Puasa Meningkatkan Diri dari Beriman Menjadi Bertaqwa, Mengapa?
Judul di atas itu tentu sudah jelas, yakni menyangkut hikmah puasa. Kita 
mulai dengan Firman Allah dalam Al Quran, S. Al Baqarah, ayat 185: Ya- 
ayyuhalladziyna a-manuw kutiba 'alaikumu.shshiya-mu kama- kutiba 'ala lladziyna 
min qablikum la'allakum tattaquw0n, artinya: Hai orang-orang beriman, diwajibkan 
atasmu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, 
mudah-mudahan kamu bertaqwa.  
Jadi 
jelas dari bunyi ayat tersebut, bahwa puasa itu dapat meningkatkan orang beriman 
menjadi bertaqwa. Mengapa? Dari jawaban mengapa ini, akan jelas apa hikmah yang 
tersirat di dalamnya. Taqwa adalah bahasa Al Quran, dibentuk oleh akar kata yang 
terdiri atas tiga huruf: waw, qaf, ya, yaitu waqa- atau waqiya, atinya waspada, 
memelihara diri, menghindarkan diri, menjaga diri. Orang yang telah mencapai 
derajat taqwa, adalah yang telah terpelihara dari segala apa-apa yang 
menjerumuskan. Ibarat orang yang berjalan melalui semak belukar yang penuh duri, 
sampai-sampai kepada pakaiannyapun terpelihara dari robekan / tusukan duri. Atau 
ibarat oang yang menerobos lalu-lintas yang semrawut / crowded, terpelihara dari 
bahaya tabrakan. Bertaqwa kepada Allah ialah menjaga diri sehingga terpelihara 
dari melanggar larangan Allah SWT, terpelihara dari hambatan untuk melaksanakan 
perintah Allah SWT. Bertaqwa (tattaquwn, yattaquwn) adalah fi'il (kata kerja) 
melaksanakan seluruh suruhan Allah dan menjauhi segala laranganNya.  
Menurut Karl Marx, moral manusia itu ditentukan oleh kondisi 
perekonomian, artinya moral manusia itu ditentukan oleh lingkungannya. Manusia 
sama sekali tidak berdaya terhadap lingkungannya. Artinya manusia itu adalah 
budak dari lingkungannya. Walaupun komunisme telah ambruk seiring dengan 
bubarnya Uni Sovyet, namun faham Karl Marx, yang dedengkot komunisme tersebut, 
masih banyak dianut orang. Yaitu orang yang masih setia kepada apa yang disebut 
dengan wetensdhappelijke socialisme, sosialisme ilmu. Dahulu di Indonesia ini 
ada tiga kelompok Marxisme. Yang pertama penganut sosialisme ilmu, yang 
berkumpul dalam kekuatan politik Partai Sosialis Indonesia (PSI), kedua 
Marxisme-Trozkist berkumpul dalam Partai Murba dan Marxisme-Leninist berkumpul 
dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).  
Menurut Sigmun Freud (diucapkan froid), yang dedengkot psiko-analist, 
manusia sama sekali tak berdaya terhadap kekuatan yang ada dalam dirinya yaitu 
kekuatan libido berkarakteristik seksual. Semua pikiran dan aktivitas manusia 
bersumber dari dorongan kekuatan libido ini. Artinya manusia itu adalah budak 
dari libido yang ada dalam dirinya.  
Maka 
jika digabungkan kedua teori itu, teori Karl Marx dan Sigmun Freud, yang 
keduanya peranakan Jerman-Yahudi, maka sempurnalah manusia itu menjadi budak. Ya 
budak internal dan budak external. Manusia betul-betul menjadi bulan-bulanan 
kekuatan libido dan kekuatan lingkungan.  
Ajaran Islam tidak mengingkari kedua kekuatan tersebut. Namun dalam 
ajaran Islam kekuatan-kekuatan itu bukanlah penentu. Manusia bukanlah budak, 
ataupun bulan-bulanan kedua kekuatan internal dan external itu. Pada waktu 
Pasukan Islam Madinah pulang dari Perang Uhud yang seru itu, ketika Rasulullah 
mengistirahatkan pasukannya dalam perjalanan pulang itu, Rasulullah bersabda: 
Kita baru selesai dengan Jihadu lAshgar, perang yang sangat kecil dan kita 
segera akan menghadapi Jihadu lAkbar, perang yang sangat besar. Maka para 
sahabat bertanya: Ya RasulaLlah, kalau tadi di bukit Uhud itu hanya perang yang 
sangat kecil, maka bagaimakanakah besarnya pasukan yang akan dihadapi itu. Maka 
Rasulullah menjawab: Jiha-du nNafs, berjihad melawan diri sendiri. Musuh yang 
akan dihadapi itu adalah musuh yang setiap saat menyerang kita yaitu Al Hawa- , 
Nafsun Amma-rah dalam tataran nafsani (manusia terdiri atas tiga tataran: 
jasmani, nafsani, ruhani). Dari sabda Rasulullah itu kita dapat menyimak bahwa 
Allah SWT menjadikan manusia itu dengan perlengkapan sebuah kekuatan pengendali 
yang sanggup dipakai untuk berperang dalam peperangan dahsyat Jihadu lAkbar itu. 
Kekuatan pengendali inilah yang tidak dilihat baik oleh Karl Marx, maupun Sigmun 
Freud, sehingga mereka berteori bahwa lingkungan dan libido itu menjadi penentu. 
Dalam bahasa Al Quran, kekuatan pengendali itu disebut Nafsun Muthmainnah.  
Ibadah puasa sifatnya berbeda dengan ke empat Rukun Islam yang lain. 
Kalimah Syahadatain diucapkan dimulut, dibenarkan oleh pikiran dan dimantapkan 
di qalbu, sifatnya terbuka, karena diucapkan, orang lain dapat mendengarnya. 
Shalat juga sifatnya terbuka, karena teridiri atas gerakan dan ucapan, dapat 
dilihat dan didengar. Mengeluarkan zakat, naik haji juga terdiri atas gerakan 
dan ucapan sehingga juga sifatnya terbuka. Jadi Rukun Islam pertama, kedua, 
ketiga dan kelima dapat saja dikerjakan atas dasar riya, penampilan, tidak atas 
dasar iman. Seorang pemuda misalnya untuk dapat menarik hati calon mertua yang 
taat, ia akan shalat penampilan, memperlihatkan kepada calon mertua bahwa ia 
shalat, jadi bukan atas dasar iman. Seorang jurkam ia dapat saja shalat untuk 
menarik massa, bukan atas dasar iman. Seorang naik haji dapat saja bukan atas 
dasar iman, melainkan untuk status sosial. Lain halnya dengan Rukun Islam yang 
keempat ini, yaitu puasa. Ibadah puasa ini sifatnya tertutup, tidak dapat 
ditunjukkan kepada orang lain. Yang dapat ditunjukkan kepada orang adalah 
berbuka puasa dan berpura-pura loyo atau meludah-ludah secara demonstratif. Maka 
puasa itu hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman, karena yang 
tahu bahwa ia berpuasa hanya dirinya sendiri dan Allah SWT.  
Karena puasa itu tidak dapat dilaksanakan atas dasar penampilan, maka 
puasa itu betul-betul sangat bermanfaat untuk melatih diri meningkatkan 
keampuhan tenaga pengendali dalam diri kita. Ibarat mengasah senjata sebulan 
penuh sehingga cukup tajam buat dipakai untuk Jiha-du lAkbar. Mengendalikan, 
bukan membunuh, sebab Al Hawa- , Nafsun Amma-rah, (dorongan seksual dan 
kemarahan) itu berguna untuk kelanjutan spesi manusia, berkembang biak, dan 
mempertahankan hidup dari keganasan lingkungan.  
Sebulan penuh kita melatih diri meningkatkan keampuhan senjata berupa 
kekuatan pengendali itu. Dengan latihan sebulan penuh itu dapatlah senjata itu 
dipakai untuk berperang sebelas bulan berikutnya. Hingga tiba kembali ke dalam 
bulan Ramadhan yang brukutnya, senjata yang mulai tumpul karena dipakai 
berperang selama sebelas bulan, diasah lagi dalama bulan Ramadhan yang 
berkutnya. Dengan tajamnya alat yang diberikan oleh Allah SWT maka 
terpeliharalah diri kita dari segala apa yang menjerumuskan dan itulah yang 
disebut mencapai kedudukan taqwa, insya Allah. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar