Hukum Mengqadha Puasa Ramadhan



Hukum Mengqadha Puasa Ramadhan

            Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Kuat lagi Maha Mengalahkan, Maha Suci untuk bisa didapatkan oleh suara hati dan mata telanjang. Menentukan setiap makhluk dengan tanda kefakiran. Menampakan bekas-bekas qudrat-Nya dengan pergantian malam dan siang. Mendengar ratapan orang sakit berat (menahun) yang mengadukan penderitaannya, melihat gerakan semut hitam di malam gelap gulita di atas gua, mengetahui isi hati yang tersembunyi dan rahasia yang tersimpan. Sifat-Nya sama seperti Dzat-Nya dan yang menyerupakan (dengan makhluk) adalah kafir. Kami mengakui sesuatu yang Dia sifatkan untuk Dzat-Nya menurut yang ada di dalam al-Qur`an dan hadits:
قال الله تعالي: { أَفَمَنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ تَقۡوَىٰ مِنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٍ خَيۡرٌ أَم مَّنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٖ فَٱنۡهَارَ بِهِۦ فِي نَارِ جَهَنَّمَۗ }[التوبة: 109]
Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?. (QS. At-Taubah:109)
Aku memuji-Nya terhadap kesenangan dan kesusahan. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, sendirian menciptakan dan mengatur:
قال الله تعالي: { وَرَبُّكَ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخۡتَارُۗ }[القصص: 68]
Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. (QS. al-Qashash:68)
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang paling mulia dari para nabi yang suci. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi shalawat kepadanya, dan kepada Abu Bakar temannya di dalam gua, kepada Umar ra yang menekan orang-orang kafir, kepada Utsman ra yang shahid di dalam rumah, dan kepada Ali ra yang beribadah di waktu sahur, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, terutama kaum Muhajirin dan Anshar.
Saudara-saudaraku, kita telah membicarakan tentang tujuh golongan manusia dalam puasa dan ini adalah sisanya:
            Bagian Ke Delapan, wanita haid, ia haram puasa dan haram hukumnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب لِلُبِّ الرجل الحازم من إحداكن ". قلن: وما نقصان عقلنا وديننا يا رسول الله قال: " أليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن: بلى. قال: " فذلك نقصان عقلها أليس إذا حاضت لم تُصَلِّ ولم تصم قلن: بلى. قال: " فذلك من نقصان دينها)) [متفق عليه]
"Aku tidak melihat dari wanita yang kurang akal dan agama lebih baik bagi akal laki-laki yang kuat dari salah seorang darimu.' Kami bertanya, 'Apakah kekurangan akal dan agama kami, wahai Rasulullah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Bukanlah persaksian wanita sama seperti setengah persaksian laki-laki? Kami menjawab: 'Bahkan.' Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Itulah kekurangan akalnya. Bukankah apabila wanita sedang haid ia tidak shalat dan tidak puasa? Kami menjawab: 'Bahkan.' Beliau bersabda: 'Itulah kekurangan agamanya."Muttafaqun ‘alaih ([1]).
Haid adalah darah biasa yang keluar di hari-hari tertentu. Dan apabila nampak haid darinya, sedangkan ia puasa, sekalipun sebelum maghrib beberapa saat niscaya puasanya batal dan ia wajib mengqadhanya kecuali ia sedang puasa sunnah maka mengqadhanya sunnah, tidak wajib.
            Apabila ia suci dari haid di siang hari bulan Ramadhan, tidak sah puasanya di hari yang tersisa karena ia telah berbuka di permulaan siang. Apakah ia wajib menahan diri dari makan dan minum di waktu yang tersisa? Para ulama berbeda pendapat tentang hal itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam masalah musafir yang datang di siang hari.
            Apabila ia suci di malam hari bulan Ramadhan, sekalipun hanya sebentar niscaya ia wajib puasa karena ia adalah orang yang wajib puasa dan tidak ada yang menghalanginya berbuka maka ia harus puasa, dan puasanya sah pada saat itu sekalipun ia belum mandi kecuali setelah terbit fajar, seperti orang yang junub apabila ia puasa dan belum mandi kecuali setelah terbut fajar, maka puasanya sah berdasarkan riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha:
 (( كان النبي صلى الله عليه وسلم يصبح جنبا من جماع غير احتلام ثم يصوم في رمضان )) [متفق عليه]
 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam junub di pagi hari (setelah terbit fajar) karena jima', kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa Ramadhan."Muttaaqun ‘alaih ([2]).
            Wanita nifas sama seperti wanita haid dalam semua masalah di atas. Keduanya wajib mengqadha sejumlah puasa yang dia tinggalkan berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: {فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ}[البقرة: 185]
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.. (QS. al-Baqarah:185)
dan Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya:
 ((ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة قالت: كان يصيبنا ذلك فَنُؤْمَر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة)) [رواه مسلم]

"Kenapa wanita haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?  Ia menjawab: 'Kami mengalami hal itu, maka kami disuruh mengqadha puasa dan tidak disuruh mengqadha shalat." ([3])
            Bagian ke Sembilan, Apabila wanita sedang menyusui atau hamil dan merasa khawatir terhadap dirinya atau anaknya kalau berpuasa, maka ia boleh berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik al-Ka'by radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, 'Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة وعن المسافر والحامل والمرضع الصوم أو الصيام)) [رواه الخمسة]
'Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan (meringankan) dari musafir setengah  shalat, dan (meringankan) puasa dari musafir, hamil dan menyusui."HR Imam yang lima dan ini adalah lafazh Ibnu Majah. ([4]) Dan ia wajib mengqadha sejumlah hari yang dia tidak puasa apabila ia sudah bisa melakukannya.
            Bagian Ke Sepuluh, Orang yang perlu berbuka untuk menolak bahaya kepada orang lain, seperti menyelamatkan orang yang dipelihara: manusia yang haram dibunuh, dari tenggelam, atau kebakaran atau keruntuhan atau semisalnya. Apabila tidak bisa menolongnya kecuali dengan menguatkan fisik dengan makan dan minum niscaya ia boleh berbuka. Bahkan, saat itu ia harus berbuka karena menyelamat yang ma'shum (yang dilindungi, dijaga darahnya) dari kebinasaan adalah wajib, dan sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya maka hukumnya wajib dan ia wajib mengqadha sejumlah hari yang dia berbuka.
            Dan contohnya adalah seperti orang yang perlu berbuka supaya kuat berjihad fi sabilillah dalam memerangi musuh, maka ia boleh berbuka dan mengqadha sejumlah hari yang dia berbuka. Sama saja saat safar atau di dalam negerinya apabila musuh datang menyerang, karena hal itu termasuk mempertahankan kaum muslimin dan meninggikan kalimah Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, 'Kami melakukan safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Makkah dan kami puasa, lalu kami singgah di satu tempat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya kamu sudah mendekati musuh dan berbuka lebih kuat bagimu.' Maka ia menjadi rukhshah (keringanan), maka dari kami ada yang puasa dan ada yang berbuka. Kamudian kami singgah lagi di satu tempat yang lain, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya kamu menghadapi musuh di pagi hari dan berbuka lebih kuat bagimu, maka berbukalah.") Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi 'azimah (perintah yang kuat), maka kami berbuka." ([5]) Dalam hadits ini menjadi isyarat kuat bahwa berjihad merupakan sebab tersendiri selain safar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa penyebab berbuka adalah supaya kuat berjuang melawan musuh, bukan safar, karena itulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh mereka berbuka di tempat persinggahan yang pertama.
            Dan semua yang boleh berbuka karena sebab yang telah disebutkan, maka sesungguhnya tidak boleh diingkari bila ia berbuka secara terang-terangan, apabila penyebabnya jelas seperti sakit dan orang tua yang tidak mampu berpuasa. Adapun jika penyebab bukanya samar (tidak jelas, tidak nyata) seperti wanita haidh dan yang menyelamatkan orang lain dari kebinasaan maka ia berbuka secara rahasia dan tidak terang-terangan agar tidak menyeret tuduhan kepada dirinya, dan supaya orang bodoh tidak terperdaya maka ia mengira bahwa berbuka hukumnya boleh tanpa uzur.
            Dan semua orang yang wajib mengqadha di bagian sebelumnya maka ia mengqadha sejumlah hari yang ia berbuka, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: { فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ}[البقرة:185 ]
...maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.. (QS. al-Baqarah:185)
            Jika ia berbuka sebulan penuh, ia wajib mengqadha semuanya. Jika bulan genap tiga puluh hari, ia harus membayar tiga puluh hari, dan jika dua puluh sembilan, ia harus membayar dua puluh sembilan hari saja.
            Yang utama adalah segera mengqadha saat sudah tidak ada lagi halangan, karena ia lebih segera kepada kebaikan dan membebaskan jaminan.
            Boleh menundanya hingga di antaranya dan  Ramadhan kedua masih ada sejumlah hari yang wajib di qadhanya, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: {فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ 185}[البقرة: 185]
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah:185)
Dan termasuk kesempurnaan kemudahan adalah boleh menunda mengqadhanya. Apabila ia punya kewajiban sepuluh hari dari bulan Ramadhan, ia boleh menundanya hingga di antaranya dan Ramadhan berikutnya tersisa sepuluh hari.
            Tidak boleh menunda qadha hingga Ramadhan kedua tanpa uzur, berdasarkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anhu, 'Aku punya kewajiban puasa Ramadhan, maka aku tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Sya'ban. Karena menundanya hingga Ramadhan kedua menyebabkan menumpuknya kewajiban puasa, bisa jadi ia tidak mampu lagi atau meninggal. Dan karena puasa merupakan ibadah yang berulang-ulang, maka tidak boleh menunda yang pertama hingga waktu yang kedua, seperti shalat. Jika halangannya terus berlangsung hingga ia wafat maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepadanya mengqadha beberapa hari yang lain dan ia tidak bisa melakukannya, maka gugurlah kewajiban itu darinya, seperti orang yang wafat sebelum masuk bulan Ramadhan, ia tidak wajib melaksanakannya. Jika ia bisa melakukannya, lalu ia lalai darinya hingga meninggal dunia, maka walinya wajib mengqadha untuknya sejumlah hari yang ia lalai darinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه)) [متفق عليه]
"Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia punya kewajiban puasa, niscaya walinya berpuasa menggantikannya."Muttafaqun ‘alaih. ([6]))
            Walinya adalah ahli warisnya atau karib kerabatnya. Dan jamaah (orang banyak) boleh mengqadha puasanya sejumlah hari yang dia tinggalkan dalam satu hari. Al-Bukhari rahimahullah berkata, al-Hasan rahimahullah berkata: 'Jika tiga puluh orang mengqadha puasanya dalam satu hari hukumnya boleh.' Jika ia tidak mempunyai wali atau ia mempunyai wali yang tidak ingin puasa menggantikannya, niscaya diberikan makanan dari peninggalannya, satu hari untuk satu orang miskin sejumlah hari yang ia harus mengqadhanya. Setiap orang miskin satu mud burr (gandum), dan timbangannya dengan gandum yang baik adalah (1/2 kg. 10 gr.) setengah kg. + sepuluh gr.
            Saudaraku, inilah bagian manusia dalam hukum-hukum puasa, Allah subhanahu wa ta’ala mensyari'atkan padanya bagi setiap bagian yang sesuai kondisi dan tempat, maka kenalilah hikmah Rabb-mu dalam syari'at ini, syukurilah nikmat-Nya kepadamu dalam kemudahan-Nya, dan mintalah keteguhan dalam agama ini hingga wafat.
            Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang menghalangi kami berzikir kepada-Mu. Maafkanlah kekurangan kami dalam taat dan syukur kepada-Mu. Berikanlah kami cahaya petunjuk kepada-Mu. Ya Allah, berikanlah kami kenikmatan munajat kepada-Mu. Mudahkanlah kami menempah jalan ridha-Mu. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kesalahan kami, sadarkanlah kami dari kealfaan, dan perbaikilah tujuan kami dengan kemulian-Mu. Ya Allah, giringlah kami dalam golongan orang-orang yang bertaqwa dan hubungkanlah kami dengan hamba-hamba-Mu yang shalih. Semoga rahmat dan kesejahteran Allah subhanahu wa ta’ala selalu tercurah kepada kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.


([1]) HR. Al-Bukhari 298 dan Muslim 80.
([2])  HR. Al-Bukhari 1825, Muslim 1109, Abu Daud 2388, Ibnu Majah 1704, Ahmad 642, ad-Darimi 1725.
([3])  HR. Muslim 335, at-Tirmidzi 130, an-Nasa`i 2318, Abu Daud 262, Ibnu Majah 631,  Ahmad 6/232, ad-Darimi 986.
([4]) HR. At-Tirmidzi 715, an-Nasa`i 2275, Abu Daud 2408, Ibnu Majah 1667, Ahmad 4/347, ad-Darimi 1713.
([5])  HR.Muslim 1120 dan Abu Daud 2406.
([6])HR. Al-Bukhari 1851, Muslim 1147, Abu Daud 2400, dan Ahmad 6/69.

Tidak ada komentar