Memujudkan Rumah Tangga Bahagia




Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Pembicaraan tentang pernikahan sudah sering berulang. Namun, apabila kita membaca tulisan-tulisan ilmiah dari orang yang berilmu -baik dari ulama maupun penuntut ilmu syar’i- tentang masalah ini, sepertinya ada saja sisi yang menarik untuk disampaikan kepada Pembaca dan perlu diingatkan kepada insan yang akan atau telah melangsungkan pernikahan. Untuk yang akan menikah, maka semoga bisa menjadi bahan renungan sebelum melangkah. Adapun bagi yang sudah menikah, diharap bisa menjadi bahan introspeksi untuk mempertahankan apa yang telah dijalani dan dapat membawa bahtera ke ‘pulau bahagia’ yang diimpikan. Tulisan di bawah ini pun idenya berawal dari hasil membaca artikel yang cukup panjang tentang rumah tangga dan pernikahan karya asy-Syaikh Salim al-‘Ajmi hafizhahullah yang dimuat di Muntadayat al-Ukht as-Salafiyyah, sebuah situs internet yang khusus ditujukan untuk para muslimah. Muncul rasa ingin berbagi kepada pembaca muslimah dengan menengadahkan kedua tangan memohon kepada Rabbul Alamin agar dianugerahi keikhlasan dalam berbuat, kami pun menyusun nukilan-nukilan dari tulisan tersebut ditambah narasumber yang lain. Semoga bisa memberi manfaat untuk sesama, ketahuilah wahai muslimah!
Berdirinya sebuah rumah yang dipenuhi kebahagiaan adalah tujuan yang ingin dicapai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh setiap orang. Rumah adalah tempat berdiam yang selalu dituju setelah diterpa kelelahan dan kepenatan di luar sana. Apabila seseorang pulang ke rumahnya, lalu didapatinya rumah yang tenang dan dirasakannya ketenteraman di dalamnya, berarti kebahagiaan ada bersamanya. Betapa banyak rumah yang kecil dan sempit, namun kebahagiaan menjadikannya luas lagi lapang.
Sebaliknya, betapa banyak kediaman yang besar dan luas, namun kegersangan menjadikannya lebih sempit daripada lubang jarum. Tidak ada keinginan penghuninya selain meninggalkan rumah tersebut. Tidak ada kebetahan berdiam di dalamnya. Mereka berusaha mengobati rasa sempit mereka dengan lari dari sebab-sebabnya. Ternyata, rumah mereka telah ‘roboh’ diempas oleh badai kesengsaraan
, untuk mewujudkan sebuah ‘rumah bahagia’, sudah merupakan keniscayaan seorang lelaki menggandeng tangan seorang wanita untuk hidup bersamanya di rumah tersebut dalam ikatan yang suci. Kebersamaan ini merupakan tujuan agung, yang dengannya terwujud kasih sayang, kedekatan,  dan persahabatan. Kebersamaan dalam nikah termasuk kenikmatan terbesar yang diberikan oleh Allah Shubhanahu wata’alla kepada para hamba. Dengannya, dihasilkanlah ketenangan yang dapat memenuhi hati sepasang insan.
Sungguh, tidak ada kebersamaan insan yang menyamai pernikahan. Karena itulah, Allah Shubhanahu w ata’alla berfirman mengingatkan nikmatnya tersebut, sementara Dia adalah Dzat yang paling benar ucapan -Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan -Nya; -Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri-diri kalian, agar kalian merasakan ketenangan kepadanya dan Dia jadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sungguh yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (ar-Rum: 21).
Perhatikanlah. Di dalam ayat di atas Allah Shubhanahu wata’alla menyebutkan dengan lafadz  لتسكنوا إليها )  (yang berarti “agar kalian merasakan ketenangan kepadanya”, tidak dengan lafadz لتسكنوا إليها )  ( (sakan ma’a) karena sakan ma’a (bersama) sesuatu bisa disertai kecintaan kepadanya dan bisa pula tidak. Adapun sakan ila (kepada) sesuatu mengandung makna yang lebih besar daripada kedekatan, cinta, kecondongan, dan ketenangan.
Sepanjang apa pun pencarian seseorang dalam hidupnya guna beroleh teman yang dapat membuatnya tenang dan tenteram jiwanya saat berdekatan, dia tidak akan mendapatkan teman yang seperti seorang istri. Sebaliknya, seorang wanita pun tidak akan beroleh teman seperti suami. Inilah fitrah insan yang kita tidak bisa lari dan lepas darinya. Allah Shubhanahu wata’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿  هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِيفٗا فَمَرَّتۡ بِهِۦۖ فَلَمَّآ أَثۡقَلَت دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحٗا لَّنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ١٨٩ [ الأعراف : ١٨٩ ] 
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu (Adam) dan dari jiwa yang satu itu Dia jadikan pasangannya (Hawa) agar si jiwa yang satu merasa tenang dengan keberadaan pasangannya.” (al-A’raf: 189).
Seandainya Allah Shubhanahu w ata’alla menjadikan anak Adam itu seluruhnya laki-laki dan dijadikan -Nya perempuan mereka dari jenis yang lain, bukan jenis manusia, mungkin dari jenis jin atau hewan, niscaya tidak mungkin terjalin kedekatan di antara mereka, yang terjadi justru yang satu akan lari menjauh dari yang lain. Di samping menjadikan pasangan manusia adalah manusia juga, pria berpasangan dengan wanita sebagai istrinya, Allah Shubhanahu wata’alla juga menyempurnakan nikmat -Nya kepada anak Adam dengan ditumbuhkan -Nya rasa cinta dan kasih sayang di antara suami istri tersebut. Seorang lelaki tetap menahan seorang wanita dalam ikatan pernikahan dengannya, bisa jadi karena dia mencintai istrinya tersebut, atau dia menyayanginya dengan adanya anak yang terlahir dari si istri, atau karena istrinya butuh kepadanya untuk memperoleh  infak/belanja, atau adanya kedekatan di antara keduanya. (Tafsir Ibni Katsir, 6/171).
Siapa yang merenungkan hal ini niscaya dia akan berusaha dengan serius mencari belahan dirinya yang hilang. Barangkali, belahan jiwanya bisa didapatkan pada seseorang yang menenteramkan pandangan matanya, menenangkan jiwanya, dan membahagiakan dirinya. Sesuatu yang sekian lama dirasakannya sebagai ruang yang belum terisi dalam hatinya. Tatkala pada akhirnya dia mengakhiri kesendiriannya dengan menikah, tertutuplah kekosongan ruang tersebut. Kini, telah ada yang mengisi kebahagiaan hatinya. Saat seorang lelaki yang saleh mencari tambatan hatinya, tentu tidak pernah lupa menghadirkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam yang mulia:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتاَعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ   » [ رواه مسلم ]

“Dunia itu perhiasan1 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim no. 3638 dari Abdullah ibnu Amr ibnul Ash).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, dunia berikut isinya tidak lain hanyalah kesenangan dan perhiasan. Sebaik-baik kesenangan yang bisa dinikmati oleh seorang hamba di dunia ini adalah wanita salehah, yang akan menjadi perhiasan bagi rumahnya. Apabila dia memandangnya, dia merasa senang. Apabila dia pergi, si wanita akan menjaga dirinya untuknya dan menjaga hartanya. Karena itulah, seorang penyair Arab berkata,

أَفْضَلُ مَا نَالَ الْفَتَى بَعْدَ الْهُدَى وَالْعَافِيَةِ
قَرِيْنَةٌ مُسْلِمَةٌ عَفِيْفَةٌ مُوَاتِيَةٌ

Yang paling utama yang diperoleh seorang pemuda setelah petunjuk dan afiah adalah teman muslimah yang menjaga kehormatan dirinya

Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Beliau menyatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ثلَاَثٌ مِنَ السَّعَادَةِ وَثَلاَثٌ مِنَ الشَّقاوة. فَمِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ تَرَاهَا تُعْجِبُكَ، وَتَغِيْبُ فَتَأْمَنَهَا عَلَى نَفْسِهَا وَمَالِكَ، وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ وَطِيْنَةٌ فَتُلْحِقُكَ بِأَصْحَابِكَ، وَالدَّارُ تَكُوْنُ وَاسِعَةً كَثِيْرَةَ الْمَرَافِقِ؛ وَمِنَ الشَّقَاوَةِ: الْمَرْأَةُ تَرَاهَا فَتَسُوؤُكَ، وَتَحْمِلُ لِسَانَهَا عَلَيْكَ، وَإِنْ غِبْتَ عَنْهَا لَمْ تَأْمَنْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَمَالِكَ، وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ قُطُوْفًا، فَإِنْ ضَرَبْتَهَا أَتْعَبَتْكَ، وَإِنْ تَرَكَهَا لَمْ تُلْحِقْكَ بِأَصْحَابِكَ، وَالدَّارُ تَكُوْنُ ضَيِّقَةً قَلِيلَةَ الْمَرَافِقِ» [ رواه الحاكم ]
“Tiga perkara termasuk kebahagiaan dan tiga perkara termasuk kesengsaraan. Yang termasuk kebahagiaan adalah wanita salehah, yang apabila engkau lihat akan mengagumkanmu, apabila engkau pergi meninggalkannya engkau merasa aman dari (pengkhianatan/perselingkuhan) nya (karena dia menjaga dirinya untukmu) dan aman hartamu (karena dia menjaga hartamu). (Yang kedua) tungganganyang jinak/tangkas (enak ditunggangi) sehingga dia menyusulkanmu dengan teman-temanmu (tidak membuatmu tertinggal dari rombongan), dan (yang ketiga) rumah yang luas lagi banyak ruangannya.
Termasuk kesengsaraan adalah istri yang apabila engkau melihatnya tidak menyenangkanmu, lisannya menyakitimu, apabila engkau pergi meninggalkannya engkau tidak merasa aman dari pengkhianatannya dan tidak aman hartamu (karena ia tidak menjaganya, bahkan berkhianat dalam hal dirinya dan harta suami). (Yang kedua) tunggangan yang lambat, tidak nyaman dinaiki. Apabila engkau memukulnya, dia akan membuatmu capek, namun apabila engkau biarkan, dia tidak bisa menyusulkanmu dengan teman-temanmu (membuatmu tertinggal dari rombongan). (Yang ketiga) rumah yang sempit lagi sedikit ruangannya.” (HR. al-Hakim 2/162, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1047)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam yang utama, sekaligus saudara misan dan menantu beliau, pernah berkata,
“Termasuk kebahagiaan seorang lelaki apabila ia memiliki istri yang salehah, anak-anak yang berbakti, saudara-saudara yang mulia, dan tetangga yang baik, ditambah lagi rezekinya bisa diperoleh di negerinya sendiri (tidak perlu merantau untuk mencari rezeki).”
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radiyallahu ‘anhu:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَلآ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ؟ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَها أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ» [رواه أبو داود]
“Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki? Yaitu istri salehah yang apabila dipandang akan menyenangkannya, apabila diperintah akan menaatinya, dan apabila ia pergi si istri akan menjaga dirinya untuk suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 1417, dinyatakan sahih menurut syarat Muslim dalam al-Jami’ush Shahih 3/57)
Ketika Umar ibnul Khaththab
radiyallahu ‘anhu menanyakan harta terbaik yang dimiliki seorang insan, Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam menjawab:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لِيَتَّخِذَ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْأَخِرَةِ » [ رواه ابن ماجة ]

“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang membantunya dalam urusan akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibni Majah)
Merupakan kemestian bagi seorang wanita, apabila datang seorang lelaki kepada walinya, hendaknya ia mem
perhatikan kebaikan agama dan akhlak si lelaki tersebut. Hal ini karena orang yang diterimanya sebagai teman hidupnya nanti adalah surga dan nerakanya. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam kepada bibi Hushain ibnu Mihshan kala mendorongnya untuk membaikkan pergaulannya terhadap suaminya:
“Dia adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah hlm. 285)
Sungguh, termasuk kebahagiaan terbesar bagi seorang wanita apabila dianugerahi suami yang saleh, yang menjadi pelipur laranya, teman berbagi suka dan derita, yang selalu melapangkan diri untuk menolong pekerjaannya, menjadi penopang yang kuat dalam hidupnya, yang melindunginya saat dia merasa takut, yang mengisi harinya dengan kasih sayang dan kelembutan.
Siapa gerangan yang tak hendak memiliki rumah tangga bahagia, yang dipenuhi mawaddah wa rahmah? Setiap insan yang berakal lurus tentu mendambakannya. Islam telah memberikan aturan yang sempurna dan kiat-kiat jitu untuk mewujudkannya, sebelum membinanya, di saat menjatuhkan pilihan, dan dalam perjalanan membinanya. Seorang lelaki dan seorang wanita yang telah memutuskan untuk melangkah ke kehidupan orang dewasa, hendaknya menyadari bahwa mereka menikah dengan anak manusia yang sebagaimana dimaklumi tidak ada yang sempurna. Bahkan, manusia adalah tempat salah dan dosa, seperti kata Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam,

“Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 4515 dan al-Misykat no. 2341)
Seorang lelaki tidaklah menikah dengan bidadari yang sempurna. Seorang wanita tidak pula dinikahi oleh pria yang sesuci malaikat. Oleh karena itu, hendaknya setiap pihak menyadari bahwa dalam perjalanan rumah tangga, masing-masing akan mendapatkan kekurangan dan kesalahan dari pasangannya. Karena itulah, kehidupan dua anak manusia yang semula tidak saling mengenal, kemudian bersatu dalam sebuah atap, sebuah kamar, bahkan satu selimut, tidak menutup kemungkinan akan muncul kesalahpahaman. Ini adalah suatu kewajaran orang yang hidup bersama. Pikirkanlah wahai para suami.
Andai salah seorang dari kalian memiliki teman seperjalanan selama berbulan-bulan, apakah bisa digambarkan di antara keduanya tidak pernah terjadi kesalahpahaman? Orang yang menuntut agar selamanya tidak terjadi kesalahpahaman berarti dia telah menuntut sesuatu yang mustahil.
Lantas, bagaimana kiranya dengan seorang wanita yang hidup bersama
anda sepanjang umur Anda yang tersisa, atau seorang lelaki yang hidup bersama Anda, wahai wanita, sampai akhir hayat Anda? Apakah anda ingin suci dari kesalahan atau maksum dari ketergelinciran? Siapa yang tidak bisa bergaul dengan teman hidupnya dengan menerima segala kekurangan yang ada -selama urusannya bukan cacat dalam hal agama atau akhlak- niscaya hidupnya lebih dekat kepada kekeruhan daripada kejernihan. Barangkali, perjalanan waktu akan membawanya kepada rasa benci dan permusuhan, keputusasaan dari meraih cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, tidaklah berlebihan apabila ada yang mengatakan, “Sempitnya dada untuk menerima uzur dan tidak mau menutup mata dari kesalahan adalah sebab hancurnya rumah tangga.”
Termasuk perkara yang perlu diperhatikan bagi sepasang suami istri bahwa hari-hari awal pernikahan adalah masa-masa untuk saling mengenal pribadi dan sifat masing-masing. Orang yang berakal lagi cerdas, walau dalam waktu yang singkat, tentu akan dapat memahami pribadi teman hidupnya. Apa yang dia sukai, apa yang dibencinya, apa kekurangannya, dan apa kelebihannya. Setelah itu, dia bergaul dengan pasangannya sesuai dengan apa yang dipahami dan dikenalinya. Tentu saja, membangun keluarga yang bisa saling memahami bukanlah hal yang mudah. Siapa yang berhasil melakukannya, dia akan memperoleh kebahagiaan yang tiada terkira. Karena itulah, hamba-hamba yang beriman memohon kepada Allah Shubhanahu w ata’alla, Rabb mereka, agar memberi rezeki kepada mereka berupa istri-istri yang dapat menyejukkan mata-mata mereka. Allah Shubhanahu wata’alla berfirman menyebutkan doa tersebut, dan orang-orang yang berkata dalam doa mereka,

قال الله تعالى: ﴿ وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤ [ الفرقان: ٧٤ ] 

“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami rezeki berupa istri-istri dan anak-anak (keturunan) yang menjadi penyejuk mata bagi kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74).
Apa yang kami uraikan di atas merupakan pembuka terhadap masalah yang hendak kita bicarakan, yaitu pembicaraan seputar al-hayat az-zaujiyah, kehidupan sepasang insan dalam sebuah rumah tangga.

Tahapan pertama yang ditempuh bagi seseorang yang ingin membangun sebuah keluarga adalah memilih teman hidup. Seorang lelaki sebagai pihak yang mencari, mungkin harus bolak-balik bertanya dan mencari tahu, siapa wanita yang bisa diajaknya bekerja sama dalam hidup ini. Yang mau menjadi syarikah hayah (teman hidup) nya yang mau setia menemaninya dalam suka dan duka, dalam tawa dan tangis. Di sisi lain, seorang wanita berada pada pihak yang menanti. Adakah seseorang akan mengetuk pintu rumah walinya, yang akan membawanya dari kesendirian menuju kebersamaan yang penuh dengan ketenangan?
Apabila perkara memilih ini lebih mudah bagi lelaki, tidak demikian halnya bagi wanita. Di sinilah peran wali, ia hendaknya menolongnya mewujudkan masa depannya.
Hal ini adalah amanat besar yang harus disadari oleh setiap wali yang takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan berharap kepada -Nya. Hendaknya si wali mengamalkan wasiat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidaklah seseorang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan, lalu dia berbuat baik kepada mereka, melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihah no. 294 dan Shahih al-Adabil Mufrad)
Dalam lafadz lain disebutkan,
“Siapa yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan lalu dia bertakwa kepada Allah dan menegakkan urusan mereka (mengurusi mereka), orang tersebut dengan aku di surga seperti ini—beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah.” (ash-Shahihah no. 294 (Al-Hasan al-Bashri pernah ditanya seseorang, “Aku memiliki seorang putri. Menurutmu, kepada siapa aku nikahkan putriku tersebut?”
Al-Hasan menjawab, “Nikahkan putrimu dengan seorang yang bertakwa kepada Allah Shubhanahu wata’alla. Jika orang yang bersifat demikian mencintai putrimu (sebagai istrinya), niscaya dia akan memuliakannya. Namun, apabila dia membencinya, dia tidak akan menzalimi istrinya.” (Sebagaimana dinukil dalam catatan kaki Tuhfatul ‘Arus, hlm. 166)
.
Seorang lelaki hendaklah mencari istri yang bersedia menjalankan dengan baik kewajibannya sebagai istri sesuai dengan kesanggupannya dan mau menerima suami apa adanya. Bisa jadi, perjalanan yang ditempuh bersamanya akan lama dan panjang. Hendaklah seorang lelaki menyadari bahwa istri adalah teman sepanjang umurnya yang tersisa sehingga teman tersebut harus bersifat amanah dan bersedia memenuhi apa yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila Allah Shubhanahu wata’alla menetapkan kebersamaan itu langgeng, tentu istri yang demikian akan menjadi penolong terbaik bagi suaminya. Namun, apabila pernikahan harus kandas di tengah jalan dan kebersamaan hanya akan jadi derita jika dipertahankan, istri yang demikian akan menutup cacat dan cela yang pernah didapatkannya selama bersama sang suami. Dengan demikian, memilih pasangan hidup harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak asal-asalan. Hal ini karena dia akan menyertai Anda dalam bagian yang paling rahasia sekalipun bagi hidup Anda. Dia akan menemani Anda dalam manis dan pahitnya hidup, panjang atau pendeknya hidup, bahagia atau kesedihannya. Seorang suami hendaklah berpikir panjang. Apakah wanita yang dipilihnya itu akan menjadi penolong baginya saat dia menghadapi rintangan dalam kehidupan yang memang penuh dengan perkara yang mengejutkan? Ataukah si wanita akan membiarkannya sendiri menghadapi dukanya? Sebelum Menjatuhkan Pilihan
Ada beberapa hal yang kiranya tak patut diabaikan oleh seorang lelaki saat mencari wanita yang akan dipersuntingnya.
1.     Menimbang perangai ibu calon istri, apabila memungkinkan.
Di saat seorang lelaki memutuskan untuk menikah dan sedang mencari seorang wanita yang mau menjadi serikat dalam hidupnya, hendaklah yang turut menjadi pertimbangannya adalah perangai ibu si wanita yang hendak dilamarnya
-jika hal itu mudah baginya. Menurut pengamatan yang panjang, tampak bahwa banyak anak perempuan meniru perangai ibunya, atau sedikit banyak ada pengaruh sang ibu pada diri si putri.
Maka dari itu, cari tahulah tentang ibunya. Walaupun hal ini tidak mesti, namun tidak ada salahnya menjadi bahan pertimbangan, lebih-lebih jika terdapat banyak pilihan dan semuanya baik secara lahir. Betapa banyak rumah tangga yang bermasalah disebabkan ibu mertua turut campur tangan. Betapa banyak istri yang berani kepada suaminya karena dirusak oleh ibunya. Betapa banyak istri yang suka menuntut macam-macam kepada suaminya karena diajari dan dikompori oleh ibunya. Betapa banyak pula istri yang mengingkari kebaikan suaminya dan tidak bergaul secara ma’ruf dengan suaminya karena melihat perbuatan sang ibu kepada sang ayah dahulu, yang kemudian berpengaruh dan tertanam dalam jiwanya. Namun, ada pula ibu mertua yang baik, yang mengarahkan putrinya agar menjadi istri yang baik. Ia bisa menjaga rahasia dan turut membantu rumah tangga putrinya agar tetap utuh. Ia menganggap pemberian yang sedikit dari suami putrinya layaknya sebuah gunung yang besar. Tentu ibu mertua seperti ini akan menggembirakan menantunya (suami putrinya). Di sisi lain, ibu mertua tipe ini akan memberinya ketenangan apabila suatu ketika ia terpaksa harus meninggalkan si istri bersama ibunya. Ia tahu bahwa saat ia kembali ke sisi istrinya nanti, niscaya ia akan mendapati istrinya lebih baik dari yang sebelumnya dengan didikan dan arahan yang diberikan oleh sang ibu selama ditinggalnya.
Apabila Anda hendak menikah, jadilah orang yang cerdas
Tanyakan tentang ranting dan tanyakan pula tentang dahannya.
Ada hikayat indah yang sering dibawakan oleh para penulis dalam buku-buku mereka yang berbicara tentang pernikahan. Tidak ada salahnya kita nukilkan di sini sebagai ibrah. Syuraih al-Qadhi berkata, “Aku meminang seorang wanita dari Bani Tamim. Saat hari pernikahanku dengannya, datanglah teman-teman wanitanya memberi hadiah kepadanya hingga ia masuk menemuiku.” Aku berkata, “Termasuk ajaran sunnah, apabila seorang istri dipertemukan dengan suaminya hendaknya si suami bangkit mengerjakan shalat dua rakaat, lalu memohon kebaikan istrinya kepada Allah Shubhanahu wata’alla dan berlindung dari kejelekannya.” Aku lantas berwudhu. Ternyata, istriku pun berwudhu seperti wudhuku. Aku lalu melakukan shalat, ternyata ia pun shalat mengikuti shalatku.
Tatkala rumah telah sepi, tinggal kami berdua, aku mendekatinya lalu mulailah tanganku menjulur kepadanya. Istriku berkata saat itu, “Jangan terburu-buru, wahai Abu Umayyah.”
Lantas istriku melanjutkan ucapannya, “Alhamdulillah, aku memohon pertolongan -Nya dan aku bershalawat atas Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau. Amma ba’du. Aku adalah wanita yang asing, tidak ada pengetahuanku tentang akhlakmu. Terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya, dan apa yang engkau benci niscaya aku akan menjauhinya. Sekarang, engkau telah memiliki diri ini dengan ketetapan dari Allah Shubhanahu wata’alla yang mesti terjadi, maka lakukanlah apa yang Allah Shubhanahu wata’alla perintahkan, dalam firman –Nya, “Apakah menahan dengan cara yang ma’ruf atau melepas (mencerai) dengan cara yang baik.” (al-Baqarah: 229). Aku berkata, “Alhamdulillah, aku memuji Allah Shubhanahu wa ta’alla dan memohon pertolongan kepada-Nya, shalawat dan salam semoga tertuju kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan segenap sahabat beliau. Amma ba’du… Sungguh engkau telah mengucapkan kalimat yang jika engkau benar-benar berada di atasnya, hal itu menjadi keberuntungan bagiku. Namun, jika engkau meninggalkannya, niscaya hal itu akan menjadi hujah yang memberatkanmu. Aku suka ini dan aku benci itu. Hal-hal baik yang engkau lihat dariku, maka sebarkanlah. Namun, kejelekan yang engkau lihat, maka tutupilah.” Sang istri berucap lagi, “Apa engkau suka apabila aku mengunjungi keluargaku?” “Aku tidak suka keluarga istriku menjadi bosan kepadaku,” jawabku. Istriku kembali mengajukan pertanyaannya, “Di antara tetanggamu, siapa yang engkau senangi masuk ke rumahmu sehingga aku akan izinkan (ia masuk rumahmu), dan siapa yang tidak engkau sukai sehingga aku pun tidak suka?”. “Bani Fulan adalah kaum yang saleh, sedangkan Bani Fulan (yang lain) adalah kaum yang buruk,” jawabku. Syuraih al-Qadhi akhirnya menyatakan, “Aku pun melewati malam yang terindah bersamanya. Waktu setahun pun berlalu dalam kebersamaanku dengannya. Tidak pernah aku melihat darinya selain perkara yang aku senangi. Ketika akhir tahun saat aku datang dari majelis hakim, tiba-tiba aku bertemu dengan seorang wanita tua.” Aku bertanya, “Siapa perempuan tua itu?” Dijawab, “Fulanah, ibu dari istrimu.” “Marhaban, ahlan wa sahlan,” sambutku.
Saat aku telah duduk, datanglah ibu mertuaku tersebut seraya berkata, “Assalamu ‘alaik, wahai Abu Umayyah.”
“Wa ‘alaik
um salam, marhaban bik wa ahlan,” sambutku.
Mertuaku bertanya, “Bagaimana yang engkau lihat dari istrimu?”
Aku jawab, “Istriku adalah sebaik-baik istri dan teman yang paling sesuai. Sungguh ibu telah mendidiknya dengan adab yang terbaik. Ibu telah melatihnya dengan latihan yang paling bagus. Semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla membalas ibu dengan kebaikan.” “Wahai Abu Umayyah! Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkanmu dari perilaku istrimu, peganglah cambuk,” nasihat ibu mertuaku.
Ibu mertua ini meminta izin untuk datang setiap akhir tahun ke tempat kami. Pada kesempatan itulah beliau memberi nasihat kepada kami. Aku telah menjalani masa dua puluh tahun bersama istriku. Selama itu pula tidak pernah aku melihat darinya sesuatu yang patut dicela.”
2.     Memilih istri dari keluarga yang baik
Keluarga baik-baik yang memiliki sebutan yang baik di lingkungannya, bukan keluarga yang tercoreng kehormatannya, hendaknya menjadi pertimbangan saat memilih wanitanya. Merekalah yang akan menjadi akhwal
bagi anak-anak yang akan terlahir dari pernikahan tersebut. Selain itu, sedikit banyak mereka akan punya pengaruh terhadap istri dan anak-anak, apalagi di saat suami terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya di tengah-tengah mereka, bisa jadi karena urusan niaga, rihlah menuntut ilmu, atau berangkat untuk berjihad fi sabilillah.
3.     Mencari tahu sifat wanita yang ingin dinikahi.
Mencari tahu dan bertanya secara detail tentang wanita yang hendak diajak bekerja sama membangun mahligai rumah tangga adalah keniscayaan karena seorang lelaki akan menjalin ikatan yang kuat dengannya dan akan terus menemaninya, insya Allah, sampai salah satunya harus berpisah dengan dunia.
Wanita yang bagus agamanya dan menjaga kehormatan dirinya, harusnya menjadi pilihan utama. Rasul yang mulia telah bertitah,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ » [ متفق عليه ]
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Utamakanlah wanita yang memiliki agama. Jika tidak demikian, engkau akan celaka.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah).
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda pula,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتاَعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ » [ رواه مسلم ]
“Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim no. 3638 dari Abdullah ibnu Amr ibnul Ash ).
Adapun wanita yang buruk dan lahiriahnya menyimpang, bagaimanapun cantik dan memesonanya, hendaknya disingkirkan dari pilihan. Yang diinginkan oleh seorang lelaki yang baik adalah mencari istri, bukan wanita penghibur.
Apabila seorang lelaki berpaling dari wanita yang salehah, dan justru memilih wanita yang ‘rendahan’ karena pertimbangan kelebihan fisik, harta, atau kedudukannya, berarti ia telah menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan.
Renungkanlah: Rumahmu adalah pokok hartamu (modalmu), maka perhatikanlah di tangan siapa engkau akan meletakkannya? Carilah wanita yang berada di atas jalanmu, pada seluruh keadaanmu, dalam hal ketaatan kepada Allah Shubhanahu wata’alla. Apabila engkau berhasil mendapatkannya, peganglah erat-erat karena wanita yang demikian adalah harta dan perbendaharaan berharga yang patut disimpan.
Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda kepada Umar ibnul Khaththab,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ؟ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ » [ رواه أبو داود ]
“Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki? (Yaitu) istri salehah yang ketika dipandang akan menyenangkannya, ketika diperintah akan menaatinya, dan ketika ia pergi, si istri akan menjaga dirinya untuk suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 1417, dinyatakan sahih menurut syarat Muslim dalam al-Jami’ush Shahih 3/57).
Umar ibnul Khaththab radiyallahu’anhu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau menjawab,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لِيَتَّخِذَ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْأَخِرَةِ » [رواه ابن ماجة]
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang membantunya dalam urusan akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dinyatakan sahih dalam Shahih Ibni Majah)
WAllahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(bersambung, insya Allah), (Disusun kembali dengan beberapa perubahan dari tulisan asy-Syaikh Salim al-’Ajmi hafizhahullah yang dimuat di Muntadayat al-Ukht as-Salafiyyah dengan judul Walyasa’uka Baituk min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan rujukan yang lain)
Catatan Kaki:
1.     Tempat untuk bersenang-senang. (Syarh Sunan an-Nasa’i, al-Imam as-Sindi, 6/69)
2.     Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, atau karena akhlaknya yang bagus secara batin, atau karena si istri senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Shubhanahu wata’alla. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, Bab “Afdhalun Nisa”, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56)
3.     Untuk melakukan urusan syar’i atau urusan biasa. (‘Aunul Ma’bud 5/56)
4.     Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (‘Aunul Ma’bud 5/56)
5.     Pukullah setelah melewati tahapan sebelumnya; nasihat dan hajr.
6.     Kerabat dari pihak ibu.
7.     Tempat untuk bersenang-senang. (Syarh Sunan an-Nasa’i, al-Imam as-Sindi, 6/69.
8.     Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, karena akhlaknya yang bagus secara batin, atau karena si istri senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah Shubhanahu w ata’alla. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab “Afdhalun Nisa’”, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56).
9.     Untuk melakukan urusan syar’i atau urusan biasa. (‘Aunul Ma’bud 5/56)
10. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (‘Aunul Ma’bud 5/56)
 


Tidak ada komentar