Menimbang Logika Awam
Menimbang Logika Awam
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke 
Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah 
daripadanya. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi 
orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." 
(Al-Munafiqun: 8).
Tak biasa, orang munafik turut serta dalam perang Bani 
Musthaliq. Kebetulan dua sahabat terlibat pertikaian saat itu. Adalah Jahjah bin 
Sa'id al-Ghifari bertengkar dengan Sinan bin Wabr al-Jahni di dekat telaga 
al-Muraisi. Dalam pertengkaran yang mengarah saling membunuh itu, Sinan 
berteriak: "Wahai kaum Anshar," Jahjah juga berteriak: "Wahai kaum Muhajirin!" 
Mendengar kejadian itu, tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berang dan berkata di depan kaum munafik: "Mereka (muhajirin) telah menyaingi dan mengungguli jumlah kita di negeri sendiri. Demi Allah, antara kita dengan orang-orang Quraisy ini tak ubahnya seperti ungkapan orang: "Gemukkan anjingmu, niscaya menerkammu, demi Allah, jika kita telah sampai Madinah, orang-orang yang mulia pasti akan mengusir kaum yang hina (muhajirin)."
Mendengar kejadian itu, tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul berang dan berkata di depan kaum munafik: "Mereka (muhajirin) telah menyaingi dan mengungguli jumlah kita di negeri sendiri. Demi Allah, antara kita dengan orang-orang Quraisy ini tak ubahnya seperti ungkapan orang: "Gemukkan anjingmu, niscaya menerkammu, demi Allah, jika kita telah sampai Madinah, orang-orang yang mulia pasti akan mengusir kaum yang hina (muhajirin)."
Zaid bin Arqom yang mendengarkan ucapan itu melapor kepada 
Rasulullah saw, dan Allah membenarkannya melalui ayat di atas.
"Demi Allah, jika kita telah sampai Madinah, orang-orang yang 
mulia pasti akan mengusir kaum yang hina (muhajirin)," demikian ujaran Abdullah 
bin Ubay. Perkataan berbisa yang menyakitkan muncul dari musuh dalam selimut 
yang tidak seperti biasa bersikap hipokrit, melainkan telah mengancam hendak 
mengusir Rasulullah beserta sahabatnya dari Madinah. 
Umar bin Khattab yang mendengar berita itu berkata, "Wahai 
Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang munafik ini." Sebuah permintaan 
izin yang berangkat dari kesimpulan atas layaknya hukuman mati bagi si munafik. 
Tidak hanya Umar ra yang berkesimpulan demikian, para sahabat, sekembalinya 
mereka ke Madinah menunggu tindakan keras yang akan dilakukan Rasulullah 
terhadap kaum munafik. Mereka percaya Rasulullah saw bakal membunuh Abdullah bin 
Ubay. Desas-desus begitu santer, hingga Abdullah bin Abdullah bin Ubay, anak 
Abdullah bin Ubay, datang menemui Rasulullah dan berkata, "Saya mendengar engkau 
ingin membunuh ayahku. Jika benar, maka perintahkanlah aku. Aku bersedia membawa 
kepalanya kepadamu?."
Namun, baik permohan Umar ra maupun permohonan Abdullah bin 
Abdullah bin Ubay ra sama-sama ditolak oleh Rasulullah saw. Kepada Umar bin 
Khattab beliau menjawab, "Wahai Umar, bagaimana nanti jika orang-orang berbicara 
bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya?" Kepada Abdullah bin Abdullah 
bin Ubay Rasulullah berujar, "?bahkan kita akan bertindak lemah lembut dan 
berkata baik kepadanya, selama dia masih tinggal bersama kita."
Mengapa Rasulullah tidak mengizinkan pembunuhan Abdullah bin 
Ubay? sebuah hukuman yang pantas bagi si munafik? hukuman yang Rasulullah saw 
mampu untuk melakukannya?
"Wahai Umar, bagaimana nanti jika orang-orang berbicara bahwa 
Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya?" demikian alasan Rasulullah. Sebuah 
ungkapan yang berangkat dari kematangan berpikir dan bertindak. Saat itu beliau 
dihadapkan realitas logika awam yang tidak bisa membenarkan jika kaum munafik 
dibunuh. Beliau khawatir hal itu justru menjadi iklan buruk atas citra 
Rasulullah, dan tentu citra Islam juga. Dalam hal ini tampak Rasulullah 
memperhatikan perspektif umum untuk sebuah parameter, dan bukan perspektif 
seorang atau kelompok sahabat masa itu.
Dakwah dan jihad memerlukan simpati dan dukungan luas. Jika 
tidak, bersiap-siaplah memiliki banyak musuh. Simpati atau antipati masyarakat 
lahir dari perspektif yang dimilikinya. Itulah sebabnya, mengapa Barat 
repot-repot membuat opini untuk menciptakan common enemy? tak lain, untuk 
meraih simpati dan dukungan yang seluas-luasnya. Sebagai strategi perjuangan, 
menggalang opini adalah lumrah belaka, bahkan ia bersifat aksiomatik dan 
kauniyah. Tidak selayaknya dakwah islamiyah memasuki perlawanan terbuka dengan 
seluruh front "penentang Islam" dalam satu waktu, melainkan harus ada skala 
prioritas dan pembatasan wilayah konflik. Termasuk potensi "penentang Islam" di 
sini adalah perspektif (paham) masyarakat yang keliru, yang jika salah 
"menanganinya" bisa menjadi penentang yang sebenarnya, atau bisa digalang musuh 
untuk menentang.
Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, "Jangan kalian sembarang 
berbicara di depan orang bodoh, saya takut mereka mendustakan Allah dan Rasulnya 
lantaran omongan kalian." Di sinilah letak kematangan pikiran dan tindakan. 
Kebodohan masyarakat adalah sebuah realitas. Yang alim, dituntut arif, dan bukan 
sikap egois agar masyarakat harus memahami dirinya.
Penggalan sirah di atas memberikan pelajaran berharga untuk 
sebuah sikap menimbang logika awam, yang dalam satu pespektif kadang logika 
dimaksud bisa dinilai absurd karena kebodohannya, namun demikian, dalam konteks 
tertentu ia justru menjadi parameter sebuah tindakan, dalam hal ini Rasulullah 
khawatir tindakan membunuh kaum munafik menjadi citra negatif baginya, sebuah 
tindakan yang dalam logika kebanyakan sahabat lumrah belaka. Wallahu a'lam.
Post a Comment