Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah


Menyelewengkan Makna La ilaha illallah, Wujud Penyimpangan Akidah

Barangkali di antara kita ada yang pernah melontarkan ucapan: “Kenapa sih kita membicarakan permasalahan tauhid terus? Apa tidak ada tema lain yang lebih menarik?” Bagi orang yang belum paham, bisa dimaklumi bila ia mengeluarkan kalimat seperti itu. Namun sangat tidak pantas bila kalimat tersebut muncul dari orang yang telah memahami pentingnya tauhid bagi seorang muslim, yang menunjukkan bahwa ia meremehkan permasalahan yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan para nabi ini.

Telah dimaklumi bahwa poros dakwah para nabi dan rasul, serta sebab mereka diutus adalah untuk tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam banyak firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan-Ku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya`: 25)

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan tidak ada sesembahan bagi kalian selain-Nya’.” (Al-A’raf: 59)

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada kaum ‘Ad Kami mengutus saudara mereka Hud dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 65)

وَإِلَى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Tsamud kami mengutus saudara mereka Shalih dan dia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 73)

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan kepada Madyan Kami utus saudara mereka Syu’aib dan dia berkata: ‘Hai kaumku sembahlah Allah, dan kalian tidak memiliki sesembahan selain-Nya’.” (Al-A’raf: 85)
Karena permasalahan tauhid pula Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan kitab-kitab, dan karenanya pula manusia diciptakan.

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah yang Esa dan tidak ada sesembahan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At-Taubah: 31)

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Dari sini kita mengetahui bahwa:
1. Tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama untuk diilmui dan didakwahkan. Ia juga merupakan tugas yang paling besar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Maka berilmulah kamu tentang Laailahaillallah.” (Muhammad: 19)

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul agar mereka (memerintahkan): ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thagut’.” (An-Nahl: 36)
2. Para nabi memulai dakwah mereka dari sisi tauhid, sehingga tauhid merupakan poros dan tujuan dakwah mereka. Rasul terakhir, Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, tinggal di kota Makkah selama 13 tahun menyeru kaumnya kepada tauhidullah dan mendidik para shahabat di atasnya.
3. Al-Qur`an telah menjelaskan kedudukan tauhid dalam banyak tempat dan menjelaskan pula bahaya dari lawannya yaitu syirik, baik terhadap individu ataupun jamaah. Dan kesyirikanlah yang telah menyebabkan kehancuran hidup di dunia dan di akhirat.
4. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan dan mengarahkan para shahabat agar memulai dakwah mereka dengan menyerukan kepada tauhidullah. Sebagaimana perintah beliau kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.”
Di dalam sebuah riwayat disebutkan:

إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ

“Sampai mereka mentauhidkan Allah.”1
5. Tidak diperbolehkan bagi siapapun dan jamaah apapun untuk mengentengkan atau meremehkan permasalahan tauhid.
6. Siapapun dan jamaah apapun bila menganggap enteng permasalahan tauhid mesti akan mengalami kegagalan dan kebinasaan, cepat atau lambat.
7. Muara dari semua kerusakan di muka bumi adalah kerusakan aqidah dan tauhid, sebagaimana sumber dari segala kebaikan di dunia dan di akhirat adalah karena kebagusan aqidah dan tauhid.
(Lihat Al-Firqatun Najiyah hal. 9, 31 dan 32, Asbab Dha’fil Muslimin Amama ‘Aduwwihim karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Manhajus Salaf Fil ‘Aqidah karya Dr. Shalih bin Sa’d As-Suhaimi hal. 6)

Pengaruh لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Tauhid dalam Kehidupan
Para pembaca yang budiman, renungkanlah beberapa buah (hasil) berikut ini, yang nantinya bisa dipetik bila aqidah dan tauhid seseorang itu benar sebagaimana yang telah disebutkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Ini dimaksudkan dalam rangka membongkar kejahatan orang-orang yang berani menentang aqidah, meremehkannya, atau menomorsekiankan aqidah dalam semua aktivitas dakwah, dan sebagainya.
Pertama: Memerdekakan dan mengeluarkan manusia dari perbudakan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb manusia semata.
Hal ini karena tauhid merupakan satu bentuk penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan lawannya yaitu syirik merupakan satu bentuk penghambaan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tauhid akan memerdekakan akal setiap manusia dari segala bentuk khurafat dan memerdekakan hati dari penghinaan serta kerendahan, sekaligus memerdekakan hidup mereka dari segala cengkraman kekuasaan thagut yang disembah.
Tauhid dengan makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu, sehingga mereka tampil memancangkan permusuhan kepada para rasul.
Kedua: Menyatukan/memfokuskan amal seseorang berada dalam koridor yang satu.
Karena, ketika orang yang bertauhid bergerak untuk membangun sebuah amalan dalam detik-detik hidupnya, semuanya terarah untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jiwanya tidak tercerai-berai kepada penghambaan di hadapan tuhan-tuhan yang banyak, dalam keadaan dia berusaha mencari keridhaan semuanya. Fenomena seperti ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kesudahannya di dalam sebuah firman-Nya:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيْهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً

“Allah telah membuat perumpamaan tentang seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang berselisih dan seorang budak yang dimiliki oleh seorang tuan, apakah kedua perumpamaan itu sama?” (Az-Zumar: 29)
Perumpamaan pertama adalah seseorang yang memiliki tuhan yang banyak (yakni orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dia mengalami kebimbangan dalam mengejar keridhaan tuhan yang banyak tersebut. Adapun perumpamaan kedua adalah seseorang yang tidak menyembah kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.
Ketiga: Menciptakan rasa aman dalam jiwa dan menanamkan kekuatan batin.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُوْنَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ

“Bagaimana aku akan takut kepada sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kalian tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesembahan-sesembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak untuk mendapatkan keamanan (dari malapetaka) jika kalian mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kedzaliman (kesyirikan), merekalah yang mendapatkan rasa aman dan petunjuk.” (Al-An’am: 81-82)
Orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan selalu dalam koridor bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kembali kepada-Nya, karena Dialah Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu. Sehingga dengan keyakinan ini, tumbuh rasa aman dan percaya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, berpasrah diri dan tentram hatinya. Bagaimana hal ini tidak terjadi, sementara dia melihat manusia sebagai makhluk yang tidak sanggup berbuat untuk diri mereka sendiri, lebih-lebih untuk orang lain. Dengarkan apa yang telah diucapkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam:

يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيْرِي بِآيَاتِ اللهِ فَعَلَى اللهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلاَ تُنْظِرُوْنِ

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allahlah aku bertawakal. Karena itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku), kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.” (Yunus: 71)
Dan ingatlah ketika Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

فَكِيْدُوْنِي جَمِيْعًا ثُمَّ لاَ تُنْظِرُوْنِ. إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلاَّ هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Jalankanlah tipu daya kalian semua terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Rabbku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 55-56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menggambarkan jiwa yang telah sampai kepada kepercayaan, ketentraman dan keamanan yang tinggi karena menemukan kekuasaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merasakan betapa rendahnya kedudukan makhluk. Mereka tidak memiliki kekuasaan sedikitpun dalam urusan mereka (melainkan dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Keempat: Mengokohkan landasan persaudaraan dan persamaan
Islam adalah agama tauhid yang menjadikan seseorang tunduk kepada Rabb mereka. Tidak menjadikan sebagian mereka menjadi tuhan bagi sebagian yang lain, serta tidak menuntut orang lain agar menyembah dan tunduk kepada yang lain. Manusia seluruhnya sama dalam derajat kemanusiaan. Setiap orang yang bertauhid memiliki persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada yang melebihi yang lain kecuali dengan takwa dan amal shalih. Mereka tidak berbeda karena perbedaan suku, ras, atau lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (Al-Hujurat: 13)
Kelima: Mendapatkan ketinggian dan kejayaan
Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:

حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِيْنَ بِهِ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Dengan ikhlas kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah. Dan barangsiapa menyekutukan Allah maka dia seakan-akan jatuh dari langit kemudian disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang sangat jauh.” (Al-Hajj: 31)
Ayat ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan ketinggian dan kejayaan, sedangkan kesyirikan adalah kerendahan dan kehinaan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah menyerupakan iman dan tauhid dalam ketinggian, keluasan, dan kemuliaan di langit. Langit itu merupakan tempat naik dan tempat turun, darinya turun ke bumi dan kepadanya naik. Dan Allah menyamakan bahwa meninggalkan keimanan dan ketauhidan, seperti sesuatu yang jatuh dari langit ke tempat yang paling rendah dibarengi dengan rasa sempit yang sangat dan sakit yang bertumpuk-tumpuk, diikuti dengan sambaran burung pada setiap anggota badannya. Lalu setan mencabik-cabiknya, yang dikirim oleh Allah untuk menggiring dan memindahkannya menuju negeri kebinasaan. Kemudian Allah mengirim angin yang menghempaskannya ke tempat yang amat jauh. Itulah jelmaan hawa nafsunya yang akan melemparkan dirinya ke tempat yang rendah dan jauh dari langit.” (I’lamul Muwaqqi’in, hal. 118)

Keenam: Memelihara darah, harta, dan kehormatannya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukannya maka mereka telah memelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada di tangan Allah.”2
(lihat Bayanus Syirk wa Wasa`ilihi ‘inda ‘Ulama` Asy-Syafi’iyyah, hal. 6-10 karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis, Laa Ilaha illallah Ma’naha Wa Makanatuha, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 36-41)

Pemaknaan yang Keliru dari Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ sebagai Kalimat Ikhlas
Dalam pembahasan edisi yang telah lalu, dijelaskan apa sesungguhnya makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang benar. Sebuah kalimat tauhid, kalimat ikhlas, kalimat takwa, kalimat Islam, dan kalimat ‘urwatul wutsqa. Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, itulah makna yang benar. Sebuah makna yang singkat namun padat dan memiliki konsekuensi yang demikian banyak. Makna inilah yang juga dipahami oleh kaum musyrikin dahulu sehingga mendorong mereka untuk menolak seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan memerangi dakwah beliau. Mereka memahami bahwa bila mereka mengikrarkan dan mengucapkan kalimat ini berarti:
a. Harus melepaskan segala keterkaitan dengan sesembahan yang mereka jadikan sebagai tuhan-tuhan selain Allah, berupa segala bentuk berhala, patung-patung, atau tempat yang dikeramatkan.
b. Harus meninggalkan segala perbudakan hawa nafsu yang menjadikan mereka gandrung dan kecanduan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti merampok, berzina, membunuh, berjudi, minum khamr, berbuat dzalim, dan lain sebagainya.
Inilah realita orang-orang yang telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah: “Orang-orang kafir di masa jahiliyah mengetahui apa yang dimaksud oleh Rasulullah dengan (seruan beliau) kepada kalimat Laa Ilaha illallah, yaitu mengesakan Allah dalam ketergantungan, dan mengingkari segala sesembahan selain Allah serta berlepas diri darinya. Di saat Rasulullah mengatakan kepada mereka: ‘Ucapkanlah Laa Ilaha illallah!’, mereka berkata: ‘Apakah dia akan menjadikan tuhan-tuhan ini menjadi satu tuhan? Ini adalah (perbuatan) yang sangat mengherankan.’ Jika engkau mengetahui bahwa orang kafir jahiliyah saja mengetahui makna (yang benar tentang kalimat Laa Ilaha illallah), maka amat naif dan sangat mengherankan jika orang-orang yang mengaku Islam namun tidak mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang kafir jahiliyah. Bahkan mereka justru mengira bahwa cukup hanya mengucapkannya dengan lisan, tanpa hatinya meyakini makna-makna yang dikandungnya. Bahkan kalangan ahli pikir di antara mereka meyakini bahwa makna Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada yang mengatur urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala (yakni membatasi hanya pada makna itu). Sungguh tidak ada kebaikan bagi seseorang (di dalam Islam) jika orang kafir jahiliyah lebih mengetahui makna kalimat Laa Ilaha illallah.” (Kasyfus Syubuhat, hal. 17-18)
Di antara pemaknaan batil dari kalimat ini sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan mengatur kecuali Allah.
Pemaknaan seperti ini adalah batil, karena penafsiran ini hanya terbatas pada tauhid rububiyyah. Makna seperti ini telah diakui dan diyakini oleh kaum musyrikin jahiliyah, akan tetapi tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak menjadikan harta dan darah mereka terjaga.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: “Kaum musyrikin menetapkan dan mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Dzat pencipta, pemberi rizki. Dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang memberi rizki, menghidupkan dan mematikan melainkan Dia, serta tidak ada yang mengatur kecuali Dia. Dan seluruh langit yang tujuh dan apa yang ada di dalamnya dan bumi yang tujuh seisinya adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di bawah kekuasaan dan pengaturan-Nya. Jika engkau ingin mengetahui dalil bahwa orang-orang yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempersaksikan hal itu, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُوْلُوْنَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ

“Katakan siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai pendengaran, penglihatan dan yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan dan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur semua urusan? Maka mereka akan berkata: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kalian tidak takut (kepada-Nya)?’.” (Yunus: 31)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُوْنَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُوْنَ

“Katakan: Milik siapakah bumi dan segala apa yang ada padanya jika kalian mengetahui? Mereka akan mengatakan Allah, maka katakanlah tidakkah kamu mau sadar. Katakan siapakah Rabbnya langit yang tujuh, Rabb ‘Arsy yang agung? Mereka akan mengatakan milik Allah, maka katakanlah tidaklah kalian mau bertakwa. Katakan, di tangan siapakah kekuasaan terhadap segala sesuatu dan dia tempat berlindung dan tidak akan dilindungi jika kalian mengetahui, mereka akan mengatakan: “Milik Allah, lalu kenapa kalian bisa dipalingkan.’” (Al-Mu’minun: 84-89)
[Lihat Kasyfus Syubuhat hal. 10-11]
Memaknakan Laa Ilahaillallah hanya ke dalam makna tauhid rububiyyah (tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dan yang mengatur semua urusan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala) semata adalah jelas kebatilannya. Jika demikian maknanya niscaya:
1. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memerangi mereka, menghalalkan darah, kehormatan, dan harta mereka. Bagaimana mungkin beliau akan memerangi kaum yang benar aqidahnya, jika memang maknanya demikian.
2. Kaum musyrikin tidak akan menentang dan memerangi dakwah serta seruan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kalimat Laa Ilaha illallah.
3. Tidak ada hikmah yang besar dalam hal diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi, karena tauhid rububiyyah ini ditetapkan oleh fitrah setiap manusia.
4. Usaha Iblis dan bala tentaranya tidak begitu berarti dalam penyesatan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnul Qayyim menjelaskan: “Apa yang ditunjukkan oleh kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dalam menetapkan hak peribadatan, lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat اللهُ إِلَهٌ (Allah adalah sesembahan). Karena ucapan ini tidak mengandung makna penafian terhadap sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berbeda dengan ucapan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Kalimat ini menuntut pembatasan hak ibadah itu bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menafikan selain-Nya. Salah besar jika ada orang yang menafsirkan makna لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan ‘Tidak ada yang mampu menciptakan kecuali Allah semata’.”
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah menjelaskan: “Jika dikatakan telah jelas makna ‘Al-Ilah’ dan ‘Al-Ilahiyyah’, lalu bagaimana jawaban terhadap orang yang memaknakannya dengan ‘Yang Maha Kuasa untuk menciptakan’ atau ungkapan-ungkapan selainnya (dalam makna tauhid rububiyyah)? Jawabannya dari dua sisi:
Pertama: Ucapan ini termasuk dari ucapan yang mubtada’ (diada-adakan) dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan demikian. Tidak pula para imam, ulama, dan ahli bahasa sekalipun yang (memaknakan) dengan apa yang kita sebutkan. Sehingga ucapan ini adalah batil.
Kedua: Jika kita menerima makna demikian, maka ini memang salah satu kandungan maknanya dan memang semestinya sesembahan yang benar adalah yang berkuasa menciptakan, atau mengadakan dari yang semula tidak ada menjadi ada. Dan jikalau (sesembahan itu) tidak demikian sifatnya, maka dia bukanlah sesembahan yang benar. Namun bukan berarti bahwa orang yang meyakini bahwa makna Al-Ilah adalah tidak ada yang kuasa menciptakan kecuali Allah, dia telah masuk ke dalam Islam dan telah melakukan sesuatu yang dituju yang menjadi kunci pintu keselamatan (surga). Ini tidak diucapkan oleh seorangpun. Karena ini berkonsekuensi bahwa orang-orang kafir Arab di masa dahulu adalah muslimin. Jika ada sebagian orang belakangan ini menganggap demikian, berarti dia telah salah dan telah dibantah oleh dalil-dalil sam’i (naqli) dan aqli.” (Taisiril ‘Aziz Al-Hamid, hal. 80)
Dari pembahasan ini kita mengetahui bahwa:
1. Memaknakan Laa Ilaha illallah dengan ‘tidak ada yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki kecuali Allah’ adalah makna batil.
2. Kaum musyrikin jahiliyah lebih mengetahui makna Laa Ilaha illallah daripada sebagian kaum muslimin sekarang ini.
3. Kaum musyrikin dahulu meyakini bahwa tidak ada yang menciptakan, mematikan, menghidupkan, memberi rizki, dan mengatur alam ini melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
4. Kaum musyrikin jahiliyah dahulu lebih ringan tingkat penyelewengannya terhadap kalimat Laa Ilaha illallah daripada kaum muslimin yang melakukan kesyirikan di masa sekarang ini, ditinjau dari beberapa sisi:
a. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala bila dalam keadaan senang saja. Sedangkan bila mendapatkan malapetaka dan musibah, mereka mengikhlaskan permintaan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun kaum musyrikin (dari kalangan muslimin) sekarang ini, mereka melakukan kesyirikan baik ketika gembira atau mendapatkan ujian dan malapetaka.
b. Dahulu mereka menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan pribadi-pribadi yang mulia, seperti para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih, atau dengan sesuatu yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti batu atau pohon-pohon. Adapun kaum musyrikin sekarang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan orang-orang yang terkenal kerusakan dan kebejatannya di dalam agama. (Kasyfus Syubhat hal. 59 dan seterusnya)

Kedua: Mengeluarkan keyakinan yang benar dari zat segala sesuatu dan memasukkan keyakinan yang benar hanya kepada Dzat Allah.
Memaknakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan makna ini adalah batil dari banyak sisi:
1. Bertentangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang membolehkan kita untuk meyakini sesuatu selain tentang Allah, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ

“Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin niscaya kalian akan benar-benar melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin.” (At-Takatsur: 5-7)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيُلْغِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِيْنِ، فَإِذَا اسْتَيْقَنَ بِالتَّمَامِ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعَتَا لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila seseorang ragu di dalam shalatnya, maka hendaklah dia berusaha menghilangkan keraguannya dan kemudian dia membangunnya di atas keyakinan. Jika dia benar-benar yakin, hendaklah dia sujud dua kali dalam keadaan duduk. Jika dia ternyata shalat lima rakaat berarti dua sujud itu telah menggenapkan shalatnya, dan jika dia shalat empat rakaat berarti dia telah mengundang kemurkaan setan.”3
2. Menyelisihi apa yang dipahami oleh Salafus Shalih umat ini.
3. Meyakini sesuatu yang tertangkap oleh indera dan bisa terjadi, tidaklah menyelisihi tauhid.

Ketiga: Tidak ada sesembahan kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna ini adalah batil dan tidak benar secara lahiriah, karena makna ini menafikan kenyataan yang ada dalam hidup. Dalam realita, ada sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala yang disembah oleh hamba-hamba-Nya seperti menyembah kuburan, pohon, tempat keramat, batu-batu, jin-jin, malaikat, para nabi atau para wali.

Dari semua pemaknaan yang batil di atas, kita mengetahui betapa jauhnya sebagian kaum muslimin dari aqidah yang benar dan dari ilmu agama.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Hendaklah diketahui, bahwa kalimat yang agung ini (merupakan prinsip dasar agama Islam dan di atasnya dibangun syariat dan hukum-hukum dan akan terbedakan antara yang halal dan yang haram), merupakan dakwah para rasul dan millah (agama) Ibrahim dan millah Muhammad, yang beliau menyeru umatnya kepadanya dan beliau berjihad di atasnya. Hal ini, karena lafadz kalimat ini sendiri menunjukkan kepada dua perkara, dimana tidak akan terwujud keislaman dan keimanan melainkan dengan keduanya, baik dalam bentuk ilmu, amal dan keyakinan.
(Pertama): Menafikan kesyirikan dalam peribadatan; dan,
(Kedua): Berlepas diri dari kesyirikan dan mengikhlaskan ibadah dalam semua bentuknya. (Mulakhkhas Minhajus Sunnah, hal. 154)
Wallahu a’lam.

1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 7372 dan Muslim no. 19, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma.
2 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 20 dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma.
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud no. 864 dan An-Nasa`i no. 1221

 

Tidak ada komentar