Hak Dan Kewajiban Dalam Kehidupan Berumah Tangga



Hak Dan Kewajiban Dalam Kehidupan
Berumah Tangga
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan kemenangan itu bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala. Dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya, Penolong orang-orang yang soleh. Dan aku bersaksi bahwa Muhamad adalah hamba dan utusan Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada keluarga, para shahabat sehingga hari kiamat kelak. Amma Ba’du:
Amma Ba’du. Wahai sekalian hamba Allah bertaqwalah kepada Allah, taatlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa agama adalah rukun utama dalam kesuksesan berumah tangga dan keberhasilan seseorang. Melihat kepada orang yang dipinang sebelum menjalankan aqad adalah salah satu sunnah yang agung yang telah dijelaskan di dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam sebuah haditsnya:
"Lihatlah kepadanya sebab hal itu lebih bagus dalam mengarahkan rumah tangga kalian menjadi rumah tanggga yang rukun”.[1]
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu berakta: Aku telah mendengar Rasulullah shallahu shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika dia mampu melihat doroangan apakah yang membuatnya menikahi perempuan tersebut maka hendaklah dia kerjakan”.[2]
Nash-nash ini menegaskan tentang kebolehan melihat wanita yang dipinang, sebab hal itu akan lebih mampu dalam menciptakan rumah tangga yang kuat dan rukun. Dan ini adalah salah satu bentuk kebaikan dan kesempurnaan syari’at Islam. Hanya kepada Allah kita melayangkan pujian dan pujaan kita. Sebagimana seorang lelaki diperbolehkan melihat kepada orang yang dipinangnya maka pihak wanitapun diperbolehkan melihat orang yang akan meminangnya jika aman dari segala bentuk fitnah, selama tidak ada khulwah dan peminang berazam untuk menikah dengan wanita yang akan dipinangnya.
Apabila akad nikah dan pergaulan suami istri telah halal maka bagi setiap mereka memiliki hak dan kewajban yang mesti dilakukan.
Di antara hak-hak istri adalah mahar. Mahar itu adalah milik wanita bukan ayahnya, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian ayah. Maha bagi seorang lelaki harus memberikan sesuatu kepada wanita. Allah Ta’ala berfirman:
قال الله تعالي: ﴿ وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً   ( النساء : 4 )
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerela". (QS. Al-Nisa’: 4)
Perintah ini ditujukan kepada para wali dan suami. Mahar ini pada hakekatnya adalah pemberian dari Allah yang telah diwajibkan untuk diserahkan kepada wanita guna menghibuur hati seorang wanita.
                Hak yang kedua adalah suami wajib memberikan nafkah kepadanya, baik makanan, minuman dan tempat tinggal, pengobatan dan apa-apa yang dibutuhkan oleh wanita, seprti pakaian dan yang lainnya.
Syari’at tidak menentukan jenis pakaian, makanan, minuman tertentu bagi wanita dan hal itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Perkara ini sangat tergantung pada keadaan suami, apakah keadaannya mudah atau sulit serta pemasukan dan gaji bulanan suami.
قال الله تعالي: ﴿ لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ( الطلاق : 7 )
" Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya." (QS. Al-Thalaq: 7)
Hak yang ketiga adalah agar suaminya menjaganya agar tidak terjerumus masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman:
قال الله تعالي: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ( الطلاق : 7 )
" Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. Al-Tahrim: 6)
Hal itu terwujud  dengan cara mengajarkan dan mendidiknya dengan pendidikan yang sesuai dengan syari’at dan menanamkan kepadanya semua nialai yang diwajibkan oleh syari’at. Istri harus diajarkan niali-nilai luhur yang diperintahkan oleh syari’at seperti menepati janji, berbuat baik dan dermawan.
Hak yang keemapt: Bersikap cemburu dan memeliharanya, menjaganya dari segala perkara yang mengnggunya baik pandangan lelaki asing dan yang lainnya. Selain itu, tidak membolekannya keluar bebas dengan memaki perhiasan atau keluar dengan aurat yang terbuka. Di antara hak seorang istri adalah memaafkan kekuarangan dan kesalahannya, tidak berlaku kasar jika berbuat salah akan tetapi kesalahan tersebut harus diperbaiki secara halus dan lunak dan kekhilafan tersebut harus dihilangkan dengan cara yang paling mudah dan baik.
Selain itu, wanita harus disikapi dengan rasa kasih sayang, menghargai pendapatnya mendengarkan ucapannya serta menghormati keluarganya. Sebab memuliakan keluarganya berarti memuliakan wanita tersebut. Tidak mencela keluarga, saudara dan kerabat istri sebab hal tersebut termasuk pelecehan terhadapnya.
                Adapun hak seorang suami terhadap istrinya adalah
Hak pertama taat kepada suami. Seorang istri harus taat kepada suaminya di dalam kebaikan. Sebab tuntutan kepemimpinan seorang lelaki adalah ketaatan istri terhadap suami dalam batas kemampuannya. Dari Hushain radhiallahu anhu bahwa bibi Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi beliau untuk suatu kebutuhan. Setelah selesai dari kebutuhannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: Apakah engkau memiliki suami?. Dia menjawab: Ya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya lagi kepadanya: Bagaimanakan sikapmu kepadanya?. “Aku tidak berpaling dari perintahnya kecuali perintah yang tidak mampu aku kerjakan”, Jawabnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menasehatnya: Perbaikilah sikapmu terhadapnya sebab dia adalah surga dan nerakamu.[3]
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apabila seorang wanita menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa yang wajib, menjaga kemaluannya, serta mentaati suaminya maka dikatakan kepadanya: Masukklah surga dari pintu manapun yang engkau sukai”.[4]
Seorang istri wajib mentaati suaminya dalam segala perkara yang dibolehkan oleh syara’ dan mampu dikerjakannya.
                Di antara hak seorang suami terhadap istrinya adalah agar seorang istri tidak mengizinkan seorangpun memasuki rumah suami kecuali dengan izin suaminya. Berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim: Tidak halal bagi seorang istri menjalankan puasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali dengan seizin suaminya dan tidak pula diizinkan memasukkan seorangpun di dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya”.[5]
                Di antara hak seorang suami terhadap suaminya adalah agar seorang wanita melihat ketaatan kepada suaminya lebih utama dan lebih besar dari ketaatan kepada kedua orang tuanya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hak siapakah yang paling besar bagi seorang istri: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Suaminya”.
                Di antara hak seorang suami terhadap istrinya adalah agar seorang wanita tidak keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya. Namun seorang suami tidak boleh melarang istrinya untuk berkunjung kepada kedua orang tuanya sebab hal itu bisa mengakibatkan terputusnya silaturrahmi dan menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan. Tindakan seperti ini tidak termasuk bergaul dengan seorang wanita dengan cara yang baik, seperti yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Maka seorang suami harus menjadi orang yang lunak, toleran dan mudah.
                Di antara hak seorang suami terhadap istrinya adalah tidak menuntutnya mengerjakan suatu perkara yang bisa membuatnya capek dan di luar kemampuannya. Rela dengan hal yang sedikit dan berterima kasih kepadanya.
                Di antara hak suami terhadap istrinya adalah agar sang istri berbuat baik kepada kedua orang tua suami, keluarga dan kerabat dekatnya. Sebab mereka wajib diperlakukan secara baik dan dimuliakan.

Khutbah Kedua
                Wahai saudaraku seiman………
                Banyak perkara yang menjadi pondasi bagi tegaknya kehidupan berkeluarga. Pada pondasi tersebut terbangun kehidupan suami istri, agar terhindar dari perceraian. Perakra yang pertama adalah:
Pertama adalah berpegang teguh pada keimanan yang merupakan pengikat yang paling kuat. Yaitu beriman kepada Allah dan hari akhir, takut kepada Allah yang selalu mengetahui apa-apa yang disembunyikan oleh hati, serta selalu bertaqwa dan muraqabah
Kepada Allah Ta’ala.
Iman  itu akan kuat dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan dan amal ibadah, menjaga dan tetap saling mengingatkan antara suami dan istri untuk menjalankannya. Renungkanlah apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhamad shallallahu alaihi wa sallam: "Allah memberikan rahmatnya kepada seorang suami yang bangun pada waktu malamnya untuk beribadah kemudian membangunkan istrinya untuk shalat, dan jika enggan sang suami memercikkan air pada wajah istrinya. Dan Allah memberikan rahmatNya kepada seorang istri yang bangun pada waktu malam lalu mendirikan shalat kemudian dia membangunkan suaminya untuk shalat malam. jika enggan, dia memercikkan air pada wajah suaminya”. HR. Al-Nasa’i: kitab Qiyamullail.
Di antara factor yang menciptakan hubungan suami istri menjadi harmonis adalah bergaul dengan pergaulan yang baik, hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika setiap indifidu dari suami istri mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Menuntut suatu yang sempurna di dalam rumah tangga ataupun keluarga adalah perkara yang yang mustahil, dan berangan-angan untuk mendapat sifat yang sempurna pada pasangan suami istri adalah perkara yang sulit bisa didapatkan dalam tabi’at manusia.
Di antara cermin kesempurnaan akal, kedewasaan akan dan cara berfikir kesanggaupan diri untuk menempatkan jiwa untuk menerima sebagian kekurangan pasangan dan tidak menghiraukan segala perkara yang membuat Susana hidup menjadi keruh, lelaki adalah kepada keluarga, dituntut lebih banyak bersabar melebihi istrinya, dan sebagaimana diketahui bahwa wanita adalah makhluk yang lemah dalam struktur tubuh dan prilaku, jika dituntut sempurna dalam segala hal maka dia lemah dalam segala perkara, lalu memaksakan diri untuk meluruskannya akan mengakibatkan rumah tanggan menjadi patah, patahnya rumah tangga adalah perceraian.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang tidak  pernah berbicara karena dorongan hawa nafsu pernah bersabda: "…berwasiatlah kepada wanita itu dengan wasiat yang baik, sebab mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk bagian yang paling atas, jika engkau memaksakan diri untuk meluruskannya maka engkau mematahkannya, namun jika engkau membiarkannya maka dia tetap bengkok, maka berikanlah wasiat yang baik kepada wanita”. HR. Bukhari, kitabun nikah.
Bagiamana mungkin ketenangan bisa terwujud, ketentraman dan kasih sayang tidak akan bisa tercipta apabila kepala keluarga masih mempertahankan sifatnya yang kasar, bergaul dengan cara yang buruk, berpandangan sempit, bodoh, sekan buta karena tindakan pribadinya yang selalu tergesa-gesa dan suka marah, terlalu banyak mengumbar kata-kata yang buruk dan kotor. Padahal sudah dimaklumi bahwa bergaul yang baik dan kebahgaiaan tidak terwujud kecuali pada sikap yang lembut, dan menjauhkan diri dari prasangka yang buruk dan kecurigaan yang tidak ada dasarnya. “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang berlaku baik terhadap keluarganya, dan saya adalah orang yang terbaik bagi keluarga saya”. HR. Al-Turmudzi, kitabul manaqib.
Di antara perkara yang membuat keruhnya kehidupan rumah tangga adalah perselisihan yang terjadi secara terus menerus, kita tidak menafikan akan adanya perselisihan dalam kehidupan berumah tangga, dan tidak pula menafikan adanya titik temu yang telah disepakati sejak awal terbangunnya kehidupan berumah tangga. Dan jangan pula kita berpandangan bahwa adanya perbedaan antara suami dan istri yang tidak bisa terselesaikan kecuali setelah melalui masa yang panjang, setiap perbedaan kecuali perbedaan karena cinta dan benci adalah perbedaan yang mudah diselesaikan, dan yang terpenting adalah rasa lega dan puas, sebab itulah modal utama yang meliputi hati dengan rasa berkecukupan.
Saudarakau seiman. Terkadang kehidupan berumah tangga diliputi oleh beragam problematika dan perbedaan. Terkadang factor penyebabnya bersifat internal dan  terkadang pula eksternal.
Bisa jadi perselisihan kehidupan rumah tangga karena campur tangan keluarga saumi atau istri atau salah sorang dari kerabat mereka berdua, bahkan problematika pada sebagian orang tua dan keluarga besar orang-orang tertentu memuncak sampai pada tingkat di mana mereka harus menguasai perkara kehidpan orang lain, sehingga mengakibatkan mereka saling memperkarakan problematika mereka pada pengadilan. Akhirnya, rahasia keluarga tercemar, tirai yang menutupi rumah tangga terbungkar, padahal penyulutnya adalah sangat remeh, faktornya sangat kecil namun karena cara menyikapi yang salah, jauh dari pencerminan sikap yang bijaksana, tergesa-gesa dalam bertindak, dan larut dalam isu dan perkataan yang tidak pantas.
Terkadang, masalah rumah tangga tersebut disebabkan karena kebodohan terhadap hokum-hukum syara’ yang bersifat toleran, kebiasaan-kebiasaan buruk yang semakin menumpuk, fanatik dan ego terhadap pandapat pribadi. Sebagian suami mengira bahwa mengancam istri dengan kata cerai adalah solusi bagi problematika yang terjadi dalam kehidupan suami istri dan keluarga, tidak mengetahui cara lain kecuali kata cerai dalam memasuki kehidupan berumah tangga, atau ketika ingin keluar dari masalah, atau saat dalam perintah dan larangannya.
Bahkan sebagian orang menceritakan bahwa dia telah menceraikan istrinya karena perkara yang kecil dan remeh, yaitu dalam undangan walimah atau pertemuan tertentu atau yang lainnya. Orang ini tidak menyadari bahwa dirinya tidak menghormati perjanjian berat yang telah diikrarkannya dan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan belaka, dan karena tindakannya tersebut berarti dirinya telah menghancurkan rumah tangga dan menciptakan kerugian bagi keluarganya.
Wahai saudaraku seiman. Padan saat tanda-tanda perselisihan, keengganan istri dan percekcokan itu terjadi maka ancaman dengan kata-kata cerai bukanlah solusi. Hal yang penting adalah bersabar, tabah dan mengukur perbedaan tersebut secara logis. Namun pada saat terjadi keretakan rumah tangga dan sang istri menampakkan keengganannya melanjutkan kehidupan rumah tangga, maka solusi bagi masalah ini di dalam ajaran Islam sangat jelas, dan tidak disebutkan padanya kata cerai baik secara jelas atau isyarat:
قال الله تعالي: ﴿ تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً ( النساء : 34 )
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya". ( QS. Al-Nisa’: 34)
Maka obatnya adalah dengan cara memberikan peringatan kepadanya, arahan dan penjelasan  akan kesalahannya, mengingatkannya hak suami istri yang mesti dipenuhi serta mengingatkannya dengan murka dan amarah Allah.
                Terkadang bisa jadi meninggalkan wanita pada ranjang tidur dan melarangnya bertindak tertentu sebagai balasan atas sikapnya angkuh dan menentang.
Perhatikanlah ungkapan Al-Qur’an yang menyebutkan untuk menjauhi istri di ranjang tidur, bukan menjauhkan wanita dari ranjang tidur. Perintah tersebut menegaskan bahwa dituntut untuk menjauhi wanita di ranjang tidur bukan di rumah atau di hadapan keluarga atau anak-anak.
                Terkadang sikap kasar dank eras bisa bermanfaat bagi orang tertentu. Ada sebagian orang yang tidak bisa dihadapi dengan pergaulan yang baik dan nasehat yang lembut, sehingga terkadang sikap keras bisa menjadi obat yang manjur. Hal ini direalisasikan jika tindakan tersbut bisa mengembalikan keeratan rumah tangga, menciptakan rasa kasih dan sayang. Maka sikap seperti ini lebih baik dari pada perceraian.
                Jika seorang istri takut jika suaminya menjauhinya dan berpaling dari dirinya maka Al-Quranul karim telah memberikan kita suatu solusi dengan firman Allah Ta’ala:
قال الله تعالي: ﴿ وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ( النساء : 128 )
"Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz (durhaka terhadap suaminya), atau sikap tidak acuh trehadap suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (QS. Al-Nisa’: 128)
Maka solusinya adalah cara damai dan keinginan kedua belah pihak untuk berdamai, bukan dengan  perceraian dan memutuskan hubungan perkawinan, bisa jadi penyelesaiannya berupa kesepakatan salah seorang dari kedua belah pihak untuk membatalkan tuntutan masing-masing baik dari sisi harta atau kepentingan pribadi guna menjaga kelangsungan rumah tangga.
قال الله تعالي: ﴿ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ( النساء : 19 )
" Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."  QS. Al-Nisa’: 19.
Di manakah kaum muslimin terhadap tuntunan syari’at yang agung ini?. Kenapa kita tidak menunjuk dua orang yang adil untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kita, mengapa justru kita lari dari solusi yang semestinya ini, apakah kita tidak lagi ingin memperbaiki keretakan keluarga atau justru kita ingin agar keluarga pecah dan anak-anak tercerai beraikan?...sungguh realita bodoh dan zalim dan jauh dari rasa takut kepada Allah, reliata yang menjauhi hokum-hukum Allah dan mempermainkan ayat-ayatNya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban bahwa Rasulullah shallallahu aliahi wa sallam bersabda: Mengapa salah seorang di antara kalian terlalu berani bermain dengan hokum-hukum Allah, dia berkata: Aku telah menceraikan istriku, aku telah merujuk istriku, apakah kalian mempermainkan  batasan-batasan hokum Allah sementara saya  masih hidup di tengah-tengah kalian semua?.
                Selain itu, bagi seorang wanita tidak diperbolehkan keluar dari rumah suaminya menuju rumah keluarganya saat terjadi percekcokan antara mereka berdua, hendaklah dia menetap di rumah suaminya, semoga Allah memperbaiki keadaan keduanya. Hendaklah bagi wanita tetap tinggal di dalam rumah suaminya walaupun terjadi talak raja’i.
                Ya Allah berikanlah kami dari istri-istri kami dan keturunan kami penyejuk mata, dan jagalah kehidupan kami dan istri-istri kami dari keburukan dengan penjagaanMu yang indah, dan curahkanlah rasa tenang dan tentram di dalam jiwa-jiwa kami. Ya Allah perbaikilah kehidupan keluarga kami dan curahkanlah rasa kasih sayang dalam kehidupan kami….


[1] HR. Al-Turmudzi: Kitabun nikah. Ibnu Majah: Kitabunnikah dan Ahmad: 17688.
[2] Abu Dawud kitabun Nikah dan Ahmad; 14176.
[3] HR. Imam Ahmad di dalam al musnad
[4] HR. Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya
[5] HR. Bukhari, kitabun Nikah.

Tidak ada komentar