Etika Menggunakan Telpon Genggam



Etika Menggunakan Telpon Genggam
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada rasulullah Muhammad saw, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang menyertai beliau.
Amma Ba’du.
Sesungguhnya pesawat telepon dengan segala kemudahannya telah memegang peran yang sangat penting dan memberikan jasa yang besar berupa penghematan banyak hal. Baik waktu, biaya dan transportasi.
Para ulama pun telah membahas masalah telepon ini beserta adab-adab dalam menggunakan perangkat ini. Hal-hal apa saja yang perlu dijaga dan penting untuk diperhatikan. Seorang diantaranya, Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid ra. menulis sebuah kitab berjudul Adabul Hatif dengan sangat bagus, yang mendapat pujian sebagaimana kata penyair:
Dengan kepiawaian dia berhak atas kemuliaan
Layak mendapat sanjungan dan kehormatan

Topik pembicaraan ini secara khusus akan membahas etika seputar penggunaan telepon genggam, ponsel (telepon seluler) atau HP (handphone).
Pembahasan mengenai ponsel sebenarnya hampir sama dengan telpon biasa. Hanya saja ponsel memiliki beberapa fasilitas khusus yang tidak dimiliki telpon rumah biasa.
Yang membedakan adalah pada umumnya ponsel lebih bersifat pribadi dan hanya dipegang oleh satu orang tertentu (pemiliknya). Berbeda dengan telpon rumah yang biasanya dipasang di tempat-tempat umum, misalnya rumah atau kantor. Dan digunakan oleh banyak orang. Ponsel juga memiliki fasilitas lain yang tidak dimiliki oleh telpon biasa (aneka ringtone, games, calculator, kamera dan bermacam-macam aplikasi canggih lainnya).
Tidak disangkal, ponsel merupakan suatu anugerah yang besar. Sehingga dengan ponsel itu, seseorang bisa menyelesaikan banyak urusannya secara lebih cepat dan lebih mudah. Tetapi perlu diperhatikan pula adanya hal-hal yang bisa menyebabkan hilangnya nikmat syukur pada anugerah besar ini. Ada beberapa catatan penting agar penggunaan piranti ini lebih bijak dan berhati-hati. Hingga penggunaan piranti ini benar-benar memberikan manfaat seperti yang diharapkan. Serta tidak menyebabkan datangnya kemudharatan bagi si empunya.
Beberapa etika yang perlu diperhatikan dan dijaga berkaitan dengan penggunaan media digital ini antara lain:
Etika pertama: Menyingkat pembicaraan. Percakapan melalui media telpon hendaknya dilakukan sesingkat mungkin untuk menghindari pemborosan pulsa tanpa adanya keperluan mendesak dan tidak mengganggu lawan bicara dengan pembicaraan yang panjang. Maka disarankan bagi seseorang yang menelpon untuk menyingkat pembicaraannya, menghindari pembicaraan yang terlalu lama berbasa-basi dan ketika menanyakan suatu hal.
Hendaknya dia menahan diri untuk tidak terlalu sering menelpon tanpa keperluan yang benar-benar penting. Juga jangan suka mengumbar kata-kata saat menelpon. Karena ada sebagian orang yang betah berlama-lama saat menelpon hingga berjam-jam.
Dalam kitabnya Adabul Hatif, Al-Allamah Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata: “Hindarilah berlebihan dalam berbicara melalui telpon, sehingga menjadikanmu kecanduan menelpon. Mengingat banyak orang yang telah terjangkit penyakit ini. Sejak bangun tidur, ia sudah menyibukkan diri dengan menelpon dari rumah satu ke rumah yang lain, dan dari satu kantor ke kantor lainnya, sekedar mencari kepuasan belaka dan mengganggu orang lain. Terhadap orang seperti mereka ini, kita hanya bisa berdoa dan menasihatkan agar mereka segera berhenti dari kebiasaan buruknya yang berlebihan (dalam mengumbar kata) itu”. (Adabul Hatif: 32-33).
Etika kedua: Tidak menyusahkan penerima telpon. Misalnya menelpon orang dan mengujinya dengan pertanyaan: “Apakah kamu mengenalku?” Ketika dijawab “Tidak” malah mencela dan menyalahkannya karena sudah tidak mengenalnya lagi atau karena tidak menyimpan nomor ponselnya. Padahal si penerima kadang lebih tua darinya, lebih alim atau terpandang. Mungkin dia memang tidak bisa menyimpan nomornya di ponsel atau disebabkan kapasitas ponsel yang penuh dan tidak mampu menampung nomor lebih banyak.
Maka selayaknya si penelponlah yang harus memperkenalkan diri di awal pembicaraan jika memang ingin dikenali. Hindarilah cara menelpon yang menyusahkan tersebut.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَدَعَوْتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ مَنْ هَذَا؟ فَقُلْتُ: أَنَا، فَخَرَجَ وَهُوَ يَقُوْلُ أَنَا أَنَا
Aku datang kepada nabi, lalu aku memanggil beliau. Beliau bertanya: “Siapa?”. Maka aku jawab: “Saya”. Beliau keluar sambil berkata: “Saya…saya…” (menunjukkan beliau tidak suka dengan jawaban “saya” tersebut). (HR. Bukhari: 6250 dan Muslim 2155).
Etika ketiga: Menjaga perasaan penerima telpon dan tidak membuatnya tersinggung. Mungkin dia sedang sakit atau sedang di tempat yang tidak layak untuk ngobrol, misalnya di masjid atau saat pemakaman. Atau sedang berbicara di forum orang banyak yang dia tidak ingin memotong pembicaraan mereka, dan sebagainya. Bila ternyata panggilan tidak dijawab, atau dijawab dengan sangat singkat,  maka hendaknya si penelpon memaafkan dan memaklumi keadaannya. Serta tidak berburuk sangka kepadanya.
Dan bagi si penerima telpon hendaknya memberi tahu keadaannya, atau menjawab dengan singkat pada saat ada kesempatan, yang bisa dipahami oleh penelpon bahwa dia sedang berada di tempat yang belum bisa bicara panjang lebar. Dengan begitu akan lebih menenangkan hati dan jauh dari prasangka.
Etika keempat: Mematikan ponsel atau mengaktifkan tanpa nada (mode silent, shamit, diam) saat memasuki masjid. Tujuannya agar tidak mengganggu orang yang shalat dan mengurangi kekhusyu’an mereka. Jika terlupa mematikan ponsel atau memasang mode silent, lalu tiba-tiba ada yang menelpon, segeralah matikan atau hilangkan suaranya seketika itu juga. Karena sebagian orang membiarkan ponselnya tetap berdering, bahkan dengan nada musik yang mengganggu. Tidak dimatikan, tidak juga diredam suaranya. Dengan alasan takut melakukan gerakan selain gerakan shalat. Padahal perlu dia ketahui bahwa gerakannya mematikan ponsel tersebut adalah untuk kekhusyu’an shalatnya bahkan untuk jama’ah lainnya secara umum.
Sebaliknya kita juga harus berlapang dada jika ada orang yang lupa mematikan ponselnya. Tidak serta merta menegurnya dengan keras dan memandangnya dengan sinis. Terutama jika dia orang yang mudah tersinggung, atau mudah marah. Karena mungkin saja dia tidak sengaja dan hanya lupa. Sehingga tidak seharusnya diperlakukan dengan perlakuan yang menyakitkan.
Cukuplah bagi kita teladan yang baik pada diri Rasulullah n ketika beliau sangat berlemah lembut terhadap seorang badui yang kencing di masjid. Beliau memerintahkan untuk menyiram bekas air kencing itu dengan setimba air.
Abu Hurairah ra berkata:
Seorang badui berdiri lalu kencing di masjid. Seketika itu juga orang-orang yang hadir menghardiknya. Tapi Nabi berkata pada mereka: “Biarkan dia selesai. Lalu siramlah kencingnya dengan setimba air. Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit”. (HR. Bukhari)
Etika kelima: Menghindari penggunaan nada dering lagu dan musik. Karena didalamnya terdapat larangan keharaman dan celaan terhadap akal orang yang menggunakan nada lagu dan musik tersebut. Karena hal ini sangat mengganggu, terlebih jika sampai dipergunakan dalam masjid atau majlis-majlis umum.
Etika keenam: Tidak menggunakan ponsel pada saat berada di majelis ilmu atau pada forum-forum besar secara umum. Karena hal itu bisa mengurangi wibawa majelis dan mengganggu orang yang sedang menuntut ilmu. Menyakiti perasaan pembicara yang sedang menyampaikan pelajaran atau materi, dan menimbulkan cercaan terhadap pengguna ponsel tersebut.
Disarankan agar tidak menelpon atau menjawab telpon ketika sedang berada dalam suatu pertemuan yang dipimpin oleh orang yang mulia, diisi oleh pembicara tunggal atau terdapat orang yang lebih tua dan dimuliakan. Karena menelpon atau menjawab panggilan telpon pada saat itu bisa memutuskan pembicaraan dan mengganggu konsentrasi hadirin. Serta merusak etika berbicara dan bermajlis.
Abu Tammam berkata:
من لي بإنسان إذا أغضبته *** وجهلت كان الحلمُ ردَّ جوابه
وتراه يصغي للحديث بسمعه *** وبقلبه ولعله أدرى بـــه

Siapakah yang engkau buat murka atau kau bodohi, sedangkan ia membalasnya dengan kesabaran dan kearifan
Kau lihat dia memperhatikan pembicaraan dengan sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hatinya padahal ia mungkin lebih memahaminya
Menelpon atau menjawab telpon pada kondisi diatas dimaklumi apabila memang darurat atau ada kebutuhan mendesak yang dikhawatirkan hilangnya kesempatan setelah itu. Tentu dengan tetap menjaga agar tidak memperpanjang percakapan. Dimaafkan juga bagi pemimpin majlis atau orang tua untuk menelpon atau menjawab panggilan telpon. Begitu pula pada pertemuan biasa dengan keluarga atau teman-teman, maka tidak mengapa menerima atau menelpon. Sangat bijaksana jika seseorang yang akan menelpon untuk minta izin terlebih dulu dan keluar dari forum.
Etika ketujuh: Jangan merekam pembicaraan atau mengaktifkan suara luar ditengah orang banyak tanpa sepengetahuan lawan bicara. Kadang hal itu terjadi ketika seseorang menelpon salah seorang temannya atau sebaliknya dia yang ditelpon, diam-diam dia merekam pembicaraan tersebut. Atau memperdengarkan suaranya melalui speaker luar, padahal di sekitarnya ada orang lain yang mendengar pembicaraan tersebut. Perbuatan ini tentu tidak pantas dilakukan oleh orang yang berakal, terutama jika pembicaraan itu adalah pembicaraan yang bersifat khusus atau rahasia. Hal ini bisa menjadi bagian dari jenis khianat atau bentuk adu domba. Lebih tidak pantas lagi jika yang lawan bicara adalah orang yang berilmu lalu dia merekam semua yang dibicarakannya tanpa sepengetahuannya, kemudian dia sebarkan melalui media internet atau dia tulis ulang dengan melakukan penambahan dan pengurangan.
Syaikh Bakar Abu Zaid dalam kitabnya Adabul Hatif berkata: “Tidak boleh bagi seorang muslim yang menjaga amanah dan tidak menyukai bentuk khianat merekam pembicaraan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Apapun bentuk pembicaraannya. Baik tentang agama maupun masalah dunia. Seperti fatwa, diskusi ilmiah, kajian ekonomi dan sebagainya”. (Adabul Hatif: 28)
Beliau melanjutkan: “Apabila engkau merekam pembicaraannya tanpa izin dan pengetahuannya, maka itu termasuk makar, muslihat dan pengkhianatan terhadap amanah. Apabila engkau menyebarkan rekaman tersebut kepada orang lain maka lebih besar lagi khianatnya. Lebih-lebih jika engkau mengedit, merubah pembicaraannya dengan mengurangi, dengan mendahulukan atau mengakhirkan atau bentuk-bentuk lain dari bentuk penambahan atau pengurangan, maka engkau telah melakukan kesalahan yang bertingkat-tingkat dan engkau terjatuh pada pengkhianatan yang sangat besar dan tidak bisa ditolerir.
Kesimpulannya, perbuatan merekam pembicaraan orang lain, baik melalui telpon atau media lainnya, jika tanpa sepengetahuan dan seizin orang tersebut maka tindakan tersebut adalah tindakan maksiat, khianat dan mengurangi keadilan seseorang. Tidak ada yang melakukannya kecuali orang yang dangkal ilmu agamanya, akhlak dan etikanya. Terlebih jika pengkhianatannya bertingkat sebagaimana telah dijelaskan diatas. Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah, jangan khianati amanah yang kalian emban dan jangan khianati saudara kalian”. (Adabul Hatif: 29-30).
Etika kedelapan: Tidak meninggalkan ponsel sembarangan di tempat-tempat umum. Misalnya pertemuan dengan teman-teman atau tempat dimana banyak terdapat anak-anak. Hal ini bisa mengundang hal yang akan menyusahkan. Bisa jadi ponsel anda digunakan menelpon orang lain yang tidak anda sukai, atau bahkan mungkin ponsel anda dicuri orang. Atau ada orang yang membaca isi pesan-pesan singkat yang tidak anda inginkan ada orang lain yang tahu. Hal seperti itu tentu sangat tidak menyenangkan dan sangat mengganggu.
Etika kesembilan: Waspadai penggunaan kamera ponsel. Sebagian ponsel dilengkapi fitur kamera yang tertanam di dalamnya. Fitur ini kadang dimanfaatkan untuk memotret gambar-gambar yang diharamkan. Misalnya pada resepsi pernikahan (walimah) dan sebagainya. Padahal tidak disangkal lagi akan haramnya perbuatan tersebut. Yang menyebabkan pelanggaran terhadap kehormatan dan prisawasi seseorang, keributan dalam rumah tangga dan menyebarkan perbuatan keji diantara orang-orang mukmin. Lebih parah lagi jika gambar-gambar yang diambil melalui kamera tersebut kemudian disebarkan, dengan dimanipulasi (misalnya memasang foto kepalanya ke tubuh orang lain –pent) sehingga sosok dalam foto tersebut tampak seolah telanjang.
Maka peringatan keras kepada siapa pun yang senang melakukannya, agar memperhatikan dampak buruk dari perbuatannya itu. Dan khusus kepada para wanita, hendaklah selalu menjaga hijab dan kehormatannya sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Etika kesepuluh: Menjaga sopan santun dalam menulis pesan singkat. Kemampuan kirim-terima pesan singkat (SMS) memang merupakan salah satu fitur yang digemari pada ponsel. Namun pengguna ponsel yang berakal haruslah memperhatikan tatakrama dan aturan dalam ber-SMS. Hendaknya dia menulis SMS dengan bahasa yang indah, mengandung pelajaran, kabar gembira, pelipur duka atau menyenangkan. Bagus juga berisi pesan-pesan yang mengandung hikmah, dzikir, nasehat, kata mutiara atau semacamnya.
Etika kesebelas: Meneliti kebenaran suatu pesan. Jika suatu pesan singkat (SMS) mengandung suatu informasi, maka konfirmasikan dulu kebenarannya sebelum mengirimnya. Jika berisi suatu berita, pastikan dulu bahwa berita tersebut benar adanya. Karena mungkin berita itu akan diteruskan ke orang lain. Pengirim mestinya paham bahwa pesannya bisa saja berpindah tangan, dan tersebar kemana-mana. Bila pesan baik yang dia kirimkan, dia akan mendapatkan manfaatnya. Namun jika pesan buruk yang dia sebarkan, maka bersiaplah menuai akibatnya. Maka perhatikanlah pesan yang akan dia kirimkan itu akan mendatangkan kebaikan ataukah justru berdampak buruk.
Hal-hal yang juga perlu diwaspadai adalah adanya kebiasaan menulis nasehat melalui pesan singkat untuk melakukan amalan-amalan tertentu tanpa memperhatikan hukumnya syar’i atau tidaknya. Misalnya nasehat untuk melakukan puasa akhir tahun karena bertepatan dengan hari Senin, mengkhususkan doa tertentu dengan kebaikan atau keburukan seorang tertentu dan pada waktu tertentu, atau mengirim pesan pada seseorang dan mengharuskannya meneruskan pesan tersebut ke sepuluh orang lainya atau sejumlah orang tertentu. Hal seperti ini tidak layak dilakukan. Karena hal itu bisa menjerumuskan seseorang ke dalam hal-hal yang diada-adakan dan bid’ah.
Adapun saling menasehati agar mendoakan kaum muslimin, melaknat musuh-musuh agama, memanfaatkan waktu dan tempat dengan kebaikan dan semisalnya maka hal itu boleh. Tanpa mengkhususkan dengan doa tertentu.
Etika kedua belas: Hindari pesan-pesan SMS yang tidak baik. Misalnya mengandung kata-kata jorok, celaan, gambar tak senonoh atau foto-foto porno. Atau ucapan yang memiliki dua makna, baik dan buruk. Pada saat awal membaca pesan tersebut yang ditangkap adalah makna buruk, namun setelah diamati dengan seksama diketahui bahwa maknanya adalah baik. Atau kalimat yang diputus dengan spasi cukup panjang sehingga lanjutan kalimat tersebut baru terbaca setelah menekan tombol ponsel. Semua itu menunjukkan perilaku dan etika yang buruk.
Al-Mawardi saw berkata: “Dan yang termasuk perkataan buruk, yang wajib dijauhi dan musti dihindari adalah kata-kata yang bertolak belakang. Mulanya dipahami sebagai kata-kata buruk. Lalu setelah diteliti dan dipahami dengan benar ternyata bermakna baik”. (Adabud Dunya Wad Dien: 284).
Dilarang pula bercanda dengan berlebihan. Atau menggunakan kalimat-kalimat cinta, terutama terhadap wanita. Karena wanita sangat suka dipuji dan mudah tergoda rayuan. Ucapan lainnya yang juga dilarang adalah yang mengandung celaan, fitnah dan lainnya. Semua hal tersebut dilarang karena menyelisihi syar’i, merusak adab, dan bisa menghilangkan syukur terhadap nikmat pada perangkat ponsel ini.
Etika ketiga belas: Memastikan kebenaran nomor tujuan. Sehingga SMS tidak salah kirim ke orang lain dan mengganggu. Dan supaya tidak menimbulkan buruk sangka terhadap pengirim jika ternyata SMSnya tidak patut dibaca oleh penerima.
Etika keempat belas: Jagalah perasaan dan kondisi penerima. Kadang sebuah SMS bagus dan cocok bagi seseorang tapi tidak untuk orang lain. Terkadang layak bagi orang tua atau yang berkedudukan tinggi, tapi tidak sesuai untuk anak kecil atau yang tidak mengerti. Kadang baik bagi orang yang paham dan mengerti maksudnya, tapi tidak baik bagi orang yang tidak paham dan tidak mengerti maksudnya atau orang yang sensitif dan mudah berburuk sangka. Maka hal-hal seperti itu perlu untuk diperhatikan dan dijaga. Karena sering terjadi hal-hal yang berlebihan dan tidak memperhatikan etika tersebut menyebabkan orang saling berburuk sangka dan mendatangkan permusuhan.
Etika kelima belas: Jangan melihat isi ponsel orang lain dan membaca pesan-pesan di dalamnya tanpa izin pemilik. Hal itu bisa membuka aib seseorang dan termasuk tindakan kekanak-kanakan yang tercela. Bahkan termasuk bentuk khianat, dan bagian dari pintu-pintu suudzon (buruk sangka). Karena bisa jadi dia salah dalam memahami isi pesan SMS yang dia baca tersebut. Atau pesan yang dikirim untuk istrinya dikira untuk wanita lain. Atau pesan masuk yang berasal dari orang yang tidak disukainya, padahal pemilik ponsel tidak tahu menahu akan hal itu. Contoh-contoh tersebut semakin menunjukkan akan pentingnya menyimpan ponsel dengan lebih berhati-hati dan tidak meletakkannya sembarangan.
Wajib bagi orang yang berakal untuk menyadari bahwa mungkin saja ada orang lain yang melihat isi ponselnya serta membaca pesan-pesan pribadinya. Sehingga menyingkapkan tabir pribadinya yang bisa menyebabkan orang berburuk sangka padanya. Pengirim pesan hendaknya berhati-hati terhadap hal-hal tersebut. Khususnya para wanita, karena mungkin saja ponselnya dilihat oleh suami temannya atau saudara temannya. Yang mengkhawatirkan bila suami atau saudara temannya itu punya niat yang tidak baik. Sehingga menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Etika keenambelas: Tidak adanya pengingkaran terhadap orang yang mengirimkan pesan tidak baik. Hal ini tidak pantas terjadi. Seyogyanya bagi seorang muslim jika mendapatkan SMS yang tidak baik segera mengingkari hal itu dengan menasehati pengirimnya dengan lemah lembut. Dengan demikian dia telah menegakkan syiar amar ma’ruf (menyuruh kepada perbuatan baik) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran), saling menasehati dalam kebenaran, mengingatkan dari kekeliruan dan mengajari orang yang tidak tahu jika ternyata pengirim tidak paham dengan pesan yang dikirimkannya. Demikian pula hendaknya seseorang segera menghapus pesan-pesan masuk yang tidak baik. Sehingga terhindar dari masalah yang mungkin ditimbulkan oleh pesan-pesan tersebut jika suatu saat ponsel tersebut hilang, tertinggal di suatu tempat atau pindah ke tangan orang lain.
Etika ketujuh belas: Tidak menggunakan ponsel untuk berhubungan dengan lawan jenis. Ini adalah dampak negatif yang paling berbahaya pada penggunaan ponsel. Dulu para ulama telah memperingatkan bahayanya penggunaan telpon. Dan memperingatkan untuk berhati-hati agar telpon tidak digunakan oleh orang-orang bodoh. Zaman makin maju, muncullah era telpon seluler. Maka makin bertambah saja kerusakan yang diakibatkan dari salahnya penggunaan ponsel. Karena ponsel bisa dimiliki siapa saja. Orang pandai, orang bodoh, laki-laki, perempuan, dewasa dan anak-anak dengan mudah memiliki perangkat canggih ini.
Maka wajib bagi setiap orang yang berakal untuk memperingatkan bahaya ini. Yang dengan piranti digital ini semakin mempermudah terjadinya hubungan lawan jenis. Dan orang yang senang mempermainkan kehormatan orang lain wajib memperhatikan akibat dari perbuatan mereka, merasa diawasi oleh Rabb mereka dan merasakan pengawasannya. Sebagaimana dia wajib untuk menghentikan diri dan nafsunya dari hal tersebut dengan sebenar-benarnya. Dan hendaknya dia menyadari bahwa kebahagiaan hakiki tidaklah bisa diraih dengan cara-cara haram seperti ini. Bahwa cara-cara tersebut merupakan sebab terbesar yang mengundang kesusahan dan kesengsaraan bagi dirinya dan menyebabkan terbuangnya harta mereka dengan sia-sia. Bahkan cara itu akan menyeretnya ke jurang kebinasaan dan kenistaan, di dunia dan diakhiratnya. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberikan ganti dengan sesuatu yang lebih baik. Kelezatan iffah (menjaga kehormatan) itu lebih nikmat daripada kelezatan syahwat yang haram.
Etika kedelapan belas: Jangan sering bermain ponsel dalam forum. Khususnya pada pertemuan-pertemuan yang dihadiri orang-orang berilmu dan orang-orang terhormat. Sebagian orang tidak henti-henti membolak-balikkan ponsel yang dipegangnya, gonta-ganti nada dering, bermain game yang memang tersedia di beberapa model ponsel, atau hal-hal lainnya yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang berakal.
Etika kesembilan belas: Berpura-pura dan senang dipuji. Misalnya orang yang ingin diperhatikan, pamer kedudukan atau ingin menampakkan bahwa dia orang penting dengan membuat kesan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ada seorang pejabat terhormat sedang mencari dan menghubunginya.
Syaikh Bakar Abu Zaid  berkata: “Ada orang-orang yang begitu haus kehormatan dan senang dipuji terhadap hal-hal yang tidak pernah mereka kerjakan. Benarlah yang disabdakan Nabi n:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْط كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
Orang yang merasa puas dengan hal yang tidak pernah dia lakukan seperti orang yang memakai pakaian palsu. (HR. Bukhari: 5219 dan Muslim: 2129).
Sebagian orang ada yang menelpon dengan menampakkan seakan dia sedang mengadakan pembicaraan dengan orang penting, punya kedudukan, jabatan atau pangkat yang tinggi. Dan ingin menunjukkan keistimewaannya dengan menampakkan bahwa dia sedang dihubungi oleh orang tersebut. Engkau melihat si lebai ini ingin menipu orang lain dengan gaya yang dibuat-buat, sambil mengucapkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan tertentu agar aksinya tampak meyakinkan, seolah dia adalah orang penting dan punya kedudukan tinggi. Seakan-akan dia ingin berkata “Inilah diriku, maka kenalilah aku!”. Padahal sebenarnya pembicaraan yang dia lakukan hanyalah pembicaraan palsu dan pura-pura. Aku dan beberapa orang lain telah menyaksikan sendiri adanya kejadian seperti itu. Yang terpenting, mereka segera sadar bahwa tipuan itu sangat mudah terungkap, dan sedikit sekali orang yang bisa menyembunyikan hakekat mereka yang sesungguhnya. Maka janganlah kalian wahai orang muslim mengikuti jejak mereka”. (Adabul Hatif: 35-36).
Demikianlah berapa petunjuk dan peringatan penting seputar ponsel berikut etika-etika yang harus dilakukan dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang harus dihilangkan.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad saw, seluruh keluarga serta sahabatnya.

***

Tidak ada komentar