Makna HAJI



HAJI

 
 
Memahami  makna  ibadah  haji,  membutuhkan  pemahaman  secara
khusus    sejarah   Nabi   Ibrahim   dan   ajarannya,   karena
praktek-praktek   ritual   ibadah   ini    dikaitkan    dengan
pengalaman-pengalaman  yang  dialami  Nabi Ibrahim as. bersama
keluarga beliau.  Ibrahim  as.  dikenal  sebagai  "Bapak  para
Nabi",  juga  "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan
Ilahi" kepada beliaulah merujuk  agama-agama  samawi  terbesar
selama ini.
 
Para  ilmuwan  seringkali  berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah
kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,
 
"Penemuan  yang  dikaitkan  dengan  Nabi Ibrahim as. merupakan
penemuan manusia yang terbesar dan yang  tak  dapat  diabaikan
para  ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan
penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom  betapa
pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu
dikuasai manusia, sedangkan penemuan  Ibrahim  menguasai  jiwa
dan  raga  manusia.  Penemuan  Ibrahim menjadikan manusia yang
tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam,  serta
menilai  baik  buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya
berlaku  sewenang-wenang,  tapi  kesewenang-wenangan  ini  tak
mungkin  dilakukannya  selama  penemuan  Ibrahim as. itu tetap
menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan  dengan  apa
yang   diketahui   dan   tak  diketahuinya,  berkaitan  dengan
kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk  ini  dengan
Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."
 
"Kepastian" yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan
tata kerja alam ini, tak dapat  diperolehnya  kecuali  melalui
keyakinan  tentang  ajaran  Bapak  monotheisme itu, karena apa
yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali  Tuhan  ini
yang  mengaturnya  dan di lain kali tuhan itu? Dengan demikian
monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar  hakikat  keagamaan  yang
besar,  tapi  sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga
lebih tepat, lebih  teliti  lagi,  lebih  meyakinkan.  Apalagi
Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku,
bangsa  atau  golongan  tertentu  manusia,  tapi  Tuhan   seru
sekalian  alam,  Tuhan  yang imanen sekaligus transenden, yang
dekat  dengan   manusia,   menyertai   mereka   semua   secara
keseluruhan  dan  orang per orang, sendirian atau ketika dalam
kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga,  pada
saat  kehidupannya,  bahkan  sebelum dan sesudah kehidupan dan
kematiannya.  Bukannya  Tuhan   yang   sifat-sifat-Nya   hanya
monopoli  pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat
dihubungi  mereka,  tapi  Tuhan  manusia   seluruhuya   secara
universal.
 
Ajaran   Ibrahim   as.   atau  "penemuan"  beliau  benar-benar
merupakan suatu lembaran baru dalam  sejarah  kepercayaan  dan
bagi  kemanusiaan,  walaupun  tauhid  bukan  sesuatu  yang tak
dikenal sebelum masa beliau,  demikian  pula  keadilan  Tuhan,
serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua
sampai  masa  Ibrahim  bukan  merupakan  ajaran  kenabian  dan
risalah  seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah
dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan,  serta  persamaan  antara
sesama  manusia,  tapi  itu  merupakan  dekrit dari singgasana
kekuasaan  yang  kemudian  dibatalkan  oleh  dekrit   penguasa
sesudahnya.
 
Ibrahim    datang   mengumandangkan   keadilan   Ilahi,   yang
mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun
kuatnya  seseorang.  Ia  tetap  sama  di  hadapan Tuhan dengan
seseorang yang paling lemah sekali  pun,  karena  kekuatan  si
kuat  diperoleh  dari  pada-Nya,  sedangkan kelemahan si lemah
adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut  atau
menganugerahkan  kekuatan  itu  pada  siapa saja sesuai dengan
sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.
 
Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan
menyangkut  pandangan  tentang manusia dan kemanusiaan, antara
kebolehan memberi sesajen  yang  dikorbankan  berupa  manusia,
atau  ketidakbolehannya  dengan  alasan  bahwa  manusia adalah
makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara  amaliah
dan  tegas  larangan  tersebut dilakukan, bukan karena manusia
terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar  untuk  dikorbankan
atau  berkorban,  tapi  karena  Tuhan  Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.   Putranya   Ismail   diperintahkan   Tuhan   untuk
dikorbankan,  sebagai  pertanda bahwa apa pun --bila panggilan
telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah.  Setelah
perintah  tersebut  dilaksanakan  sepenuh  hati  oleh ayah dan
anak, Tuhan  dengan  kekuasaan-Nya  menghalangi  penyembelihan
tersebut  dan  menggantikannya  dengan  domba sebagai pertanda
bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek
pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
 
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian
dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya  dan  hal
ini  secara  agamis  atau  Qur'ani  terbukti  bukan saja dalam
penemuannya  tentang  keesaan  Tuhan   seru   sekalian   alam,
sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An'am 6:75, tapi juga dalam
keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik  untuk  diketahui
bahwa  beliaulah  satu-satunya  Nabi  yang  disebut  al-Qur'an
meminta  pada  Tuhan  untuk  diperlihatkan  bagaimana  caranya
menghidupkan  yang  mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan
Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260).
 
Demikian  sebagian  kecil  dari  keistimewaan  Nabi   Ibrahim,
sehingga  wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia,
seperti   ditegaskan   al-Qur'an   surah   al-Baqarah   2:127.
Keteladanan  tersebut  antara  lain  diwujudkan  dalam  bentuk
ibadah haji dengan  berkunjung  ke  Makkah,  karena  beliaulah
bersama    putranya    Ismail    yang    membangun   (kembali)
fondasi-fondasi Ka'bah  (QS.  al-Baqarah  2:127),  dan  beliau
pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari'at haji
(QS. al-Haj 22:27). Keteladanan yang diwujudkan  dalam  bentuk
ibadah  tersebut  dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan
dengan  peristiwa  yang  beliau  dan  keluarga   alami,   pada
hakikataya  merupakan  penegasan  kembali  dari  setiap jamaah
haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip  keyakinan
yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,
 
 1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala
    macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung,
    bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain
    dari Allah swt.
 
 2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam
    kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap
    makhluk pada hari kebangkitan kelak.
 
 3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal,
    tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya,
    betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal
    lainnya.
 
Ketiga  inti  ajaran   ini   tercermin   dengan   jelas   atau
dilambangkan  dalam  praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam.
Tulisan  ini  akan  menitikberatkan  uraian  menyangkut  butir
ketiga,  walau  pun  disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan
dan ketundukan semua makhluk di bawah  pengawasan,  pengaturan
dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia
menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan,
manusia  dalam  pandangan al-Qur'an, sama dari segi ini dengan
makhluk-makhluk  lain,  karena  walau  pun  manusia   memiliki
kemampuan  menggunakan  makhluk-makhluk  lain, namun kemampuan
tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat  penundukan
Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang
terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.
 
Keyakinan akan keesaan  Tuhan  juga  mengantar  manusia  untuk
menyadari,  bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari
segi nilai kemanusiaan, karena  semua  mereka  diciptakan  dan
berada  di  bawah  kekuasaan  Allah  swt.  QS.  al-Hujurat  13
menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan  akan  keesaan
Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
 
Ibadah  haji  dikumandangkan  Ibrahim  as.  sekitar 3600 tahun
lalu. Sesudah masa  beliau,  praktek-prakteknya  sedikit  atau
banyak  telah  mengalami  perubahan, namun kemudian diluruskan
kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu,
adalah  praktek  ritual  yang  bertentangan dengan penghayatan
nilai universal kemanusiaan haji. Al-Qur'an  Surah  al-Baqarah
2:199,  menegur  sekelompok  manusia (yang dikenal dengan nama
al-Hummas) yang merasa  diri  memiliki  keistimewaan  sehingga
enggan  bersatu  dengan  orang  banyak  dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang  orang  banyak  di  Arafah.
Pemisahan  diri  yang  dilatarbelakangi  perasaan superioritas
dicegah oleh al-Qur'an  dan  turunlah  ayat  tersebut  diatas.
"Bertolaklah  kamu  dari tempat bertolaknya orang-orang banyak
dan  mohonlah  ampun  kepada  Allah  sesungguhnya  Allah  Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
 
Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan
thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari  ajaran
Ibrahim   dalam   rangka   mempererat  persaudaraan  dan  rasa
persamaan. Namun yang pasti  Nabi  saw  membatalkannya,  bukan
dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi
karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.
 
Salah satu bukti yang jelas tentang  keterkaitan  ibadah  haji
dengan  nilai-nilai  kemanusiaan  adalah  isi khutbah Nabi saw
pada haji wada' (haji  perpisahan)  yang  intinya  menekankan:
Persamaan;  keharusan  memelihara  jiwa,  harta dan kehormatan
orang lain; dan larangan melakukan penindasan  atau  pemerasan
terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
 
Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
 
 
Makna  kemanusiaan  dan  pengalaman  nilai-nilainya  tak hanya
terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan  dengan  yang
lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar
persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai  luhur
yang   seharusnya  menghiasi  jiwa  pemiliknya.  Bermula  dari
kesadaran  akan  fitrah  atau  jati  dirinya  serta  keharusan
menyesuaikan  diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri  Adam  menyadari  arah  yang
dituju  serta  perjuangan  mencapainya. Kemanusiaan menjadikan
makhluk  ini  memiliki  moral  serta   berkemampuan   memimpin
makhluk-makhluk  lain  mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan
mengantarnya menyadari bahwa ia  adalah  makhluk  dwi  dimensi
yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk  sosial
yang  tak  dapat  hidup  sendirian  dan harus bertenggang rasa
dalam berinteraksi.
 
Makna-makna tersebut  dipraktekkan  dalam  pelaksanaan  ibadah
haji,  dalam  acara-acara  ritual,  atau  dalam  tuntunan  non
ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam  bentuk
nyata  atau  simbolik  dan  kesemuanya pada akhirnya mengantar
jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan
universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di
antaranya.
 
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat  sambil  menanggalkan
pakaian   biasa   dan  mengenakan  pakaian  ihram.  Tak  dapat
disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga  menurut
al-Qur'an  berfungsi  sebagai  pembeda  antara  seseorang atau
sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat  mengantar
kepada  perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian
juga dapat memberi pengaruh  psikologis  pada  pemakainya.  Di
Miqat  Makany  di  tempat  dimana  ritual ibadah haji dimulai,
perbedaan dan pembedaan  tersebut  harus  ditanggalkan.  Semua
harus  memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis
dari pakaian harus ditanggalkan,  hingga  semua  merasa  dalam
satu  kesatuan  dan  persamaan.  "Di Miqat ini ada pun ras dan
sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan  sehari-hari
sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan),
tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan
tipu   daya),  atau  domba  (yang  melambangkan  penghambaan).
Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai  manusia
yang sesungguhnya. [2]
 
Di   Miqat   dengan  mengenakan  dua  helai  pakaian  berwarna
putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia
mengakhiri   perjalanan  hidup  di  dunia  ini,  seorang  yang
melaksanakan ibadah  haji  akan  atau  seharusnya  dipengaruhi
jiwanya  oleh  pakaian  ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan
dan  keterbatasannya,  serta  pertanggungjawaban   yang   akan
ditunaikannya  kelak  di  hadapan  Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang  lain,
kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
 
Kedua,   dengan  dikenakannya  pakaian  ihram,  maka  sejumlah
larangan harus diindahkan oleh  pelaku  ibadah  haji.  Seperti
jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan
darah, jangan  mencabut  pepohonan.  Mengapa?  Karena  manusia
berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya
kesempatan  seluas  mungkin  mencapai  tujuan   penciptaannya.
Dilarang  juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin,
dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa  manusia  bukan
hanya  materi  semata-mata  bukan  pula  birahi.  Hiasan  yang
dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula  menggunting
rambut,  kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan
menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
 
Ketiga, Ka'bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang  amat
berharga  dari  segi  kemanusiaan.  Di  sana misalnya ada Hijr
Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail
putra  Ibrahim,  pembangun  Ka'bah  ini  pernah  berada  dalan
pangkuan Ibunya yang  bernama  Hajar,  seorang  wanita  hitam,
miskin  bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu,
namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau
peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa
Allah swt  memberi  kedudukan  untuk  seseorang  bukan  karena
keturunan  atau  status  sosialnya,  tapi  karena kedekatannya
kepada  Allah  swt  dan  usahanya  untuk  menjadi  hajar  atau
berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan
menuju peradaban.
 
Keempat, setelah  selesai  melakukan  thawaf  yang  menjadikan
pelakunya  larut  dan  berbaur  bersama  manusia-manusia lain,
serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan  yang  sama
yakni  berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa'i. Di
sini  muncul  lagi  Hajar,   budak   wanita   bersahaja   yang
diperistrikan  Nabi  Ibrahim  itu,  diperagakan  pengalamannya
mencari  air  untuk  putranya.  Keyakinan  wanita   ini   akan
kebesaran  dan  kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti
jauh sebelum peristiwa pencaharian  ini,  ketika  ia  bersedia
ditinggal  (Ibrahim)  bersama  anaknya  di  suatu  lembah yang
tandus,  keyakinannya  yang  begitu  dalam  tak  menjadikannya
samasekali  berpangku  tangan  menunggu  turunnya  hujan  dari
langit,   tapi   ia   berusaha   dan   berusaha   berkali-kali
mondar-mandir  demi  mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya
dari bukit Shafa yang arti  harfiahnya  adalah  "kesucian  dan
ketegaran"  [3]  --sebagai  lambang  bahwa  mencapai kehidupan
harus  dengan  usaha  yang   dimulai   dengan   kesucian   dan
ketegaran--   dan  berakhir  di  Marwah  yang  berarti  "ideal
manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan  memaafkan  orang
lain" [4].
 
Adakah  makna  yang  lebih  agung  berkaitan dengan pengamalan
kemanusiaan   dalam   mencari   kehidupan   duniawi   melebihi
makna-makna   yang   digambarkan   di   atas?   Kalau   thawaf
menggambarkan larutnya dan meleburnya  manusia  dalam  hadirat
Ilahi,  atau  dalam  istilah  kaum sufi al-fana' fi Allah maka
sai' menggambarkan usaha  manusia  mencari  hidup  --yang  ini
dilakukan  begitu  selesai  thawaf--  yang  melambangkan bahwa
kehidupan dunia  dan  akhirat  merupakan  suatu  kesatuan  dan
keterpaduan.  Maka  dengan  thawaf  disadarilah  tujuan  hidup
manusia.   Setengah   kesadaran   itu   dimulai   sa'i    yang
menggambarkan,   tugas   manusia  adalah  berupaya  semaksimal
mungkin.  Hasil  usaha  pasti  akan  diperoleh  baik   melalui
usahanya  maupun  melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami
Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya  air  Zamzam
itu.
 
Kelima,  di  Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh
jamaah  wuquf  (berhenti)  sampai  terbenamnya  matahari.   Di
sanalah   mereka  seharusnya  menemukan  ma'rifat  pengetahuan
sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya,  serta
di  sana  pula  ia  menyadari  langkah-langkahnya  selama ini,
sebagaimana ia menyadari pula betapa  besar  dan  agung  Tuhan
yang   kepadaNya   bersimpuh   seluruh   makhluk,  sebagaimana
diperagakan    secara    miniatur    di    padang    tersebut.
Kesadaran-kesadaran  itulah  yang  mengantarkannya  di  padang
'arafah  untuk  menjadi  'arif  atau  sadar  dan   mengetahui.
Kearifan  apabila  telah  menghias  seseorang, maka Anda akan,
menurut Ibnu  Sina,  "Selalu  gembira,  senyum,  betapa  tidak
senang  hatinya  telah  gembira  sejak ia mengenal-Nya, ... di
mana-mana ia melihat satu saja, ...  melihat  Yang  Maha  Suci
itu,  semua  makhluk  di  pandangnya sama (karena memang semua
sama, ... sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip
kelemahan  atau  mencari-cari  kesalahan  orang, ia tidak akan
cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun  karena
jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
 
Keenam,  dari  Arafah  para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan
senjata  menghadapi  musuh   utama   yaitu   setan,   kemudian
melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji
melampiaskan  kebencian  dan  kemarahan  mereka  masing-masing
terhadap   musuh  yang  selama  ini  menjadi  penyebab  segala
kegetiran yang dialaminya.
 
Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol  yang
sangat  indah,  apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan
benar, maka pasti akan  mengantarkan  setiap  pelakunya  dalam
lingkungan  kemanusiaan  yang  benar  sebagaimana  dikehendaki
Allah.
 
CATATAN
 
 1. Lihat Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Al-'Aqaid Wa al-mazahib,
    Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1978, h. 12-15.
 
 2. Lihat lebih jauh Ali Syariati dalam Haji, penterjemah Anas
    Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1983, h. 12.
 
 3. Lihat al-Qurthuby dalam Tafsirnya al-jami'li Ahkam
    al-Qur'an, Dar al-Kitab al-Arabi, Cairo 1967, Jilid 11, h.
    180.
 
 4. Lihat Abdul Halim Mahmud, Al-tafkir al-falsafi fi 'l-Islam,
    Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, 1982. h. 430.

Tidak ada komentar