MENJENGUK ORANG SAKIT DAN HUKUMNYA



MENJENGUK ORANG SAKIT DAN HUKUMNYA

Orang  sakit  adalah  orang  yang   lemah,   yang   memerlukan perlindungan   dan   sandaran.   Perlindungan   (pemeliharaan, penjagaan) atau  sandaran  itu  tidak  hanya  berupa  materiil sebagaimana  anggapan  banyak  orang,  melainkan  dalam bentuk materiil dan spiritual sekaligus.

Karena  itulah  menjenguk  orang  sakit  termasuk  dalam   bab tersebut.  Menjenguk  si  sakit ini memberi perasaan kepadanya bahwa  orang  di  sekitarnya   (yang   menjenguknya)   menaruh perhatian   kepadanya,   cinta  kepadanya,  menaruh  keinginan kepadanya,  dan   mengharapkan   agar   dia   segera   sembuh. Faktor-faktor  spiritual  ini  akan  memberikan kekuatan dalam jiwanya untuk melawan serangan penyakit lahiriah.  Oleh  sebab itu,   menjenguk   orang  sakit,  menanyakan  keadaannya,  dan mendoakannya  merupakan   bagian   dari   pengobatan   menurut orang-orang  yang  mengerti.  Maka pengobatan tidak seluruhnya bersifat materiil (kebendaan).

Karena itu, hadits-hadits Nabawi menganjurkan "menjenguk orang sakit"  dengan  bermacam-macam  metode  dan dengan menggunakan bentuk targhib  wat-tarhib  (menggemarkan  dan  menakut-nakuti yakni  menggemarkan  orang yang mematuhinya dan menakut-nakuti orang yang tidak melaksanakannya).

Diriwayatkan di dalam hadits sahih muttafaq  'alaih  dari  Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda:

"Hak orang muslim atas orang muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazahnya, mendatangi undangannya, dan mendoakannya ketika bersin."2

Imam  Bukhari  meriwayatkan  dari  Abu  Musa  al-Asy'ari,   ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:

"Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit, dan tolonglah orang yang kesusahan."3

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari  al-Barra'  bin  Azib,  ia berkata:

"Rasulullah saw. menyuruh kami melakukan tujuh perkara  ... Lalu ia menyebutkan salah satunya adalah menjenguk orang sakit."4

Apakah perintah dalam hadits di  atas  dan  hadits  sebelumnya menunjukkan  kepada  hukum  wajib ataukah mustahab? Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Imam Bukhari berpendapat  bahwa  perintah  disini  menunjukkan hukum  wajib,  dan beliau menerjemahkan hal itu di dalam kitab Shahih-nya dengan mengatakan:  "Bab  Wujubi  'Iyadatil-Maridh" (Bab Wajibnya Menjenguk Orang Sakit).

Ibnu  Baththal  berkata, "Kemungkinan perintah ini menunjukkan hukum wajib dalam arti wajib kifayah,  seperti  memberi  makan orang yang lapar dan melepaskan tawanan; dan boleh jadi mandub (sunnah),  untuk  menganjurkan  menyambung  kekeluargaan   dan berkasih sayang."

Ad-Dawudi memastikan hukum yang pertama (yakni fardhu kifayah; Penj.). Beliau berkata, "Hukumnya adalah fardhu, yang  dipikul oleh sebagian orang tanpa sebagian yang lain."

Jumhur  ulama berkata, "Pada asalnya hukumnya mandub (sunnah), tetapi kadang-kadang bisa menjadi wajib bagi orang tertentu."

Sedangkan ath-Thabari menekankan bahwa menjenguk  orang  sakit itu  merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkahnya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya,  dan  mubah bagi orang selain mereka.

Imam  Nawawi  mengutip kesepakatan (ijma') ulama tentang tidak wajibnya, yakni tidak wajib 'ain.5

Menurut zhahir hadits, pendapat yang  kuat  menurut  pandangan saya  ialah  fardhu  kifayah,  artinya jangan sampai tidak ada seorang pun yang menjenguk si sakit.  Dengan  demikian,  wajib bagi   masyarakat   Islam   ada  yang  mewakili  mereka  untuk menanyakan  keadaan   si   sakit   dan   menjenguknya,   serta mendoakannya agar sembuh dan sehat.

Sebagian  ahli  kebajikan dari kalangan kaum muslim zaman dulu mengkhususkan  sebagian  wakaf  untuk  keperluan   ini,   demi memelihara sisi kemanusiaan.

Adapun masyarakat secara umum, maka hukumnya sunnah muakkadah, dan kadang-kadang bisa  meningkat  menjadi  wajib  bagi  orang tertentu  yang  mempunyai  hubungan  khusus dan kuat dengan si sakit. Misalnya, kerabat, semenda, tetangga yang  berdampingan rumahnya, orang yang telah lama menjalin persahabatan, sebagai hak guru dan kawan akrab,  dan  lain-lainnya,  yang  sekiranya dapat   menimbulkan  kesan  yang  macam-macam  bagi  si  sakit seandainya mereka tidak menjenguknya,  atau  si  sakit  merasa kehilangan    terhadap    yang    bersangkutan   (bila   tidak menjenguknya).

Barangkali  orang-orang  macam  inilah  yang  dimaksud  dengan perkataan  haq  (hak) dalam hadits: "Hak orang muslim terhadap muslim lainnya ada lima," karena tidaklah  tergambarkan  bahwa seluruh  kaum  muslim harus menjenguk setiap orang yang sakit. Maka yang dituntut ialah orang yang memiliki  hubungan  khusus dengan si sakit yang menghendaki ditunaikannya hak ini.

Disebutkan  dalam  Nailul-Authar:  "Yang dimaksud dengan sabda beliau (Rasulullah saw.) 'hak orang muslim' ialah tidak  layak ditinggalkan,  dan  melaksanakannya ada kalanya hukumnya wajib atau  sunnah  muakkadah  yang  menyerupai   wajib.   Sedangkan menggunakan  perkataan  tersebut  --yakni  haq  (hak)-- dengan kedua arti di atas termasuk bab  menggunakan  lafal  musytarik dalam   kedua   maknanya,   karena   lafal  al-haq  itu  dapat dipergunakan dengan arti 'wajib', dan dapat juga  dipergunakan dengan arti 'tetap,' 'lazim,' 'benar,' dan sebagainya."6
 

Tidak ada komentar