Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AS-SA’DY) Nama Mufassir

Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AS-SA’DY)
Nama Mufassir

Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)

Nama Kitab

Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.

Spesifikasi Umum

Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.

Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”

Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah SAW., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”

Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”

Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”

’Aqidahnya

Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.

Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”

Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”

Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.

Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.

Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.

Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.

Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”

Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.

Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits

Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih

Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.

Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat

Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat

Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman AS., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”

Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]

Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair AS. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)

Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir

Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”

Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.


SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.

Tidak ada komentar