Menuju Su'ul Khatimah

Menuju Su'ul Khatimah
Penutup

Di ujung pertemuan ini baik bagi kita untuk meringkaskan sarana-sarana yang Allah menjadikannya sebagai sebab husnul khotimah, yaitu :

1. Taqwa kepada Allah

Allah berfirman, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman bertaqwallah kalian kepada Allah dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim." ( Ali Imran: 102).

2. Terus menerus dzikir kepada Allah

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barang-siapa yang perkataan terakhirnya adalah maka dia masuk Surga." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim, Al-Hakim menshahihkannya dan disetujui Adz-Dzahabi).
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari Al-Hasan berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Amalan apakah yang paling utama? beliau bersabda, artinya:
"Engkau mati pada hari engkau meninggal dunia dalam keadaan lisanmu basah dengan dzikir kepada Allah."


Diringkas dari buletin da'wah dengan judul: "Husnul Khotimah wasailuha Wa 'Alamatuha wat Tahdziru Min Suil Khotimah" oleh Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq. cet. Daar Al-Wathan-Riyadh No. 73.
(Ummu 'Abdillah bintu Hasyim As-Salafiyyah).
Sesungguhnya bagian manusia dari dunia ini adalah umurnya. Apabila dia membaguskan penanaman modalnya pada apa yang dapat memberikan manfaat kepadanya di negeri akherat maka perdagangannya akan beruntung. Jika dia menjelekkan penanaman modalnya dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan kejahatan-kejahatan sampai dia bertemu dengan Allah pada penghabisan (akhir) yang jelek itu maka dia termasuk orang-orang yang rugi. Berapa banyak (jasad-jasad) yang menyesal di bawah tanah?!

Orang yang berakal adalah orang yang menghisab (menghitung amalan) dirinya sebelum Allah menghisabnya, dan dia takut akan dosa-dosanya sebelum dosa-dosanya itu menjadi sebab akan kehancurannya. Ibnu Mas'ud ra berkata : "Seorang mu'min melihat dosa-dosanya seolah-olah dia duduk di bawah sebuah gunung, dia takut gunung itu akan menimpanya." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).

Di sini kami akan menerangkan sebab-sebab yang menimbulkan Su'ul Khatimah, sebagai berikut:

1. At-taswif (menunda-nunda) taubat

Bertaubat kepada Allah dari seluruh dosa-dosa adalah wajib bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani perkara-perkara agama) pada setiap waktu. Firman Allah Ta'ala, artinya: "Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung." (An-Nur : 31).
Diantara tipu daya iblis yang paling berhasil dimana dia menyerang manusia dengannya adalah menunda-nunda taubat.

2. Panjang angan-angan

Panjang angan-angan merupakan sebab kesengsaraan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dengan peringatan yang keras dari hal itu, beliau bersabda, artinya:
"Sesungguhnya apa-apa yang paling aku takutkan (terjadi) pada kalian adalah dua sifat: Mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu maka dia akan memalingkan dari kebenaran dan adapun panjang angan-angan maka dia akan (menimbulkan) cinta terhadap dunia." (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya).

3. Menyukai perbuatan maksiat

Apabila manusia terbiasa dengan salah satu perbuatan maksiat dari sekian banyak maksiat dan tidak bertaubat darinya maka setan akan menguasai hatinya dan akan mengua-sai fikirannya sampai saat-saat terakhir dari kehidupannya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:
"Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan melakukan sesuatu maka Allah akan membangkitkannya dalam keadaan itu." (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya menurut syarat Muslim dan disetujui oleh Adz-Dzahaby)

4. Bunuh diri

Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:
"Orang mati karena mencekik dirinya maka dia akan mencekiknya di dalam neraka dan orang-orang yang menikam dirinya maka dia akan menikamnya di dalam neraka."

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu , beliau berkata:
"Seorang laki-laki mengikuti perang Khaibar bersama Rasulullah n, maka beliau berbicara tentang seorang laki-laki diantara orang-orang yang diakui telah Islam: "(Laki-laki) ini termasuk penghuni Neraka." Maka ketika peperangan datang, laki-laki itu banyak membunuh (musuh-musuh) kemudian dia terluka. Maka dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, yang engkau katakan tadi bahwa dia termasuk penghuni neraka. Sesungguhnya dia telah banyak membunuh (musuh-musuh) pada hari ini dan dia telah mati. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Menuju ke Neraka." Sebagian kaum muslimin hampir saja ragu, maka ketika mereka dalam keadaaan (seperti) itu, tiba-tiba ada berita tentang laki-laki tersebut, bahwa: Sesungguhnya dia tidak mati akan tetapi dia terluka parah, maka ketika suatu malam dia tidak sabar atas luka itu, dia bunuh diri. Lalu hal itu dikhabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka dia bersabda, artinya:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa aku adalah hamba dan utusan Allah."
Kemudian beliau menyuruh Bilal maka dia berseru kepada manusia: Bahwa "Tidak akan masuk Surga melainkan jiwa-jiwa yang menyerahkan diri, dan sesungguhnya Allah akan benar-benar mengokohkan agama ini dengan laki-laki Fajir."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Husnul Khotimah

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan tentang beberapa khabar gembira yang menunjukkan pada husnul khatimah, di antaranya :
§ Ucapannya ketika meninggal dunia adalah kalimat tauhid. Al-Hakim meriwayatkan dari Muadz bin Jabal radhiyallah 'anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , artinya:
"Barangsiapa yang ucapan terakhir-nya adalah tidak ada ilaah selain Allah maka dia akan masuk Surga." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim dishahihkan oleh Al-Hakim).
§ Dia mati dalam keadaan syahid dengan tujuan meninggikan kalimat Allah. Allah Ta'ala berfirman, artinya: "Janganlah kalian mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka (dengan) diberi rizki." (Ali Imran: 169). § Dia mati dalam keadaan berperang di jalan Allah atau bermuhrim ketika haji. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia itu syahid."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang seorang yang berihram lalu terjatuh dari ontanya: "Mandikanlah dia dengan air dan (daun/pohon) bidara, kafanilah dia dengan kedua bajunya dan jangan tutupi (kerudungi) kepalanya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Muslim).
§ Akhir amalnya, taat kepada Allah. Hudzaifah radhiyallah 'anhu meriwayatkan dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barangsiapa mengatakan karena mencari wajah Allah kemudian (akhir hayatnya) ditutupkan dengan kalimat itu maka dia masuk Surga." (HR. Ahmad). § Mati karena membela (diri) dari lima perkara yang dijaga oleh agama, yaitu: Agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Dari Sa'id bin Zaid radhiyallah 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barangsiapa yang mati karena membela (mempertahankan) hartanya maka dia syahid. Barangsiapa mati karena membela keluarganya maka dia syahid, barangsiapa mati karena membela agamanya maka dia syahid dan barangsiapa mati karena membela darahnya maka dia syahid." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). § Mati dalam keadaan bersabar. Dari Jabir bin Utaik berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Orang-orang yang mati syahid ada 7 (macam) selain terbunuh di jalan Allah: Orang yang terkena wabah tho'un syahid, orang yang tenggelam syahid, yang mempunyai penyakit radang paru-paru syahid, orang-orang yang mati karena penyakit perut syahid, orang yang terbakar syahid, orang yang mati karena bencana alam syahid dan wanita yang mati karena hamil syahid." (HR. Ahmad, Nasaa'i, Abu Dawud dan Hakim dia berkata: sanadnya shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahaby). § Meninggal dalam keadaan nifas karena (sebab kematiannya adalah) anaknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya:
"Seorang wanita yang terbunuh oleh anaknya (sebab nifas) adalah syahid. Anaknya dengan kegembiraannya mengantarkan wanita tersebut ke Surga." (HR. Ahmad).
§ Mati karena tenggelam, terbakar dan bencana (alam). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya:
"Orang-orang yang mati syahid adalah 5 (macam): Orang yang mati karena wabah tho'un, karena penyakit perut, karena tenggelam, karena bencana alam dan orang yang syahid di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR. Tirmidzi dan Muslim).
§ Mati pada malam Jum'at atau siangnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Tidaklah seorang muslim mati pada hari atau malam Jum'at melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah (adzab) kubur." (HR. Ahmad dan Tirmidzi). § Berkeringat keningnya ketika mati. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya:
"Seorang Mukmin mati dengan berkeringat di keningnya." (HR. Tirmidzi dan Nasaa'i).
5 Perusak HatiRabu, 07 April 04 Hati adalah pengendali. Jika ia baik, baik pula perbuatannya. Jika ia rusak, rusak pula perbuatannya. Maka menjaga hati dari kerusakan adalah niscaya dan wajib.

Tentang perusak hati, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan ada lima perkara, 'bergaul dengan banyak kalangan (baik dan buruk), angan-angan kosong, bergantung kepada selain Allah, kekenyangan dan banyak tidur.'

Bergaul dengan banyak kalangan

Pergaulan adalah perlu, tapi tidak asal bergaul dan banyak teman. Pergaulan yang salah akan menimbulkan masalah. Teman-teman yang buruk lambat laun akan menghitamkan hati, melemahkan dan menghilangkan rasa nurani, akan membuat yang bersangkutan larut dalam memenuhi berbagai keinginan mereka yang negatif.

Dalam tataran riel, kita sering menyaksikan orang yang hancur hidup dan kehidupannya gara-gara pergaulan. Biasanya out put semacam ini, karena motivasi bergaulnya untuk dunia. Dan memang, kehancuran manusia lebih banyak disebabkan oleh sesama manusia. Karena itu, kelak di akhirat, banyak yang menyesal berat karena salah pergaulan. Allah berfirman:
"Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya seraya berkata, 'Aduhai (dulu) kiranya aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur'an ketika Al-Qur'an itu telah datang kepadaku." (Al-Furqan: 27-29).

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa." (Az-Zukhruf: 67).

"Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain), dan tempat kembalimu adalah Neraka, dan sekali-kali tidak ada bagimu para penolong." (Al-Ankabut: 25).

Inilah pergaulan yang didasari oleh kesamaan tujuan duniawi. Mereka saling mencintai dan saling membantu jika ada hasil duniawi yang diingini. Jika telah lenyap kepentingan tersebut, maka pertemanan itu akan melahirkan duka dan penyesalan, cinta berubah menjadi saling membenci dan melaknat.

Karena itu, dalam bergaul, berteman dan berkumpul hendaknya ukuran yang dipakai adalah kebaikan. Lebih tinggi lagi tingkatannya jika motivasi pertemanan itu untuk mendapatkan kecintaan dan ridha Allah.

Larut dalam angan-angan kosong

Angan-angan kosong adalah lautan tak bertepi. Ia adalah lautan tempat berlayarnya orang-orang bangkrut. Bahkan dikatakan, angan-angan adalah modal orang-orang bangkrut. Ombak angan-angan terus mengombang-ambingkannya, khayalan-khayalan dusta senantiasa mempermainkannya. Laksana anjing yang sedang mempermainkan bangkai.

Angan-angan kosong adalah kebiasaan orang yang berjiwa kerdil dan rendah. Masing-masing sesuai dengan yang diangankannya. Ada yang mengangankan menjadi raja atau ratu, ada yang ingin keliling dunia, ada yang ingin mendapatkan harta kekayaan melimpah, atau isteri yang cantik jelita. Tapi itu hanya angan-angan belaka.

Adapun orang yang memiliki cita-cita tinggi dan mulia, maka cita-citanya adalah seputar ilmu, iman dan amal shalih yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Dan ini adalah cita-cita terpuji. Adapun angan-angan kosong ia adalah tipu daya belaka. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memuji orang yang bercita-cita terhadap kebaikan.

Bergantung kepada selain Allah

Ini adalah faktor terbesar perusak hati. Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya dari bertawakkal dan bergantung kepada selain Allah.
Jika seseorang bertawakkal kepada selain Allah maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut kepada sesuatu yang ia bergantung kepadanya. Allah akan menghinakannya dan menjadikan perbuatannya sia-sia. Ia tidak akan mendapatkan sesuatu pun dari Allah, juga tidak dari makhluk yang ia bergantung kepadanya. Allah berfirman, artinya:
"Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sekali-kali tidak, kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka." (Maryam: 81-82)

"Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan. Berhala-berhala itu tidak dapat menolong mereka, padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga mereka." (Yasin: 74-75)

Maka orang yang paling hina adalah yang bergantung kepada selain Allah. Ia seperti orang yang berteduh dari panas dan hujan di bawah rumah laba-laba. Dan rumah laba-laba adalah rumah yang paling lemah dan rapuh. Lebih dari itu, secara umum, asal dan pangkal syirik adalah dibangun di atas ketergantungan kepada selain Allah. Orang yang melakukannya adalah orang hina dan nista. Allah berfirman, artinya: "Janganlah kamu adakan tuhan lain selain Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)." (Al-Isra': 22)

Terkadang keadaan sebagian manusia tertindas tapi terpuji, seperti mereka yang dipaksa dengan kebatilan. Sebagian lagi terkadang tercela tapi menang, seperti mereka yang berkuasa secara batil. Sebagian lagi terpuji dan menang, seperti mereka yang berkuasa dan berada dalam kebenaran. Adapun orang yang bergantung kepada selain Allah (musyrik) maka dia mendapatkan keadaan yang paling buruk dari empat keadaan manusia, yakni tidak terpuji dan tidak ada yang menolong.

Makanan

Makanan perusak ada dua macam.

Pertama , merusak karena dzat/materinya, dan ia terbagi menjadi dua macam. Yang diharamkan karena hak Allah, seperti bangkai, darah, anjing, binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam. Kedua, yang diharamkan karena hak hamba, seperti barang curian, rampasan dan sesuatu yang diambil tanpa kerelaan pemiliknya, baik karena paksaan, malu atau takut terhina.

Kedua, merusak karena melampaui ukuran dan takarannya. Seperti berlebihan dalam hal yang halal, kekenyangan kelewat batas. Sebab yang demikian itu membuatnya malas mengerjakan ketaatan, sibuk terus-menerus dengan urusan perut untuk memenuhi hawa nafsunya. Jika telah kekenyangan, maka ia merasa berat dan karenanya ia mudah mengikuti komando setan. Setan masuk ke dalam diri manusia melalui aliran darah. Puasa mempersempit aliran darah dan menyumbat jalannya setan. Sedangkan kekenyangan memperluas aliran darah dan membuat setan betah tinggal berlama-lama. Barangsiapa banyak makan dan minum, niscaya akan banyak tidur dan banyak merugi.

Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: "Tidaklah seorang anak Adam memenuhi bejana yang lebih buruk dari memenuhi perutnya (dengan makanan dan minuman). Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap (makanan) yang bisa menegakkan tulang rusuknya. Jika harus dilakukan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albani).

Kebanyakan tidur

Banyak tidur mematikan hati, memenatkan badan, menghabiskan waktu dan membuat lupa serta malas. Di antara tidur itu ada yang sangat dibenci, ada yang berbahaya dan sama sekali tidak bermanfaat. Sedangkan tidur yang paling bermanfaat adalah tidur saat sangat dibutuhkan.

Segera tidur pada malam hari lebih baik dari tidur ketika sudah larut malam. Tidur pada tengah hari (tidur siang) lebih baik daripada tidur di pagi atau sore hari. Bahkan tidur pada sore dan pagi hari lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya.

Di antara tidur yang dibenci adalah tidur antara shalat Shubuh dengan terbitnya matahari. Sebab ia adalah waktu yang sangat strategis. Karena itu, meskipun para ahli ibadah telah melewatkan sepanjang malamnya untuk ibadah, mereka tidak mau tidur pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Sebab waktu itu adalah awal dan pintu siang, saat diturunkan dan dibagi-bagikannya rizki, saat diberikannya barakah. Maka masa itu adalah masa yang strategis dan sangat menentukan masa-masa setelahnya. Karenanya, tidur pada waktu itu hendaknya karena benar-benar sangat terpaksa.

Secara umum, saat tidur yang paling tepat dan bermanfaat adalah pada pertengahan pertama dari malam, serta pada seperenam bagian akhir malam, atau sekitar delapan jam. Dan itulah tidur yang baik menurut pada dokter. Jika lebih atau kurang daripadanya maka akan berpengaruh pada kebiasaan baiknya. Termasuk tidur yang tidak bermanfaat adalah tidur pada awal malam hari, setelah tenggelamnya matahari. Dan ia termasuk tidur yang dibenci Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam .

Menuju Su'ul Khatimah

Menuju Su'ul Khatimah

Penutup

Di ujung pertemuan ini baik bagi kita untuk meringkaskan sarana-sarana yang Allah menjadikannya sebagai sebab husnul khotimah, yaitu :

1. Taqwa kepada Allah

Allah berfirman, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman bertaqwallah kalian kepada Allah dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim." ( Ali Imran: 102).

2. Terus menerus dzikir kepada Allah

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barang-siapa yang perkataan terakhirnya adalah maka dia masuk Surga." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim, Al-Hakim menshahihkannya dan disetujui Adz-Dzahabi).
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari Al-Hasan berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: "Amalan apakah yang paling utama? beliau bersabda, artinya:
"Engkau mati pada hari engkau meninggal dunia dalam keadaan lisanmu basah dengan dzikir kepada Allah."
Sesungguhnya bagian manusia dari dunia ini adalah umurnya. Apabila dia membaguskan penanaman modalnya pada apa yang dapat memberikan manfaat kepadanya di negeri akherat maka perdagangannya akan beruntung. Jika dia menjelekkan penanaman modalnya dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan kejahatan-kejahatan sampai dia bertemu dengan Allah pada penghabisan (akhir) yang jelek itu maka dia termasuk orang-orang yang rugi. Berapa banyak (jasad-jasad) yang menyesal di bawah tanah?!

Orang yang berakal adalah orang yang menghisab (menghitung amalan) dirinya sebelum Allah menghisabnya, dan dia takut akan dosa-dosanya sebelum dosa-dosanya itu menjadi sebab akan kehancurannya. Ibnu Mas'ud ra berkata : "Seorang mu'min melihat dosa-dosanya seolah-olah dia duduk di bawah sebuah gunung, dia takut gunung itu akan menimpanya." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).

Di sini kami akan menerangkan sebab-sebab yang menimbulkan Su'ul Khatimah, sebagai berikut:

1. At-taswif (menunda-nunda) taubat

Bertaubat kepada Allah dari seluruh dosa-dosa adalah wajib bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani perkara-perkara agama) pada setiap waktu. Firman Allah Ta'ala, artinya: "Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung." (An-Nur : 31).
Diantara tipu daya iblis yang paling berhasil dimana dia menyerang manusia dengannya adalah menunda-nunda taubat.

2. Panjang angan-angan

Panjang angan-angan merupakan sebab kesengsaraan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dengan peringatan yang keras dari hal itu, beliau bersabda, artinya:
"Sesungguhnya apa-apa yang paling aku takutkan (terjadi) pada kalian adalah dua sifat: Mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun mengikuti hawa nafsu maka dia akan memalingkan dari kebenaran dan adapun panjang angan-angan maka dia akan (menimbulkan) cinta terhadap dunia." (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya).

3. Menyukai perbuatan maksiat

Apabila manusia terbiasa dengan salah satu perbuatan maksiat dari sekian banyak maksiat dan tidak bertaubat darinya maka setan akan menguasai hatinya dan akan mengua-sai fikirannya sampai saat-saat terakhir dari kehidupannya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:
"Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan melakukan sesuatu maka Allah akan membangkitkannya dalam keadaan itu." (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya menurut syarat Muslim dan disetujui oleh Adz-Dzahaby)

4. Bunuh diri

Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:
"Orang mati karena mencekik dirinya maka dia akan mencekiknya di dalam neraka dan orang-orang yang menikam dirinya maka dia akan menikamnya di dalam neraka."

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu , beliau berkata:
"Seorang laki-laki mengikuti perang Khaibar bersama Rasulullah n, maka beliau berbicara tentang seorang laki-laki diantara orang-orang yang diakui telah Islam: "(Laki-laki) ini termasuk penghuni Neraka." Maka ketika peperangan datang, laki-laki itu banyak membunuh (musuh-musuh) kemudian dia terluka. Maka dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, yang engkau katakan tadi bahwa dia termasuk penghuni neraka. Sesungguhnya dia telah banyak membunuh (musuh-musuh) pada hari ini dan dia telah mati. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Menuju ke Neraka." Sebagian kaum muslimin hampir saja ragu, maka ketika mereka dalam keadaaan (seperti) itu, tiba-tiba ada berita tentang laki-laki tersebut, bahwa: Sesungguhnya dia tidak mati akan tetapi dia terluka parah, maka ketika suatu malam dia tidak sabar atas luka itu, dia bunuh diri. Lalu hal itu dikhabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , maka dia bersabda, artinya:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa aku adalah hamba dan utusan Allah."
Kemudian beliau menyuruh Bilal maka dia berseru kepada manusia: Bahwa "Tidak akan masuk Surga melainkan jiwa-jiwa yang menyerahkan diri, dan sesungguhnya Allah akan benar-benar mengokohkan agama ini dengan laki-laki Fajir."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Husnul Khotimah

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan tentang beberapa khabar gembira yang menunjukkan pada husnul khatimah, di antaranya :
§ Ucapannya ketika meninggal dunia adalah kalimat tauhid. Al-Hakim meriwayatkan dari Muadz bin Jabal radhiyallah 'anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , artinya:
"Barangsiapa yang ucapan terakhir-nya adalah tidak ada ilaah selain Allah maka dia akan masuk Surga." (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim dishahihkan oleh Al-Hakim).
§ Dia mati dalam keadaan syahid dengan tujuan meninggikan kalimat Allah. Allah Ta'ala berfirman, artinya: "Janganlah kalian mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka (dengan) diberi rizki." (Ali Imran: 169). § Dia mati dalam keadaan berperang di jalan Allah atau bermuhrim ketika haji. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia itu syahid."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang seorang yang berihram lalu terjatuh dari ontanya: "Mandikanlah dia dengan air dan (daun/pohon) bidara, kafanilah dia dengan kedua bajunya dan jangan tutupi (kerudungi) kepalanya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah." (HR. Muslim).
§ Akhir amalnya, taat kepada Allah. Hudzaifah radhiyallah 'anhu meriwayatkan dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barangsiapa mengatakan karena mencari wajah Allah kemudian (akhir hayatnya) ditutupkan dengan kalimat itu maka dia masuk Surga." (HR. Ahmad). § Mati karena membela (diri) dari lima perkara yang dijaga oleh agama, yaitu: Agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Dari Sa'id bin Zaid radhiyallah 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barangsiapa yang mati karena membela (mempertahankan) hartanya maka dia syahid. Barangsiapa mati karena membela keluarganya maka dia syahid, barangsiapa mati karena membela agamanya maka dia syahid dan barangsiapa mati karena membela darahnya maka dia syahid." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). § Mati dalam keadaan bersabar. Dari Jabir bin Utaik berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Orang-orang yang mati syahid ada 7 (macam) selain terbunuh di jalan Allah: Orang yang terkena wabah tho'un syahid, orang yang tenggelam syahid, yang mempunyai penyakit radang paru-paru syahid, orang-orang yang mati karena penyakit perut syahid, orang yang terbakar syahid, orang yang mati karena bencana alam syahid dan wanita yang mati karena hamil syahid." (HR. Ahmad, Nasaa'i, Abu Dawud dan Hakim dia berkata: sanadnya shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahaby). § Meninggal dalam keadaan nifas karena (sebab kematiannya adalah) anaknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya:
"Seorang wanita yang terbunuh oleh anaknya (sebab nifas) adalah syahid. Anaknya dengan kegembiraannya mengantarkan wanita tersebut ke Surga." (HR. Ahmad).
§ Mati karena tenggelam, terbakar dan bencana (alam). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya:
"Orang-orang yang mati syahid adalah 5 (macam): Orang yang mati karena wabah tho'un, karena penyakit perut, karena tenggelam, karena bencana alam dan orang yang syahid di jalan Allah Azza wa Jalla." (HR. Tirmidzi dan Muslim).
§ Mati pada malam Jum'at atau siangnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Tidaklah seorang muslim mati pada hari atau malam Jum'at melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah (adzab) kubur." (HR. Ahmad dan Tirmidzi). § Berkeringat keningnya ketika mati. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya:
"Seorang Mukmin mati dengan berkeringat di keningnya." (HR. Tirmidzi dan Nasaa'i).

MENSYUKURI RAHMAT ALLAH

MENSYUKURI RAHMAT ALLAH
Memperoleh rahmat dari Allah Swt merupakan suatu anugerah yang besar. Karena itu, menjadi keharusan bagi kita untuk mensyukurinya. Namun, sebagaimana kita ketahui, mensyukuri segala sesuatu bukanlah sekedar mengucapkan alhamdulillah, tapi kita harus manfaatkan segala anugerah dari Allah itu untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam kaitan ini, maka kita harus membuktikan diri sebagai orang yang bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah kepada kita dengan memiliki sikap dan prilaku sebagaimana yang disebutkan Allah tentang orang-orang yang memperoleh rahmat-Nya.Sabar Dalam Menghadapi Musibah Ujian dalam kehidupan orang yang beriman merupakan sesuatu yang pasti dan biasa terjadi, baik ujian berupa hal-hal yang menyenangkan atau malah sebaliknya bila dilihat dari sudut pandang duniawi. Apabila ujian yang tidak menyenangkan menimpa diri orang yang memperoleh rahmat dari Allah, maka dia menghadapinya dengan penuh kesabaran. Sabar dalam arti tetap bertahan dalam kebenaran sehingga meskipun kesulitan menerpa kehidupannya, dia tidak akan sampai putus asa lalu menghalalkan segala cara dalam upaya mengatasi kesulitan hidup. Inilah ciri penting dari orang yang telah memperoleh rahmat dari Allah Swt sebagaimana firman-Nya yang artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS 2:155-157).Berlaku Lemah Lembut Da’wah merupakan kewajiban bagi setiap muslim setiap kemampuan dan potensinya masing-masing. Dalam da’wah, tentu harus berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain, karena da’wah pada hakikatnya adalah mengkomunikasikan ajaran Islam kepada orang lain agar terjadi perubahan pada orang tersebut, baik pemahaman, sikap maupun prilaku sebagaimana yang dikehendaki.Agar da’wah bisa diterima oleh orang lain, maka kita amat dituntut untuk berlaku lemah lembut dan orang yang telah memperoleh rahmat dari Allah Swt, niscaya bisa berlaku lemah lembut dalam sikap dan tingkah lakunya terhadap orang lain, Allah Swt berfirman yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS 3:159).Tidak Mengikuti Syaitan Syaitan merupakan musuh utama orang beriman dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, jangan sampai seorang mu’min mengikuti apa yang dikehendaki oleh syaitan, ini merupakan konsekuensi penting bagi seseorang yang ingin mencapai kedudukan muslim yang kaffah atau menyeluruh. Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS 2:208).Bagi orang yang memperoleh rahmat dari Allah Swt, maka dia tentu akan menjadi orang yang tidak akan mengikuti keinginan-keinginan syaitan meskipun bila mengikutinya dia akan memperoleh keuntungan yang bersifat duniawi, Allah Swt berfirman yang artinya: Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (diantamu) (QS 4:83)Tidak Sesat Kesesatan dari jalan kehidupan yang benar sebagaimana yang ditentukan oleh ajaran Islam merupakan sesuatu yang amat buruk. Orang yang sesat akan selalu cenderung pada perbuatan yang merugikan dirinya maupun orang lain, selalu mengarah pada kejahatan dan bernilai dosa, bahkan dengan sebab kesesatan, Allah Swt membinasakan suatu kaum, yakni kaun Tsamud sebagaimana yang dikemukakan Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan (QS 41:17). Karena betapa hinanya hidup dalam kesesatan dan Allah amat murka kepada orang yang menempuh jalan yang sesat, maka syaitan selalu berusaha 24 jam setiap harinya dalam upaya menyesatkan manusia, dan sudah banyak manusia yang berhasil disesatkan, karenanya kita harus berfikir keras agar kita tidak disesatkan syaitan, hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebagian besar diantaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? (QS 36:62).Apabila seseorang telah memperoleh rahmat dari Allah Swt, maka dia tidak akan berhasil disesatkan oleh syaitan dan orang-orang yang mengikuti syaitan, bahkan mereka hanya menyesatkan diri mereka sendiri, Allah berfirman yang artinya: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun (QS 4:113)Senang Pada Persatuan Ciri penting lain yang disebutkan Allah di dalam Al-Qur’an tentang orang yang memperoleh rahmat dari Allah adalah senang pada persatuan, sehingga orang yang senang pada persatuan itu selalu menyelesaikan dan mengatasi perbedaan dan persoalan dengan merujuk kepada sumber Islam itu sendiri yakni Al-Qur’an dan sunnah. Allah Swt tidak menciptakan manusia seperti robot yang dengan mudah bisa disatukan, tapi Allah menciptakan manusia dengan potensi yang dimilikinya berupa hati, akal dan panca indra untuk berfikir dan menentukan sikap.Dalam kenyataan, kita rasakan dan kita lihat betapa banyak manusia yang belum memperoleh rahmat dari Allah Swt sehingga yang terjadi, manusia malah cenderung pada memperbesar perbedaan perdapat hingga bercerai berai, bukan mencari titik temu dan bersatu padu. Karena itu, apabila seseorang telah memperoleh rahmat dari Allah Swt, niscaya mereka senang pada persatuan dan selalu mencari titik temu dengan rujukan Al-Qur’an dan sunnah dalam menghadapi perbedaan pendapat diantara sesama manusia, apalagi sesama muslim, hal ini difirmankan Allah yang artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telahg ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya (QS11:118-119).Tidak Mengikuti Hawa Nafsu Setiap manusia diberikan oleh Allah nafsu atau berbagai keinginan dalam hidupnya di dunia ini. Bagi seorang muslim, berbagai keinginan dalam hidup ini hanya akan dituruti manakala keinginan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini karena, apabila seseorang selalu menuruti segala keinginannya, termasuk keinginan yang tidak benar, maka hal itu berarti telah menuhankan hawa nafsunya yang selalu cenderung pada kesesatan, Allah berfirman yang artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS 45:23).Karena itu, bagi orang yang memperoleh rahmat dari Allah Swt, niscaya dia tidak akan mengikuti begitu saja keinginan hawa nafsunya, tapi dia akan mengendalikannya secara baik sehingga segala keinginan dicapai dan dipenuhi dengan cara-cara yang dibenarkan Allah Swt, misalnya nafsu terhadap harta diperoleh harta yang banyak dengan usaha yang halal, nafsu seksual dilampiaskan melalui jalur pernikahan yang merupakan penghalalan bagi keinginan seksual dan begitulah seterusnya. Nafsu yang terkendali dengan baik inilah yang kemudian disebut dengan nafsu yang diberi rahmat oleh Allah Swt sehingga orang yang memperoleh rahmat Allah mampu mengendalikan hawa nafsunya dengan baik, Allah berfirman yang artinya: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (QS 12:53).Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa, bila seseorang mensyukuri rahmat dari Allah Swt, niscaya akan memberikan pengasuh yang sangat positif dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat.

Menjaga Lisan

Menjaga Lisan
Lisan, bentuknya memang relatif kecil bila dibandingkan dengan anggota tubuh yang lain, namun ternyata memiliki peran yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Celaka dan bahagia ternyata tak lepas dari bagaimana manusia memanajemen lidahnya. Bila lidah tak terkendali, dibiarkan berucap sekehendaknya, alamat kesengsaraan akan segera menjelang. Sebaliknya bila ia terkelola dengan baik , hemat dalam berkata, dan memilih perkataan yang baik-baik, maka sebuah alamat akan datangnya banyak kebaikan..
Di saat kita hendak berkata-kata, tentunya kita harus berpikir untuk memilihkan hal-hal yang baik untuk lidah kita. Bila sulit mendapat kata yang indah dan tepat maka ahsan (mendingan) diam. Inilah realisasi dari sabda Rasulullah sholallohu alaihi wasalam
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam
Di samping itu kita pun harus paham betul manakah lahan-medan kejelekan sehingga lidah kita tidak keliru memijaknya. Kita harus tahu apakah sebuah hal termasuk dalam bagian dosa bagi lidah kita atau tidak? Bila kita telah tahu , tentunya kita bersegera untuk meninggalkannya.
Diantara medan-medan dosa bagi lidah kita antara lain..
Ghibah Ghibah bila didefinisikan maka seperti yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW "Engkau menyebutkan tentang saudaramu, dengan apa-apa yang dia benci" terus bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita? "Jika memang ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahinya, dan bila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta"
Di dalam Al quran , Allah ta'ala menggambarkan orang yang meng-ghibahi saudaranya seperti orang yang memakan bangkai saudaranya:
"Janganlah kalian saling memata-matai dan jangan mengghibahi antara satu dengan yang lain, sukakah kalian memakan daging saudaranya tentu kalian akan benci"
Tentu sangat menjijikkan makan daging bangkai , semakin menjijkkan lagi apabila yang dimakan adalah daging bangkai manusia , apalagi saudara kita sendiri. Demikianlah ghibah, ia pun sangat menjijkkan sehingga sudah sepantasnya untuk dijauhi dan dan ditinggalkan.
Lebih ngeri bila berbicara tentang ghibah, apabila kita mengetahui balasan yang akan diterima pelakunya. Seperti dikisahkan oleh Rasulullah sholallohu alaihi wasalam di malam mi'rajnya. Beliau menyaksikan suatu kaum yang berkuku tembaga mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Rasul pun bertanya tentang keberadaan mereka, maka dijawab bahwa mereka lah orang-orang yang ghibah melanggar kehormatan orang lain.
Namimah Kalau diartikan ia bermakna memindahkan perkataan dari satu kaum kepada kaum yang lain untuk merusak keduanya. Ringkasnya "adu domba". Sehingga Allah mengkisahkan tentang mereka dalam Al-Qur'an. Mereka yang berjalan dengan namimah , menghasut, dan mengumpat. Di sekitar kita orang yang punya profesi sebagai tukang namimah sangat banyak bergentayangan, dan lebih sering di kenal sebagai provokator-kejelekan. Namimah bukan hal yang kecil , bahkan para ulama mengkatagorikannya di dalam dosa besar . Ancaman Rasulullah bagi tukang namimah
" tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba (HR Bukhari)
Akibat namimah ini sangat besar sekali, dengannya terkoyak persahabatan saudara karib dan melepaskan ikatan yang telah dikokohkan oleh Allah. Ia pun mengakibatkan kerusakan di muka bumi serta menimbulkan permusuhan dan kebencian.
DustaDusta adalah menyelisihi kenyataan atau realita. Dusta bukanlah akhlaq orang yang beriman, bahkan ia melekat pada kepribadian orang munafiq. "Tiga ciri orang munafik, apabila berkata berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat (HR Bukhari dan Muslim)
Padahal orang munafik balasannya sangat mengerikan "di bawah kerak api neraka" Dusta pun mengantarkan pelakunya kepada kejelekan "Sungguh kedustaan menunjukkan kepada kejelekan dan kejelekan mengantarkan kepada neraka".
Ramadhan mendidik kita untuk menjaga lisan agar semua yang keluar daripadanya adalah hanya yang bermanfaat. Dengan puasa, kita lebih bisa menahan diri kita untuk menggunakan lisan untuk berbuat kebaikan, menjaga perasaan orang lain dan menghindarkan diri dari maksiat lisan. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan bertaqwa.()
( Al Hujurat 12)
(HR. Muslim)
( HR Muslim )

Menjadi Pelayan Ummat

Menjadi Pelayan Ummat
Memimpin = Melayani
Kepemimpinan di dalam islam pada hakekatnya adalah berkhidmat atau menjadi pelayan ummat. Kepemimpinan yang asalnya adalah Hak Allah diberikan kepada manusia sebagai Khalifatullah fil ardli, wakil Allah SWT di muka bumi. Jika bukan karena iradahNya, tak ada seorangpun yang mendapatkan amanah kepemimpinan, baik kecil maupun besar. Oleh karena itu setiap amanah kepemimpinan harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah. Allah memberikan amanah kepada pemimpin untuk (1) mengatur urusan orang yang dipimpinnya (2) mengarahkan perjalanan sekelompok manusia yang dipimpinnya guna mencapai tujuan bersama (3) menjaga dan melindungi kepentingan yang dipimpinnya. Wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin tidaklah ringan di mata Allah. Meskipun seringkali godaan syaitan dengan iming-iming keuntungan dunia telah memalingkan motivasi para pemimpin dari tujuan bersama. Mengapa Allah SWT memberi kepercayaan kepada manusia untuk menjadi pemimpin di atas dunia ini? Dan siapakah para pemimpin sejati yang sesuai dengan tuntunan dari Allah?
Simaklah Firman Allah SWT:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khidmat Seorang Da’I Pemimpin Ummat
Ada sebuah ‘jabatan’ yang sangat mulia kedudukannya di mata Allah SWT, yakni menjadi seorang penyeru atau DA’I. Da’i artinya seseorang yang mempunyai aktivitas/pekerjaan tetap sebagai "penyeru/penganjur manusia ke jalan Allah". Seorang da’i adalah seorang yang sepanjang hidupnya dilewatkan untuk berkhidmat di jalan Allah mengajak manusia menuju Allah, memenuhi panggilanNya : "Fa firruu ilallah...." (bersegeralah menuju Allah QS 51:50). Bukan hanya dirinya yang bersegera menuju Allah, namun para Da’i adalah insan yang mengajak orang banyak berbuat serupa. ‘Siapakah yang lebih baik seruannya daripada mereka yang menyeru ke jalan Allah....’ (QS 41:33).
Para da’i adalah manusia-manusia yang memimpin ummat menuju kepada Rabb Penciptanya. Para da’i adalah orang-orang yang menuntun manusia kepada cahaya Allah, menjadi pelaksana ayat Allah : Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (2:257). Para da’i menyampaikan hukum-hukum Allah sebagaimana mestinya, menjelaskan kedudukan dan keutamaan hukum-hukum Allah di muka bumi ini, memberi tahu apa saja suruhan dan larangan Allah, ganjaran dosa atau pahala apa yang akan didapatkan seseorang jika ia taat atau maksiyat, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Para da’i-lah sang pemimpin sekaligus pelayan ummat. Orang-orang yang melakukan tugas kepemimpinan ummat yang disebutkan tadi, pada hakekatnya amal mereka adalah amal pelayanan, amal orang yang berkhidmat. Para da’i adalah sosok-sosok pemimpin tanpa tanda jasa yang kepada mereka seringkali ditanyakan nasib manusia, "apakah tobat saya diterima Allah, ya Ustadz?", "Apakah yang harus saya lakukan agar hati saya bersih, Pak Kyai?".
Pada intinya ada beberapa tugas pokok para da’i dalam membimbing ummat:
1. Mengembalikan keimanan ummat kepada Allah dan Rasul Nya. Mendudukkan kembali konsep "benar" dan "salah" sesuai dengan konsep Ilahi.
(23:71): "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu."
(2:185) "...bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)."
Keimanan ummat kepada Allah sudah sedemikian menipis sehingga manusia lebih rela percaya kepada jimat dan tangkal dukun-dukun pembohong daripada menyerahkan diri berpasrah kepada Allah dan shalat di tengah malam. Ummat digiring untuk melokalisasi (baca: melegalisasi) kemaksiatan daripada terus memberantas akarnya sambil hanya bergantung kepada Allah swt. Ummat lebih rela berteriak-teriak menghiba di hadapan musuh memohon"bantuan" hutang yang kian menjerat, dari pada mengharapkan rezki Allah dengan bekerja keras dan berdo’a kepada-Nya. Keadaan ini harus segera diatasi.
2. Mengembalikan kepercayaan diri ummat akan keunggulan ajaran Islam yang lengkap. Melahirkan reference-oriented society (Qur’anic-based society) dan kembali kepada rujukan aslinya yaitu Al Qur’an dan Sunnah serta menegakkan syari’at Allah.
(3:138-139) "(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman."
(5:3): "………Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu………"
Para da’i harus mengembalikan kepercayaan dan keimanan ummat kepada Rabbnya dan syari’at yang diturunkan melalui risalah oleh para NabiNya. Dewasa ini penyimpangan syari’at Ilahi oleh ummat telah sedemikian memuncak sampai-sampai seorang yang dianggap ahli agama rela mengalihkan perwalian anak perempuannya kepada laki-laki yang bukan muslim. Masih banyak lagi penyimpangan yang dilakukan ummat ini yang menunjukkan betapa jauhnya ummat dari syari’at Allah. Seorang ulama kontemporer mengibaratkan keadaan ummat dan syaria’t Allah saat ini bagaikan dua orang yang berdiri di dua lembah berbeda di tengah pengunungan terjal. Sulit dipertemukan.
3. Mewujudkan kembali persaudaraan, cinta dan persatuan ummat yang pada gilirannya menimbulkan semangat kerja sama (networking) di antara berbagai kelompok ummat Islam.
(3:103) "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk."
Sudah merupakan misi abadi para musuh Allah dan musuh ummat manusia untuk menyebar luaskan permusuhan dan pertumpahan darah di seantero pelosok bumi. Bahkan yang paling pertama menjadi target adalah ummat Islam yang semestinya "bagaikan satu tubuh" ini. Allah telah berjanji kepada syaitan dan sekutu-kutunya untuk memberikan mereka tenggat waktu memecah belah, menyesatkan, menimbulkan pertumpahan darah, memalingkan sebanyak-banyaknya manusia dari jalan Allah, jalan orang-orang yang diridhoi, hingga akhir zaman. Sebanding dengan itu Allah-pun juga memberikan janji kepada orang beriman: Tak akan dapat disesatkan kecuali orang yang zalim, Janganlah bersedih dan janganlah takut, kalian (orang beriman) lebih tinggi derajatnya daripada mereka jika kalian benar-benar beriman. "Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu."(QS 3:120). Peran para da’i adalah menjadi counter perbuatan syaitan tersebut. Da’i hendaknya menyeru ummat untuk menjalin ukhuwah dengan sesama, menyeru ummat islam menjadi ummatan wasathan (pertengahan/perekat) di antara segenap ummat manusia.
4. Mampu mengejar ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan, bahkan memperoleh kepercayaan Allah untuk memimpin ummat manusia
(35:39): "Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang-siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka."
(3:110) "Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
(24:55): "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
Alhasil, para da’i bertugas menghimpun potensi ummat agar menjadi kekuatan mumpuni dan kredibel sehingga ummat manusia mengakui bahkan menuntut ummat beriman agar memimpin mereka di muka bumi.
Hal ini tidak akan pernah terwujud sebelum ummat Islam, yang dimulai dengan para pemimpinnya memenuhi lima kredibilitas di dalam realitas kehidupannya, yaitu:
1. Kredibilitas moral, yaitu kemampuan pengendalian diri, kemampuan menata karakter dan me-manage qalbu, kemampuan mengembalikan semua urusan hanya kepada Allah. Karena hanya dari Allah-lah kekuatan yang sebenarnya.
2. Kredibilitas intelektual, yaitu kemampuan menguasai permasalahan-permasalahan dunia dan akhirat dalam sebuah kerangka berpikir yang Islami, syamil-kamil-mutakamil (lengkap-sempurna-saling menyempurnakan), dan sanggup menjawab setiap persoalan, setiap pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang jernih, tegas dan Rabbani. Tidak larut ke dalam kesesatan-kesesatan berpikir manusia dan tidak terwarnai oleh pemikiran kotor dari nafsu yang rendah.
3. Kredibilitas operasional, yaitu kemampuan bergerak yang teruji, gesit, tangguh, ajeg (istiqomah) dan meliputi setiap kebutuhan hidup manusia. Sanggup menata diri dan orang lain dengan penataan yang terbaik. Sanggup memberi manfaat optimal kepada segenap alam semesta (rahmatan lil alamin).
4. Kredibilitas sosial, yaitu kemampuan menata masyarakat dan menerima amanah kepercayaan dari mereka, baik dari kaum muslimin maupun dari luar. Sanggup memahami dan berinteraksi dengan manusia dengan segenap kemajemukan karakter sosialnya sesuai dengan apa yang telah terberi dari Allah.
5. Yang terakhir adalah kredibilitas politik. Kemampuan menata kewenangan dan kekuasaan manusia dalam tataran sosial yang lebih luas, dan mencakup bidang-bidang kehidupan berkelompok, berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di dunia ini. Jika kredibilitas ini dicapai kita akan lihat betapa seorang Ustadz sanggup mencegah digulirkannya rencana lokalisasi kemaksiyatan di daerahnya hanya dengan ceramah-ceramah di radio, televisi, didengar oleh pemirsa dan ummat, kemudian ditaati, sebagaimana ummat seharusnya memang taat kepada ulama mereka. Kredibilitas politik yang muncul secara spontan ini mengakar ke hati ummat dan menjadikan ulamanya sebagai informal leader terpandang di tengah masyarakat. Kita juga akan melihat bahwa pemimpin ummat yang mencapai kredibilitas ini tidak akan mudah digoyang oleh isu dan intrik, sebab dirinya tegak karena Allah dan kuat karena Allah. Dirinya berdiri dengan nama Allah dan tidak menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan ummat kepadanya. Sosok inilah pelayan sejati ummat.
Wallahua’lam bishshowwaab
(QS 2:30)

Saat ini ummat sedang mengalami banyak keprihatinan. Dalam usianya yang memasuki abad ke limabelas, ummat Islam terseok bagaikan pesakitan. Rakyatnya diserang, dilukai, bahkan dibunuh, di lain tempat hartanya dirampok dan asset-assetnya dijual dengan harga murah kepada musuh. Seolah tanpa daya, ummat Islam berada di tempat persis sebagaimana yang digambarkan dalam penuturan Nabinya SAW: sepiring makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan musuh.
Sosok menghiba muslimin India yang desanya diserang, dibakar dan penduduknya dibantai. Sosok geram muslimin Palestina yang dibumihanguskan bersama desa tempat mereka mengungsi. Sosok-sosok berkeringat para pegawai BUMN di negeri ini yang menggelar demo anti penjualan asset negara, semua dianggap angin lalu saja oleh musuh-musuh Islam yang sedang merajalela. Kemanakah para pemimpin? Tak mungkin ummat berada di titik nol seperti ini jika saja tegak para pemimpin ummat yang kuat. Tak mungkin ada perampokan jika ada para pahlawan. Sementara itu di panggung politik orang berebut menjadi pemimpin. Padahal jika saja mereka tahu betapa berat amanah yang harus dipikul dan dipertanggung-jawabkan tak akan mungkin ada yang mau menanggungnya kecuali orang kuat, kuat imannya, kuat tawakkalnya, kuat ilmunya dan kuat kesabarannya di jalan kebenaran. Bahkan Umar bin Abdul Aziz selalu merasa risau akan kualitas kepemimpinannya dan selalu khawatir membayangkan apa yang akan dikatakannya di hadapan Allah di Hari Akhir kelak.

Menghitung Diri

Menghitung DiriBetapa cepatnya waktu bergulir, siang dan malam silih berganti tanpa kita sadari, berputar terus tanpa henti merenggut hari-hari dan umur kita. Bulan demi bulan terus berlalu seakan bagai mimpi, lewat dengan begitu cepat seperti seorang penyebrang jalan. Bahkan setahun pun tidak kita rasakan, padahal ia adalah kesempatan untuk persiapan menuju perjalanan yang jauh.., apa yang telah kita perbuat selama ini, ketaatan apa yang dapat kita persembahkan?Pahala dan kebaikan apa yang telah kita usahakan?

Setiap Orang akan Mendapati Apa yang Ia Kerjakan

Walaupun kita telah lupa terhadap apa yang kita lakukan di masa lalu, baik itu kebaikan maupun keburukan, namun itu semua terjaga dan tercatat dalam buku catatan amal. Dua malaikat pencatat (kiraman katibin) tak pernah lalai mengawasi gerak-gerik dan ucapan kita.
"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. 50:18)

Tak ada satu kata yang diucapkan oleh anak Adam, kecuali ada pengawas yang selalu menulis dan menghitungnya, tidak ada yang terlewat walau hanya satu kalimat atau satu gerakan.
"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. 82: 10-12)

Kelak nanti di Hari Kiamat setiap orang akan melihat rekaman dari perbuatannya selama di dunia. Tak satu pun yang dapat mengelak, masing masing diliputi kegundahan dan rasa takut, kecuali orang-orang mukmin, maka mereka mendapatkan curahan rahmat dari Allah disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya dan karena mereka selalu mengikuti Rasul-Nya.
"Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut.Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya.Pada hari itu, kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.(Allah berfirman) "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguh-nya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan". Adapun orang-orang yang beriman dan mengerja-kan amal yang saleh, maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga).Itulah keberuntungan yang nyata. (QS. 45:28-30)

Pada Hari Kiamat, orang-orang kafir dan ahli maksiat menunduk lesu, menyesali perbuatannya selama di dunia, mereka dalam keadaan hina dan ketakutan seraya menyeru kecelakaan atas diri mereka.
"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabbmu tidak meng-aniaya seorang jua pun." (QS. 18:49)

Bersegeralah Sebelum Ajal Menjemput

Satu hal yang patut untuk kita renungi adalah, apa persiapan kita untuk menghadapi Hari Akhirat? Apakah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan berbagai amal yang dapat menyelamatkan kita dari huru-hara dan kedahsyatannya? Pernahkah kita menghitung diri atas apa yang telah kita ucapkan dan kita perbuat? Mari segera kita jawab sebelum datang waktunya bagi kita untuk mengucapkan,
"Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan." Kemudian kita dapati jawaban, "Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan." (QS. 23:100)

Sungguh para salaf adalah orang-orang yang paling banyak melakukan ibadah, ketaatan dan amal shalih. Namun ternyata mereka tidak begitu saja mengandalkan amal perbu-atan mereka, bahkan mereka senan-tiasa merasa khawatir kalau-kalau apa yang mereka lakukan itu masih belum diterima oleh Allah, sehingga terus merasa kurang dalam beramal dan tak henti-hentinya memohon ampunan kepada Allah.

Coba kita perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam melakukan shalat hingga kedua kaki beliau bengkak, kemudian dalam sehari beliau beristighfar mohon ampunan kepada Allah lebih dari seratus kali. Apakah beliau pernah bermaksiat kepada Allah sehingga harus mohon ampun sehari lebih dari seratus kali? Demi Allah beliau adalah manusia yang paling taat. Itu semua beliau lakukan tak lain karena muhasa-bah yang tiada henti, muraqabah dan sikap tawadlu’ yang sempurna kepada Allah, sehingga beliau terus bertaubat dan beristighfar kepada-Nya.Beliau tidak semata-mata mengandalkan kedudukannya yang mulia dan tinggi sebagai nabi, bahkan beliau sendiri menyatakan, "Seseorang masuk Surga bukan semata-mata karena amalnya." Para shahabat bertanya, "Tidak pula engkau wahai Rasulullah? Beliau menjawab, "Tidak juga aku, kecuali jika Allah mencurahkan kepadaku rahmat dan keutamaan-Nya."

Jika seorang penghulu Nabi saja keadaannya seperti itu, maka bagaimana lagi dengan kita?Bagaimana mungkin kita merasa bangga dengan amal kita, bahkan kita sering banyak bergurau, bermain-main, padahal kita tidak tahu ke mana tempat kembali kita kelak di akhirat?
"Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (QS. 21:47)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman,
"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya." (QS. 3:30)

Allah akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya, menghitung keseluruhan amal mereka tak satu pun yang ketinggalan dan Dia tidak akan menzhalimi hamba-Nya. Bahkan Dia memaafkan, mengampuni dan menyayangi, namun Dia juga menyiksa siapa saja yang dikehendaki dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.

Setiap Kita Akan Ditanya

Karena dahsyatnya Hari Pembalasan, maka Allah memerintahkan hamba-Nya untuk selalu menghitung diri dan mempersiapkan hari depan, sehingga ketika datang kematian, maka ia tidak dalam keadaan lalai dan terlena. Dia berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. 59:18)

Imam Ibnu Katsir berkata, "Mak-sudnya adalah hitunglah diri kalian sebelum nanti dihitung, lalu lihatlah apa yang telah kalian siapkan berupa amal shalih untuk bekal hari kepulanganmu dan menghadap Tuhanmu."
Seorang mukmin harus selalu menghitung diri karena ia tahu bahwa kelak besok di hadapan Allah ia akan dihisab. Allah telah memberitahukan kepada kita, bahwa kita semua nanti akan ditanya tentang nikmat yang telah kita terima di dunia,
"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu )." (QS. 102:8)

Kita semua akan ditanya tentang nikmat itu, makan dan minum yang kita santap, harta benda, rumah, kendaraan dan pakaian, untuk apa semua itu dan bagaimana kita memperolehnya. Nabi n telah bersabda,
"Tak akan bergeser kaki seorang hamba, sehingga ia ditanya tentang empat hal; Tentang umurnya dihabiskan untuk apa, tentang ilmunya apa yang ia amal-kan dengan ilmu itu, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, dan tentang badannya untuk apa ia gunakan"

Mari kita semua menjawabnya, tentunya dengan jawaban yang benar dan jujur, sebab perkara ini bukan perkara sepele dan main-main.Ini butuh keseriusan karena berkaitan dengan ujung nasib kita, surga atau neraka.
Salah seorang salaf berkata," Andaikan Allah mengancamku, bahwa jika aku bermaksiat kepada-Nya, maka Dia akan memenjarakanku di dalam sel yang sempit, maka itu sepantasnya membuatku untuk tidak malas dalam beribadah, maka bagaimana lagi jika ia telah mengancamku dengan siksa api neraka, jika aku bermaksiat kepada-Nya?

Cara Muhasabah Diri

Imam Ibnul Qayyim berkata ten-tang cara muhasabah, "Pertama-tama hendaklah menghitung diri dalam masalah kewajiban, jika ingat masih ada kekurangan, maka hedaknya segera disusul dengan mengqadla atau memperbaikinya.
Kemudian setelah itu menghitung diri dalam masalah larangan, jika mengetahui ada larangan yang telah dikerjakan atau diterjang, maka hendak-nya segera menyusulnya dengan bertaubat dan beristighfar serta banyak melakukan kebajikan-kebajikan yang akan dapat menghapusnya.

Lalu selanjutnya muhasabah diri dalam hal kelalaian, jika selama ini telah sering lalai akan tujuan dari penciptaan manusia di dunia, maka harus segera mengingatnya serta menghadapkan diri kepada Allah.

Kemudian menghitung diri dalam hal ucapan, langkah kedua kaki, aktivi-tas kedua tangan, pendengaran telinga, penglihatan: Apa yang dikehendaki dengan semua itu, untuk siapa serta apa tujuan melakukannya?Dan harus diketahui, bahwa seluruh ucapan dan perbuatan hendaknya mempunyai dua sisi pertimbangan yang selalu diingat.
Yang pertama pertimbangan untuk siapa berbuat dan ke dua bagaimana berbuat. Yang pertama adalah perta-nyaan tentang keikhlasan dan yang ke dua pertanyaan tentang mutaba’ah (mengikuti tata cara yang diajarkan Nabi ).

Nasehat dan Teladan

Berkata al-Hasan, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang ketika menginginkan sesuatu, ia merenung terlebih dahulu, kalau itu untuk Allah, maka ia terus dan kalau untuk selain-nya maka ia urungkan.

Berkata Ibrahim at-Taimiy, "Aku mengumpamakan diriku berada di Surga makan buah-buahnya dan minum dari air sungainya, lalu bercanda dengan para bidadari. Lalu aku mengumpama-kan diriku berada di neraka, memakan buah zakum, meminum nanah, dirantai dan dibelenggu. Lalu aku katakan pada diriku, "Hai jiwa, apa yang kau mau sekarang? Jiwa itu menjawab, "Aku ingin kembali ke dunia dan melakukan amal shalih". Aku pun berkata, "Kini angan-anganmu (untuk kembali ke dunia) tercapai , maka beramallah!"

Ibnul Jauzi berkata, "Sepantasnya orang yang tidak tahu kapan ia akan mati untuk selalu mempersiapkan diri, janganlah ia tertipu dengan usia muda dan kesehatannya."
Berapa banyak pemuda yang mati karena sakit yang mendadak, berapa banyak yang mati karena kecelakaan, berapa banyak yang mati disebabkan kecanduan dan berapa banyak pula yang meninggal karena perkelahian dan tawuran? Siapa yang tahu umur seseorang.

MENGHINDARI KEBIASAAN GHIBAH

MENGHINDARI KEBIASAAN GHIBAH
Ghibah adalah penyakit hati yang memakan kebaikan, mendatangkan keburukan serta membuang waktu sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat karena kurangnya pemahaman Agama, kehidupan yang semakin mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi, telepon misalnya, juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini. Lebih lanjut, ikuti penjelasan berikut ini.
Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji ini, amin
Hakikat GhibahGhibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya, baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan, nasab, ucapan hingga pada pakaian. Menyebut kekurangan pada badan seperti mengatakan ia pendek, hitam, kurus dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong, fasik, munafik dan lain-lain.
Kadang orang tidak sadar kalau ia telah melakukan ghibah, dan saat diperingatkan ia mengatakan: "Yang saya katakan ini benar adanya!", padahal Rasulullah Shallallahu 'alahi wa sallam dengan tegas menyatakan perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau, bagaimana jika yang dikatakan itu benar adanya pada orang yang digunjingkan, beliau menjawab:
"Jika yang engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut, maka engkau telah melakukan ghibah, dan jika yang engkau sebut tidak ada pada orang yang engkau sebut, maka engkau telah melakukan dusta atasnya."
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada Aisyah r.a. Ketika wanita itu sudah pergi, Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek Rasulullah lantas bersabda: "Engkau telah melakukan ghibah!". Semisal dengan ini adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan jalan seseorang, cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah, karena disamping memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.
Tak kalah meluasnya adalah ghibah dengan tulisan, karena tulisan adalah lisan ke dua. Media massa sudah tidak segan lagi membuka aib seseorang yang paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yang seharusnya ditutupi, perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.

Macam dan Bentuk GhibahGhibah mempunyai berbagai macam dan bentuk, yang paling buruk adalah ghibah yang disertai dengan riya' seperti mengatakan: "Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu semacam ini, semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu." Padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain, namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya.
Kadang orang yang melakukan ghibah dengan cara pujian, seperti mengatakan: "Betapa baik orang itu, namun sayang ia mempunyai perangai seperti yang banyak kita miliki, kurang sabar." Ia juga menyebut dirinya dengan maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk orang-orang shalih yang selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yang lain misalnya mengucapkan: "Saya kasihan terhadap teman kita yang selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan." Ucapan seperti ini bukanlah doa, karena jika ia menginginkan doa untuk nya, tentu dia akan mendoakannya dalam kesendirian dan tidak mengutarakan semacam itu.

Ghibah Yang DiperbolehkanPertama: Melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh melaporkan kepada hakim dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah perbuatan ghibah, namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal ini dibolehkan dalam agama.
Kedua: Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang dari perbuatan maksiat, seperti mengutarakan kepada orang mempunyai kekuasaan untuk mengubah kemungkaran: "Si Fulan telah berbuat yang tidak benar, cegahlah dia!" Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah ghibah yang diharamkan.
Keempat: Untuk memperingati atau menasehati kaum muslimin. Contoh dalam hal ini adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan oleh para ulama hadits. Hal ini diperbolehkan menurut ijma' ulama, bahkan menjadi wajib karena mengandung maslahat bagi umat Islam.
Kelima: Bila seseorang berterus terang dengan menunjukkan kefasikan dan kebid'ahan, seperti minuman arak, berjudi dan lain-lain, maka boleh menyebut orang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun tidak boleh menyebutkan aib-aib yang lain.
Keenam: Untuk memberi penjelasan dengan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Seperti menyebutkan dengan sebutan di bisu, si pincang dan lainnya. Tapi alangkah baiknya bila menyebutnya dengan julukan yang ia senangi.

Taubat dari GhibahMenurut ijma' ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya yang melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan: kejahatan terhadap Allah Ta'ala karena telah melakukan perbuatan yang jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencangkup tiga syarat, yaitu meninggalkan perbuatan tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Selanjutnya, harus diikuti langkat kedua untuk menebu kejahatannya atas hak manusia, yaitu dengan mendatangi orang yang digunjingnya kemudian meminta maaf atas perbuatannnya dan menunjukkan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicarakan mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahui, maka bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan berjanji pada dirinya untuk mengulanginya.

Kiat Menghindari GhibahUntuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi dan diobati ini, ada beberapa kiat yang bisa dilaksanakan.
Pertama: Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya azab dariNya.
Kedua: Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yang digunjingnya. Jika ia tidak sama sekali mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambil dari timbangan kejahatan orang yang digunjingnya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu, niscaya seseorang akan berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan ghibah.
Ketiga: Hendaknya orang yang melakukan perbuatan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aib orang lain, sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
Keempat: Jika aib orang yang hendak digunjingnya tidak ada pada dirinya sendiri, hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah karena Dia telah menghindarkannya dari aib tersebut, bukannya malah mengotori dirinya dengan aib yang lebih besar yang berupa perbuatan ghibah.
Kelima: Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti makan bangkai saudaranya, sebagaimana yang difirmankan Allah: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?" (Al-Hujurat: 12).
Keenam: Hukumnya wajib mengingatkan orang sedang melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat Allah dan hadits-hadits yang melarang ghibah dan selalu menjaga lisa agar tidak terjadi ghibah.
(HR. Muslim)

MENGHIDUPKAN KEMBALI RISALAH MASJID

MENGHIDUPKAN KEMBALI RISALAH MASJID
"Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia, ialah baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia." (Ali Imran: 96).
Rumah Pertama di Muka Bumi
Masjid, langit, bumi beserta isinya milik Allah. Tetapi Allah menyebut secara khusus bahwa masjid adalah kepunyaanNya. Masjid merupakan rumah pertama yang dibangun di muka bumi. "Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (Al-Jinn: 18).
Secara khusus Allah telah memberikan keistime-waan buat Masjidil Haram agar orang kafir tidak diperangi di dalamnya kecuali jika mereka memulai. "Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu." (Al-Baqarah: 191).
Masjid juga mempunyai arti tersendiri bagi manusia. Ia adalah tempat yang diagungkan dan disucikan. Mencoreng dan mengganggu kewibawaannya berarti juga mencoreng muka mereka.
Masjid di Masa Lalu
Membangun masjid adalah pekerjaan pertama yang Rasulullah saw lakukan ketika sampai di Madinah. Masjid adalah sarana utama untuk pemberdayaan sumber daya masyarakat Islam. Masjid pada masa Rasulullah saw dan generasi Islam pertama dijadikan pusat kegiatan dakwah, sentra pengembangan keilmuan, pemikiran, moral, pendidikan dan sosial. Di sanalah tempat para sahabat menimba ajaran-ajaran Islam dan tempat memecahkan segala urusan mereka sehari-hari.
Masjid di masa Rasulullah saw bukan hanya sebagai tempat penyaluran emosi religius semata, ia telah dijadikan pusat aktivitas umat. Hal-hal yang dapat direkam sejarah tentang fungsi masjid di antaranya:
Tempat latihan perang. Rasulullah saw mengizinkan 'Aisyah menyaksikan dari belakang beliau orang-orang Habasyah (Ethiopia) berlatih menggunakan tombak mereka di Masjid Rasulullah ` pada hari raya. (HR. Al-Bukhari).
Balai pengobatan tentara muslim yang terluka. Sa'd bin Mu'adz z terluka ketika perang Khandaq, maka Rasulullah ` mendirikan kemah di masjid. (HR. Al-Bukhari).
Tempat tinggal sahabat yang dirawat (para tentara Islam jika terluka).
Tempat menerima tamu. Ketika utusan kaum Tsaqif datang kepada Nabi saw, beliau menyuruh sahabatnya untuk membuat kemah sebagai tempat perjamuan mereka. (HR. Al-Baihaqi).
Tempat penahanan tawanan perang. Tsumamah bin Utsalah seorang tawanan perang dari Bani Hanifah diikat di salah satu tiang masjid sebelum perkaranya diputuskan. (HR. Al-Bukhari).
Pengadilan. Rasulullah ` menggunakan masjid sebagai tempat penyelesaian perselisihan di antara para sahabatnya.
Selain hal-hal di atas, masjid juga merupakan tempat bernaungnya orang asing, musafir dan tunawisma. Di masjid mereka mendapatkan makan, minum, pakaian dan kebutuhan lainnya. Di masjid, Rasulullah ` menyediakan pekerjaan bagi penganggur, mengajari yang tidak tahu, menolong orang miskin, mengajari tentang kesehatan dan kemasyarakatan, menginformasikan perkara yang dibutuhkan umat, menerima utusan suku-suku dan negara-negara, menyiapkan tentara dan mengutus para da'i ke pelosok-pelosok negeri.
Masjid Rasulullah saw adalah masjid yang berasaskan taqwa. Maka jadilah masjid tersebut sebuah tempat menimba ilmu, menyucikan jiwa dan raga. Menjadi tempat yang memberikan arti tujuan hidup dan cara-cara meraihnya. Menjadi tempat yang mendahulukan praktek kerja nyata sebelum teori. Sebuah masjid yang telah mengangkat esensi kemanusiaan manusia sebagai hamba terbaik di muka bumi.
Melemahnya Fungsi Masjid
Saat ini, sangat sulit mendapatkan masjid yang difungsikan secara ideal menurut sunnah Rasulullah saw. Secara umum, ada dua tipe kecenderungan penyimpangan dalam pengelolaan masjid-masjid zaman sekarang. Pertama, pengelolaan masjid secara konvensional. Gerak dan ruang lingkup masjid dibatasi pada dimensi-dimesi vertikal saja, sedang dimensi-dimensi horizontal kemasyarakatan dijauhkan dari masjid (baca agama). Indikasi tipe pengelolaan masjid jenis ini adalah masjid tidak digunakan kecuali untuk shalat jamaah setelah itu masjid dikunci rapat-rapat. Bahkan terkadang jamaah pun hanya tiga waktu; Maghrib, Isya' dan Shubuh. Tipe lainnya adalah pengelolaan masjid yang melewati batasan syara'.
Biasanya mereka berdalih untuk memberi penekanan pada fungsi sosial masjid tetapi mereka kebablasan. Maka diselenggarakanlah berbagai acara menyimpang di masjid (aulanya). Misalnya pesta pernikahan dengan pentas musik atau tarian, perayaan hari-hari besar Islam dengan ragam acara yang tak pantas diselenggarakan di masjid dan sebagainya. Mereka lebih mengutamakan dimensi sosial -yang ironinya menabrak syari'at Islam- dan tidak mengabaikan fungsi masjid sebagai sarana ibadah dalam arti luas.
Belum lagi setiap masjid akan mempunyai masalah tersendiri yang berbeda dari masjid lainnya. Misalnya masjid kurang terurus, jarangnya pengurus dan jamaah sekitarnya yang shalat ke masjid, terjadinya perselisihan antar pengurus dalam menentukan kebijaksanaan, masjid yang tidak lagi buka 24 jam dan lain sebagainya. Nampaknya faktor internallah yang menjadi penyebab utama terbengkalainya rumah-rumah Allah tersebut.
Mengembalikan Risalah Masjid
Jumlah masjid di Indonesia pada saat ini sekitar 600.000 buah. Jika umat Islam berjumlah sekitar 160 juta jiwa, rata-rata setiap masjid membawahi sekitar 267 jamaah. Ini adalah sebuah potensi luar biasa jika dikelola dengan baik.
Untuk mengembalikan dan menunaikan risalah masjid seperti dahulu-kala memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Modal utamanya adalah niat yang ikhlas karena Allah, kesungguhan dalam bekerja, kemauan dalam berusaha serta mau menghadapi tantangan dan ganjalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Secara umum, Allah telah memberikan beberapa kriteria yang amat mendasar yang harus dimiliki para pemakmur masjid demi tercapainya risalah masjid. "Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". (At-Taubah: 18).
Merupakan satu langkah mundur jika kepeng-urusan masjid diserahkan kepada orang-orang yang tidak tergolong dalam ayat di atas. Karena itu, menggali dan mengkaji kembali perjalanan sejarah masjid-masjid pada masa Rasulullah ` dan generasi pertama umat Islam adalah jalan terbaik untuk merevitalisasi fungsi masjid. Selanjutnya, tidak memilih para pengurus masjid kecuali orang yang dikenal karena ketaqwaan dan pengabdiannya kepada Islam.
Ramainya jamaah, barometer umum makmurnya sebuah masjid Setiap pengurus masjid hendaknya memulai dalam mengembalikan fungsi masjid dengan menggalakkan kegiatan shalat jamaah lima waktu. Hal itu misalnya dengan terlebih dahulu memahamkan pentingnya shalat berjamaah.
Ibnu Mas'ud z berkata: "... Dan tidaklah seorang laki-laki berwudhu kemudian ia membaikkan wudhunya lalu menuju ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah menulis setiap langkah yang ia langkahkan satu kebaikan untuknya dan Allah meninggikannya satu derajat serta menghapuskan satu keburukannya karenanya. Dan sesungguhnya kita telah menyaksikan bahwa tidaklah meninggalkan (shalat berjamaah) kecuali seorang munafik yang tampak jelas kemunafikannya. Dan sesungguhnya dahulu (sampai terjadi) ada seorang laki-laki yang dipapah oleh dua orang kemudian ia diberdirikan di dalam shaf (agar bisa shalat berjamaah)." Dari sini, lalu dirutinkan kegiatan ta'lim dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya sehingga lambat laun masjid kembali menjadi pusat pembinaan masyarakat Islam." (Asri Al-Ibnu Ats-Tsani).
Referensi: Kitabus Shalah, Prof. Dr. Ath-Thayyar, Imaratul Masjid, dll.

Menggapai Ridha Allah Melalui Orang Tua

Menggapai Ridha Allah Melalui Orang Tua
Jalan yang hak dalam menggapai ridha Allah melalui orang tua adalah Birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah salah satu masalah yang penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan kepada manusia untuk bertauhid kepada-Nya, Allah Ta’ ala memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya. Dalam surat Al Isra’ ayat 23-24, Allah berfirman:
"Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di sisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan jangan lah kamu membentak keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya perkatanaan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah,"Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil."
Al Hafidz Ibnu Katsir telah menerangkan ayat tersebut sebagai berikut:
"Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada semua manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja, tidak menyekutukan dengan yang lain. "Qadla" di sini bermakna perintah sebagaimana yang dikatakan Imam Mujahid, wa qadla yakni washa (Allah berwasiat). Kemudian dilanjutkan dengan "wabil waalidaini ihsana" hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.
Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya dalam keadaan lanjut usia, "fa laa taqul lahuma uffin" maka janganlah berkata kepada keduanya ‘ah’ ( ‘cis’ atau yang lainnya). Janganlah memperdengarkan kepada keduanya perkataan yang buruk. "Wa laa tanhar huma" dan janganlah kalian membenci keduanya. Ada juga yang mengatakan bahwa "wa laa tanhar huma ai la tanfudz yadaka alaihima" maksudnya adalah janganlah kalian mengibaskan tangan kepada keduanya. Ketika Allah melarang perkataan perkataan dan perbuatan yang buruk, Allah juga memerintahkan untuk berbuat dan berkata yang baik. Seperti dalam firman Allah Ta’ala "wa qul lahuma qaulan karima" dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, yaitu perkataan yang lembut dan baik dengan penuh adab dan rasa hormat. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan kasih sayang, hendaklah kalian bertawadlu’ kepada keduanya. Dan hendaklah kalian berdoa, "Ya Allah sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi dan mendidikku di waktu kecil," pada waktu mereka berada di usia lanjut hingga keduanya wafat." [Tafsir Ibnu Katsir Juz III hal 39-40 Cet. I. Maktabah Daarus Salam, Riyad. Th. 1413H]
Perintah birul walidain juga tercantum dalam surat An Nisa ayat 36, Allah berfirman:
Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat, kepada anak-anak yatim, kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya, sesugguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri
Dalam surat Al Ankabut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang kafir kalau mengajak kepada kekafiran:
"Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikutikeduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu.lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."Pengertian
Menurut lughoh (bahasa), Al-Ihsan berasal dari kata ahsana –yuhsinu –Ihsaanan. Sedangkan yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang tua yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan terhadap keduanya. Menurut Ibnu Athiyah, kita wajib juga mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah, harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Sedangkan uquq artinya memotong (seperti halnya aqiqah yaitu memotong kambing). ‘Uququl walidain’ adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap kedua orang tuanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan dari seorang anak kepada kedua orang tuanya yang berupa perkataan yaitu dengan mengatakan ‘ah’ atau ‘cis’, berkata dengan kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci dan yang lainnya. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak memperdulikan, tidak bersilaturahmi atau tidak memberi nafkahkan kepada kedua orang tuanya yang miskin.
Berbakti Kepada Orang Tua Merupakan Sifat Baarizah (yang menonjol) dari Para Nabi. Dalam surat Maryam ayat 30-34, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Isa bin Maryam adalah anak yang berbakti kepada Ibunya: Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, yang memberi Al-Kitab (Injil), Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Allah memerintahkan aku berbakti kepada ibuku dan tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku. Itulah Isa putra Maryam, mengatakan perkataan yang benar dan mereka berbantahan tentang kebenarannya."
Kemudian Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 40-41: "Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanlah doaku.Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab." Lihat juga dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 83-87:(Ibrahim berdoa) "Ya Rabb-ku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku kedalam golongan orang-orang yang shalih, Dan jadikanlah aku tutur kata yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian,."
Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat,Dan janganlah engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan
Demikian juga Nabi Nuh ‘alaihi salam mengatakan hal yang sama dalam surat Nuh. Kemudian Nabi Ismail ‘alaihi salam, juga Nabi Yahya ‘alaihi salam dalam surat Maryam ayat 12-15: Ambillah Al Kitab dengan sungguh-sungguh, Kami berikan kepadanya hikmah, ketika masih kanak-kanak, Dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan ia adalah orang-orang yang bersih dosa dan orang-orang bertakwa. Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, bukanlah ia termasuk orang-orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan semoga atas dirinya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan, dan pada hari ia dibangkitkan."
Kemudian dalam An Nahl ayat 19 tentang nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengajarkan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih."
Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa bakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada orang tuanya.
Bila diperintahkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua seperti yang tercantum dalam surat An Nisa, surat Al Isra dan surat-surat yang lainya menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua adalah masalah kedua setelah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, aqidah salaf, untuk selanjutnya wajib pula bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi pada seorang yang bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyadzubillah nas alullahu salamah wal afiyah. Bagi seorang muslim terutama bagi seorang thalibul ‘ilm (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada orang tuanya.
Keutamaan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua dan
Pertama
"Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amal-amal paling utama dan dicintai Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘pertama Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat diawal waktunya), kedua berbakti kepada kedua dua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah’." [HR. Bukhari I/134, Muslim No. 85, Fathul Baari 2/9]
Dengan demikian jika ingin berbuat kebajikan harus didahulukan amal-amal yang paling utama di antaranya adalah birrul walidain (berbakti kepada orang tua).
Kedua
K etiga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Pada suatu hari tiga orang berjalan, lalu kehujanan. Mereka bertehduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka ada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua/ sebagian mereka berkata kepada yang lain, ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawasul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu diantara mereka berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan berikan kepada siapapun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah, bukakanlah.’ Maka batu yang menutup pintu gua itu pun bergeser." [HR. Bukhari, (Fathul baari 4/449 no. 2272), Muslim (2473) (100) Bab Qishshah Ashabil Ghaar Ats Tsalatsah Wattawasul bi Shalihil A’mal].
Ini menunjukan bahwa perbuatan berbakti kepada kedua orang tua yang pernah kita lakukan, dapat digunakan untuk bertawasul kepada Allah ketika kita mengalami kesulitan, insya Allah kesulitan tersebut akan hilang. Berbagai kesulitan yang dialami seseorang saat ini diantaranya karena perbuatan durhaka kepada kedua orang tua.
Kalau kita mengetahui, bagaimana beratnya orang tua kita telah bersusah payah untuk kita, maka perbuatan ‘Si Anak’ yang ‘bergadang’ untuk memerah susu tersebut belum sebanding dengan jasa orang tuanya ketika mengurusnya sewaktu kecil.
Ini juga menunjukan bahwa kebutuhan kedua orang tua harus di dahulukan daripada kebutuhan anak kita sendiri. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada berbuat baik kepada istri sebagai mana diriwayatkan oleh abdulah bin umar radliallahu ‘anhuma ketika diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin Khatab) untuk menceraikan istrinya, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasalullah menjawab, "Ceraikan istrimu!" [HR. Abu Dawud No. 5138, Tirmidzi No. 1189 beliau berkata, "Hadits hasan shahih"]
Keempat
"Barang siapa yang suka diluaskan rizki dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." [HR. Bukhari 7/7, Muslim 2557, Abu Dawud 1693].
Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan silaturahmi kepada orang tua sebelim kepada yang lain. Banyak diantara saudara-saudara kita yang sering ziarah kepada teman-temannya tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil dia selalu bersama orang tuanya. Sesulit apapun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada kedua orang tua. Karena dengan dekat kepada keduanya insya Allah akan dimudahkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya.
Kelima

Wasiat Berbuat Baik Kepada Orang Tua Takala Keduanya Berusia Lanjut.
Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang ruginya seseorang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua pada waktu orang tua masih disisi kita, salah satunya adalah:Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, "Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut , salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga." [HR. Muslim 2551, Ahmad 2:254,346].
Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang telah berusia lanjut. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa keberadaan kedua orang tua yang berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan pahala dari Allah, dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga. Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabaikan hak-hak orang tuanya dan dengan sebab itu dia tidak masuk surga.
Bentuk dan Akibat Durhaka Kepada Kedua
Di antara bentuk durhaka (uquq) adalah:
1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia, dan ini didasarkan pada hadits berikut:Dari Abi Bakrah radliallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Tidak ada dosa yang Allah cepatkan adzabnya kepada pelakunya di dunia ini dan Allah juga akan mengadzabnya di akhirat yang pertama adalah berlaku Zhalim, kedua memutuskan tali silaturrahmi." [HR. Bukhari (Shahih Adabul Mufrad No. 23),]
Dalam hadits lain dikatakan:"Dua perbuatan dosa yang Allah sepatkan adzabnya (siksanya) di dunia yaitu berbuat zhalim dan al ‘uquq (durhaka kepada orang tua). [HR. Hakim 4/177 dari Anas din Malik radliallahu ‘anhu].
Dapat kita lihat sekarang banyak orang yang durhaka kepada orang tuanya hidupnya tidak berkah dan selalu mengalami berbagai macam kesulitan. Kalaupun orang tersebut kaya maka kekayaannya tidak akan menjadikan bahagia.
Bentuk-bentuk Bakti Kepada Orang Tua
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Apabila kedua orang telah meninggal maka yang pertama kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang nasuha (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup, yang kedua adalah menshalatkannya, ketiga adalah selalu meminta ampunan untuk keduanya, yang keempat membayarkan hutang-hutangnya, yang kelima melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at dan yang keenam menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya (diringkas dari beberapa hadist yang shahih).
: Mendo’akan kedua orang tua. Sebagaimana ayat: ‘robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro’ (wahai rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku lemah lembut kepada keduanya.
: Yaitu memberi infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua.
: Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
: yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara kepada kedua orang tua dengan kepada anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua.
: Bergaul kepada keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada seseorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.
Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
Mendahului taat kepada istri dari pada orang tua. Bahkan ada sebagai orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya. Na’udzubillah.
Memasukan kemurkaan kedalam rumah misalnya alat musik, mengisap Rokok, dll.
Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua dan lemah. Tetapi jika ‘Si Ibu’ melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri maka tidak mengapa dan karena itu anak harus berterima kasih.
Bermuka masam dan cemberut dihadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, '‘kolot’ dan lain-lain.
Bakhil, tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mempentingkan yang lain dari pada mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkahpun , dilakukan dengan penuh perhitungan.
Membentak atau menghardik orang tua.
Berkata ‘ah dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua baik berupa perkataan (ucapan ) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.
Orang Tua.
: Manfaat dari berbakti kepada kedua orang tua yaitu akan dimasuikkan ke jannah (surga) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dosa-dosa yang Allah segerakan adzabnya di dunia diantaranya adalah berbuat zhalim dan durhaka kepada orang tua. Dengan demikian jika seorang anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, Allah akan menghindarkannya dari berbagai mala petaka, dengan izin Allah.
: Dengan berbakti kepada kedua orang tua akan diluaskan rizki dan dipanjangkan umur Sebagai mana dalam hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dari sahabat Anas radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
: Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami yaitu dengan cara bertawasul dengan amal shalih tersebut. Dengan dasar hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar:
: Bahwa ridha Allah tergantung kepada keridhaan orang tua. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu Hibban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari Sahabat dari sahabat Abdillah bin Amr dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152))
: Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam amal yang paling utama. Dengan dasar diantaranya yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dari sahabat Abu Abdirrahman Abdulah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu:
Pahalanya
berbuat baik dan durhaka
."