TABIR ANTARA TEMPAT LAKI-LAKI DENGAN TEMPAT WANITA


TABIR ANTARA TEMPAT LAKI-LAKI DENGAN TEMPAT WANITA

Para ulama berbeda pandangan tentang kewajiban memasang tabir antara tempat lak-laki dengan tempat wanita. Yang disepakati adalah bahwa para wanita wajib menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat. Juga sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki dan wanita. Serta haramnya khalwah atau berduaan menyepi antara laki-laki dan wanita.

Sedangkan kewajiban untuk memasang kain tabir penutup antara ruangan laki-laki dan wanita, sebagian ulama mewajibkannya dan sebagian lainnya tidak mewajibkannya.

1. Pendapat Pertama: Mewajibkan Tabir

Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

a) Dalil Al-Qur’an

# “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu, dan Allah tidak malu kepada yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)

Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir penutup meski perintahnya hanya untuk para isteri Nabi, tapi berlaku juga hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para istri Nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga kihtab ini tidak hanya berlaku bagi istri-istri Nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat.

b) Dalil As-Sunnah

# Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda:
"Pakailah tabir." Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: "Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!" Maka jawab Nabi: "Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?"

2. Pendapat Kedua: Tidak Mewajibkan Tabir

Oleh mereka yang mengatakan bahwa tabir penutup ruangan yang memisahkan ruangan laki-laki dan wanita itu tidak merupakan kewajiban, kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut :

a) Dalil Al-Qur’an

Sebagian ulama mengatakan bahwa kewajiban memasang kain tabir itu berlaku hanya untuk pada istri Nabi, sebagaimana zahir firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 53.
Hal itu diperintahkan hanya kepada istri nabi saja karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka serta rasa hormat terhadap para ibu mukminin itu. Sedangkan terhadap wanita mukminah umumnya, tidak menjadi kewajiban harus memasang kain tabir penutup ruangan yang memisahkan ruang untuk laki-laki dan wanita.
Dan bila mengacu pada asbabun nuzul ayat tersebut, memang kelihatannya memang diperuntukkan kepada para istri nabi saja.

b) Dalil As-Sunnah

Kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadits/pendapat) mengatakan bahwa hadits Ibnu Ummi Maktum itu merupakan hadits yang tidak sah menurut ahli-ahli hadits, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadits ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.

Kalau ditakdirkan hadits ini sahih, adalah sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab.

c) Dalil Lainnya

1) Istri Yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya

Banyak ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak tamu.

# Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut:
"Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini, Syaikhul Islam Ibnu Hajar berpendapat: "Seorang wanita boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya ..."

Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan wanita-wanita yang diundang oleh isterinya itu. Dan apabila seorang wanita itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan wanita dewasa ini, maka tampaknya (terlihatnya) seorang wanita kepada laki-laki lain menjadi haram.

2) Masjid Nabawi Di Zaman Rasulullah

Pandangan tidak wajibnya tabir didukung pada kenyataan bahwa masjid Nabawi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup pun tidak memasang kain tabir penutup yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun setelah jumlah mereka semakin hari semakin banyak, akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan satu pintu khusus untuk para wanita.

Hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan posisi shalat laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang.

Tidak ada komentar