BACAAN MAKMUM

BACAAN MAKMUM
Dalam masalah bacaan makmum di belakang imam, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa semua bacaan imam merupakan bacaan makmum sehingga makmum tidak perlu membaca apa-apa. Ada juga yang mengharuskan makmum membaca Al-Fatihah saja, sedangkan bacaan ayat Al-Quran yang lain tidak tidak perlu dibaca, cukup dengan mendengarkan bacaan imam. Dan pendapat lainnya. Rincinya adalah sebagai berikut :

1. Madzhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah bahwa makmum harus membaca bacaan shalat di belakang imam pada shalat yang sirr (suara imam tidak dikeraskan) yaitu shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya, Shubuh, Jumat, Ied, dll.), makmum tidak membaca bacaan shalat.

Namun bila pada shalat jahriyah itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum wajib membaca bacaan shalat.

# Dari Malik dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selesai dari shalat yang beliau mengeraskan bacaannya. Lalu beliau bertanya,
"Adakah diantara kamu yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab,"Ya, saya ya Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran?" Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah)." (HR. Tirmizi).
2. Madzhab Al-Hanafiyah
Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang makmum tidak perlu membaca apa-apa bila shalat di belakang imam, baik pada shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.

# Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
"Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam.” (HR. Ad-Daruquthuny dan Ibnu Abi Syaibah)

3. Madzhab Asy-Syafi’iyyah
Dan Asy-Syafi`iyah mengatakan bahwa pada shalat sirriyah, makmum membaca semua bacaan shalatnya, sedangkan pada shalat jahriyah makmum membaca Al-Fatihah (Ummul Kitab) saja.

# Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang maknanya :
Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim dalam Mustadrak).

# “Apabila imam membaca maka diamlah.” (HR. Ahmad)

# Dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat mengimami kami siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata,
"Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami menjawab,"Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja". (Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dan lainnya dengan isnad yang tersambung shahih).

4. Kalangan Ulama Lainnya
Pada shalat berjama'ah ketika imam membaca Al-Fatihah secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada shalat Dzuhur, 'Ashr, satu raka'at terakhir shalat Mahgrib dan dua raka'at terakhir shalat Isya, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).

Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat di belakang imam kecuali surat Al-Fatihah:

# "Betulkah kalian tadi membaca (surat) di belakang imam kalian?" Kami menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah." Berkata Rasul: "Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya." (HR.Bukhari, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Daruqutni)

Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makmum membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik itu Al-Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al-Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam membaca dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)" (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa-i, hadits shahih).

# Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kamu dan apabila imam membaca, maka berdiamlah kamu serta perhatikanlah bacaannya.” (HR. Muslim)

# "Barangsiapa shalat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga." (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daruqutni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad).

# Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan shalat yang beliau keraskan bacaanya dalam shalat itu, beliau bertanya:
"Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada shalat-shalat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

Hadits-hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dan kuat tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam, baik Al-Fatihahnya maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

# "Dan apabila dibacakan Al-Qur-an hendaklah kamu dengarkan ia dan diamlah sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat." (Al-A'raaf: 204).

Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni dimana saja kita mendengar bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, wajib diam mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang shalat. Tetapi keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya) hanya untuk shalat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Adh-Dhahak, Qatadah, Ibrahim An Nakha-i, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan lain-lain. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281]

Semua perbedaan ini berangkat dari perbedaan nash yang ada, dimana masing-masing mengantarkan kepada bentuk pemahaman yang berbeda juga.

Bila dilihat dari masing-masing dalil itu, nampaknya masing-masing sama kuat walaupun hasilnya tidak sama. Dan hal ini tidak menjadi masalah manakala memang sudah menjadi hasil ijtihad.

Namun kalau boleh memilih, nampaknya apa yang disebutkan oleh kalangan Asy-Syafi`iyah bahwa makmum membaca Al-Fatihah sendiri setelah selesai mendengarkan imam membaca Al-Fatihah, merupakan penggabungan (jam`) dari beragam dalil itu. Ini sebuah kompromi dari dalil yang berbeda. Karena ada dalil yang memerintahkan untuk membaca Al-Fatihah saja tanpa yang lainnya. Tapi ada juga yang memerintahkan untuk mendengarkan bacaan imam. Karena itu bacaan Al-Fatihah khusus makmum bisa dilakukan pada sedikit jeda antara amin dan bacaan surat. Dalam hal ini, seorang imam yang bijak tidak akan langsung memulai bacaan ayat Al-Qur’an setelah amin. Tapi memberi kesempatan waktu untuk makmum membaca Al-Fatihahnya sendiri.

Tidak ada komentar