Istighfar Dan Taubat


Istighfar Dan Taubat
Segala puji hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ’allau’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah itsighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan.
1.         Hakikat Istighfar dan Taubat.
2.         Dalil Syar'i Bahwa Istighfar Dan Taubat Termasuk Kunci Rizki.

HAKIKAT ISTIGHFAR DAN TAUBAT.
Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan.
أَسْتَغْفِرُ اللّهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ
"Aku mohon ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan bertaubat kepada-Nya".

Tetapi kalimat-kalimat diatas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta. Para ulama -semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat. Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan :"Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna". [1]
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga.
Pertama                : hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut.
Kedua     : ia harus menyesali perbuatan maksiat nya.
Ketiga     : ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma'af kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf"[2]
Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah Shubhanahu wa ta’alla.
قال الله تعالى: ﴿فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا [نوح: 10]
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun" [Nuh/71 : 10]

Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta".[3]

DALIL SYAR’I BAHWA ISTIGHFAR DAN TAUBAT TERMASUK KUNCI RIZKI.
Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah Shubhanahu wa ta’alla Ta'ala. Dibawah ini beberapa nash dimaksud :
Apa Yang Disebutkan Allah Shubhanahu wa ta’alla Subhana Wa Ta'ala Tentang Nuh Alaihis Salam Yang Berkata Kepada Kaumnya.
قال الله تعالى: ﴿فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا ١١ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰلٖ وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰتٖ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرٗا ١٢ [نوح: 10- 12]
"Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesunguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai". [Nuh/71 : 10-12]

Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan istighfar.
a.          Ampunan Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman -Nya :
إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
"Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun".
b.         Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata (مِدْرَارًا) adalah (hujan) yang turun dengan deras.[4]
c.          Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memperbanyak harta dan anak-anak, Dalam menafsirkan ayat (وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ ) Atha' berkata: Niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian" .[5]
d.         Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
e.         Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menjadikan untuknya sungai-sungai.
Imam Al-Qurthubi berkata: "Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam (surat Hud : 3 "Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhamnu dan bertaubat kepada -Nya) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan".[6] Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :" Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, meminta ampun kepada -Nya dan kalian senantiasa menta'ati -Nya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, memperbanyak harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)".[7]
Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta'ala. Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: "Bahwasanya Umar Radhiyallahu 'anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan majadih[8] langit yang dengannya diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat.
قال الله تعالى: ﴿فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا ١١ [نوح: 10، 11]
"Mohonlah ampun kepada Tuhamu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat".[Nuh/71:10-11]. [9]

Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun. Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata :"Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!. Yang lain lagi berkata kepadanya, 'Do'akanlah (aku) kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla!".
Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan :"Maka Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, 'Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk ber-istighfar[10]. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah Shubhanahu wa ta’alla telah berfirman dalam surat Nuh.
قال الله تعالى: ﴿ فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارٗا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا ١١ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰلٖ وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰتٖ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرٗا ١٢ [نوح: 10- 12]
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai". [Nuh /71: 10-12] [11]

Allah
uAkbar! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba -Mu yang pandai ber-istighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Mahah hidup dan terus menerus mengurus mahluk -Nya.
Ayat Lain Adalah Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla Yang Menceritakan Tentang Seruan Hud Alaihis Shalatu Was Sallam kepada kaumnya agar ber-istighfar.
قال الله تعالى: ﴿وَيَٰقَوۡمِ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارٗا وَيَزِدۡكُمۡ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمۡ وَلَا تَتَوَلَّوۡاْ مُجۡرِمِينَ ٥٢ [هود:11]
"Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada -Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa". [Hud /11: 52].

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan : "Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman.
"Niscaya -Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu" [12].
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadan-keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do'a. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ayat
lain adalah firman Allah Shubhanahu wa ta’alla.
قال الله تعالى: ﴿وَأَنِ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُمَتِّعۡكُم مَّتَٰعًا حَسَنًا إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى وَيُؤۡتِ كُلَّ ذِي فَضۡلٖ فَضۡلَهُۥۖ وَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنِّيٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٖ كَبِيرٍ ٣﴾ [هود:3]
"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada   -Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan -Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat". [Hud/11:3]

Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Shubhanahu wa ta’alla Yang Maha kuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firman -Nya.
"Niscaya -Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu".

Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma adalah. 'Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian'. [13].
Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan :"Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukan -Nya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian". [14] Dan janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata :"Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah Shubhanahu wa ta’alla memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan".[15]
Dalil Lain Bahwa Istighfar Dan Taubat Adalah Diantara Kunci-Kunci Rizki.
Yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas Radhiyallah 'anhuma ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ أَكْثرَ الْاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجَا، وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَ جًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْشُ لاَ يَحْتَسِبُ » [17]
"Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla[16] niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka [17]".

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu,
Beliau mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terbersit dalam hatinya.
Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada!, sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.
[Disalin dari kitab Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, Penulis Dr. Fadhl Ilahi, Edisi Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Penerbit Darul Haq- Jakarta]
_______
Footnote.
[1].      Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata " tauba" hal. 76
[2].      Riyadhus Shalihin, hal. 41-42.
[3].      Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata "ghafara" hal. 362
[4].      Shahihul Bukhari, Kitabul Tafsir, surat Nuh 8/666
[5].
     Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat pula, Tafsirul Khazin, 7/154
[6].       Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417
[7].       Tafsir Ibnu Katsir, 4/449
[8].       Majadih bentuk tunggalnya adalah majdah yakni salah satu jenis bintang yang menurut bangsa Arab merupakan bintang (yang jika muncul) menunjukkan hujan akan turun. Maka Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan istighfar sama dengan bintang-bintang tersebut, suatu bentuk komunikasi melalui apa yang mereka ketahui. Dan sebelumnya mereka memang menganggap bahwa adanya bintang tersebut pertanda akan turun hujan, dan bukan berarti Umar berpendapat bahwa turunnya hujan karena bintang-bintang tersebut. (Tafsir Al-Khazin, 7/154)
[9].       Op.Cit 7/154. Lihat pula Ruh al-Ma'ani 29/72
[10].    Tafsir Al-Khazin, 7/154. Lihat pula, Ruhul Ma'ani, 29/73
[11].    Tafsir Al-Qurthubi, 18/302-303. Lihat pula Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123
[12].    Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51
[13].    Zaadul Masiir, 4/75
[14].    Tafsir Al-Qurthubi, 9/403. Lihat pula, Tafsir Ath-Thabari, 15/229 -230, Tafsir Al-Baghawi. 4/373, Fathul Qadir, 2/695 dan Tafsir Al-Qasimi, 9/63.
[15].    Adhwa'ul Bayan, 3/9
[16].    مَنْ أَكْشَرَ الْاِسْتِغْفَارَ Dalam riwayat lain disebutkan مَنْ لَزِمَ الْاِسْتِغْفَارَ "Barangsiapa menetapi - dalam riwayat lain - tidak meninggalkan istighfar". Lihat, Sunan Abi Daud, 4/267, Sunan Ibni Majah, 2/339. Dan maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi yaitu saat terjadinya maksiat atau adanya ujian atau ada orang yang penyakitnya terus menerus, maka sungguh dalam setiap nafas ia membutuhkan kepadanya (istighfar dan taubat). Karena itu Rasulullah ShallAllah Shubhanahu wa ta’allau 'alaihi wa sallam bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ وَجَدَ فِيْ صَحِيْفَتِهِ اسْتِغْفَارَا كَِشِيْرًا
"Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak". (Hadist Riwayat Ibnu majah dengan sanad hasan shahih). (Aunul Ma'bud, 4/267)
[17].    Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi miliknya ; Sunan Abi Daud, Abwabu Qiyamil Lail, Tafri'u Abwabil Witr, Bab Fil Istighfar, no. 1515, 4/267 ; Kitabus Sunan Al-Kubra, Kitabu Amalil Yaumi wal Lalilah, no 10290/2,6/118 ; Sunan Ibni Majah, Abwabul Adab, Bab Al-Istighfar, no. 3864, 2/339 ; Al-Mustadrak 'alash Shahihain, Kitabut Taubah wal Inabah, 4/292.
Sebagian ahli hadits menyatakan hadits ini dha'if karena salah satu periwayatnya (cacat). (Lihat, At-Talkhish, Al-Hafizd Adz-Dzahabi, 4/262 ; Aunul Ma'bud, 4/267 ; Dha'ifu Sunan Abi Daud, Syaikh Al-Albani, hal. 149) Tetapi sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : "Sanad hadits ini shahih" (Hamisy Al-Musnad, 4/55). Demikian sebagai jawaban atas apa yang dikatakan tentang salah seorang perawinya.

Tidak ada komentar