BANK SUSU


BANK SUSU

Pertanyaan:

Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah.

Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih  disebut  rawan,  tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang  dapat  menjalin hubungan  nasab  dan  paling  dapat  menjadikan  jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).

Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang  sedang menyusui  agar  bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk  diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang  dapat  membahayakannya  bila  diberi  susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah  barang  tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum  ibu,  kemudian  diberikan  kepada berpuluh-puluh  bahkan  beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan ... tanpa saling mengetahui  dengan  jelas  susu siapa  dan  dikonsumsi  siapa,  baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.

Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek.

Maka,  apakah  oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia  turut  andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?

Jika    mubah    dan    halal,   maka   apakah   alasan   yang memperbolehkannya?  Apakah  Ustadz  memandang   karena   tidak menetek   secara   langsung?   Atau   karena  ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang  jumlah  mereka sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu  tidak  mungkin  dilacak atau diidentifikasi?

Jawaban:

Segala   puji  kepunyaan  Allah.  Shalawat  dan  salam  semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya  bank  air  susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung  oleh  Islam,  untuk  memberikan pertolongan   kepada   semua   yang   lemah,   apa  pun  sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan  adalah  bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak  disangsikan  lagi  bahwa  perempuan  yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan  golongan  anak-anak  lemah ini  akan  mendapatkan  pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika  ia tak  berkenan  menyumbangkannya,  sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim.

Juga  tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan  "air  susu"   itu   --yang   mensterilkan   serta memeliharanya   agar  dapat  dikonsumsi  oleh  bayi-bayi  atau anak-anak  sebagaimana  yang   digambarkan   penanya--   patut mendapatkan  ucapan  terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.

Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan  dibalik  kegiatan  yang mulia ini?

Yang  dikhawatirkan  ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah,  dan akan  menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu  ketika  hendak  menikah  dengan  salah   seorang   dari putri-putri  bank  susu  itu.  Ini  yang  dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu  dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari  air  susu  yang  ditampung  itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank  susu  tersebut,  yang sudah  tentu  menjadi  ibu  susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu  tersebut,  baik  putri  itu  sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi  pemuda  itu menikah  dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula  baginya  menikah dengan  putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur  fuqaha--  karena mereka  adalah  saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta masih banyak masalah dan hukum lain  berkenaan  dengan  susuan ini.

Oleh  karena  itu,  saya  harus  membagi  masalah  ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.

Pertama,  menjelaskan  pengertian  radha'   (penyusuan)   yang menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman.

Kedua,  menjelaskan  kadar  susuan  yang  menjadikan  haramnya perkawinan.

Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhn' (Penyusuan)

Makna radha'  (penyusuan)  yang  menjadi  acuan  syara'  dalam menetapkan  pengharaman  (perkawinan),  menurut  jumhur fuqaha --termasuk tiga orang imam mazhab,  yaitu  Imam  Abu  Hanifah, Imam  Malik,  dan  Imam  Syafi'i--  ialah  segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara  menghisap  atau  lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air  susu  lewat  mulut  ke  kerongkongan),  bahkan mereka  samakan  pula  dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan  dengan  menyamakannya  dengan suntikan lewat dubur (anus).

Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad,  yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Allamah  Ibnu  Qudamah  menyebutkan  dua  riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa'uth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya  (yakni  dengan  memasukkan  susu  ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan  daging  dan membentuk  tulang,  maka  sama  saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung  (sa'uth),  karena  merupakan  jalan  yang  dapat  membatalkan  puasa,  maka  ia  juga  menjadi  jalan terjadinya pengharaman (perkawinan)  karena  susuan,  sebagaimana  halnya melalui mulut.

Riwayat  kedua,  bahwa  hal  ini  tidak  menyebabkan  haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.

Disebutkan  di  dalam  al-Mughni  "Ini  adalah  pendapat  yang dipilih   Abu   Bakar,   mazhab   Daud,  dan  perkataan  Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian  ini  bukan penyusuan,  sedangkan  Allah  dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena  memasukkan  susu  lewat hidung  bukan  penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."

Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan  riwayat yang  pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

 "Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging"

Hadits yang dijadikan hujjah oleh  pengarang  kitab  al-Mughni ini  sebenarnya  tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau  direnungkan  justru  menjadi  hujjah  untuk  menyanggah pendapatnya.  Sebab  hadits  ini  membicarakan  penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam   pembentukan   anak   dengan   membesarkan  tulang  dan menumbuhkan    dagingnya.    Hal    ini    menafikan    (tidak memperhitungkan)    penyusuan   yang   sedikit,   yang   tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali  atau  dua  kali isapan,  karena  yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang  dan  menumbuhkan  daging.  Maka   hadits   itu   hanya menetapkan  pengharaman  (perkawinan)  karena  penyusuan  yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena  itu, pertama-tama  harus  ada  penyusuan  sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan  dominan; Penj.).

Selanjutnya  pengarang  al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui  penyusuan--  serta  dapat  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib    disamakan   dengan   penyusuan   dalam   mengharamkan (perkawinan).  Karena  hal  itu  juga  merupakan  jalan   yang membatalkan  puasa  bagi  orang  yang  berpuasa,  maka ia juga merupakan  jalan  untuk  mengharamkan  perkawinan  sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."

Saya  mengomentari  pengarang  kitab  al-Mughni  rahimahullah, "Kalau  'illat-nya  adalah  karena  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan  daging  dengan  cara  apa  pun,  maka  wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan  darah  seorang  wanita kepada  seorang  anak  menjadikan  wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab  transfusi  lewat  pembuluh  darah  ini lebih  cepat  dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum   agama   tidaklah   dapat    dipastikan    dengan dugaan-dugaan,   karena   persangkaan   adalah   sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak  berguna  sedikit  pun  untuk mencapai kebenaran."

Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan asas  pengharamnya  itu   pada   "keibuan   yang   menyusukan" sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:
"... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23)
Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata  karena  diambilkan  air  susunya,  tetapi  karena menghisap  teteknya  dan   selalu   lekat   padanya   sehingga melahirkan  kasih  sayang  si  ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan  ini  maka  muncullah  persaudaraan  sepersusuan. Jadi,  keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.

Dengan demikian, kita wajib  berhenti  pada  lafal-lafal  yang dipergunakan   Syari'  di  sini.  Sedangkan  lafal-lafal  yang dipergunakanNya  itu  seluruhnya   membicarakan   irdha'   dan radha'ah  (penyusuan),  dan  makna  lafal  ini  menurut bahasa Al-Qur'an  dan  As-Sunnah  sangat  jelas  dan  terang,   yaitu memasukkan  tetek  ke  mulut  dan  menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.

Saya kagum terhadap pandangan  Ibnu  Hazm  mengenai  hal  ini. Beliau   berhenti  pada  petunjuk  nash  dan  tidak  melampaui batas-batasnya,  sehingga  mengenai   sasaran,   dan   menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.
Saya  kutipkan  di  sini  beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:

"Adapun  sifat  penyusuan   yang   mengharamkan   (perkawinan) hanyalah  yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang  yang  diberi  minum susu  seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur   dengan  makanan  lain,  dituangkan  kedalam  mulut, hidung, atau  telinganya,  atau  dengan  suntikan,  maka  yang demikian  itu  sama  sekali  tidak  mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.
Alasannya adalah firman Allah Azza wa  Jalla:  'Dan  ibu-ibumu yang  menyusui  kamu  dan saudara perempuanmu sepersusuan ...' (an-Nisa':23)
Dan sabda Rasulullah saw.:

"Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."

Maka dalam hal ini  Allah  dan  Rasul-Nya  tidak  mengharamkan nikah  kecuali  karena  irdha' (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu.  Dikatakan (dalam  qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu)  kecuali  jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan  mulutnya,  lalu  menghisapnya. Dikatakan  (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a -        yardha'u/yardhi'u        radha'an/ridha'an         wa radha'atan/ridha'atan.   Adapun   selain   cara  seperti  itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan  irdha',  radha'ah,  dan radha', melainkan hanya air susu,  makanan,  minuman,  minum,  makan,  menelan,  suntikan, menuangkan  ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla  tidak  mengharamkan   perkawinan   sama   sekali   yang disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu  Muhammad  berkata,  Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata,  'Memasukkan  air  susu perempuan  melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang  dimasuki  air  susunya tadi),  dan  tidak  mengharamkan  perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan  obat, karena  yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah  yang  dihisap  melalui  tetek.   Demikianlah   pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman --yakni Daud, imam Ahli  Zhahir--  dan  sahabat-sahabat  kami, yakni Ahli Zhahir."'

Sedangkan  pada  waktu  menyanggah  orang-orang  yang berdalil dengan hadits: "Sesungguhnya  penyusuan  itu  hanyalah  karena lapar," Ibnu Hazm berkata:

"Sesungguhnya  hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan  penyusuan  yang berfungsi  untuk  menghilangkan  kelaparan,  dan  beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu  tidak ada  pengharaman  (perkawinan)  karena  cara-cara  lain  untuk menghilangkan  kelaparan,   seperti   dengan   makan,   minum, menuangkan  susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari  tetek dengan  mulut  dan  menelannya),  sebagaimana  yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah):

"... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 229)2

Dengan   demikian,   saya   melihat   bahwa   pendapat    yangmenenteramkan  hati  ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum  kepada  irdha'  (menyusui) dan  radha'/ridha'  (menyusu).  Hal  ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu  adanya  rasa  keibuan yang  menyerupai  rasa  keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak),  persaudaraan  (sesusuan),  dan kekerabatan-kekerabatan  lainnya.  Maka  sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui  bank  susu,  yang  melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut --bukan menghisap dari tetek--  dan  menelannya),  sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat  alasan  lain  yang menghalangi   pengharaman   (perkawinan).  Yaitu,  kita  tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air  susunya  diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali susuan  menurut  pendapat  terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan  daging,  dan mengembangkan  tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam  air susu  lainnya  terhukum  sama  dengan  air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana  yang  dikatakan  oleh  Abu  Yusuf, bahwa  air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu  yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah  dikenal  bahwa  penyusuan  yang  meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:

"Apabila   timbul  keraguan  tentang  adanya  penyusuan,  atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang  mengharamkan,  apakah sempurna   ataukah   tidak,   maka   tidak   dapat  menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada  pengharaman.  Kita tidak   bisa  menghilangkan  sesuatu  yang  meyakinkan  dengan sesuatu  yang  meragukan,  sebagaimana  halnya  kalau  terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3

Sedangkan  di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan:

"Seorang perempuan  yang  memasukkan  puting  susunya  kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka  yang  demikian  itu tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian  pula  seorang  anak  perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja  mereka  itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan.  Karena kebolehan   nikah   merupakan  hukum  asal  yang  tidak  dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka  menyusui  setiap  anak kecuali   karena   darurat.  Jika  mereka  melakukannya,  maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai  sikap hati-hati."4

Tidaklah  samar,  bahwa  apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita  terima bahwa  yang  demikian  sebagai  penyusuan, maka hal itu adalah karena  darurat,  sedangkan   mengingatnya   dan   mencatatnya tidaklah  memungkinkan,  karena  bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu  dikukuhkan  menurut  pandangan  saya  dalam masalah  penyusuan  ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan  kedua masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank  susu"  selama  bertujuan  untuk   mewujudkan   maslahat syar'iyah  yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat  para fuqaha  yang  telah  saya  sebutkan  di  muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan  argumentasi  yang  saya  kemukakan  di atas.

Kadang-kadang  ada  orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat,   padahal   mengambil   sikap  hati-hati  itu  lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"

Saya jawab, bahwa apabila seseorang  melakukan  sesuatu  untuk dirinya  sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara'  (lebih  jauh  dari  syubhat), bahkan  lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.

Akan  tetapi,  apabila  masalah  itu  bersangkut  paut  dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang  lebih  utama bagi   ahli  fatwa  ialah  memberi  kemudahan,  bukan  memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang  teguh  dan  kaidah  yang telah mantap.

Karena   itu,   menjadikan   pemerataan  ujian  sebagai  upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan  karena kasihan   kepada   mereka.   Jikalau  kita  bandingkan  dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka  masyarakat  sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya   saja  yang  perlu  diingat  disini,  bahwa  memberikan pengarahan  dalam  segala  hal  untuk  mengambil  yang   lebih hati-hati  tanpa  mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita  menjadikan hukum-hukum  agama  itu  sebagai  himpunan "kehati-hatian" dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang  menjadi  tempat berpijaknya  agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah  saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. "(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang  kami  pilih  dalam  masalah-masalah  ini ialah   pertengahan   dan   seimbang   antara   golongan  yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan:
"Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)
Allah  memfirmankan  kebenaran,  dan  Dia-lah   yang   memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:

1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.). ^
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11. ^
3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.^
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3.
^

Tidak ada komentar