Jadikan Shalat Pencegah Perbuatan Keji dan Munkar

Jadikan Shalat Pencegah Perbuatan Keji dan Munkar

Setiap kewajiban yang telah dibebankan Islam kepada umatnya senantiasa memuat hikmah dan maslahat bagi mereka. Islam menginginkan terbentuknya akhlak Islami dalam diri Muslim ketika ia mengimplementasikan setiap ibadah yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Kitab dan Sunnah rasul-Nya.

Pada akhirnya nilai-nilai keagungan Islam senantiasa mewarnai ruang kehidupan Muslim. Tidak hanya terbatas pada ruang kepribadian individu Muslim, namun nilai-nilai itu dapat ditemukan pula dalam ruang kehidupan keluarga dan komunitas masyarakat Muslim. Kita bisa merenungkan kembali ayat-ayat Allah yang berkaitan dengan hal ini, sebagaimana salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183). Melalui ibadah puasa, Allah SWT menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang bertakwa. Pribadi yang tidak pernah mengenal slogan hidup kecuali slogan yang agung ini: sami’naa wa atha’na. Pribadi yang senantiasa melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun. Oleh karenanya, Nabiyullah agung Muhammad SAW telah bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, ikuti keburukan dosa dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya dan gauli manusia dengan akhlak yang baik.” Dalam sabda beliau yang lain: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa faridlah (kewajiban) maka jangan sekali-kali kamu menyia-nyiakannya, Dia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan sekali-kali kamu melampui batas, Dia telah mengharamkan banyak hal maka jangan sekali-kali melanggarnya….” “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo\'alah untuk mereka. Sesungguhnya do\'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. 9/At-Taubah: 103). Dengan ibadah zakat, Islam mengharapkan tumbuh subur sifat-sifat kebaikan dalam jiwa seorang Muslim dan mampu memberangus kekikiran dan cinta yang berlebihan kepada harta benda. Begitu juga ibadah shalat yakni ibadah yang jika seorang hamba melaksanakan dengan memelihara syarat-syarat, rukun-rukun, wajibat, adab-adab, dan kekhusyu`an di dalamnya, niscaya ibadah ini akan menjauhkannya dari perbuatan keji dan kemunkaran. Sebaliknya, ibadah ini akan mendekatkan seorang hamba yang melaksanakannya dengan sebenarnya kepada Sang Khalik dan mendekatkannya kepada kebaikan-kebaikan serta cahaya hidup. Perhatikan ayat berikut ini, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut: 45). Muslim yang selalu menunaikan ibadah ini akan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan kebaikan dan mampu menjadi cahaya di tengah-tengah masyarakatnya. Muslim yang memiliki hamasah yang menggelora dalam memperjuangkan kebenaran dan memberangus nilai-nilai kemunkaran, kelaliman, dan perbuatan keji lainnya. Hatinya terasa tersayat di saat menyaksikan pornografi dan porno aksi mewabah di tengah-tengah masyarakatnya. Jiwanya akan terus gelisah ketika melihat kelaliman yang dipermainkan para budak kekuasaan. Memang, ia harus menjadi cahaya yang berjalan di tengah-tengah kegelapan zaman ini. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. 6Al-An’am: 122) Ikhwan dan akhwat fillah, Ibadah shalat adalah awal kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada umat ini pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Ibadah yang merupakan simbol dan tiang agama, “Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR Muslim). Ibadah yang dijadikan Allah sebagai barometer hisab amal hamba-hamba-Nya di akhirat, “Awal hisab seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik, dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (HR At-Thabrani). Ibadah shalat merupakan wasiat Nabi yang terakhir kepada umat ini dan yang paling terakhir dari urwatul islam (ikatan Islam) yang akan dihapus oleh Allah SWT. Selain ini, shalat juga penyejuk mata, waktu rehatnya sang jiwa, saat kebahagiaan hati, kedamaian jiwa dan merupakan media komunikasi antara hamba dan Rabbnya. Ibadah yang memiliki kedudukan atau manzilah yang agung ini tidak akan hadir maknanya dalam kehidupan kita, tatkala kita lalai menjaga arkan, wajibat dan sunah yang inheren dengan ibadah ini. Tatkala kita tidak mampu menghadirkan hati, merajut benang kekhusukan dan keikhlasan dalam melaksanakan ibadah ini maka kita tidak akan mampu menangkap untaian makna yang terkandung di dalamnya. Kita tidak akan mampu memahami sinyal-sinyal rahasia yang ada di balik ibadah ini. Tidakkah banyak di antara manusia Muslim yang ahli ibadah namun masih jauh dari nilai-nilai Islam. Ahli shalat namun masih suka melakukan kemaksiatan. Hal ini disebabkan nilai-nilai agung yang terkandung dalam ibadah sama sekali tidak mampu memberikan pesan-pesan ilahiah di luar shalat. Takbir yang dikumandangkan di saat beribadah tidak mampu melahirkan keagungan di luar shalat. Do’a iftitah “Inna shalaatii wa nusukii….” yang dilafazkan dalam shalat tidak mampu mengingatkan tujuan hidupnya. Ibadah ini seolah-olah hanya menjadi gerakan-gerakan ritual yang maknanya tidak pernah membumi dalam kehidupan orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu, ibadah shalat yang mampu melahirkan hikmah pencegahan dari perbuatan keji dan kemungkaran, hikmah pensucian jiwa dan ketentraman, apabila dilakukan dengan penuh kekhusyukan, mentadabburkan gerakan dan ucapan yang terkandung di dalamnya, penuh ketenangan dan dengan tafakkur yang sesungguhnya. Maka ia akan keluar dari ibadah dengan merasakan kenikmatannya, terkontaminasi dengan nilai-nilai keta’atan dan mendapatkan cahaya ma’rifatullah. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun yang melaksanakan shalat maktubah (fardlu), lalu ia memperbaiki wudlunya, khusyuk dan rukuknya kecuali shalat ini akan menjadi pelebur dosa-dosa sebelumnya selama tidak melakukan dosa besar. Dan ini berlaku sepanjang tahun.” (H.R. Muslim) Inilah yang pernah dilakukan oleh salaf shalih termasuk di dalamnya Ibnu Zubair RA. Mereka laksana tiang yang berdiri tegak karena kekhusyukannya. Mereka terbius dengan kerinduannya akan Rabbnya dan mereka asyik berkomunikasi dengan Sang Khalik tanpa terganggu dengan suara makhluk-Nya. Ikhwan dan akhwat fillah, Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan di saat melaksanakan ibadah shalat agar hikmah di dalamnya selalu terjaga. Pertama, menjaga arkan, wajibat dan sunah. Rasulullah SAW bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Kedua, ikhlas, khusyuk dan menghadirkan hati. “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta\'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. 98/Al-Bayyinah: 5). Ketiga, memahami dan mentadabburi ayat, do’a dan makna shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Q.S. 107/Al-Maa’uun: :4-5). Keempat, mengagungkan Allah SWT dan merasakan haibatullah. Rasulullah SAW bersabda, “…Kamu mengabdi kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya dan apabila kamu tidak melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwasanya Allah melihat kamu…” (H.R. Muslim). Semoga kita semua mampu merenungkan kembali arti shalat dalam kehidupan dakwah dan memperbaikinya agar kita benar-benar mi’raj kepada Allah SWT. Wallahu A’lam Bish-shawwab

Jabat Tangan, Sebuah Sarana Pembuka Hati

Jabat Tangan, Sebuah Sarana Pembuka Hati
Ada orang yang bertanya kepada Abu Dzar ra., "Apakah waktu itu Rasulullah menjabat tangan kalian jika bertemu?" Ia menjawab, "Saya tidak pernah menjumpainya kecuali beliau menjabat tangan saya. Suatu hari beliau mengutus seseorang kepada saya, waktu itu saya tidak berada di rumah. Ketika saya pulang, saya diberitahu oleh istri saya. Kemudian saya mendatangi Rasulullah. Ketika itu beliau sedang berbaring di tempat tidu. Melihat kedatangan saya, beliau bangkit dan memeluk saya". (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Berjabat tangan bukan sekedar gerakan tangan yang diwarisi secara turun - temurun, tetapi mempunyai makna dan rasa yang dipengaruhi oleh perbedaan hubungan dan kehendak. Oleh karena itu Islam melarang laki-laki menjabat tangan perempuan yang bukan muhrimnya.

Tangan adalah organ tubuh yang sangat peka. Ia dapat menerima dan mengirm isyarat-isyarat yang tampak pada wajah atau yang tersimpan dalam hati. Tangan dapat menyalurkan kasih sayang dan cinta dari satu hati ke hati yang lain. Keterpautan antara dua tangan hanya akan dilakukan oleh dua hati yang saling mencintai. Tangan tidak akan bergerak untuk berjabat tangan secara tiba-tiba, tetapi menanti komando dari hati dan pikiran. Karena itu, jabatan tangan yang penuh dengan keikhlasan serta niat yang tulus untuk mempererat ukhuwah insya Allah akan dapat mengikis dan membuka sekat-sekat yang selama ini memisahkan hati-hati kita.

Jangan lupa pula meletakkan tangan Anda di pundak orang yang Anda cintai, karena itu adalah sentuhan yang penuh makna dan hanya dilakukan oleh hati-hati yang saling mencintai. Tunjukkan kepada semua saudara-saudara kita bahwa kita sangat mencintai mereka, bahwa kita hanya ingin mereka dan kita sama - sama berada dalam barisan orang-orang yang menjunjung tinggi Islam. 

Satu hal yang terpenting ialah, jangan lakukan hal-hal baik hanya kepada orang-orang terdekat kita. Tapi cobalah perlakukan dan pergauli semua orang dengan baik sehingga  fitnah ekslusivitas yang selama ini ditujukan kepada kita lambat laun akan dapat kita hilangkan. Sebab orang lain hanya akan menilai kita ekslusif maka kala mereka melihat  kita hanya bergaul dengan orang-orang yang segolongan dengan kita saja, sedangkan terhadap saudara-saudara kita yang lain kita mengacuhkannya.

Semoga perlakuan baik kita kepada semua saudara-saudara kita  dijadikan Allah sebagai perantara terbukanya pintu-pintu hati mereka   dan juga menjadi perantara  turunnya  hidayah Allah kepada mereka. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
 

ISTIQOMAH

Istiqamah



 “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendiriannya (beristiqamah), maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga , mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.(QS al-Ahqaaf: 13-14)

Sebagai bentuk penghambaan manusia pada Rabbnya, ibadah memerlukan istiqamah. Keteguhan hati dalam mengikuti petunjuk yang dengan jelas telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, tanpa menambah atau mengurangi sedikit pun.
Istiqamah sebagai konsep yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna) secara sederhana dapat bermakna keberlangsungan yang terus menerus dalam kebenaran dan kebaikan, baik sebagai ucapan, perbuatan, keyakinan, sikap maupun nilai.

Guna menjelaskan hakikat istiqamah, Ibnu Rajab al-Hambali mengajukan definisi, “Berjalan di atas jalan kebenaran yang lurus tanpa menyimpang sedikit pun, dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan manhaj Rasulullah saw dalam melakukan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.”

Imam Muslim meriwayatkan sabda Rasulullah saw, “Amal yang paling disukai Allah Ta’ala adalah amal yang dikerjakan terus menerus walaupun jumlahnya sedikit,” Karena itu, istiqamah bukan sekadar kebajikan tambahan atau pelengkap, melainkan sebuah keharusan dalam kehidupan manusia, sebagai individu maupun masyarakat.

“Istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat. Seseorang yang memiliki sikap istiqamah akan selalu merasa dekat dengan kebaikan, rezekinya dilapangkan, dan akan jauh dari pengaruh buruk hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati istiqamah, malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan ketenangan dari rasa takut terhadap azab kubur. Selain itu, hati yang istiqamah akan mempermudah amal seseorang untuk diterima di sisi Allah selain akan mempermudah untuk dihapus dosa-dosanya,” papar Imam al-Qurthubi, salah seorang ulama tafsir.
Jelasnya, istiqamah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang Muslim.
sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Rasulullah saw. Ketika seorang sahabatnya, Sufyan bin Abdullah, bertanya: “Wahai Rasulullah mohon dijelaskan padaku tentang Islam yang sesungguhnya, sehingga aku tidak bertanya lagi setelah ini kepada seseorang selain kepadamu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian beristiqamalah!” (HR Muslim).

Singkat dan padat. Demikianlah kiranya jawaban Rasulullah saw dari pertanyaan sahabatnya tersebut, namun di balik kesingkatan jawaban tersebut justru kita dapat menangkap suatu isyarat bahwa untuk menjadi Muslim sejati ‘cukup’ dengan memenuhi dua syarat, yaitu: beriman kepada Allah dan bersikap istiqamah dalam keimanannya tersebut.

Bersikap istiqamah dalam keimanan tidaklah sesederhana yang dibayangkan.
Umumnya orang memahami keimanan kepada Allah cukup dengan mempercayai dan mengakui eksistensi Allah dengan segenap ke-rububiyahan-Nya. Padahal iman bukan sekadar angan-angan, imajinasi atau khayalan. Ia adalah keyakinan yang harus tertanam kokoh dalam jiwa dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.

Allah sangat menghargai dan memuji orang-orang yang mampu mempertahankan sikap istiqamah. Merekalah yang berani menegakkan kebenaran dan tidak takut dengan konsekuensi keimanan. Bahkan tidak akan menyesal bila risiko betul-betul menimpa dirinya sebagai kaum Mukminin.



 “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap dalam pendiriannya (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘janganlah kamu merasa takut dan sedih dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat :30).

Karena itu, setiap kita harus berjuang untuk menumbuhkan istiqamah dalam jiwa masing-masing. Ada empat hal yang harus ditempuh agar dapat menjadi hamba-hamba Allah yang istiqamah. Pertama, kesadaran dan pemahaman yang benar (Al-Wa’yu wa al-fahmu ash-Shahih). Untuk mencapai derajat istiqamah yang optimal dan berdaya, pemahaman ajaran Islam secara sempurna mutlak diperlukan. Muslim yang memahami ajaran agamanya dengan baik tidak akan bimbang menjalani kehidupan dunia. Ia akan tetap tegar
(istiqamah) menghadapi badai godaan sedahsyat apa pun.

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya (at-Taqarrub wa al-Muraqabah). Dua hal ini sangat penting. Ketika seorang Muslim telah merasa dekat dengan Allah, kemana pun ia pergi, dimana pun ia berada dan bagaimana pun situasi dan kondisinya, dengan keyakinan penuh ia akan selalu merasa diawasi dan dilihat oleh Allah.
Dengan begitu, ia tidak lagi berani menyimpang dari jalan-Nya (QS Al-Baqarah: 235).

Ketiga, berteman dengan orang-orang shalih (mulaazamat ash-shalihin).
Rasulullah saw mengingatkan, “Seseorang itu mengikuti agama kawannya, karena itu perhatikanlah kepada siapa orang itu berkawan.” (HR Tirmidzi).

Keempat, intropeksi dan sungguh-sungguh (al-Muhasabah wa al-Mujahadah).
Setiap pribadi Muslim harus mengetahui bahwa musuh utama dirinya adalah hawa nafsunya sendiri yang memang memiliki tabiat selalu condong pada kejahatan dan perbuatan dosa (QS Yusuf: 53).

Sebab itulah, setiap Muslim seyogianya selalu mengadakan introspeksi diri (muhasabah an-nafs) terhadap apa-apa yang telah dikerjakan agar ia dapat mengontrol hawa nafsunya setiap saat.

Istighfar (Memohon Ampunan) Keutamaan, Waktu dan Lafazh-Lafazhnya

Istighfar (Memohon Ampunan) Keutamaan, Waktu dan Lafazh-Lafazhnya

Segala puji bagi Allâh, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasul-Nya yang terpercaya, keluarga, para shahabat serta orang yang mengikuti beliau hingga hari Kiamat, wa ba’du:
Berikut ini kami ketengahkan beberapa bahasan secara ringkas mengenai “Istighfar: keutamaan, waktu dan lafazhnya”. Kami memohon kepada Allâh agar menjadikan tulisan ini bermanfa’at.

I. Keutamaannya

§  Ia merupakan bentuk keta’atan kepada Allâh ‘Azza Wa Jalla
§  Istighfar merupakan sebab untuk diampuninya dosa, sebab turunnya hujan, mendapatkan harta dan anak serta masuknya manusia ke dalam surga. Nabi Nuh berkata ketika mendakwahi kaumnya, sebagimana firman Allah (artinya): “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Q.,s. Nûh:10-12)
§  Kekuatan menjadi bertambah dengan istighfar, Allah Ta’ala berfirman (artinya), Dan (Hud berkata):"Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu lalu tobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa".(Q.,s.Hûd:52)
§  Ia merupakan sebab mendapatkan kesenangan yang baik, serta menjadi sebab masing-masing orang yang memiliki keutamaan berhak mendapatkan keutamaannya. Allah Ta’ala berfirman (artinya), "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Q.,s.Hûd:3).
§  Allah tidak akan mengazab orang yang selalu beristighfar. Dia telah berfirman (artinya), “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun." (Q.,s.al-Anfâl:33)
§  Ia dibutuhkan oleh hamba-hamba Allâh karena mereka selalu berbuat kesalahan sepanjang malam dan siang hari. Jadi, bila mereka beristighfar, Allâh pasti mengampuni mereka.
§  Rahmat akan turun dengan sebab istighfar. Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat."(Q.,s.an-Naml:46)
§  Istighfar merupakan kaffarat (penebus dosa) yang dilakukan dalam suatu majlis.
§  Melakukannya berarti meneladani Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam sebab beliau beristighfar di dalam satu majlis sebanyak 70 kali. Dalam riwayat yang lain disebutkan, sebanyak 100 kali.

II. Beberapa Ungkapan Mengenai Istighfar
§  Diriwayatkan dari Luqman 'alaihissalâm bahwa dia berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku! Biasakanlah lisanmu mengucapkan:
الَّلهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Ya Allâh! ampunilah aku”, sebab Allâh menyediakan waktu-waktu dimana Dia Ta’âla tidak menolak doa orang yang berdoa kepada-Nya.”
§  ‘Aisyah radhiallaahu 'anha berkata, “Beruntunglah orang yang mendapatkan di dalam shahîfah (lembaran amalnya) istighfar yang banyak.”
§  Qatâdah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian penyakit dan obat; penyakit itu adalah dosa-dosa sedangkan obatnya adalah istighfar.”
§  Abu al-Minhâl berkata, “Tidak ada tetangga (teman dekat) yang lebih dicintai oleh seorang hamba kelak di kuburnya selain istighfar.”
§  al-Hasan berkata, “Perbanyaklah istighfar di rumah-rumah kalian, di hadapan hidangan-hidangan, di jalan-jalan, pasar-pasar serta majlis-majlis sebab kalian tidak tahu kapan ampunan-Nya akan turun.”
§  Seorang Arab Badui (orang yang biasa hidup di pedalaman gurun pasir) bertutur, “Barangsiapa yang mendiami bumi kami ini, maka hendaklah dia memperbanyak istighfar sebab bersama istighfar itulah terdapat awan tebal yang membawa curahan hujan.” (maksudnya istighfar itu merupakan sebab turunnya hujan-penj.,)

III. Waktu-waktu Beristighfar

Istighfar disyari’atkan di dalam setiap waktu, tetapi ia menjadi wajib ketika melakukan dosa-dosa dan menjadi sunnah/sangat dianjurkan seusai melakukan perbuatan-perbuatan baik, seperti beristighfar 3 kali setelah shalat, setelah haji dan lain-lain.

Juga, dianjurkan pada waktu sahur sebab Allâh memuji orang-orang yang beristighfar pada waktu-waktu sahur tersebut.

IV. Lafazh-lafazh Istighfar

§  Lafazh paling utamanya adalah yang dikenal dengan Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yaitu mengucapkan:
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَااسْتَطَعْتُ أَعُوْذُُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allâh! Engkaulah Rabbku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain-Mu, Engkaulah Yang menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu, aku berada diatas ikatan dan janji-Mu selama aku mampu, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang aku buat, aku mengakui kepada-Mu atas nikmat-Mu kepadaku, dan aku juga mengakui kepada-Mu dosa-dosaku; maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau”
§  Lafazh: أَسْتَغْفِر ُاللهَ
§  Lafazh: رَبِّ اغْفِرْ لِي
§  Lafazh: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي ؛ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allâh! sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku, maka ampunilah aku; karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau”
§  Lafazh: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ اْلغَفُوْرُ، أو التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Tuhanku! Ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun, (atau )Maha Penerima taubat lagi Maha Pengasih”
§  Ucapan: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيْرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي إِنَّكَ أَنْتَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Ya Allâh! sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku dengan kezhaliman yang banyak dan tidak ada Yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan kasihilah aku, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”
§  Ucapan:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ َالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ اْلحَيُّ اْلقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

"Aku memohon ampun kepada Allâh Yang tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepada-Nya”

وَصَلَّى للهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ

Istighfar Dan Taubat Sebab Diturunkannya Rizki

Istighfar Dan Taubat Sebab Diturunkannya Rizki

Hakikat Istighfar dan Taubat

Sebagian orang menyangka, bahwa istighfar dan taubat hanyalah dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan: (Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya). Tetapi kalimat-kalimat tersebut tidak mem-bekas di dalam hati, juga tidak berpe-ngaruh dalam perbuatan anggota badan.

Imam An-Nawawi menjelaskan: "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, maka syaratnya ada tiga :
Pertama, menjauhi maksiat tersebut.
Kedua, menyesali perbuatan (maksiat)nya.
Ketiga, berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.

Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.

Jika taubat itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat, yaitu :
Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk melakukannya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf." ( Riyadhush Shalihin, hal. 33).

Sedangkan istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah, "Meminta (ampun-an) dengan ucapan dan perbuatan." Adapun firman Allah:
(Mohonlah ampun kepada Tuhan-mu, sesungguhnya Dia Maha Pengam-pun) tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta." (Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, hal. 362).

Dasar (Syari'at) Hukum Islam Bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki.

1. Apa yang disebutkan AllahSubhannahu wa Ta'ala tentang Nuh alaihis salam yang berkata kepada kaumnya:

"Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai'." (Nuh: 10-12).
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan istighfar:

§  Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firmanNya:
"Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."
§  Hujan yang lebat.
§  Harta dan anak yang banyak.
§  Allah akan menjadikan untuk-nya kebun-kebun.
§  Allah akan menjadikan untuk-nya sungai-sungai. (Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathit Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417).
Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: "Bahwasanya Umar t keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) sampai beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka beliau membaca ayat : "Mohonlah ampun kepada Tuhan-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengi-rimkan hujan kepadamu dengan lebat." (Tafsir Al-Khazin, 7/154; Ruhul Ma'ani, 29/72).

Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, 'Beristighfarlah kepada Allah!'. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfarlah kepada Allah!' Yang lain lagi berkata, 'Do'akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!' maka beliau mengatakan kepadanya, 'Beristighfarlah kepada Allah!' Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula), 'Beristigh-farlah kepada Allah!'."

Lalu Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, 'Banyak orang yang mengadukan bermacam- macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar.' Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh:
"Mohonlah ampun kepada Tuhan-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengi-rimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan meng-adakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai'." (Nuh: 10-12). ( Tafsir Al-Qurthubi, 18/302-303. Lihat pula, Tafsirul Kasysyaf, 4/192 dan Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123).

2. Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan tentang seruan Hud alaihis shalatu was salam kepada kaumnya agar beristighfar:

"Dan (Hud berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menunrunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menam-bahkan kekuatan kepada kekuatan-mu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'."(Hud: 52).

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan: "Kemudian Hud alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah memudah-kan rizkinya , melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman:
"Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51).

3. Ayat lain adalah firman Allah:

"Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertau-bat kepadaNya. (Jika kamu mengerja-kan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutama-an (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat."(Hud: 3).

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: "Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan kepada orang yang melakukannya berupa kenik-matan yang baik sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan." (Adhwa'ul Bayan, 3/9).

4. Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan setiap kesempitannya kelapangan dan Allah memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangkanya."(Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi milik-nya; Sunan Abi Daud, no. 1515, 4/267; Kitabus Sunan Al-Kubra, no. 2/10290, 6/118; Sunan Ibnu Majah, no. 3864, 2/339; Al-Mustadrak 'alash Shahihain, 4/292). Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak." (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan shahih)." (Aunul Ma'bud, 4/267).

Dalam hadits yang mulia ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tiga hasil yang dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, rizki dari Allah Yang Maha Memberi rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak terdetik dalam hatinya.

Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki agar bersegera memperbanyak istighfar (memohon ampun) dan taubat, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.
Wallahu a'lam. (ain).

Istighfar, Satu Kebutuhan

Istighfar, Satu Kebutuhan

"Maka aku katakan kepada mereka:"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun". Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan ( pula didalamnya ) untukmu sungai-sungai."(Q.S.Nuh:10-12)

Penjelasan:
Semenjak kekuasaan Islam mulai luruh dari permukaan bumi dan kekuatan Barat mulai mencengkeramkan kuku-kukunya, maka tak ayal lagi akhlak manusiapun menjadi kian terpuruk.

Moral dan etika menjadi sesuatu yang "usang" untuk dibicarakan, nafsu menjadi standar baku untuk mengukur nilai-nilai kehidupan, dan syahwat adalah sesuatu yang senantiasa dipuja-puja dengan dalih ia adalah seni, estetika atau yang lainnya. Akibatnya duniapun semakin kelam dan kotor, sehingga hampir tak ada sejengkalpun tanah dibumi ini kecuali sarat dengan debu-debu kemaksiatan. Contoh yang mudah, manakala anda pergi kemasjid, maka mau tak mau anda harus melewati sekian banyak kemaksiatan. Bukankah sepanjang perjalanan banyak wanita berseliweran dengan pakaian menantang ?

Atau rumah kita, bukankah selalu dibanjiri tayangan porno dan dentum musik syaitani ? contoh yang lain masih banyak lagi. Kesemuanya ini tentunya menjadikan diri kita lekat dengan dosa dan kemaksiatan. Disinilah seharusnya kita menyadari bahwa istighfar adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi untuk menghindari pekatnya hati dari selubung dosa.

URGENSI ISTIGHFAR

Terkadang kata "istighfar" disebut sendirian, tapi terkadang pula ia disebut secara bersambungan dengan kata "taubat".Kata istighfar bila ia disebut sendirian, ia mengandung makna taubat. Namun bila disebut secara bersamaan dalam satu ayat, maka istighfar bermakna "meminta pengampunan/ penjagaan dari kesalahan-kesalahannya yang telah lampau". Sedangkan kata taubat berarti "Kembali kejalan Allah dan minta dijaga dari kesalahan-kesalahan yang akan datang". Firman Allah S.W.T : "Dan beristighfarlah kepada Rabbmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih".( Madarijus Salikin : 1/335 ).

Seberapa jauh urgensi istighfar dalam kehidupan, dapat terlihat dari seberapa besar perhatian Rasulullah S.a.w terhadap masalah ini. Adalah beliau S.a.w manusia yang makshum ( terjaga dari dosa ), meski demikian beliau tetap akrab dengan kalimat istighfar. Ibnu Umar r.a pernah memberi kesaksian bahwa beliau mendengar Rasulullah S.a.w dalam suatu majlis membaca kalimat ( yang artinya ); "Saya memohon ampun kepada Allah yang tidak ada sembahan selain Dia. Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya sebanyak seratus kali." ( H.R.Nasa`i,Ibnu Hajar berkata:"sanadnya baik" ).

KITA HARI INI. Kalau para sahabat yang kondisinya jauh dari polusi kemaksiatan dan hari-harinya senantiasa dipenuhi dengan amal kebajikan saja tetap tanggap, serius dan kontinyu dengan istighfar, maka bagaimanakah dengan kita hari ini ?
Hari ini kita, kalau boleh dikatakan adalah orang-orang yang melalaikan istighfar. Padahal kalau melihat kondisi yang ada selayaknyalah kita lebih banyak membutuhkan istighfar, sebab tensi kemaksiatan hari ini sangat jauh berlipat ketimbang zaman para sahabat.
Bukankah berbohong, ghibah, mengurangi timbangan, zina dan segudang dosa-dosa besar sudah menjadi barang biasa bagi masyarakat kita ? Dan ironisnya dosa-dosa itu kita anggap sebagai angin lalu seakan tidak membahayakan kita.
Maka sudah saatnyalah kita merenung ulang terhadap kiri kita, sudahkah ada dalam diri kita perasaan perlu terhadap istighfar sehingga secara otomatis kalimat kalimat-kalimat istighfar itu sering mengalir dari mulut dan hati kita.

CUKUPKAH UCAPAN ISTIGHFAR SAJA

Sebagaimana kita ketahui bahwa dosa itu dikategorikan dalam dua jenis, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dosa kecil akan hapus bila kita berucap istighfar dan berbuat kebajikan. Adapun jika yang kita lakukan termasuk dalam kategori dosa besar, maka ucapan istighfar tanpa disertai dengan rasa penyesalan dan upaya melepaskan diri dari kemaksiatan adalah gurauan belaka.Padahal ulama telah memberitahukan bahwa taubat itu baru bernilai jika telah memenuhi beberapa syarat, yaitu;
Segera menghentikan kemaksiatan yang dikerjakannya.
Menyesal atas perbuatan dosa yang dilakukannya. Biasanya ditandai dengan airmata penyesalan.
Berniat sungguh-sungguh untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya tersebut.
Jika dosanya berkaitan dengan hak-hak adami maka ia harus mengembalikan hak orang yang telah didholiminya. ( Riyadhus sholihin:25 )
Tanpa itu semua maka taubat kita baru sebatas omongan belaka, tanpa bukti. Wallahu a`lam.
Referensi:
Ibnu Qoyyim, Madarijus Salikin; Ibnu Hajar, Fathul Bari; Qurtubi, Al Jami`li Ahkamil Qur`an: Salman bin Umar, Istighfar Ahammiyatuhu wa hajatuna ilaihi

Islam & Persatuan Bangsa

Islam & Persatuan Bangsa

Kita sekarang ini ditengah-tengah gelombang perobahan, yang sedang berjalan. Gelombang itu suatu saat mengalami pasang naik dan saat yang lain mengalami pasang surut.

Jika pengemudi dan awak serta penumpang kapal, kurang sabar dalam menghadapi benturan-benturan gelombang, maka terjadilah kepanikan pada semua penumpang kapalnya.

Pergantian kepemimpinan nasional Indonesia yang berlangsung dengan singkat, khidmat dan sederhana tanpa adanya upacara-upacara sebagaimana mestinya, merupakan suatu perobahan besar dan luar biasa. Dan terasa lebih besar lagi, karena perobahan tersebut tanpa terjadi pertumpahan darah.

Sejak itu, angin kebebasan mulai nampak dan terasa. Kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul serta pembebasan hak-hak rakyat yang selama ini terbelenggu sudah ditetapkan dengan undang-undang. Dalam derap langkah kebebasan tersebut, juga tak lepas dari ekses-ekses. Ada yang memahaminya kebebasan itu demi kebebasan, sehingga bisa merugikan atau bahkan melanggar kebebasan orang lain.

Munculnya partai-partai, yang diantara sebagaian dari partai-partai tersebut ada yang tegas-tegas memilih Islam sebagai azasnya, dan ada pula yang menyatakan berakidah Islam. Keadaan ini tidak perlu dirisaukan benar karena pada akhirnya nanti akan terjadi seleksi secara alamiah.

Langkah awal yang perlu dilakukan sekarang adalah dilakukanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengejawantahkan ajaran Islam ke dalam kehidupan pribadi para aktivis partai, sehingga para politisi muslim yang tampil adalah orang-oarng yang memiliki integritas pribadi yang tinggi, jujur, ikhlas, pekerja keras, bersih dan berani menyatakan al-haq dimana dan kapan pun.

Disamping itu, umat Islam secara keseluruhan harus mampu mentransformasikan nilai-nilai Islam kedalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mereka mampu memecahkan problem-problem aktual yang dihadapi oleh rakyat, bangsa dan negara.

Terakhir sesama umat Islam harus mampu menjaga ukhuwah Islamiyah diantara mereka, serta menjaga hubungan baik diantara sesama muslim, dan jagan memandang adanya perbedaan golongan ataupun partai.

Selama perjuangan kita itu disertai dengan niat yang ikhlas berdasarkan iman dan taqwa, maka tidak ada perbedaan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia. Persatuan umat Islam adalah modal pokok bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini. Selama ini sejarah telah berbicara bahwa umat Islam senantiasa berdiri di barisan paling depan dalam menciptakan, memelihara dan memperkuat persatuan bangsa.

Islam dan Kehidupan

Islam dan Kehidupan

Manusia secara Biologis mengalami satu kali kematian sebagaimana mengalami satu kali kelahiran. Namun secara psikologis dan pemikiran ternyata manusia bisa mengalami beberapa kali kematian dan kelahiran. Dan kematian secara biologis tidak terlalu berbahaya dibanding kematian secara psikologis, karena apabila kematian secara biologis dialami oleh orang baik hanya akan menyebabkan kesedihan bagi keluarga dan karib kerabat yang ditinggal, sebaliknya apabila yang mengalami kematian itu orang jahat akan membuat orang yang disekitarnya bergembira karena mereka merasa telah terbebas dari kejahatan orang tersebut.

Namun akan lain jadinya apabila seorang manusia mengalami kematian secara psikologis, yang rusak bukan saja dirinya secara pribadi tetapi akan menjalar ke keluarganya bahkan kemasyarakatnya,apalagi kalau yang mengalami kematian seperti ini seorang pemimpin maka ia akan merusak komunitas masyarakat yang lebih luas.

Islam datang kepada manusia untuk memberikan kehidupan yang hakiki kepada manusia,yaitu menghidupkan manusia secara fisik dan psikologis.Maka Allah swt dalam al-quran dan Rasul saw dalam hadits sering memberikan perumpamaan Islam dengan sesuatu yang menjadi sumber kehidupan. Allah umpamakan Islam seperti udara atau oksigen (Qs.6:125), dalam ayat lain Allah analogikan Islam seperti cahaya (Qs.14:1). Dan Rasulullah dalam hadits memberikan perumpamaan Islam seperti air. “Matsalu ma ba’atsanillahu minal huda kamatsalil ghaoits..” 

INDIVIDUALISME DALAM ISLAM

INDIVIDUALISME DALAM ISLAM

Islam merupakan agama yang sangat menekankan kebersamaan diantara sesama manusia, bersama dalam iman dan amal shaleh dan bersama dalam perjuangan menegakkan prinsip-prinsip iman dan amal shaleh itu. Namun tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua orang mau dalam kebersamaan yang positif itu. Karena itu, seorang muslim tidak boleh memiliki ketergantungan kepada orang lain ketika ia ingin menjadi baik, dia harus tunjukkan keislamannya yang sejati meskipun hanya sendirian. Inilah yang kita maksud dengan individualisme dalam Islam, bukan individualisme yang selama ini dipahami manusia dalam arti tidak mau bergaul, mengurus diri sendiri dan tidak mau membantu orang lain, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri kepada Allah (QS 3:102).

Paling kurang, ada tiga rumusan pokok yang bisa kita pahami dari prinsip individualisme dalam Islam.

1. SETIAP MUSLIM HARUS BERAMAL.

Setiap muslim sangat dituntut untuk beramal yang shaleh. Dengan amal yang shaleh, seorang muslim bukan hanya bisa menunjukkan kebenaran iman yang dimilikinya, tapi juga bisa membawa pada kehidupan yang bermakna dan bermanfaat serta membahagiakan kehidupan dunia dan akhirat.  Oleh karena itu, ketika seseorang ingin beramal shaleh atau melakukan perbuatan baik, ia tidak boleh tergantung pada orang lain dalam arti ia mau melakukan kebaikan bila orang lain melakukannya, sedangkan iapun mau melaukan keburukan dan kejahatan bila orang lain melakukan hal itu, padahal seharusnya ia selalu mau beramal shaleh secara optimal dan tidak akan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan  Allah dan Rasul-Nya. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw bersabda: Janganlah kamu menjadi orang yang “ikut-ikutan” dengan mengatakan kalau orang lain berbuat kebaikan, kamipun akan berbuat baik, dan kalau mereka berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip; kalau orang lain berbuat kebaikan, kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya (HR. Tirmidzi).

Dengan demikian, beramal itu sangat bersifat pribadi sehingga masing-masing orang harus beramal shaleh tanpa dipengaruhi oleh orang lain meskipun di dalam Islam ada amal-amal yang memerlukan keterlibatan orang lain, bahkan semakin banyak yang terlibat, nilainya bisa semakin baik seperti pelaksanaan shalat berjamaah yang lima waktu.

Manakala setiap muslim memiliki prinsip individualisme seperti ini, maka ia akan menjadi pelopor dalam suatu kebaikan dan masing-masing muslim bisa menjadi cermin untuk bisa menunjukkan kekurangan guna diperbaiki.

2. PAHALA UNTUK DIRI SENDIRI

Seorang muslim yang telah beramal shaleh tentu ada pahala yang akan diperolehnya. Pahala itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Karenanya agak aneh bila seorang muslim tidak mau beramal yang shaleh karena ia berharap akan mendapatkan kiriman pahala amal shaleh yang dilakukan oleh orang lain, khususnya ketika ia sudah meninggal dunia. Disamping itu, agak aneh juga bila ada orang beramal shaleh tapi pahalanya hendak diberikannya kepada orang lain bagaikan orang yang sudah cukup atau malah kelebihan pahala, padahal untuk bisa mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan akhirat, seseorang harus membawa nilai pahala yang sebanyak-banyaknya. Yang harus dilakukan oleh seorang muslim terhadap muslim lainnya, terutama muslim yang telah meninggal dunia sebenarnya bukan mengirim pahala, tapi mendo’akannya agar diampuni, diluaskan kuburnya dan dimasukkan ke dalam surga. Karena itu sangat beda makna antara mengirim do’a dengan mengirim pahala. Mengirim do’a berarti memohon kepada Allah agar orang yang sudah meninggal diampuni dan dimasukkan ke dalam surga, sedangkan mengirim pahala berarti pahala dari amal yang kita lakukan diberikan kepada orang lain.

Tegasnya, masing-masing orang memperoleh pahala berdasarkan amal yang dilakukannya, demikian pula halnya dengan dosa yang akan didapatnya. Allah Swt berfirman: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (QS 2:286).

Oleh karena itu, masing-masing orang harus memiliki semangat yang tinggi dalam beramal shaleh, semakin banyak amal shaleh yang dilakukannya, semakin banyak pula nilai pahala yang akan diperolehnya, dan tidak sedikit amal-amal yang pahalanya tetap diperoleh oleh orang yang melakukannya meskipun ia sudah tidak beramal lagi dengan sebab-sebab tertentu, ini merupakan saham dalam amal yang pahalanya tetap bisa mengalir meskipu ia sudah meninggal dunia, bahkan Allah Swt melipatgandakan nilai pahala amal yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya , Allah Swt berfirman: Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya (QS 6:160).

3. TIAP ORANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS AMALNYA

Di dunia dan akhirat nanti, manusia harus bertanggung jawab atas amalnya. Bila seseorang diajak orang lain melakukan kemaksiatan lalu dia betul-betul melakukannya, maka ia harus bertanggungjawab atas perbuatannya itu, dia tidak bisa menyalahkan orang yang mengajaknya, karena orang itu sudah jelas salah dan dia akan mendapatkan bagian dosa yang besar dari kesalahannya itu, bahkan dalam kehidupan di akhirat nanti, syaitan yang mengajak manusia pada kesesatan tidak mau disalahkan oleh manusia, tapi justeru manusia harus menyalahkan dirinya sendiri, hal ini disebutkan di dalam Al-Qur’an: Dan berkatalah syaitan tatkala perkara hisab telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu, janji yang benar, dan akupun telah berjanji kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tapi cercalah dirimu sendiri (QS 14:22)  

Dari keterangan ini, terasa sekali betapa semangat individualisme harus dimiliki dalam arti tidak ada toleransi dalam perbuatan dosa, karena setiap orang yang berdosa harus bertanggung jawab atas dosanya dan ia tidak bisa melimpahkannya kepada orang lain. Manusia telah diberikan oleh Allah Swt pendengaran, penglihatan dan hati atau akal pikiran untuk bisa membedakan mana yang benar dan salah, karenanya wajar bila Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban atas amal manusia sehingga manusia tidak bisa mengelak dari pertanggungjawaban meskipun ia hanya ikut-ikutan, Allah Swt berfirman: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya (QS 17:36).

Dalam kehidupan di akhirfat nanti, manusia tidak bisa mengelak dari pengadilan Allah Swt sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban atas amal-amal yang dilakukannya. Bahkan manusia tidak bisa lagi berbohong untuk mengakui kesalahan atau dosa yang dilakukannya di dunia, karena dirinyapun bersaksi atas semua itu. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman: Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan (QS 36:65).

Di dalam ayat lain, Allah Swt mengemukakan bahwa kulitpun menjadi saksi atas apa yang dilakukan oleh manusia di dunia, firman Allah dalam kaitan ini berbunyi: Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan (QS 41:19-20).

 Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa sedapat mungkin kita harus mengajak orang lain untuk beramal yang shaleh, namun bila mereka tidak mau, hal itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk tidak mau beramal shaleh, karena masing-masing orang harus melakukan amal shaleh. Kalau seseorang sudah punya tiket untuk pergi ke suatu negara dengan pesawat terbang, terserah dia untuk datang atau tidak ke Bandara pesawat. Bila saatnya pesawat harus terbang, maka orang yang tidak datang ke Bandara akan ditinggalkannya. Semua terpulang pada masing-masing orang. Begitulah memang dalam masalah amal di dalam Islam.

Indikator Keberhasilan Ramadhan Kita

Indikator Keberhasilan Ramadhan Kita

Ramadhan tidak lama lagi berakhir. Rasanya belum banyak yang bisa kita lakukan untuk mengoptimalkan Ramadhan bagi peningkatan taqwa, tapi apa dikata, Ramadhan tetap akan berakhir dan kita berharap semoga Ramadhan yang akan datang dapat kita jumpai lagi dengan tekad bisa mengisinya dengan sesuatu yang lebih baik.
Salah satu yang kita harapkan dengan berakhirnya Ramadhan adalah kembalinya kita kepada fitrah atau kesucian diri kita masing-masing sebagaimana bayi yang baru dilahirkan, dalam keadaan tidak berdosa dan memiliki tauhid yang mantap. Allah Swt memang telah menjanjikan demikian melalui sabda Rasul-Nya Saw yang berbunyi:
Allah SWT mewajibkan puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan shalat malam harinya. Barangsiapa berpuasa dan shalat malam dengan mengharap pahala (keridhaan) Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya (HR. Ahmad).
Manakala kita telah kembali kepada fitrah dalam arti terhapus dosa-dosa dan bersih tauhid kita dari segala bentuk kemusyrikan, maka kita termasuk orang yang sukses dalam menunaikan ibadah Ramadhan tahun ini.
Keberhasilan ibadah Ramadhan dalam bentuk terhapusnya dosa-dosa merupakan sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang konkrit atau nyata. Oleh karena itu kita mesti memiliki tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadhan dengan ketaqwaan kepada Allah Swt yang meningkat. Ada beberapa indikasi yang bisa kita jadikan patokan untuk menilai diri; apakah ibadah Ramadhan kita berhasil atau tidak.
(1)  Tauhid yang Mantap
Seorang muslim yang habis menunaikan ibadah puasa, maka seharusnya dia memiliki tauhid yang mantap, dengan tauhid yang mantap itu dia selalu mengutamakan Allah Swt dan selalu terikat pada nilai-nilai yang diturunkan-Nya. Karena itu orang yang tauhidnya mantap, akan selalu menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah, mencintai Allah di atas segala-galanya serta tunduk dan taat kepada-Nya.
(2) Akhlak yang Mulia
Ibadah Ramadhan telah mendidik kita untuk selalu berakhlak yang mulia, karenanya keberhasilan ibadah Ramadhan membuat akhlak atau moral yang tercela terkikis habis dari jiwa dan kepribadian kita masing-masing. Maka sesudah kita menunaikan ibadah Ramadhan, keberhasilan yang harus kita tunjukkan adalah dengan memiliki akhlak yang mulia. Kemuliaan akhlak suatu masyarakat akan membuat kehidupan berlangsung dengan aman dan sentosa serta penuh dengan berkah dari Allah Swt, dan sebaliknya akhlak yang tercela dalam suatu masyarakat akan membuat kehancuran, malapetaka dan laknat Allah Swt.
(3). Semangat Menutunt Ilmu
Aktivitas Ramadhan juga telah merangsang kegairahan kita untuk menimba ilmu pengetahuan, khususnya yang menyangkut pendalaman ajaran Islam. Kuliah subuh, kuliah zuhur, ceramah tarawih, pesantren Ramadhan dan studi keislaman lainnya di bulan Ramadhan merupakan aktivitas-aktivitas yang merangsang semangat kita untuk menimba ilmu pengetahuan. Aktivitas ini membuat kita tidak hanya lebih panatis sebagai seorang muslim, tapi juga paham dan memiliki wawasan keislaman yang lebih baik. Dan sesudah Ramadhan ini, semangat itu harus kita buktikan.
(4) Semangat Memakmurkan Masjid
Ramadhan juga telah melatih kita untuk kembali ke masjid, kembali memakmurkan masjid, kembali beraktivitas di masjid. Itu sebabnya selama Ramadhan, kita rasakan masjid-masjid kita relatif lebih makmur, pengurus dan jamaahnya lebih aktif dan aktivitas lebih banyak dan bervariasi. Berakhirnya Ramadhan tidak boleh membuat masjid kita kembali sepi, tanpa kepengurusan yang serius, tanpa jamaah yang aktif dan tanpa aktivitas.

(5). Solidaritas Sosial yang Tinggi
Ibadah Ramadhan juga telah mendidik kita untuk merasakan betapa tidak enaknya lapar dan haus itu yang juga telah disertai dengan menunaikan kewajiban sakat fitrah bahkan diselingi dengan infaq dan shadaqah yang kesemua itu bermuara pada penumbuhan dan pemantapan rasa tanggung jawab sosial. Karena itu sesudah Ramadhan berakhir, semestinya semakin mantap rasa tanggung jawab sosial kita sehingga kita punya perhatian terhadap kaum muslimin yang mengalami kesulitan hidup secara ekonomi.
Dengan demikian, ibadah Ramadhan yang hampir kita akhiri, tentu saja harus meninggalkan bekas yang mendalam sehingga ketaqwaan kita kepada Allah Swt semakin mantap yang berarti apapun yang kita hendak lakukan selalu berpijak pada nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Islam yang agung.

Indahnya Berprasangka Baik

Indahnya Berprasangka Baik

Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengakiannya. Jaraknya sekitar 10km dari rumah peninggalan orangtua mereka.


Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.

Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do'anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya
sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering
kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo'a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan
untuk berdo'a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do'a-do'anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do'anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru mereka, do'a
selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

"Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu,
Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do'a kakak ku,
bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku
didunia dan akhirat,"

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya.

Indahnya Berprasangka Baik

Indahnya Berprasangka Baik

Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengakiannya. Jaraknya sekitar 10km dari rumah peninggalan orangtua mereka.


Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.

Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do'anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya
sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering
kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo'a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan
untuk berdo'a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do'a-do'anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do'anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru mereka, do'a
selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

"Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu,
Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do'a kakak ku,
bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku
didunia dan akhirat,"

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya.

Ikhlas Dan Beberapa Perusaknya

Ikhlas Dan Beberapa Perusaknya

Pentingnya amalan hati

Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)

Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).

Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas

Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
§  Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
§  Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia.
§  Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.
Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."
Perusak-perusak Keikhlasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

§  Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
§  Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
§  'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:
§  Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.
§  Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.

Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.
§  Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.
Cara-cara mengobati riya'
§  Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.
§  Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.
§  Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.
§  Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
§  Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
§  Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
§  Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.
§  Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
§  Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
§  Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.
§  Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui."
Wallahu a'lam bis shawab.