikin dan menunjuk-nunjukkan.
      Muqatil berkata: Yang dimaksud tabarruj, iaitu melepas kudung dari kepala dan tidak diikatnya, sehingga kalung, kriul dan lehernya tampak semua.


    Cara-cara di atas adalah macam-macam daripada tabarruj di zaman jahiliah dahulu, iaitu: bercampur bebas dengan laki-laki, berjalan dengan melenggang, kudung dan sebagainya tetapi dengan suatu mode yang dapat tampak keelokan tubuh dan perhiasannya.

    Jahiliah pada zaman kita sekarang ini ada beberapa bentuk dan macam tabarruj yang kalau diukur dengan tabarruj jahiliah, maka tabarruj jahiliah itu masih dianggap sebagai suatu macam pemeliharaan.

3.1.7  Beberapa Hal yang Dapat Mengeluarkan Perempuan dari Batas Tabarruj

Yang mengeluarkan seorang perempuan muslimah dari batas tabarruj yang selanjutnya disebut kesopanan Islam, iaitu hendaknya dia dapat menepati hal-hal sebagai berikut:

    a) Ghadh-dhul Bashar (menundukkan pandangan), sebab perhiasan perempuan yang termahal ialah malu, sedang bentuk malu yang lebih tegas ialah: menundukkan pandangan, seperti yang difirmankan Allah: "Katakanlah kepada orang-orang mu'min perempuan hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya."

    b) Tidak bergaul bebas sehingga terjadi persentuhan antara laki-laki dengan perempuan, seperti yang biasa terjadi di gedung-gedung bioskop, ruangan-ruangan kuliah, perguruan-perguruan tinggi, kendaraan-kendaraan umum dan sebagainya di zaman kita sekarang ini. Sebab Ma'qil bin Yasar meriwayatkan, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:

    "Sungguh kepala salah seorang di antara kamu ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya." (Riwayat Thabarani, Baihaqi, dan rawi-rawinya Thabarani adalah kepercayaan)

    c) Pakaiannya harus selaras dengan tata kesopanan Islam. Sedang pakaian menurut tata kesopanan Islam, iaitu terdapatnya sifat-sifat sebagai berikut:

    1. Harus menutup semua badan, selain yang memang telah dikecualikan oleh al-Quran dalam firmannya: "Apa-apa yang biasa tampak" yang menurut pendapat yang lebih kuat, iaitu muka dan dua tapak tangan.

    2. Tidak tipis dan tidak membentuk badan sehingga tampak kulit. Sebab sesuai apa yang dikatakan Nabi: "Sesungguhnya termasuk ahli neraka, iaitu perempuan-perempuan berpakaian tetapi telanjang, yang condong kepada maksiat dan menarik orang lain untuk berbuat maksiat. Mereka ini tidak akan masuk sorga dan tidak akan mencium baunya." (Riwayat Muslim)

    Maksud berpakaian tetapi telanjang, iaitu: pakaian mereka itu tidak berfungsi menutup aurat, sehingga dapat mensifati kulit yang di bawahnya justru kerana tipis dan sempitnya pakaian itu. Beberapa orang perempuan dari Bani Tamim masuk rumah Aisyah, dengan berpakaian yang sangat tipis, kemudian Aisyah berkata: "Kalau kamu sebagai orang mu'min, maka bukan ini macamnya pakaian orang-orang perempuan mu'min itu." (Riwayat Thabarani dan lain-lain). Ada pula seorang perempuan yang baru saja menjadi pengantin, dia memakai kudung yang sangat tipis sekali, maka kata Aisyah kepadanya: "Perempuan yang memakai kudung seperti ini berarti tidak beriman dengan surah an-Nur."

    3. Tidak memperhatikan batas-batas anggota tubuh dan menampakkan bahagian-bahagian yang cukup menimbulkan fitnah, sekalipun tipis, seperti pakaian yang dianggap mode kebudayaan tubuh dan syahwat (atau dengan kata lain pakaian kebudayaan barat) yang oleh ahli mode dijadikan perlombaan dalam memotong pakaian yang membentuk tetek yang bulat, pinggang, punggung dan sebagainya. Suatu mode yang cukup dapat membangkitkan syahwat. Sedang yang memakainya itu sendiri seperti berpakaian tetapi telanjang. Ini cukup lebih menarik dan menimbulkan fitnah, daripada pakaian yang sekadar tipis.

    4. Bukan pakaian spesialis yang dipakai oleh orang laki-laki seperti celana di zaman kita sekarang ini. Sebab Rasulullah s.a.w. pernah melaknat perempuan-perempuan yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai perempuan. Begitu juga Rasulullah s.a.w. pernah melarang perempuan memakai pakaian laki-laki dan laki-laki memakai pakaian perempuan.

    5. Bukan pakaian spesialis yang dipakai oleh orang-orang kafir seperti Yahudi, Kristian dan penyembah-penyembah berhala. Sebab menyamai mereka itu dilarang dalam Islam, supaya ummatnya ini baik yang laki-laki ataupun perempuan mempunyai ciri-ciri tersendiri baik dalam hal-hal yang tampak mahupun yang tersembunyi. Justru itu Rasulullah s.a.w. memerintahkan supaya ummat Islam berbeza dengan orang kafir dalam beberapa hal. Sabda beliau:

    "Barangsiapa menyerupai sesuatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka." (Riwayat Thabarani)

    6. Khusyu' dan bersahaja, baik dalam cara berjalannya mahupun berbicaranya; dan supaya menjauhkan gerak-gerak yang tidak baik pada tubuh mahupun wajahnya. Sebab gerakan-gerakan yang dibuat-buat adalah termasuk perbuatan perempuan-perempuan lacur, bukan budi perempuan muslimah. Oleh kerana itu Allah berfirman:

    “Janganlah perempuan-perempuan melembikkan perkataannya, sebab orang-orang yang hatinya ada penyakit akan menaruh perhatian.” (al-Ahzab: 32)

    7. Tidak bermaksud untuk menarik perhatian orang laki-laki supaya mereka mengetahui apa yang disembunyikan baik dengan bau-bauan ataupun dengan bunyi-bunyian. Untuk itu Allah berfirman:

    “Janganlah perempuan-perempuan itu memukul-mukulkan kakinya di tanah supaya diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan mereka.” (an-Nur: 31)

    Perempuan-perempuan jahiliah dahulu kalau berjalan di hadapan laki-laki, mereka pukul-pukulkan kakinya supaya terdengar suara gelang kakinya. Untuk itu maka al-Quran melarangnya, kerana hal tersebut dapat membangkitkan khayal laki-laki yang bergelora syahwatnya, dan cukup menunjukkan niat jahatnya perempuan-perempuan supaya diperhatikan oleh laki-laki. Yang sama dalam hal ini ialah perempuan yang suka memakai aneka macam wangi-wangian yang cukup dapat membangkitkan syahwat dan menarik perhatian laki-laki. Maka bersabdalah Nabi:

    "Perempuan apabila memakai wangi-wangian, kemudian berjalan melalui suatu majlis (laki-laki), maka berarti dia itu begini -yakni: perempuan lacur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan ia berkata: hasan sahih. Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

    Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita ketahui, bahawa Islam tidak mengharuskan seorang perempuan muslimah --seperti yang biasa dituduhkan--- selamanya dipenjara dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali ke kubur (sampai mati). Tetapi Islam membolehkan seorang perempuan muslimah keluar rumah untuk pergi bersembahyang, mencari ilmu, melaksanakan keperluannya dan setiap tujuan agama atau duniawi yang dibenarkan, seperti yang biasa dilakukan oleh isteri-isteri sahabat dan berikutnya, padahal mereka itu sebaik-baik kurun (abad).

    Di antara mereka ada yang keluar ikut dalam peperangan bersama Rasulullah, dengan para khulafa' dan panglima-panglima perang lainnya. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri pernah berkata kepada salah seorang isterinya, iaitu Saudah sebagai berikut: "Sungguh Allah telah mengizinkan kamu keluar rumah untuk urusan-urusanmu." (Riwayat Bukhari)

    Dan sabdanya pula: "Apabila salah seorang isterimu minta izin untuk pergi ke masjid, maka jangan halang-halangi dia." (Riwayat Bukhari)

    Dan dalam hadisnya yang lain pula, ia bersabda: "Jangan kamu halang-halangi hamba Allah yang perempuan itu untuk pergi ke masjid-masjid Allah." (Riwayat Muslim)

    Sebahagian ulama yang ekstrimis menganggap, bahawa perempuan samasekali tidak boleh melihat anggota laki-laki yang manapun. Mereka membawakan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahawa Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda: "pakailah tabir". Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: "Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab Nabi: "Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?"

    Tetapi dari kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadis/pendapat) mengatakan: hadis ini tidak sah menurut ahli-ahli hadis, kerana Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.

    Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah suatu sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya kerana kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab. Seperti apa yang diisyaratkan oleh Abu Daud dan lain-lain:

    Dengan demikian tinggal satu hadis sahih yang berbunyi sebagai berikut: "Rasulullah s.a.w. pernah menyuruh Fatimah binti Qais supaya menghabiskan iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian menyusuli perkataan: Dia (Ummu Syarik) adalah seorang perempuan yang disibukkan oleh urusan sahabat-sahabatku, justru itu beriddah sajalah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum kerana dia itu seorang laki-laki buta, kamu lepas pakaianmu tetapi dia tidak melihatmu." (Tafsir Qurthubi, juz 1-2:228)



3.1.8  Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya

Dan lebih tegas lagi, bahawa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh kerana itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri mahupun dari pihak tamu.

    Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut: "Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah s.a. w. selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

    Dari hadis ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat: "Seorang perempuan boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya ..." Tetapi tidak diragukan lagi, bahawa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan perempuan-perempuan yang diundang oleh isterinya itu.

    Dan apabila seorang perempuan itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan perempuan dewasa ini, maka tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi haram.



3.1.9  Hubungan Kelamin yang Tidak Normal adalah Berdosa Besar

Tinggal satu yang perlu kita ketahui, khususnya tentang masalah penyaluran gharizah (seksual) dalam hukum Islam.

    Sebagaimana Islam mengharamkan perbuatan zina dan seluruh jalan yang membawa kepada perbuatan tersebut, maka begitu juga Islam mengharamkan hubungan seks yang tidak normal yang sekarang ini dikenal dengan liwath (homoseks).

    Perbuatan ini bertentangan dengan fitrah manusia, melemparkan kotoran ke dalam jiwa, merusak sifat kelaki-lakian dan merampas hak-hak perempuan.

    Tersebarnya kotoran ini dalam suatu masyarakat, berarti akan hancurlah eksistensi masyarakat itu dan akan menjadikan masyarakat tersebut diperhamba oleh kotoran serta lupa terhadap etika, setiap bentuk kebaikan dan perasaan.

Kiranya cukup bagi kita apa yang dikatakan al-Quran tentang kisahnya kaum Nabi Luth yang bergelimang dalam kemungkaran ini. Mereka tinggalkan isteri-isterinya yang baik dan halal itu, justru untuk menuruti syahwat yang haram ini. Untuk itulah maka Nabi Luth mengatakan kepada mereka:

    “Apakah patut kamu datangi orang-orang laki-laki dan kamu tinggalkan isteri-isteri kamu yang justru dijadikan oleh Tuhanmu untuk kamu? Bahkan kamu adalah kaum melampaui batas.” (as-Syu'ara': 165-166)

    Al-Quran menentang mereka ini melalui lidah Luth, dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang memusuhi, kebodohan, berlebih-lebihan, merusak dan dosa.

    Salah satu daripada keganjilan yang menunjukkan rusaknya fitrah mereka, hilangnya kesedaran mereka, jatuhnya martabat mereka dan rusaknya perasaan mereka; iaitu sikapnya kepada para tamu Nabi Luth yang pada hakikatnya mereka itu adalah malaikat yang membawa siksa yang diutus Allah dalam bentuk manusia untuk menguji dan mencatat sikap mereka itu. Al-Quran mengisahkan peristiwa itu sebagai berikut:

    “Dan tatkala utusan-utusan kami datang kepada Nabi Luth, mereka merasa tidak senang dan sempit dada terhadap mereka itu, dan ia berkata: Ini satu hari yang payah. Dan datanglah kaumnya kepadanya dengan cepat-cepat, sedang mereka sudah biasa mengerjakan kejahatan, maka ia (Luth) berkata: Hai kaumku! Anak-anak perempuanku ini lebih bersih buat kamu, oleh kerana itu takutlah kepada Allah dan jangan kamu menyusahkan aku terhadap tamuku ini; tidakkah ada di antara kamu ini orang yang sangat cerdik?” (Hud: 77-78)

    “Mereka kemudian menjawab: Sungguh engkau sudah tahu, bahawa kami samasekali tidak ada keinginan terhadap anak-anak perempuanmu; dan kamu tahu apa yang kami maksud". Luth kemudian menjawab: "Alangkah baiknya kalau saya mempunyai kekuatan atau saya boleh berlindung kepada satu tiang yang kuat!" Para utusan itu kemudian berkata: "Hai Luth! Sesungguhnya kami ini adalah utusan Tuhanmu, mereka tidak akan boleh sampai kepadamu.” (Hud: 79-81)

    Ahli-ahli fiqih berbeza pendapat tentang hukuman orang yang berbuat kemungkaran ini: Apakah harus dihukum seperti hukuman berzina? Ataukah kedua belah pihak harus dibunuh? Dan kalau dibunuh dengan apa mereka itu dibunuh? Apakah dengan pedang, ataukah dibakar? Ataukah dijatuhkan dari atas dinding yang tinggi?

    Ketegasan yang kadang-kadang nampaknya seperti keras ini, hanya dimaksudkan demi membersihkan masyarakat Islam dari dosa yang berbahaya dan merusak yang hanya akan melahirkan kerusakan dan keonaran belaka.



3.1.10  Hukumnya Onani (Masturbatio)

Kadang-kadang darah pemuda bergelora, kemudian dia menggunakan tangannya untuk mengeluarkan mani supaya alat kelaminnya itu menjadi tenang dan darahnya yang bergelora itu menurun. Cara semacam ini sekarang dikenal dengan nama onani (bahasa Arabnya: istimta' atau adatus sirriyah).

    Kebanyakan para ulama mengharamkan perbuatan tersebut, di antaranya Imam Malik. Beliau memakai dalil ayat yang berbunyi:

    “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mahu selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu'minun: 5-7)

Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya. Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahawa mani adalah barang kelebihan. Oleh kerana itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.

    Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Tetapi ulama-ulama Hanafiah memberikan Batas kebolehannya itu dalam dua perkara:

        1. kerana takut berbuat zina.
        2. kerana tidak mampu kahwin.


    Pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikhuwatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia khuwatir akan berbuat zina. kerana itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.

    Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kahwin, iaitu kiranya dia mahu memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

    "Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kahwinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari).

Tidak ada komentar