Syurga Dan Neraka Sebagai Kendali Kehidupan


Syurga Dan Neraka Sebagai Kendali Kehidupan

"Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa." (QS. Al-Baqarah : 197)

Taqwa amat berharga dalam kehidupan seorang Mukmin, karena menjadi tolok ukur nilai dirinya di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Hujurat : 13 yang artinya : "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa."

Begitu pula untuk mengarungi kehidupan akhirat, tidak ada bekal yang lebih baik selain taqwa, firman-Nya dal Surah Al-Baqarah : 197 yang artinya : "Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa."

Ketaqwaan juga menyebabkan semua urusan dimudahkan oleh Allah SWT dan dikaruniai rezeki yang tidak terduga. Firman Allah SWT dalam Surah Ath-Thalaq : 2-3 yang artinya : "Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."

Pendek kata, taqwa adalah sesuatu yang paling mahal yang harus kita kejar, raih dan pertahankan dalam diri kita, jika ingin menjadi manusia yang paling mulia, baik di dunia maupun kelak setelah berpisahnya ruh dari jasad.

Hakikat Taqwa
Sebelum berbicara panjang lebar mengenai langkah-langkah meraih taqwa, berikut ini definisi taqwa, sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Mas'ud : "Engkau berbuat taat kepada Allah dengan cahaya (petunjuk) dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan engkau tinggalkan maksiat kepada-Nya dengan cahaya dariNya karena takut akan siksaNya".

Dan pengertian tersebut, dapat kita pahami bahwa nilai taqwa seseorang amat berkait dengan kadar raja' (pengharapan) terhadap pahala Allah SWT (syurga) dan kadar khauf (takut) terhadap neraka Allah SWT. Selain itu, tentu yang paling awal adalah seberapa kadar ma'rifatullah (mengenal Allah SWT) yang ia miliki. Itulah tiga unsur dasar yang mendorong seseorang untuk bertaqwa kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, seseorang tidak mungkin bisa menjadi Muttaqin (orang bertaqwa) sejati tanpa rasa takut kepada hari akhir, yang ujung-ujungnya adalah penentuan tempat tinggal, syurga atau neraka! Mari kita simak ayat berikut dalam Surah Al-Muzammil : 17 yang artinya : "Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban".

Syurga Dan Neraka, Pengaruhnya Terhadap Generasi Salafush Shaleh
Sebagaimana telah disinggung, rasa takut terhadap neraka dan rindu terhadap syurga adalah bagian iman yang sangat penting. Bagian ini pulalah yang menyebabkan seseorang mampu mengorbankan apa saja untuk Rabbnya dan rela meninggalkan hawa nafsunya agar terhindar dari neraka. Marilah kita simak kembali lembar kehidupan generasi terbaik ummat ini. Salaf Ash-Shaleh, yang telah berhasil meresapkan rasa takut terhadap neraka dan rindu terhadap syurga ke dalam sanubari mereka.

Shahabat yang mulia, Anas bin Malik r.a. mengisahkan bahwa dalam perang Badar, Rasulullah SAW bersabda : "Bangkitlah kalian menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi." Seorang shahabat yang bernama Umair bin Hamam berkata, "Seluas langit dan bumi ya Rasulullah?" "Ya" jawab Rasul. Umair bergumam, "Bakh . . . bakh . . .". Rasulullah SAW bertanya : "Apa maksud perkataanmu itu?" Umair menjawab : "Demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada maksud dari perkataanku tadi kecuali aku mengharap untuk menjadi salah seorang penghuninya". Lalu Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya kamu termasuk salah seorang penghuninya". Umair kemudian mengeluarkan beberapa kurma dari kantongnya dan memakan sebagian. Kemudian ia berkata : "Jika saya harus memakan korma-korma ini semua, tentu merupakan kehidupan yang terlalu lama". Lalu ia lemparkan sisa kormanya, kemudian segera maju menyerang musuh sehingga ia terbunuh dan syahid . . .

Begitu juga Amru bin Jamuh. Lelaki ini diberi udzur untuk tidak ikut berperang karena kepincangannya. Namun cacat tersebut tidak menghalangi tekadnya untuk memasuki syurga dengan jalan jihad (perang) bertaruh nyawa. Ketika para putranya mencoba untuk menghalanginya agar tidak pergi berperang, justru ia mengadu kepada Rasulullah SAW tentang keinginannya masuk syurga dengan kakinya yang pincang. Akhirnya ia diijinkan ikut dalam perang Uhud. Ketika perang sedang berkecamuk, Rasulullah SAW bersabda, "Bersegeralah untuk bangkit menuju syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disiapkan bagi orang-orang yang bertaqwa". Maka Amru bin Jamuh segera bangkit dengan kakinya yang pincang seraya berkata, "Demi Allah, aku akan bersegera kepadanya". Kemudian ia berperang sampai terbunuh . . .

Sekarang marilah kita melihat gambaran lain dari generasi yang mulia ini tentang rasa takut mereka terhadap neraka. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan malam mereka penuh tangis dan harap agar terselamatkan dari neraka. Mereka adalah sejauh-jauh manusia yang meninggalkan larangan Allah SWT.

Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. mempunyai seorang budak. Suatu malam, budak tersebut datang kepadanya dengan membawa makanan. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. sedang memakannya satu suapan, budak tadi berkata : "Mengapa engkau tidak menanyakan tentang (asal-usul) makanan ini, padahal biasanya engkau selalu menanyakannya?", Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. menjawab, "Karena saya sangat lapar. Dari mana kau dapatkan makanan ini?" budak itu menjawab, "Suatu saat pada masa jahiliyyah, aku melewati suatu kaum kemudian meruqyah (menjampi) mereka dan mereka menjanjikan (akan memberi sesuatu) kepadaku. Tatkala lain waktu saya singgah ke tempat tersebut, saya diberi hadiah". Berkata Ash-Shiddiq, "Celakalah kau . . . hampir saja kamu mencelakakanku". ia meminta semangkuk air dan meminumnya sampai ia bisa memuntahkan makanan tadi. Orang yang melihat hal itu berkata, "Semoga Allah merahmatimu. Hanya karan sesuap makanan itukah kau lakukan semua ini?" Beliau menjawa, "Seandainya ia tidak bisa keluar kecuali bersama jiwaku pasti aku akan mengeluarkannya. Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Setiap jasad yang tumbuh dari hart yang haram, maka neraka adalah lebih pantas baginya'. Maka aku takut jika tubuhku ini tumbuh dari sesuap makanan tersebut".

Khalifah Umar bin Abdul Aziz r.a. (tabi'in/generasi setelah shahabat) suatu ketika menangis, sehingga isterinya ikut menangis. Karena tangisan mereka berdua, para tetangganya pun ikut menangis. setelah tangis reda, isterinya, Fatimah bertanya kepadanya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu menangis?'. Ia menjawab, "Saya membayangkan keadaan manusia nanti di hadapan Allah SWT. Sebagian masuk syurga dan lainnya masuk neraka". Kemudian ia menjerit dan pingsan . . .

Abdullah bin Mubarak (ahli hadits sekaligus seorang mujahid), suatu malam pelita yang meneranginya padam. Setelah dihidupkan kembali, ternyata jenggotnya sudah basah dengan air mata karena membayangkan kegelapan hari akhir nanti . . .

Demikian juga Abu Faruq, pingsan setelah mendengar satu ayat Al-Qur'an.

Kondisi jiwa seperti inilah yang membuat mereka menjadi manusia yang paling zuhud dan wara' (selektif/hati-hati) terhadap dunia dan takut berbuat dosa, walau sekecil apapun.
Waktu bergulir tak kenal henti. Generasi pun datang silih berganti. Tanpa terasa empat belas abad sudah, generasi terbaik meninggalkan kita. Kini tinggallah sosok-sosok generasi abad sekarang, yang kalau kita perhatikn, baik di kantor, sekolah, pasar atau bahkan di masjid, adakah wajah-wajah yang penuh rasa takut, berbicara tentang akhirat? Adakah tangisan pilu karena membayangkan adzab neraka dapat kita jumpai dari para qari', khatib, imam masjid atau ulama kita? Yang nampak sekarang ini justru manusia-manusia yang rakus terhadap dunia. Seluruh waktunya dikerahkan untuk meraup dunia ini, tidak peduli halal atau haram. Bayangan syurga dan neraka sudah terkisis dari diri mereka. Apalagi memang kondisi saat ini amat mendukung bagi terbentuknya pribadi hubbud dunya (cinta dunia) dan lupa akhirat.

Kenyataan itu ada di mana-mana. Di swalayan, musik (yang sebagian ulama' mengharamkannya) berbaur dengan pajangan perangsang nafsu syaithani. Di rumah, televisi ---yang sebagian besar acaranya mendakwahkan materialisme dan konsumerisme--- menjadi santapan bebas keseharian keluarga kita. Kalau sudah begini, bagaimana hati ini akan mampu mengingat akhirat. Kalau setiap detik hati selalu dijejali dengan kemaksiatan, sendau gurau dan permainan, mana mungkin ia dapat mengalirkan derai air mata, sebagai penyimbah api neraka? Ia akan menjadi gelap dan tidak paham terhadap hakekat kehidupan.

Ingatlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Muthoffifiin ayat 14 yang artinya : "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu Jarir, Nasa'i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda : "Apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka akan ada titik hitam di hatinya. Jika ia bertobat darinya, hatinya akan jernih kembali. Apabila dosanya bertambah, bertambah pula bintik hitam. Itulah maksud ayat 'Kalla bal raana a'la quluubihim maa kaanu ya'maluun' (Al-Muthaffifiin : 4)." (hadits hasan shahih menurut Tirmidzi).

Hitamnya hati disebabkan dosa. Dosa pulalah yang menjadikan hati kita keras hingga enggan untuk berdzikir, mengingat akhirat.

Merangsang Hati Mengingat Syurga Dan Neraka
Berikut kiat yang diharapkan mampu menjadikan hati lunak, sehingga mudah untuk mengingat akhirat (nikmat syurga atau adzab neraka).

Pertama, Tinggalkan maksiat
Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits tadi, bahwa banyaknya kemaksiatan yang kita lakukan akan menjadikan hati gelap dan keras, lebih keras dari batu, sehingga enggan untuk mengingat akhirat.

Imam Malik r.a. pernah menasehati muridnya, Imam Syafi'i r.a., "Wahai anak muda sesungguhnya saya melihat bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu. Maka, janganlah kau padamkan api itu dengan kegelapan maksiat."

Kedua, Tadabbur (menghayati Al-Qur'an)
Banyak sekali ayat dalam Al-Qur'an yang menceritakan tentang syurga dan neraka. Apabila kita berhasil menghayati ayat tersebut, tentu akan timbul rasa rindu terhadap syurga dan takut terhadap neraka.

Ibrahim bin Basyar r.a. berkata bahwa ketika membaca ayat (artinya): "...andaikan engkau tahu, ketika mereka diberdirikan di mulut neraka, mereka berkata, 'duhai andaikan aku dikembalikan (hidup) langu' Ali bin Fudhail r.a. tersungkur dan meninggal. Saya adalah salah seorang yang menyolati jenazahnya".

Riwayat lain menyebutkan, Umar bin Al-Khattab r.a. sakit ketika mendengar firman Allah SWT yang artinya : "Sesungguhnya siksa Rabbmu pasti terjadi. Tidak ada yang menghalanginya."

Berusahalah dengan sungguh untuk mentadabburi Al-Qur'an, sehingga hati kita 'hidup'. Bila perlu, ulangilah beberapa kali ayat tentang nikmat dan adzab yang sedang kita baca, agar dapat meninggalkan bekas di hati.

Ketiga, Membayangkan syurga dan neraka dalam keseharian kita.
Apabila melihat api, ingatlah bahwa neraka 70 kali lebih dahsyat panasnya dari api dunia. Apabila melewati sungai jernih yang mengalir, ingatlah kejernihan sungai di syurga. Termasuk juga apa yang dicontohkan oleh Abdullah bin Mubara di atas. Tetapi, kita mesti sadar bahwa segala yang terjadi di akhirat nanti tidaklah seperti apa yang kita bayangkan. Baik nikmat maupun kita bayangkan. Begitu pula, semua ini harus kita lakukan dalam batas yang diperbolehkan syari'at. Tidak dibenarkan, melihat lawan jenis yang bukan mahram, dengan alasan membayangkan salah satu kenikmatan di syurga.

Apabila kondisi seperti ini berhasil kita wujudkan, insya Allah derajat kita akan naik bersama orang-orang yang bertaqwa, berkumpul bersma orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Amien . . . .


Tidak ada komentar