RAJA` BIN HAIWAH (Ketika Penasehat Sang Penguasa Adalah Seorang Yang Shalih)

RAJA` BIN HAIWAH (Ketika Penasehat Sang Penguasa Adalah Seorang Yang Shalih)
“Sesungguhnya pada suku Kindah terdapat tiga orang yang melalui doa mereka, Allah turunkan hujan dan menangkan atas musuh, salah satunya adalah Raja’ bin Haiwah” (Maslamah bin ‘Abdul Malik)

Pada masa Tabi’in ada tiga orang yang oleh orang-orang zaman itu tidak ada tandingan dan duanya.

Mereka seakan bertemu dalam satu janji; saling berwasiat dalam berbuat kebenaran dan bersabar, saling berikrar untuk berbuat kebaikan dan kebajikan, mewakafkan diri mereka untuk selalu berbuat ketakwaan dan mencari ilmu serta menjadikan diri mereka sebagai pelayan Allah, Rasul-Nya, kaum awam maupun kalangan khusus orang-orang beriman. Mereka itu adalah: Muhammad bin Sîrîn di ‘Iraq, al-Qâsim bin Muhammad bin Abu Bakr di Hijaz dan Rajâ` bin Haiwah di Syam.

Mari kita ikuti untuk beberapa saat yang diberkahi ini kisah orang ke-tiga dari ke-tiga orang-orang pilihan lagi berbakti tersebut, yaitu Rajâ` bin Haiwah.

Rajâ` bin Haiwah dilahirkan di Bîsân, sebuah kawasan di ranah Palestina, pada penghujung kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affan atau sekitar itu.

Dia berafiliasi kepada kabilah Kindah yang terkenal. Dengan demikian, Rajâ` bertempat lahir di Palestina, asal Arab dan bermarga Kindi.

Sejak dari kecilnya, pemuda Kindi ini sudah tumbuh dalam keta’atan kepada Allah sehingga Allah mencintainya, demikian juga, dia dicintai makhluk-Nya.

Sejak kecil pula, dia sudah begitu menggebu-gebu dalam menuntut ilmu sehingga seakan ilmu telah mendapatkan ladang subur dan kosong sebagai tempat berdomisili dan menetap di dalamnya.

Dia menjadikan hobi utamanya adalah mendalami Kitabullah dan berbekal diri dengan hadits Rasulullah. Karenanya, pemikirannya disinari oleh Nur al-Qur’an, mata batinnya disoroti oleh petunjuk Nubuwwah dan dadanya disesaki oleh wejangan dan hikmah. Siapa saja orang yang mendapatkan hikmah, maka berarti dia telah diberi kebaikan yang banyak.

Beruntung dia mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari sebagian besar para pemuka shahabat seperti Abu Sa’id al-Khudry, Abu ad-Dardâ`, Abu Umâmah, ‘Ubadah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah bin Abu Sufyân, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Âsh, an-Nawwâs bin Sam’ân dan para shahabat lainnya.

Merekalah yang menjadi lentera hidayah dan obor ilmu pengetahuan baginya.

Pemuda yang beruntung ini telah meletakkan sebuah Dustur (konstitusi) bagi dirinya untuk berkomitmen dengannya dan mengulangi-ulanginya selama hayat dikandung badan. Dia sering berkata,
“Alangkah indahnya Islam bila dihiasi dengan keimanan,
Alangkah indahnya Keimanan bila dihiasi dengan ketakwaan,
Alangkah indahnya ketakwaan bila dihiasi dengan ilmu,
Alangkah indahnya ilmu bila dihiasi dengan amal,
Dan alangkah indahnya amal bila dihiasi dengan kelemah-lembutan”

Rajâ` bin Haiwah telah beberapa kali menempati posisi Wazîr (menteri) bagi sebagian khalifah dari kalangan Bani Umayyah, mulai dari ‘Abdul Malik bin Marwân hingga ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.

Akan tetapi interaksinya dengan Sulaiman bin ‘Abdul Malik bin Marwân dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz melebihi interaksinya dengan selain mereka berdua.

Beliau menempati kedekatan khusus di hati para Khalifah kalangan Bani Umayyah karena ketajaman pandangannya, ketulusan logatnya, keikhlasan niatnya, hikmahnya di dalam menyelesaikan berbagai urusan. Kemudian hal itu semua dimahkotai oleh kezuhudannya terhadap perhiasan dunia yang mereka miliki, yang biasanya karena itu banyak orang datang berdesak-desakan.

Interaksi beliau dengan para khalifah Bani Umayyah tersebut merupakan rahmat yang agung dari Allah dan pemuliaan-Nya terhadap mereka.

Beliau telah mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan menunjuki mereka jalan-jalannya.

Beliau telah menjauhkan mereka dari kejahatan dan menutup pintu-pintunya terhadap mereka. Sehingga, beliau mempu menampakkan kebenaran kepada mereka dan merayu mereka untuk mengikutinya. Membelalakkan mata mereka terhadap kebatilan dan membuat mereka tidak suka untuk melakukannya.

Dengan begitu, beliau telah melakukan nasehat untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin dan orang-orang awam mereka.

Terjadi suatu kisah yang berhasil menyinari jalannya di dalam pergaulannya dengan para khalifah dan menentukan perannya bersama mereka. Kisah ini dituturkan sendiri oleh Rajâ`,
“Tatkala aku berdiri bersama Sulaiman bin ‘Abdul Malik (Salah seorang pembesar khalifah Bani Umayyah, dialah yang membangun kota Ramallah di Palestina, memerangi kaum Bizantium dan mengepung Konstantinopel) yang berada di sela-sela khalayak manusia, tiba-tiba aku melihat seorang laki-laki menuju ke arah kami di tengah keramaian. Dia soerang yang berwajah ganteng, gerak-geriknya begitu agung. Dia terus merangsak di tengah barisan. Aku tidak meragukan lagi kalau dia ingin bertemu khalifah hingga ia berada sejajar denganku lalu berhenti di sampingku, kemudian memberi salam kepadaku seraya berkata,

‘Wahai Rajâ`, sesungguhnya engkau telah diuji dengan orang ini –sembari menunjuk ke arah khalifah-. Sesungguhnya mendekatinya akan membuahkan kebaikan yang banyak ataupun keburukan yang banyak. Maka, jadikanlah kedekatamu itu sebagai kebaikan bagimu, baginya dan bagi manusia.

Dan ketahuilah wahai Rajâ`, siapa saja yang memiliki kedudukan di mata seorang penguasa lalu dia dapat mengangkat hajat seorang yang lemah, yang dia tidak mampu melakukannya sendiri maka kelak pada hari pertemuan dengan-Nya, dia akan bertemu dengan Allah dalam kondisi telah dimudahkan baginya menghadapi hari perhitungan (Hisab).
Ingatlah wahai Rajâ`, bahwa siapa saja yang menolong hajat saudaranya sesama Muslim, maka Allah akan menolong hajatnya.

Ketahuilah wahai Rajâ`, bahwa di antara amalan-amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kegembiraan ke dalam hati seorang Muslim.’

Dan saat aku memperhatikan ucapannya dan menunggu-nunggu dia menambah lagi nasehatnya, tiba-tiba khalifah memanggil seraya berujar,
‘Dimana Rajâ`?’
Lalu aku menoleh ke arahnya seraya menjawab,
‘Ini aku, wahai Amirul Mukminin.’

Kemudian dia bertanya sesuatu kepadaku dan begitu aku hampir usai menjawabnya dan menoleh lagi ke temanku tadi, aku sudah tidak mendapatinya lagi.

Lantas aku berkeliling ke sana ke mari untuk mencarinya namun tidak berhasil menemukan satu jejaknya pun di tengah-tengah orang-orang tadi.

Rajâ` bin Haiwah juga memiliki beberapa sikap yang tulus bersama para khalifah Bani Umayyah yang masih terus didokumentasikan oleh sejarah dalam lembaran-lembarannya yang paling cemerlang dan masih terus dinukil oleh generasi muda dari generasi tua.

Di antaranya, suatu ketika dia berada di majlis ‘Abdul Malik bin Marwan, lalu disinggunglah seseorang yang bersikap kurang baik terhadap Bani Umayyah. Dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya dia (orang tersebut) membela ‘Abdullah bin az-Zubair (yang merupakan saingan berat ‘Abdul Malik dalam memperebutkan khilafah) dan menyokongnya.’

Si pencerita ini menyebutkan tingkah laku dan perkataan-perkataan orang tersebut yang membangkitkan emosi khalifah. Maka serta-merta dia berkata,
‘Demi Allah, bila aku dapati orang tersebut, niscaya aku akan melakukan begini dan begitu terhadapnya serta akan kutebas batang lehernya.’

Tak berapa lama dari itu, orang tersebut berhasil ditangkap lalu digiring kepada beliau. Tatkala melihatnya, hampir saja melampiaskan kemarahannya dan ingin segera melaksanakan janjinya. Namun cepat-cepat Rajâ` mencegahnya seraya berkata,
‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala membuat kekuasaan untukmu sesuai yang engkau sukai, maka perbuatlah untuk Allah ma’af yang disukai-Nya.’

Maka tenanglah jiwa sang khalifah dan redalah emosinya sehingga orang tersebut dima’afkan dan dilepasnya bahkan diperlakukannya dengan baik.

Dan, pada tahun 91 H, al-Walîd bin ‘Abdul Malik melakukan ibadah haji didampingi Rajâ` bin Haiwah.

Tatkala tiba di Madinah, mereka berdua mengunjungi majid Nabawi didampingi juga oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.

Nampaknya al-Walîd ingin sekali melihat ke dalam lokasi al-Haram an-Nabawy secara teliti dan seksama. Sebab, dia telah bertekad kuat untuk melakukan perluasan hingga menjadi 200 hasta x 200 hasta.

Karena itu, orang-orang yang berada di dalam masjidpun dikeluarkan agar sang khalifah bisa mengamatinya sehingga tidak ada seorangpun lagi yang tersisa kecuali Sa’id bin al-Musayyab karena para penjaga tidak berani mengeluarkannya.

Lalu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz –yang saat itu baru menjabat gubernur Madinah- mengutus seseorang untuk menemuinya. Lalu dia berkata,
“Sudilah kiranya tuan keluar juga dari masjid ini seperti yang dilakukan orang-orang.”

“Aku tidak akan meninggalkan masjid ini kecuali pada waktu yang biasa meninggalkannya setiap harinya.” Jawab Sa’id
Lalu dia ditanyai lagi,
“Sudilah kiranya tuan berdiri untuk memberi salam kepada Amirul Mukminin.”

“Aku datang ke sini hanya untuk berdiri menghadap Rabb semesta ini.” Jawabnya.

Tatkala ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengetahui pembicaraan yang berlangsung antara utusannya dan Sa’id bin al-Musayyab dia menjauhkan khalifah dari tempat di mana Sa’id berada.

Sementara Rajâ` melengahkannya dengan pembicaraan karena kedua orang ini mengetahui benar tabi’at khalifah yang temperamental.

Al-Walîd berkata kepada keduanya,
“Siapa si syaikh itu? Bukankah dia Sa’id bin al-Musayyab.?”

“Benar, wahai Amirul Mukminin” Kata keduanya

Keduanya lalu menjelaskan secara panjang-lebar mengenai agama, ilmu, keutamaan dan ketakwaannya.

Kemudian mereka berdua menimpali lagi,
“Andaikata keduanya tahu tempat di mana Amirul Mukminin berada, tentulah dia akan bangkit dan memberi salam kepada anda namun sayang penglihatannya sudah lemah.”

“Sesungguhnya aku sudah mengetahui kondisinya sebagaimana yang kalian sebutkan itu. Karena itu, adalah lebih pantas bila kita yang mendatangi dan memberi salam kepadanya.” Kata al-Walîd

kemudian khalifah berkeliling di seputar masjid hingga mendatanginya dan berdiri di hadapannya lalu memberi salam kepadanya seraya berkata,
“Bagaimana kabarmu, wahai syaikh.?”

“Atas nikmat Allah, bagi-Nya segala pujian dan banyak pujian. Bagaimana pula kabar Amirul Mukminin? Semoga Allah memberinya taufiq terhadap hal yang dicintai dan diridlai-Nya.” Jawabnya tanpa beranjak dari tempatnya

Setelah itu, al-Walîd berpaling seraya berkata,
“Inilah sisa manusia ini. Inilah sisa Salaf umat ini.”

Tatkala kekhilafahan beralih kepada Sulaiman bin ‘Abdul Malik, maka Rajâ` memiliki kedudukan yang istimewa sekali di sisinya melelebihi yang didapatnya dari para khalifah terdahulu.

Sulaiman menaruh kepercayaan yang begitu besar terhadapnya, amat bergantung kepadanya serta begitu antusias untuk mengambil pendapatnya dari hal yang sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.

Sikap-sikap yang ditunjukkan Rajâ` bersama Sulaiman begitu banyak dan amat menggugah hati.

Hanya saja peran besar dan paling serius yang dimainkannya untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin adalah sikapnya terhadap urusan yang terkait dengan putra mahkota dan pengaruhnya terhadap pembai’atan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.

Mengenai hal ini, Rajâ` bercerita,
“Pada Jum’at pertama di bulan Shafar tahun 99 H, kami bersama Amirul Mukminin, Sulaiman bin ‘Abdul Malik di Dâbiq. (Sebuah kampung dekat Halab di Syria yang biasa disinggahi Bani Umayyah bila melakukan perang terhadap negeri-negeri Romawi dan di sanilah terdapat makam Sulaiman bin ‘Abdul Malik)

Beliau telah mengirimkan pasukan besar ke Konstantinopel di bawah komando saudaranya, Maslamah bin ‘Abdul Malik, yang disertai putranya bernama Dâwûd serta sebagian besar dari keluarga besarnya.

Beliau telah bersumpah bahwa akan tetap tinggal di padang rumput Dâbiq hingga Allah menganugerahi penaklukan Konstantinopel atau dia mati karenanya.

Tatkala sudah dekat waktu shalat Jum’at, beliau berwudlu secara sempurna, kemudian memakai pakaian kebesarannya berwarna hijau dan syal (sorban) berwarna hijau juga. Beliau mamandang dirinya di cermin dengan pandangan berbangga pada dirinya dan masa mudanya. Usianya masih sekitar 40-an tahun.

Kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at bersama umat dan tidak pulang dari masjid kecuali keadaan demam.

Hari demi hari sakitnya bertambah berat. Karena itu, beliau meminta kepadaku agar ‘standby’ di sisinya.

Suatu ketika, aku mengunjunginya lalu mendapatinya sedang menulis surat (wasiat). Maka, aku bertanya,
“Apa yang sedang engkau perbuat, wahai Amirul Mukminin?.”

“Aku sedang menulis surat wasiat untuk menyerahkan kekhilafahan nantinya kepada anakku, Ayyûb.” Jawabnya

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya hal yang dapat menjaga khalifah di kuburnya dan membebaskannya dari beban (tanggungan diri) di sisi Rabbnya adalah agar yang menjadikan seorang yang shalih sebagai khalifah umat. Dan putramu, Ayyûb masih kanak-kanak yang belum mencapai usia baligh serta belum dapat dibedakan antara keshalihan dan ke-thalih-an (ketidakshalihan)nya.” Kataku

Akhirnya beliau tidak jadi menulisnya dan berkata lagi,
“Sesungguhnya itu tadi adalah kitab wasiat yang telah aku tulis dan aku ingin memohon pilihan baik (shalat istikharah) kepada Allah mengenainya namun aku masih belum memastikan.” Lalu beliau merobeknya.

Hal itu berselang selama satu atau dua hari, kemudian beliau memanggilku lagi seraya berkata,
“Bagaimana pendapatmu mengenai putraku (yang lain), Dâwûd, wahai Abu al-Miqdâm (Kun-yah Rajâ`-red.,).?”

“Dia sedang tidak ada dan masih bersama pasukan kaum Muslimin di Konstantinopel. Jadi, engkau tidak tahu sekarang apakah dia masih hidup atau sudah meninggal?.” Jawabku

“Kalau begitu, siapa yang pantas menurutmu, wahai Rajâ`.?” Tanyanya

“Yang berhak mengemukakan pendapat hanyalah engkau, wahai Amirul Mukminin.” Jawabku

Sebenarnya aku ingin melihat siapa saja yang disebutnya agar aku mengeliminasi (menggugurkan)nya satu per-satu hingga sampai kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.
“Bagaimana pendapatmu terhadap ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz.?” Tanyanya

“Demi Allah, yang aku ketahui bahwa dia hanyalah seorang yang mulia, sempurna, berakal dan sangat agamis.” Jawabku

“Engkau benar. Demi Allah sesungguhnya dia memang demikian.” Katanya

“Akan tetapi, jika aku mengangkatnya dan mengabaikan putra-putra ‘Abdul Malik, pastilah akan terjadi fitnah dan mereka selamanya tidak akan membiarkannya berkuasa atas mereka.” Sambungnya

“Kalau begitu, sertakan bersamanya salah seorang dari mereka dan jadikan posisinya setelahnya (sebagai penggantinya nanti).” Kataku

“Tepat sekali, sebab hal itu akan menentramkan hati mereka serta membuat mereka rela.” Katanya

Kemudian dia mengambil kitab wasiat lalu menulis dengan tangannya, bunyinya:
“Bismillâhirrahmânirrahîm, ini adalah wasiat dari hamba Allah, Sulaiman bin ‘Abdul Malik, Amirul Mukminin kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz. Sesungguhnya aku telah mengangkatnya menjadi khalifah sepeninggalku dan menjadikan Yazîd bin ‘Abdul Malik sebagai khalifah selanjutnya. Maka, dengarkanlah perintahnya, patuhlah dan bertakwalah kalian kepada Allah serta janganlah berselisih sehingga kalian dimanfa’atkan oleh kerakusan orang-orang rakus.” Kemudian beliau membubuhkan khatam padanya lalu menyerahkannya kepadaku.

Selanjutnya beliau meminta agar Ka’b bin Hâmiz, kepala polisi (bagian keamanan) dipanggil dan setelah datang, beliau berkata kepadanya,
“Tolong panggilkan keluarga besarku agar segera berkumpul dan beritahukanlah kepada mereka bahwa kitab wasiat yang berada di tangan Rajâ` bin Haiwah adalah kitab wasiatku serta suruhlah mereka agar membai’at siapa saja yang ditunjuk di dalamnya.”

Rajâ` melanjutkan kisahnya,
“Tatkala mereka sudah berkumpul, aku berkata kepada mereka, ‘Ini adalah kitab wasiat Amirul Mukminin, isinya pelimpahan kekhalifahan kepada khalifah pengganti beliau. Dan beliau telah memerintahkanku agar mengambil bai’at kalian kepada siapa saja yang telah diangkatnya.’

‘Kami akan mendengar terhadap perintah Amirul Mukminin dan patuh terhadap khalifah penggantinya.’ Kata mereka

Lalu mereka meminta agar aku mengizinkan mereka menemui Amirul Mukminin untuk memberi salam kepadanya.
‘Baiklah.’ Kataku

Tatkala sudah masuk, Amirul Mukminin berkata kepada mereka,
‘Sesungguhnya kitab wasiat yang berada di tangan Rajâ` bin Haiwah ini adalah kitab wasiatku, isinya pengangkatanku terhadap khalifah yang akan menggantikanku. Karena itu, dengarkan dan patuhlah terhadap siapa saja yang telah aku angkat serta bai’atlah siapa yang aku sebut di dalam kitab wasiat ini.’
Merekapun mulai membai’t satu demi satu.

Kemudian aku keluar membawa kitab wasiat itu yang sudah distempel. Tidak seorangpun yang mengetahui isinya selain diriku dan Amirul Mukminin.

Ketika orang-orang sudah berpencar, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz menemuiku seraya berkata,
‘Wahai Abu al-Miqdâm, sesungguhnya Amirul Mukminin adalah orang yang sangat berbaik sangka terhadapku. Dia telah banyak sekali memberikanku pemberiaan berkat kemuliaannya dalam berbuat baik dan kasih sayangnya yang tulus. Dan aku khawatir bilamana beliau telah melimpahkan sesuatu dari urusan ini kepadaku. Aku tegaskan kepadamu, demi Allah dan melalui kehormatan dan kasihsayangku aku memohon kepadamu agar memberitahuku bilamana di dalam kitab wasiat Amirul Mukminin itu ada sesuatu yang spesial buatku supaya aku segera menanggalkannya sebelum terlambat.’

‘Demi Allah, aku tidak akan memberitahumu walaupun satu huruf dari apa yang engkau mohonkan padaku.’ Jawabku
Dia berpaling dariku dengan emosi.

Kemudian tak berapa lama, datang pula Hisyâm bin ‘Abdul Malik menemuiku seraya berkata,
‘Wahai Abu al-Miqdâm, sesungguhnya aku memiliki kehormatan, kasih sayang yang lama di sisimu dan aku amat berterimakasih sekali padamu. Karena itu, beritahukanlah kepadaku mengenai isi kitab wasiat Amirul Mukminin. Bila urusan ini diserahkan kepadaku, aku akan diam dan bila kepada orang selainku, aku akan bicara sebab orang sepertiku tidak patut disingkirkan dari urusan ini. Dan aku berjanji kepada Allah untuk tidak menyebut namamu selamanya.’

‘Demi Allah, aku tidak akan memberitahukan kepadamu satu huruf pun hal yang telah dirahasiakan Amirul Mukminin kepadaku.’ Jawabku

lalu dia pergi dengan memukul telapak tangannya sembari berucap,
‘Kepada siapa urusan ini diserahkan bila aku disingkirkan? Apakah khilafah akan lepas dari tangan Bani ‘Abdul Malik? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah penghulu dan sebaik-baik keturunan ‘Abdul Malik.’

Kemudian aku menemui Sulaiman bin ‘Abdul Malik, ternyata dia sudah akan menghadapi Sakratul Maut, karena itu aku alihkan ke arah kiblat, lalu dia berkata kepadaku dalam kondisi berat sekali, ‘Belum lagi saatnya, wahai Rajâ`.’

Hingga akhirnya aku melakukan hal itu dua kali, dan ketika untuk yang ketiga kalinya, beliau berkata,
‘Sekarang waktunya wahai Rajâ`, jika engkau ingin melakukan sesuatu silahkan. Asyhadu An Lâ ilâha Illallâh Wa Anna Muhammadan Rasûlullah.

Lalu aku alihkan ke arah kiblat, maka tak berapa lama beliaupun menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.

Ketika itu, aku pejamkan kedua matanya dan tutup dengan sepotong kain berwarna hijau, lalu kukunci pintunya lantas keluar.

Lalu datang utusan isteri beliau datang kepadaku menanyakan perihalnya dan meminta agar diperkenankan melihat. Lalu aku buka pintunya dan berkata kepada utusannya tersebut,
‘Lihatlah, dia telah terlelap sekarang in setelah lama bergadang (susah tidur), karena itu biarkanlah dia.’

Maka utusan itupun kembali dan memberitahukan kondisinya sehingga diapun menerima dan yakin bahwa suaminya memang sedang tidur.

Kemudian aku tutup pintu rapat-rapat dan menempatkan seorang pengawal kepercayaanku di situ seraya berpesan kepadanya agar tidak beranjak dari tempatnya itu hingga aku kembali dan tidak memberi izin kepada siapapun untuk masuk menemui khalifah.

Aku pergi dan bertemu dengan orang-orang yang bertanya,
‘Bagaimana kondisi Amirul Mukminin?.’

‘Semenjak sakit, baru kali inilah beliau lebih tenang dan damai.’ Jawabku
‘Alhamdulillah.’ Kata mereka

kemudian aku mengutus Ka’b bin Hâmiz, kepala polisi untuk mengumpulkan seluruh keluar besar Amirul Mukminin di Masjid Dâbiq. (Setelah mereka berkumpul) aku berkata,
‘Bai’atlah siapa saja yang tertera dalam kitab wasiat Amirul Mukminin ini.!’

‘Kami susah membai’atnya apakah harus dibai’at untuk kedua kalinya.?’ Tanya mereka

‘Ini perintah Amirul Mukminin. Bai’atlah atas apa yang diperintahkannya dan siapa saja yang disebutkan dalam kitab wasiat yang distempel ini!’ Tegasku
lalu merekapun melakukan bai’at, satu per-satu.

Tatkala merasa sudah dapat mengendalikan suasana, aku berkata,
‘Sesungguhnya khalifah telah wafat, Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn.’

Lalu aku bacakan kitab wasiat tersebut kepada mereka, dan tatkala sampai kepada nama ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz, Hisyâm bin ‘Abdul Malik berkata,
‘Kami tidak akan pernah mau berbai’at kepadanya.!’

‘Demi Allah, kalau begitu aku akan memenggal lehermu.! Bangun dan berbai’atlah.!’ Kataku

Lalu dia bangkit sambil menyeret kedua kakinya dan tatkala sampai ke hadapan ‘Umar, dia berkata,
Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn.’ (Dia mengucapkannya karena kekhilafahan berpindah ke tangan ‘Umar bukan ke tangannya ataupun salah seorang dari saudara-saudaranya, keturunan ‘Abdul Malik)

‘Umar pun menjawabnya,
‘Innâ Lillâhi Wa Innâ Ilaihi Râji’ûn.’ (Dia mengucapkannya atas berpindahnya kekhilafahan ke tangannya padahal dia amat tidak menyukainya)

Demikianlah, akhir suatu bai’at yang dengannya Allah perbarui kembali masa muda Islam dan mengangkat menara agama.


Beruntunglah khalifah kaum Muslimin, Sulaiman bin ‘Abdul Malik… Dia telah melepaskan tanggungan dirinya di hadapan Allah dengan mengangkat seorang laki-laki yang shalih.

Selamat buat seorang Wazîr (menteri) yang tulus, Rajâ` bin Haiwah… Dia telah melakukan nasehat untuk Allah, Rasul-Nya dan pemimpin kaum Muslimin…

Semoga Allah membalas para pembantu penguasa (pengawal dan menteri) yang shalih dan berbuat kebajikan dengan mengganjar pahala buat mereka… Dengan kecemerlangan pendapat mereka, para penguasa pilihan yang beruntung dan diberi taufik mendapatkan petunjuk.

CATATAN:
sebagai bahan rujukan mengenai biografi Rajâ` bin Haiwah, silahkan baca,

1- ath-Thabaqât al-Kubra, karya Ibnu Sa’d, Jld.V, h. 335-339; 395,407
2- Shifah ash-Shafwah, karya Ibn al-Jawziy, jld.IV, h.213
3- Hilyah al-Awliyâ`, karya al-Ashfahaniy, Jld.V, h.315-316
4- al-Bayân Wa at-Tabyîn, karya al-Jahizh, Jld. I, h.397; II, h.107-322
5- Tahdzîb at-Tahdzîb, karya Ibn Hajar, Jld.III, h.265
6- Târîkh ath-Thabariy, karya Ibn Jarîr ath-Thabariy, Jld.VI, h.365-370
7- Wafayât al-A’yân, karya Ibn Khalakân, Jld.I, h.430; II, h.301-303; VII, h.316..
8- Târîkh Khalîfah, karya Ibn Khayyâth, h. 357
9- al-Iqd al-Farîd, karya Ibn ‘Abd Rabbih, Jld.II, h.50, 82, 235; III, h.86, 105, 306; IV, h. 156,219; V, h.139, 166; VII, h.96
10- at-Tamtsîl Wa al-Muhâdlarah, karya ats-Tsa’labiy, h. 171

Tidak ada komentar