Tawakal ilaAllah


Tawakal ilaAllah


Pernahkah kita dalam mencapai suatu perkara, setelah kita berpenat lelah dan seratus peratus meletakkan tenaga dan keupayaan kita dan setelah kita yakin kita telah memberikan seluruh sumber yang ada namun hati kita masih resah seolah dunia masih tidak mengiktiraf usaha kita? Mungkin kerana kealpaan kita, kita terlupa yang Dia lah penentu segalanya. Dialah yang menentukan nilai rezeki dan setiap sesuatu untuk setiap daripada kita. Firman Nya :
Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah menentukan bagi setiap sesuatu” QS 65:3.


Tawakal daripada suku kata perkataan arabnya bermaksud mewakilkan urusan kepada pihak yang lain. Dan maksud ini dapat kita perluaskan lagi sebagai kepercayaan hati kepada wakil satu-satunya.
Dalam kita meletakkan perwakilan bagi suatu urusan kita, pastinya wakil kita itu diyakini kebenarannya (muntahal-hidayah), diyakini yang paling kuat (muntahal-quwwah), diyakini paling lancar (muntahal-fashahah) dan juga diyakini paling perhatian dan kasih sayang (muntahas-syafaqah). Bukankah semua sifat ini hanyalah milik Dia? Adakah makhluk yang diciptakanNya mempunyai semua sifat dia atas untuk kita sandarkan kepercayaan kita? Mana mungkin kerana hanya dari Dialah segalanya datang, dan kepadaNya segalanya kembali. 
Di dalam kita menghadapi cabaran, Allah telah menyuruh kita untuk berserah kepadaNya. Namun ini bukanlah bermakna kita tidak perlu melakukan apa-apa dalam kita mencapai sesuatu itu. Firmannya lagi:
ketika dua golongan dari pihak kamu ingin mundur kerana takut, padahal Allah adalah Penolong mereka. Kerana itu, hendaklah kepada Allah sahaja orang-orang mukmin bertawakkal” QS 3;122
Bila kita hendak capai sesuatu, keinginan dan cita-cita tu hanya akan jadi mimpi dan angan-angan kosong yang tidak bernilai kalau kita tidak sertakan sekali dengan usaha. Rezeki tidak datang bergolek kalau kita tidak ikhtiar untuk cari. Dan pada usaha itulah hasil kita akan terjadi.

Tetapi usaha semata tidak bernilai di sisi Allah jika kita hanya mengharapkan usaha kita sedangkan kita lupa untuk meletakkan Allah sebagai yang Menentu. Jangan sekali kita meletakkan usaha kita menjadi neraca hasil kerana bukankah itu seolah kita mengiktiraf diri kita bagaikan berkuasa dan tidak perlu mengharap pada Ilahi?.Andai inilah yang kita lakukan, secara sendirinya kita menghitamkan hati kita dengan riya’ dan takabbur. Sedangkan hasil suatu itu adalah ketentuanNya, nikmatnya untuk memberikan menurut pertimbanganNya. Mungkin terjadi, mungkin tidak.

Namun Allah menjanjikan nikmat yang tidak disangka-sangka bagi mereka yang bertawakkal. Rasulullah bersabda :
Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal maka Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung, pagi keluar sarang dalam keadaan lapar, dan petangnya pulang ke sarang dalam keadaan kenyang.” HR At Tirmidziy.


Dalam bertawakal ada peringkat-peringkat yang boleh dijadikan kayu ukur kebergantungan kita;
a. Ketergantungan seseorang kepada Allah atas perlindungan dan pemenuhan keinginannya, sebagaimana keterikatan seorang pelanggan kepada pengacaranya. Ia menyerahkan sesuatu namun tiba suatu saat ia dapat mengambil kembali perjanjian, dan menyerahkannya kepada pihak lain, yang lebih dipercayai.
b. Kebergantungan seseorang kepada Allah bagaikan kebergantungan seoran bayi terhadap ibunya. Ia tidak mengenal orang lain selain ibunya, tidak merengek dan meminta susu kecuali kepada ibunya, ia tidak berserah diri kecuali kepada ibunya. Namun bayi itu dapat juga berbuat sesuatu yang diinginkannya di luar pengetahuan orang tuanya. Kebergantungannya kepada orang tau karena ketergantungan adanya keinginan yang tiada pada orang lain, selain ibunya.
c. Kebergantungan seseorang kepada Allah bagaikan kebergantungan seorang jenazah terhadap orang yang memandikannya. Si arwah tidak tahu lagi apa pun yang diperbuat oleh orang yang memandikannya. Ia menyerah terhadap perlakuan apapun yang diberikan kepadanya.


Maka kita jejaki kembali tawakkal kita, adakah sudah kita benar-benar mengharapkan dari Ilahi yang sepenuh-penuh takwa seperti yang dituntut ke atas kita.
Bila kita melakukan tawakkal, bukankah itu lebih tenang di hati kerana kita yakin Allah telah menentukan rezeki untuk setiap kita yang masing-masing ada bahagian sendiri. Bila kita yakin suatu rezeki itu ditentukan untuk kita, maka tidak perlu kita takut untuk orang lain mendapatnya pula.
Namun kita tidak akan tahu apa rezeki yang akan diberikan kepada kita kerana suatu usaha itu mungkin tidak mendatangkan hasil seperti yang kita harapkan. Mungkin lebih dari kita harapkan atau mungkin lebih teruk daripada jangkaan kita. Tapi bagi seorang yang hidupnya penuh dengan tawakkal kepada Allah tahu dan yakin bahawa itulah rezeki yang ditetapkan untuknya yang datang bukan sebagai ganjaran atau balasan kepada dia, namun sekadar ujian untuk menguji secebis iman di dada. Ini kerana dia yakin, segala apa yang dilakukan di dunia adalah kerana untuk memetik ganjarannya di syurga sana. Kita hanyalah penyemai benih keimanan dan diindahkan dengan tawakkal kerana tawakkal itu satu daripada pembuktian iman, yang meyakini Dialah segalanya, yang dinantikan bukan hasil dan ganjaran di muka bumi, tetapi adalah ganjaran abadi syurga firdausi. Dan kerana itulah orang yang benar bertawakkal, dia tidak akan takut untuk berusaha kerana tahu rezekinya datang dengan tidak disangka-sangka, dia akan terus berusaha untuk masa depannya, terus berusaha untuk mengatasi masalah yang dihadapinya disamping berusaha mengelak musibah kepada dirinya kerana dia yakin, setiap usaha yang dilakukannya hanyalah wasilah yang akan membenarkan dia untuk menggapai cinta Ilahi di jannah Ilahi..

Suatu tawakkal dan keyakinan yang kuat tanpa ikhtiar yang mengiringinya maka tidaklah sempurna, dan setinggi-tinggi ikhtiar akan sia-sia tanpa tawakkal, meyerah kepadaNya. Tawakkal yang benar adalah ikhtiar yang semaksimum mungkin disertakan keyakinan bahawa Dia lah penentu segalanya.”
Moga kita bertawakkal dengan sebenar tawakkal, diiringi dengan keikhlasan semata untukNya.
Wallahua’lam..

Mengubah dengan Kekuatan Tauladan


Manajemen Qolbu: Mengubah dengan Kekuatan Tauladan
 
Mudah-Mudahan kita semua tidak menjadi contoh keburukan bagi orang lain. Mudah-mudahan anak-anak kita tidak mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf kita, para orang tuanya lakukan. Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan masyarakat kita tidak menjadikan kita sebagai salah satu figur keburukan, akibat perilaku buruk yang kita lakukan.
Alangkah ruginya dalam hidup yang cuma sekali-kalinya ini dan orang lain meniru keburukan kita, naudzubillah. Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk dan tidak bermoral, maka ketika orang berbicara, akan berbicara tentang keburukan kita. Apalagi jika orang lain mencontoh perilaku buruk itu, berarti kita juga akan memikul dosanya.

Namun seandainya justru orang atau masyarakat di sekitar kita yang berperilaku kurang baik, maka sudah sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk mengubahnya menuju arah kebaikan. Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi lebih baik secara efektif ?
Salah satu caranya adalah dengan kekuatan suri tauladan atau menjadi contoh terlebih dahulu. Jika ingin mengubah orang lain, maka pertanyaan pertama yang harus dilakukan adalah sudah pantaskah kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi orang lain? Sudahkah kita menjadi suri tauladan bagi apa yang kita inginkan ada pada diri orang lain itu?

Rasulullah SAW gemilang menyeru ummat ke jalan-Nya, mengubah karakter ummat dari zaman kegelapan menuju jalan penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun. Salah satu pilar strategi keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan suri tauladan yang sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang mengubah orang lain sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri kita sebagai media atau contoh yang layak ditiru.

Karenanya, jangan bercita-cita memiliki anak yang santun, lembut, kalau kesantunan dan kelembutan itu tidak ada dalam diri orang tuanya. Jangan bercita-cita punya anak yang tahu etika, kalau cara mendidik yang dilakukan orang tuanya tidak menggunakan etika. Sangat mustahil akan terwujud ketika para pimpinan ingin anggotanya berdisiplin, padahal disiplin itu bukan bagian dari diri pimpinannya. Contoh sederhana, mengapa P4 gagal menjadi pedoman hidup yang jadi acuan bangsa Indonesia ? Karena tidak ada contoh tauladannya. Siapa sekarang pemimpin bangsa ini yang paling Pancasilais ? Susah mencarinya. Seumpama mata air di pegunungan yang sudah keruh tercemar. Kalau dari sumbernya sudah keruh, walau yang di bawah di bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di hilir menjadi keruh karena di hulunya juga keruh.

Orang tua ingin anak-anaknya tidak merokok padahal ternyata orang tuanya perokok berat, bagaimana mungkin ? Para guru ingin murid-muridnya tidak mengganja, padahal ganja itu awalnya dari rokok, dan ternyata para guru merokok di depan murid-muridnya. Jangan-jangan kita yang menjerumuskan mereka ?

Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik tentang mengapa anak-anak menjadi seorang perokok atau pengganja. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang bayinya, dan ternyata si ibu ini melakukannya sambil merokok. Tidak bisa tidak. Perilaku si Ibu ini merupakan contoh bagi si bayi yang ada dipangkuannya.

AH, sahabat. Sayang sekali kita terlalu banyak menuntut pada orang lain, padahal sebenarnya yang paling layak kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para guru bertanggung jawab kalau para murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin akhlak Pak Gurunya dan Akhlak BU Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa yang bejat, kumpul kebo, mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran, lihatlah akhlak para dosennya, moral para dosennya yang mungkin tidak jauh berbeda. Santri di pondok-pondok jadi turun ibadahnya, jelek akhlaknya, jarang tahajutnya, lihat saja akhlak para ustadnya. Di kantor karyawan sering datang terlambat, kinerjanya tidak optimal, kasus kehilangan meningkat, lihat saja akhlak pimpinannya. Pimpinan mencuri, karyawan pun akan mencontohnya dengan mencuri pula.

Oleh karena itu, pertanyaan yang harus selalu kita lakukan adalah sudahkah diri kita ini menjadi contoh kebaikan atau belum ? Omong kosong kita bicara masalah disiplin atau masalah aturan, kalau ternyata kita sendiri belum membiasakan diri untuk berdisiplin atau taat aturan. Sehebat apapun kata-kata yang terlontar dari mulut ini, perilaku yang terpancar dari pribadi kita justru akan jauh berpengaruh lebih dahsyat daripada kata-kata.

Bersiap-siaplah untuk menderita bagi seorang ayah yang tidak bisa menjadi contoh kebaikan bagi anak-anaknya. Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi seorang ayah yang tidak dapat menjadi suri tauladan bagi keluarga dan keturunannya. Bersiap-siaplah untuk menghadapi perusahaan yang ruwet dan rumit kalau seorang atasan tidak menjadi contoh bagi karyawannya. Bersiaplah menghadapi kepusingan jikalau seorang pimpinan tidak menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.

Ingat, jangan mimpi mengubah orang lain sebelum diawali dengan mengubah diri sendiri. Allah SWT, dengan tegas menyatakan kemurkaannya bagi orang yang menyuruh berperilaku apa-apa yang sebenarnya tidak ia lakukan.
"Sungguh besar kemurkaan di sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa yang tidak diperbuatnya" (QS Ash Shaaf 21 : 3).
Bukan tidak boleh berkata-kata, tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih memperjelas kata-kata kita.

Dan menjadi contoh juga tidak akan efektif kecuali contoh itu penuh keikhlasan. Karena ada pula yang memberi contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin dinilai orang lain hebat, ingin dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya seperti ini, tidak akan berarti apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Contoh yang tidak ikhlas tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang karena pujian, over acting tidak akan masuk kepada hati orang lain. Contoh haruslah dilakukan dengan ikhlas. Jangan berharap atau bahkan berpikir untuk dipuji dan dihormati.

Nah Sahabat.

Selalulah tanya pada diri ini contoh apa yang akan kita tunjukkan dalam hidup yang sekali-kalinya ini. Apakah contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah sebaliknya contoh tauladan keburukan ? Naudzhubillah.

Apakah contoh pribadi yang matang ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan? Karenanya menjadi suatu keharusan bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang pemimpin, dan bagi siapa pun untuk memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup cuma sekali dan belum tentu panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat indah jikalau kenangan dan warisan terbesar bagi keluarga dan lingkungan sekitar adalah terpancarnya cahaya pribadi kita yang layak di tauladani oleh siapa pun. Semuanya tiada lain adalah buah dari mulianya akhlak.

IZZAH


IZZAH


Izzah berarti kemuliaan, kekuatan yang dikenal sekarang “gengsi”. Memang “gengsi” akan dimiliki bagi mereka yang mempunyai kekuatan, keperkasaan, kemuliaan dan semua itu bersumber pada Allah Rabbul ‘Alamiin. Hanya Allah pemilik sebenarnya Izzah karena Allah itu Rabbul Izzati dan Allah menamakan dirinya ‘Al-Aziz’. Izzah kemudian diberikan pada makhluk-Nya sesuai pendekatan pada Rabbnya, semakin dekat dengan Allah, atau semakin ter-Sibhgah dengan nilai-Nya (Al Islam) maka makhluk tersebut semakin memiliki Izzah. Makhluk yang paling dekat dengan Allah adalah para Rasul kemudian Mu’minin.
Firman Allah :

“Izzah itu milik Allah, RasulNya dan Mu’minin”. (63 : 8)

Kebanyakan manusia tidak mengetahui cara mencari Izzah dan berbagai macam cara dikerjakan untuk mendapatkannya. Ada yang mencari lewat titel kesarjanaannya, ada yang mencari kedudukannya dan ada juga yang mencari melalui harta kekayaan. Hal inipun terjadi pada sebagian umat Islam. Mereka silau terhadap gemerlapnya dunia dan seisinya kemudian mereka berlomba-lomba mencarinya. Sebagian muslim kagum dengan kebudayaan barat dan mengikuti apa yang yang datang dari barat, sebagian yang lain kagum dengan kebudayaan timur kemudian mengambil apa saja yang datang dari timur. Sungguh kebanyakan muslim sudah menjadikan materi sebagai standar.
Penyakit ini hampir menjangkit pada sebagian besar umat Islam di dunia. Sebab utama dari semua itu, karena mereka lupa Allah maka akibatnya menjadi lupa diri dan lupa misi, kemudian akhirnya mereka tidak memiliki Izzah.
Firman Allah :

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa pada Allah lalu Allah menjadikan mereka lupa pada diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasiq”. (59 : 19)

Bagi orang-orang yang lupa akan Allah dan lupa diri, Allah sebut orang fasiq dan bagi orang-orang yang tahu mencari Izzah Allah sebut munafiq.
Firman Allah :

“Tetapi orang munafiq itu tidak tahu”. (63 : 8)

Sejarah telah membuktikan bahwa Izzah akan dimiliki kalau adanya pendekatan dengan Allah dan menerima nilai yang datang dari Allah kemudian memperjuangkan nilai itu.
Umar r.a. berkata :

“Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam dan kapan saja mencari izzah (kemuliaan) pada selain Islam maka Allah merendahkannya.”

Rasulullah SAW dan para sahabatnya jadi mulia dan berkuasa di bumi Allah karena Izzah dengan Islam. Kemampuan sains dan teknologi mereka ketinggalan dengan muslim sekarang atau dengan bangsa-bangsa lain pada masanya seperti Romawi dan Persia dengan sekutunya, tetapi kelebihan mereka hanya dengan Islam dan mereka tidak pernah merasa kecil terhadap bangsa-bangsa lain bahkan mereka mempunyai sifat  : A’izzatun ‘alal kaafirin.
Tetapi kalau kita melihat kenyataan muslin sekarang, keadaannya berbalik seratus delapan puluh derajat, mereka tidak memiliki kebanggaan sedikitpun dengan Islam nahkan mereka campakkan Islam dan sebagai gantinya mereka ambil apa yang datang dari barat dan timur, maka akibatnya mereka seperti buih yang terombang-ambing di tengah lautan dan tidak memiliki izzah.
Untuk menyembuhkan penyakit kronis ini diperlukan  pengobatan yang tepat dan cepat, dan satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan adalah Al Qur’an karena ia merupakan Syifa’ bagi manusia umumnya dan muslim khususnya. Dengan kembali pada Al Qur’an maka akan diketahui beberapa hal sebagai pengobatan bagi manusia.

Izzah sebagai manusia

            Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang paling mulia diantara makhluk yang lain bahkan malaikat  sekalipun (17 : 70). Malaikat disuruh hormat pada manusia karena kehebatan Ilmu yang ada padanya (2: 31). Dilihat dari bentuk penciptaannya manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang paling sempurna dan baik (95 : 4).
            Kemudian sebagai kemuliaan berikutnya, Allah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk kepentingan manusia dan menyempurnakan nikmatnya  lahir dan bathin (31 : 20). Seterusnya manusia manusia diangkat jadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi (2 : 30).
            Dengan kehebatan manusia itulah, maka Allah memberi amanat padanya dimana makhluk lain tidak sanggup memikulnya (33 : 72). Disinilah kelebihan manusia, kelebihan manusia tidak dilihat dari warna kulitnya. Kulit putih tidak lebih mulia dari kulit hitam. Bilal bin Rabbah lebih mulia dari Abu Sofyan walaupun keduanya sahabat Rasul.
            Suatu hari seorang sahabat berkata pada Umar Amirul Mu’minin untuk bertemu : “Ada Abu Sofyan dan Bilal mau bertemu dengan Amirul Mu’minin”. Mendengar nama Abu Sofyan disebut lebih dahulu dari Bilal, Umar r.a. marah dan berkata : “Katakanlah di pintu ada Bilal dan Abu Sofyan”.
            Begitu juga kelebihan manusia tidak dilihat dari bangsa dan keturunan. Bangsa Yahudi tidak lebih mulia dari bangsa Arab, Bangsa Amerika tidak lebih pandai dari bangsa Afrika dst.
            Sabda Rasulullah pada waktu hari wada’ :

            “Wahai manusia sesungguhnya Rabbmu satu dan bapakmu satu semuanya dari Adam, dan Adam itu dari tanah dan sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa diantara kamu, tiada keutamaan antara bangsa Arab dengan bangsa non Arab kecuali dengan Taqwa”.

Izzah sebagai pribadi Muslim

            Sebagai muslim lebih mulia dari non muslim, baik kafir, fasik maupun munafik. Muslim Arab lebih mulia dari kafir Yahudi begitu juga muslim Afghanistan lebih mulia dari kafir Arab. Seorang muslim lebih mulia karena nilai yang datang langsung dari Allah, dia punya ikatan (urwah) atau hubungan (habl) atau aqidah yang erat dengan Rabbnya. Semua aktifitasnya berhubungan erta dengan Allah Rabbul ‘Alamiin. Sedangkan orang kafir terputus hubungannya dengan Allah, semua aktifitas hidupnya terlepas dari nilai Allah. Dia mempunyai sikap hidup yang sekunder (pemutusan diri dengan aktifitas kehidupan) diseluruh lapangan kehidupan.
            Firman Allah :

            “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan musyrikin (akan masuk) keneraka jahanam, mereka kekal didalamnya. Mereka itu seburuk-buruknya makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh mereka adalah sebaik-baiknya makhluk”. (98 : 6 – 7)
Izzah sebagai Umat Islam

Setiap bangsa atau setiap Ummat memiliki kitab perjuangan untuk mewujudkan cita-citanya dan untuk memberikan doktrin bahwa bangsanya lah yang paling hebat dan mulia. Bangsa Jerman pada masa Hitler terkenal dengan kitab Mei Kamf dan dalam kitab itu memberikan doktrin bahwa Jerman adalah bangsa yang paling mulia, karena berasal dari keturunan Aria dan bangsa lain adalah hina serta harus tunduk  pada Jerman. Terkenal dengan semboyannya Deuthchland Uberulles (Jerman di atas segalanya). Begitu juga komunis dengan kitab Das kapital karangan Karl Marx memberikan doktrin pada bangsanya bahwa sistem komunis adalah sistem yang terbaik dan bangsa di duia harus di komuniskan. Hal serupa terjadi pada kristen dengan kitab Injilnya, mereka beranggapan bahwa umat kristen adalah kekasih Tuhan. Yahudi dengan Talmud atau kitab Taurat mendakwa bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan dan yang diutamakan.
Jerman dengan Nazinya berusaha keras menguasai dunia, Uni Sofyet dengan komunis memaksakan pahamnya ke seluruh dunia, kristen dengan semboyan kasih sayangnya berusaha menipu dunia untuk dikuasainya, Yahudi dengan Zionisnya juga hendak menguasai dunia.
Islam sebagai penutup semua ajaran dan penyempurna, juga mempunyai kitab perjuangan dan memberikan doktrin pada umatnya bahwa Islam adalah Rahmatan Lil ‘alamiin dan bahwa ummat Islam adalah sebaik-baik Ummat. Perbedaannya kalau umat atau bangsa lain memberikan doktrin itu umat atau bangsanya sendiri sedangkan Islam doktrinnya langsung dari Allah dalam kitab perjuangan-Nya (Al Qur’an).
Firman Allah :

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia yang menyeru pada yang baik dan mencegah pada yang buruk dan kamu beriman kepada Allah”. (3 : 110)

Kebaikan umat Islam karena mempunyai kemampuan menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah berbuat kerusakan serta beriman kepada Allah. Kalau ketiga unsur tersebut tidak ada maka umat Islam pun bukan umat terbaik.
Untuk mempunyai kemampuan menyuruh dan melarang maka umat Islam harus mempersiapkan kekuatan.
Firman Allah :

“Dan siapkanlah olehmu (untuk menghadapi musuh) apa saja yang kamu mampui dari kekuatan dan dari kuda-kuda y ang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya”. (8 : 60)

Beberapa kekuatan yang harus dipersiapkan ummat Islam :

Kekuatan Aqidah

Aqidah adalah sumber segala sesuatu, dengan kuatnya aqidah akan melahirkan kekuatan Iman dan Ibadah, pada akhirnya akan menghasilkan ketaqwaan yang bisa memberikan Izzah pada Umat Islam.

Kekuatan Ukhuwah

            Unsur kedua yang terpenting adalah ukhuwah yang akan mempersatukan hati-hati umat Islam. Dengan kuatnya ukhuwah akan melahirkan kekuatan jama’ah dan akhirnya bisa menghasilkan Daulah Islamiah Alamiah, Insya Allah.
Kekuatan Wasilah (Sarana)

            Ulama ushul berkata :
           
            “Apa saja (sarana) yang bisa menyempurnakan kewajiban maka mendapatkannya itu wajib”.

            Sebagian uamt Islam melalaikan terhadap pentingnya sarana ini, padahal sarana adalah sesuatu yang bisa mendekatkan pada tujuan. Maka umat Islam harus memiliki keahlian dibidangnya masing-masing disamping berda’wah sebagai tugas utama.
            Dengan persiapan kekuatan aqidah, ukhuwah dan wasilah, kita berusaha menciptakan sistem Islam yang anggotanya saling menghasilkan, saling menguntungkan, saling menghargai dan tidak saling merendahkan sampai terwujudnya Daulah Islamiah Alamiah.
Amiin yaa Rabbal ‘Alamin.

FIQIH WAQI’I


FIQIH WAQI’I

Perkembangan zaman menimbulkan beberapa persoalan baru. Persoalan ini  menuntut adanya pemecahan yang sesuai dengan kondisi  masyarakat dan pertumbuhannya. Keadaan ini merupakan tantangan bagi para ulama Islam untuk melahirkan produktif hukum yang adaptif (sesuai dengan kondisi kini), namun tetap berakar kepada kaidah-kaidah syar’i yang shohih. Inilah yang melatar belakangi lahirnya fiqih waqi’i (fiqih realitas)
Fiqih Waqi’i lahir untuk mengetahui hakekat realitas kaum muslimin masa kini, karakteristik permasalahan yang timbul, dan kebutuhan-kebutuhannya. Sehingga dengan fiqih waqi’I, kita dapat menimba nilai-nilai positif sebagai kerangka untuk menentukan sasaran acuan. Para ulama memutuskan, bahwa fatwa atau mengetengahkan hukum syara’, harus diiringi dengan pengetahuan tentang realita umat. Ibni Qoyyim rahimahullah mengatakan : “ fatwa itu bisa berbeda sesuai waktu, kemungkinan, situasi, dan kondisi maupun adat”. Ada pula ungkapan lain yang senada “ perubahan hukum tidak dapat dihindari dengan adanya perubahan zaman”.
Ini bukan berarti fatwa tunduk kepada kenyataan. Justru kenyataan yang mengharuskan adanya fatwa, demi terpeliharanya tujuan syariah secara umum. Juga demi terpeliharanya kelanggengan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Realita yang baik selalu menyeru kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.
Jika kita melihat disekitar kita, alhamdulillah masih kita dapatkan berbagai kebaikan pada masyarakat. Masih adanya orang yang mengabdi kepada Allah ; orang kaya yang dermawan; para da’i yang giat menegakan islam yang dibekali pemahaman tsakopah Islamiyah yang syamil, dan lain-lain. Semuanya termasuk kenyataan positif, sekalipun masih diperlukan dorongan dan pengarahan yang efektif.
Namun bila kita tengok sisi lain, kita dapat menemukan bencana dasyat yang mengancam eksistensi umat. Diantaranya :

1. Jatuhnya khalifah Islamiyah, menyebabkan umat kehilangan perlindungan dan lemah.
2.      Terpecahnya umat islam menjadi kelompok atau negara-negara kecil dengan panatisme  nasionalismenya masing-masing yang kuat.
3.      Jatuhnya daerah teritorial kaum muslimin ketangan musuh Islam, seperti Palestina, Afgainistan, Moro, Pathani, dan sebagainya. Hal ini terjadi karena umat Islam hannya sibuk memikirkan daerahnya sendiri.
4.      Bersatunya musuh untuk menghancurkan kaum muslimin. Fenomena yang jelas adalah persengkokolan salibisme Internasional, Zionisme Internasional dan komunisme dalam upaya menghancurkan umat, dan bumi islam.
5.      Perpecahan dan perselisihan antar pejuang dakwah islam.
6.      Lemahnya iman akibat jauhnya dari Allah dan terlena dengan godaan dunia.

Mengahadapi kenyataan diatas, umat islam dituntut untuk menyelesaikan secara
Positif. Sehingga mampu mengadakan perbaikan, sebagaimana yang Allah inginkan terhadap umat ini, dalam ayat :
“Kalian adalah sebaik-baik umat, yang ditampilkan ke tenagah manusia untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran” (QS. 3 : 110)
           
Mempertimbangkan lilitan problema kekinian tadi, maka fiqih waqi’I menetapkan beberapa program yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam dimanapun berada. Yakni :

1.      Bekerja keras untuk mengembalikan khalifah islamiyah. Pakar poltik islam seperti Al- Mawardi dan Abi Ya’la telah memutuskan : wajib hukumnya untuk memilih dan mengangkat khalifah muslimin, yang akan menegakan hukum Allah serta akan memelihara agama dan dunia dari kehancuran. Kaum muslimin akan berdosa jika tidak merealisasikannya.
Imam Ahmad – rahimahullah – berkata : “merupakan fitnah bila tidak ada pemimpin atau imam yang  mengurusi kepentingan umat”. (kitab Ahkam As – Sultoniyah, hal 3).
      Karena itu pengkajian terhadap sebab-sebab jatuhnya khalifah dan khalifah Islamiyah harus dilaksanakan. Kemudian dilanjutkan dengan mewujudkan metode dan sistem yang dapat mengembalikan kekhalifahan seperti jaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin. Hal ini tentu mensyaratkan adanya saling bantu, serta koordinasi yang rapih sesama pejuang dakwah. Tanpa ini tidak akan tujuan tersebut.

2.      Menyatukan negara-negara islam
Nabi Muhammad SAW bersabda : “ hedaklah kalian berjamaah karena srigala hanya memakan kambing yang menyendiri “ (HR. An Nasai dan Ahmad)
Kenyataan kini, sedikit sekali negara islam yang merealisasikan hadits tersebut. Mayoritas negara Islam – dimana penduduknya mayoritas muslim – terus berpecah belah. Sementara Yahudi terus mengembangkan wilayahnya kemana-mana.
Karena itu, mereka yang mencita-citakan kesatuan negara Islam, harus mempelajari sebab-sebab kehancuran dan perpecahan. Serta harus meyakinkan masysarakat, pemerintah dan berbagai kalangan akan pentingnya persatuan umat.

3.      Mengembalikan tanah dari tangan kaum muslimin dari angan musuh-musuhnya.
Imam madzhab yang empat serta ulama lainnya, berpendapat, wajib hukumnya mengembalikan tanah kaum muslimin, walau sejengkal yang jatuh ketangan musuh islam. Menyerahkan atau membiarkan bumi Islam dicaplok, dianggap dosa besar. Dalam kenyataanya kini, masih banyak tanah kaum muslimin yang dicaplok dan belum kita rebut kembali.

4.      Berusaha untuk menghentikan persengkokolan musuh.
Allah berfirman : Artinya “Orang-orang kafir ingin kamu lengah terhadap senjatamuadan harta bendamu, lalu meraka menyerbu kamu dengan sekaligus”. (QS. 4.102)
Ini merupakan gambaran unik tentang akibat musuh Islam dan perlakuan mereka terhadap kaum muslimin. Mereka selalu mengintai kesempatan untuk menghancurkannya.
Hadits Rasulullah menegaskan : “Hampir saja umat lain memperebutkan kalian sebagaimana memperebutkan makanan di atas nampan”. (HR.Abu Daud).
      Dan usaha untuk melawan persekongkolan ini juga harus bersifat internasional. Harus ada kesamaan gerak dan koordinasi dalam melaksanakannya.

5.      Mempersatukan pejuang dakwah Islam.
Nabi bersabda :
Aku mengajukan permohonan kepada Allah mengenai tiga hal, sedangkan yang ketiga di tolak. Yang ketiga itu adalah : permohonan agar tidak terjadi pertikaian diantara mereka”.
      Syaikh Muhammad Arowi berkata : “ setelah mereka mengatakan pentingnya ukhuwah dan jeleknya perpecahan, namun mereka berbeda pandangan. Allah menegaskan dalam ayat-Nya :
“ Jagalah dirimu, tiadalah orang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apbila kamu telah mendapat petunjuk “ (QS. 5:105)
      Syaikh Arowi menafsirkan ayat ini, “ Jika kita menjaga diri dan komitmen terhadap petunjuk, maka sekalipun musuh sangat kuat tidak akan mampu mengalahkan kita. Dan tanda kita mendapat petunjuk adalah menjauhi siat tanazu’ (perselisihan ) Allah berfirman: “dan janganlah bersilang sengketa, nanti kalian akan gagal dan hilang kekuatan”. (QS. 8:46)
      Setelah kita paparkan realita kaum muslimin yang memilukan ini, maka kita harus mampu memahami hakekat permasalahaan umat, serta sebagai upaya pemecahannya melalui konsep Fiqih Waki’i . maka satu hakekat yang jelas terlihat yaitu : kita membutuhkan adanya jama’ah alami yang terkoordinir seluruh usaha tersebut. Wallahu a’lam bissawab.   ( diterjemahkan dari majlah Al Jihad peshawar hal. 50-51,oleh A. Mutawali). 

Burung, Hikmah bagi Orang yang Berfikir


Burung, Hikmah bagi Orang yang Berfikir
Jika kita perhatikan alam ciptaan Illahi ini, berbagai-bagai pengajaran dapat diteladani dari kejadian alam. Antara makhluk ciptaan Allah yang kita dapat perhatikan adalah burung.
Burung jika diperhatikan dari kawasan yang bermusim dingin akan sentiasa berhijrah ke kawasan yang lebih panas. Memang sudah menjadi lumrah alam penghijrahan tersebut dilakukan secara berkumpulan. Dan dalam setiap perkumpulan tersebut pasti ada seorang ketua yang sentiasa berada di hadapan. Selain memiliki ketua, sekumpulan burung ini turut berhijrah mengikut formasi tertentu iaitu formasi berbentuk V. Secara saintifiknya formasi ini menghasilkan satu bentuk aero-dinamik yang membahagikan rintangan angin kepada setiap ahli burung yang sekaligus memudahkan penghijrahan jika dibandingkan dengan penghijrahan berseorangan. Maka untuk membentuk formasi tersebut amatlah penting akan wujudnya komponen perpaduan dan kerjasama di kalangan burung tersebut. Subhanallah, bertapa tingginya hikmah penciptaan burung itu.

Marilah kita melihat realiti hari ini. Keadaan umat Islam hari ini jelas sekali terumbang-ambing. Kita seolah-olah menjadi ‘pak turut’ terhadap segala apa ideologi yang dilaungkan oleh musuh-musuh kita. Sehinggakan isu-isu besar yang menyentuh soal agama sekalipun tidak diendahkan. Tiada lagi sensitiviti terhadap isu yang menimpa saudara-saudara sendiri sepertimana yang menimpa tanah Palestina. Tiada lagi kesepaduan di kalangan kita sepertimana yang ditonjolkan oleh sekumpulan burung tadi. Masing-masing mahu hidup ‘nafsi-nafsi, lu punya suka, gua punya suka’. Masing-masing tak mengendahkan apa yang menimpa orang lain asalkan hidup sendiri bahagia.
Menyingkap kembali zaman kegemilangan Islam di kala dahulu, seluruh umat Islam di seluruh dunia disatukan di bawah satu pemerintahan dan ketaatan setiap rakyat ditujukan kepada satu khalifah. Kesepaduan di saat itu amatlah jelas kukuh dan semua umat Islam bagaikan anggota-anggota badan manusia. Jika tangan terluka seluruh tubuh merasai kesakitannya. Jika kaki dijangkiti kuman seluruh tubuh berkerjasama untuk menyembuhkannya. Alangkah indahnya saudara-saudara sekalian. Sifat seperti inilah yang difirmankan oleh Allah dalam kalam-Nya; Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya…(33:4). Dalam satu badan manusia hanya ada satu hati dan dalam satu umat juga hanya ada satu hati.

Ayuh semua. Di sini diri ini menyeru kepada diri sendiri dan kalian semua untuk bersama-sama kita membina kekuatan ukhuwwah di antara kita. Ukhuwwah yang didasarkan atas aqidah hanya kepada Allah Taala semata-mata. Sedarlah bahawa perselisihanlah yang menyebabkan kita berpecah-belah. Ingatlah perintah Allah dalam surah al-Hujuraat ayat 10: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. InsyaAllah Islam pastikan tertegak kelak.

Taubat


Taubat
Iman seorang muslim terkadang melemah sehinga terkadang ia dikuasai hawa nafsunya, syetan merayunya untuk berbuat maksiat maka ia berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri, menjerumuskan dirinya pada sesuatu yang diharamkan Allah. Allah Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya dan rahmat Allah amat luas mencakup segala sesuatu, maka barangsiapa yang bertaubat setelah melakukan kedzalimanm maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya dan mengampuninya sebagaimana firman-Nya : ”Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Maidah :39)

Allah Maha Pemaaf dan Maha Mulia memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bertaubat nasuha agar mereka mendapatkan kasih sayang Allah dan surga-Nya, maka Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman bertaubatah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya” (At Tahrim: 8)

Pintu taubat masih terbuka bagi semua manusia hingga matahari terbit dari barat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :  “Sesungguhnya Allah membukakan Tangan-Nya pada malam hari agar orang yang melakukan kejahatan di siang hari bertaubat dan Dia membukakan Tangan-Nya di siang hari agar yang melakukan kejahatan di malam hari bertaubat hingga matahari terbit dari barat” (HR. Muslim no. 2759)

Taubat nasuha bukan hanya sekedar ucapan di lidah tapi disyaratkan untuk diterimanya taubat itu, agar pelaku kejahatan mencabut akar-akar dosa secara langsung menyesali apa yang telah diperbuat, bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan dosa itu dan mengembalikan hak-hak orang yang didzalimi, sebaiknya taubat itu dilakukan sebelum melihat kedatangan kematian, Allah berfirman : “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejatahan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga datang ajal kepada seseorang diantara mereka, barulah ia mengatakan : 'sesungguhnya sekarang saya bertaubat'. Dan tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih” (An Nisa : 17-18)

Allah mengajak para pelaku perbuatan dosa untuk bertaubat agar Allah mengampuni mereka : “Tuhanmu telah menetapkan atas diri Nya kasih sayang, (yaitu) barangsiapa yang berbuat kedzaliman di antara kamu lantaran kehailan kemudian dia bertaubat setelah mengerjakannnya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al An’am :54)

Allah Maha pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, mencitai orang-orang yang bertaubat dan menerima taubat mereka, sebagaimana firman-Nya : “Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” (As Syura :25).

Dan firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al baqarah : 222)

Seorang kafir jika memeluk Islam maka Allah akan gantikan semua kejahatannya dengan kebaikan dan mengampuninya dari segala dosa yang telah diperbuatnya dahulu, sebagaimana firman Allah : “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti dari kekafiran-Nya niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (Al Anfal :38)

Allah Maha Pengampun dan Pengasih menyukai taubat hamba-hamaba-Nya dan memerintahkan mereka untuk bertaubat agar mereka diampuni Allah, sementara syetan, jin dan manusia menginginkan mereka menyimpang dari kebenaran menuju kebatilan sebagaimana firman-Nya : “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikut hawa nafsunya bermaksud supaya kamu menyimpang sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (An Nisa : 27)

Rahmat Allah mencakup segala sesuatu, maka jika seseorang hamba telah melampaui batas pada perbuatan maksiat dan dosa, kemudian ia bertaubat maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya itu dan mengampuni dosa-dosanya, sebagaiman firman-Nya : “Hamba-hamba-Ku yang melampai batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah , sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Az Zumar : 53)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tuhan kita yang Maha Suci lagi Maha Tinggi turun pada kita pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir lalu berkata “barangsiapa berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya” (HR. Muslim : 758)

Jika manusia adalah lemah maka kalau berbuat dosa hendaklah ia bertaubat dan memohon ampun tiap saat karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah berfirman :  “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An Nisa : 110)

Seorang muslim rawan untuk melakukan kesalahan dan maksiat, maka selayaknya baginya untuk memperbanyak taubat dan mohon ampun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Demi Allah sesungguhnya Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Al Bukhari :6307)

Allah mencintai taubat hamba-Nya dan menerima taubat itu bahkan Allah gembira dengan taubat itu sebagaimana sabda Nabi shallahllhu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya dari pada gembiranya seorang yang kehilangan bekal bersama untanya disebuah padang yang tandus kemudian dia medapatkannya kembali unta itu” (Mutafaq alaihi)

Kesederhanaan


Kesederhanaan


Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunaikan solat Jum’aat di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertampal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengurniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa engkau tidak mahu mempergunakannya walau sekadar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”
Pada Tahun 1986, sewaktu berada di SMA 13, ada seorang teman sekelas dari kalangan orang berada beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua tampalan di bahagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung ah, sebentar lagi juga lulus!”

Meskipun mengenakan pakaian bertampal, teman saya ini tidak merasa malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin, karena memang dia bukan orang miskin. Ketika sebahagian besar siswa lainnya berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini mengendarai sepeda motor. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan sepeda motor. Belum ada yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.
Ceritanya, mungkin, akan lain bila yang mengenakan seragam bertampal itu adalah saya, yang alhamdulillah, berasal dari keluarga sederhana. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkan saya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman memaklumi saya, jika waktu itu saya mengenakan seragam bertampal. Dan saya pun, mungkin, akan merasa malu, risih, atau rendah diri.
Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahawa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Ketika mendengar khabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak hairan bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul hairan ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”
Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tidak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang sentiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan mewah, meskipun pegawai-pegawai lain yang merupakan orang bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tidak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pegawai, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya hina lantaran berpenampilan sederhana.
Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah Swt. Pengadilan Allah Swt. sangat berbeza dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tidak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah Swt.
Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detail dan tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti keping VCD yang sedang menampilkan semua rakaman sepak terajang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan angka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah pembulatan angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detail dan terperinci.
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).
Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustaz mengungkapkan kekhawatirannya melihat penampilan sebahagian kader dakwah yang mengarah kepada – menurut istilah beliau – gaya hidup Qarunisme. Ustaz tersebut mengungkapkan beberapa gejala tanaafus bii al-maal (berlumba-lumba mengumpulkan harta), seperti semangat memiliki rumah baru, kereta baru yang tidak cuma mempertimbangkan fungsinya, handphone canggih meskipun pemanfaatannya tidak optimal, pakaian berjenama, rapat dari hotel ke hotel, dan lain-lain.
Beberapa di antara mereka, lanjut sang ustaz, mulai berusaha mendapatkan projek dengan memanfaatkan akses politiknya. Alasan mereka, ”Daripada projek itu diambil oleh kaum oportunis dan para petualang politik, lebih baik projek itu diberikan kepada kader dakwah. Pasti akan lebih bermanfaat.”
Sang ustaz pun menambah, sebahagian di antara mereka, terutama aleg di daerah-daerah, ada juga yang menerima amplop yang semestinya ditolak. Mereka beralasan, ”Daripada ditolak dan nantinya digunakan oleh orang lain untuk foya-foya atau hura-hura, lebih baik diterima dan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau untuk dakwah. Bahkan ada aleg di daerah yang ketika ditegur mengapa menerima amplop, ia menjawab, lupa” Di akhir ceramahnya, sang ustaz mengingatkan kepada para jamaah agar tidak malu hidup dalam kemiskinan atau kesederhanaan. Beliau lalu mengkampanyekan penerapan pola hidup sederhana.
Kekhawatiran serupa diangkat oleh salah seorang ustaz pada pertemuan anggota ahli se-Kota Bekasi di Jati Asih. Sang ustaz yang menjadi pembicara pada waktu itu menengarai adanya gejala tanaafus bii al-maal di beberapa kalangan kader dakwah.
Sekedar mengingatkan, jikalau dahulu dalam setiap majlis-majlis pertemuan, para ikhwah atau akhawat selalu membawa Al-Qur`an di sakunya. Sekarang Al-Qur`an sering tertinggal di rumah, meski memang dengan perkembangan teknologi, kini Al-Qur`an sudah bisa masuk dalam ponsel. Dulu, sebahagian besar ikhwah mahupun akhawat kerap memanfaatkan waktu rehatnya dengan membaca dan menghafal Al-Qur`an. Sekarang sebahagian ikhwah maupun akhawat sering terlihat sibuk mengutak-atik handphone-nya di saat-saat jeda acara, atau bahkan di saat acara tengah berlangsung.
Tulisan ini hanya sekedar untuk mengingatkan tentang fitnah harta, jawatan, dan kekuasaan sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an al-Karim dan Hadits Rasulullah Saw. Harta, jawatan, dan kekuasaan itu pasti akan menyibukkan seseorang dan menyita waktu dan pikirannya, sehingga akan mengurangi kekhusyu’an dalam beribadah kepada Allah Swt.
Alternatif SolusiIbnu Qayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahawa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh lintasan-lintasan (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian muncul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.
Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”
Setiap tahapan dalam perbuatan, yaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahapan berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Artinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain melihat perubahan itu secara mencolok.
Maka, agar tidak terbawa arus pusaran gaya hidup Qarusnisme – meminjam istilah ustadz Pondok Gede – maka setiap kader dakwah yang sering bersentuhan dengan pola hidup kalangan atas atau kaum elit, apakah itu di legislatif, eksekutif, atau yudikatif harus sering-sering turba (turun ke bawah) menemui kader-kader dakwah yang beraktifitas di kalangan grass root.
Idealnya seperti Khalifah Umar bin Khathtab yang keliling kampung untuk melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Penting juga untuk para kader dakwah yang saat ini mendapatkan amanah dakwah di lingkungan elit untuk mencari tahu tentang kader-kader dakwah di grass root yang masih bermasalah dalam ma’isyah. Atau menanyakan ke sekolah-sekolah tempat para ikhwah menyekolahkan anak-anaknya tentang siapa saja yang sering menunggak SPP. Atau solusi lain yang membuat para kader dakwah di kalangan elit tidak ”melambung terus ke angkasa” sehingga melupakan yang di bawah. Wallahu a’lam bishshawab.

ISTI’JAL


ISTI’JAL

Salah satu penyakit da’wah yang banyak menimpa para da’i, adalah isti’jal (terburu-buru).
Di dalam kamus da’wah, istilah isti’jal berarti : ingin mengubah realitas kaum muslimin yang ada sekarang dalam sekejap mata. Tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang akan terjadi. Tanpa memahami kondisi dan situasi yang ada. Tanpa memiliki persiapan yang memadai, baik menyangkut sarana, manhaj atau kelanjutan pembinaan.

Diantara bentuk-bentuk  isti’jal yang sering muncul ke permukaan da’wah :
§  Ingin merekrut anggota jama’ah sebanyak-banyaknya. Tanpa memikirkan aspek kualitas (tarqiyah) moral, intelektual dan operasional. Tindakan ini, jika tidak segera diatasi, akan mengakibatkan tasaqut (bergugurannya) para prajurit da’wah dari “kafilah da’wah” ini, karena titian kehidupan setiap muslim, khususnya mereka yang terlibat aktif dalam gerakan da’wah, tidak akan lepas dari “hal-hal yang tidak menyenangkan”, sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW : “Syurga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan”. Akibat lain yang akan segera muncul, karena tindakan ini mengakibatkan terjadinya futur (kelesuan) di kalangan mereka. Tidak bergairah untuk melakukan tugas iqamatuddin. Akhirnya tidak memiliki rara tanggung-jawab terhadap da’wah. Bahkan nilai-nilai ke-Islaman yang dimilikinya pun akan mengalami degradasi sampai pada batas yang sangat menyedihkan.
§  Ingin segera melihat dan memetik buah da’wah. Biasanya gejala ini muncul dalam bentuk gugatan-gugatan yang bernada frustasi : “Kita sudah berda’wah sekian lama, tapi mengapa tidak pernah menang?”. Tragisnya mereka mengartikan kemenangan da’wah itu hanya dengan terbentuknya sebuah  Daulah Islamiah. Akibatnya timbullah perpecahan diantara mereka, bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian yang tidak mulia. Padahal kemenangan da’wah menurut Islam itu beraneka ragam bentuknya. Bisa dalam bentuk tersebarnya fikrah. Kemenangan prinsip. Tumbangnya prinsip-prinsip Jahiliah. Syahidnya para da’i. Kemenangan aqidah (sekalipun orangnya terbunuh seperti kasus Ashabul Ukhdud), dan lain sebagainya.

Sebab-sebab Terjadinya Isti’jal


Terdapat banyak faktor yang ikut membentuk sikap isti’jal pada seseorang, diantaranya :
Pertama, faktor psikologis. Isti’jal, sebagaimana disebutkan Allah, adalah salah satu tabi’at yang melekat pada fitrah manusia.

“Manusia itu telah dijadikan (bertabiat ) tergesa-gesa” (Al-Anbiya’ : 37)

“ Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (Al-Isra’ : 11)

Sebab itu jika seorang da’i tidak dapat mengendalikannya, dengan kendali “akal” dan pemahaman, atau meredamnya, maka tidak ayal lagi naluri tersebut akan mendorongnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang “tergesa-gesa”, yang akan merugikan dirinya sendiri dan da’wah.
Dalam Al Qur’an, Allah menyebutkan kata sabar lebih dari seratus kali. Baik dalam ayat-ayat Makkiah ataupun dalam ayat-ayat Madaniyah. Ini berarti untuk membina dan mengarahkan naluri manusia ini kepada sikap dan tindakan yang terarah dan terprogram secara baik tidak hanya memperturutkan emosi.
Kedua, karena semangat keimanan yang tidak dibarengi oleh penguasaan manhaj da’wah. Suatu program pembinaan yang hanya mengandalkan pada pemompaan semangat keimanan, tanpa dibarengi penguasaan konsepsional da’wah, maka tidak ayal lagi akan melahirkan tindakan tergesa-gesa. Sehingga terjadilah pemborosan potensi keimanan. Karena dis-alokasi oleh karena itu Allah memberi arahan kepada kita didalam ayatnya :

“Katakanlah:  “Ini jalanku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah (manhaj da’wah) yang jelas. Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf : 108).

Hendaknya, Al Qur’an jangan hanya dijadikan sumber nilai dan kekuatan moral (syariah). Tetapi harus juga dijadikan sebagai minhaj kehidupan dan da’wah yang akan memberikan bimbingan, dan arahan dalam mengalokasikan potensi moral tersebut.

“…………………….untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, kami berikan aturan (syariat dan jalan yang terang (minhaj)”.  (Al-Maidah : 48)

Ketiga, Watak dan tabiat zaman dimana kita hidup sekarang ini. Keberadaan kita di abad teknologi dan informasi yang serba cepat dan canggih ini memberi kemungkinan memiliki andil dalam membentuk dan melahirkan sikap isti’jal. Sehingga para da’i pun ikut terbawa ingin cepat  didalam da’wahnya, ia lupa  manusia tidak sama dengan teknologi yang dapat dipercepat proses pematangannya.
Keempat, ketidaktahuan tentang cara kerja musuh. Ini kemungkinan lain yang ikut membidangi lahirnya isti’jal di kalangan ummat Islam, khususnya para da’i. Mereka mudah tertipu kepura-puraan lawan, yang menyelusup kedalam tubuh ummat Islam dengan membawa “racun-racun” pemikiran yang dibungkus dengan “cap-cap”  “jihad”,  “hijrah” dan lain sebagainya. Ini ditambah dengan ketidaktahuan mereka tentang Islam. Khususnya konsepsi Islam tentang masalah-masalah yang sering dipakai oleh musuh sebagai “pisau” untuk menusuk Islam dan ummatnya.

“Hai orang-orang yang beriman, berhati-hatilah kamu, dan majulah (kemedan jihad) berkelompok-kelompok (jama’ah) atau majulah bersama-sama “. (An-Nisa’ : 71)

Kelima, lupa terhadap tujuan seorang muslim. Tujuan utama setiap muslim mencari keridhaan Allah. Ini tidak dapat tercapai kecuali dengan berpegang teguh terhadap manhaj-Nya. Teguh dan sabar, hingga menghadap kepada-Nya.

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Allah, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (Al-Kahfi : 110).

Mereka lupa bahwa kita hanya dituntut untuk beramal shalih. Amal yang sesuai dengan manhaj-Nya. Kita tidak dituntut “Hasil” atau kemenangan dalam wujud kekuasaan. Sebab, hal ini merupakan wewenang Allah yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

“Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah”. (Al-Anfal : 10)

Sesungguhnya fenomena terjadinya isti’jal di dalam da’wah ini bukan monopoli abad kita sekarang saja. Di masa Rasulullah SAW pun fenomena isti’jal ini pernah muncul. Khabbab bin Al-Arit ra. pernah datang kepada Rasulullah tentang ihwal dirinya, dan para sahabat yang menghadapi gangguan yang tak terperikan. Khabbab berkata “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau berkenan untuk berdo’a bagi kami ….”.jawab Nabi SAW, “Kalian ini belum seberapa. Orang-orang sebelum kalian bahkan ada yang dimasukkan ke dalam lubang, kemudian digergaji kepalanya menjadi dua. Tetapi itu semua tidak membuatnya bergeser dari agamanya ….., tetapi kalian tergesa-gesa”.

Isti’jal, suatu sikap yang berbahaya dan harus dihindari dalam da’wah. Diantaranya dapat disembuhkan dengan bekerja melalui program yang terarah, manhaj pembinaan yang jelas dan menyeluruh, dalam suatu mekanisme kerja yang terpadu serta terstruktur. Tanpa program atau manhaj da’wah yang jelas dan menyeluruh, selamanya kita akan terjebak ke dalam sikap isti’jal.[*]
Wallahu’alam.






[*] SABILI No. 13/Th. I   5 Dzulhijjah 1409 H / 8 Juli 1989 M