Mengenal Tanda-Tanda Munafik (1-2)

Mengenal Tanda-Tanda Munafik (1-2)

Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: bila berbicara, ia berdusta; bila berjanji, ia mengingkari; dan bila diberi kepercayaan (amanah), ia berkhianat.” Muttafaqun ‘alaih.

Dari hadits Abdullah bin Umar disebutkan, “Dan bila berselisih, ia berbuat fajir.”

Pelajaran Hadits

1. Definisi Nifaq

Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa merupakan jenis penipuan, makar, menampakkan kebaikan dan memendam kebalikannya.

Secara syari’at terbagi dua: Pertama, Nifaq Akbar (Kemunafikan Besar); yaitu upaya seseorang menampakkan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau sebagiannya. Inilah bentuk nifaq (kemunafikan) yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan yang dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an. Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya kelak akan menempati neraka paling bawah.

Kedua, Nifaq Ashghar (Kemunafikan Kecil); yaitu kemunafikan dalam perbuatan. Gambarannya, seseorang menampakkan secara teranga-terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang berlawanan dengan itu.

2. Pokok-Pokok Nifaq

Pokok-pokoknya kembali kepada beberapa sifat yang disebutkan dalam hadits-hadits (yang disebutkan Ibn Rajab dalam syarah Arba’in, termasuk hadits yang kita kaji ini), di antaranya:

1. Seseorang berbicara mengenai sesuatu yang dibenarkan orang lain padahal ia berdusta. Nabi SAW bersabda dalam kitab al-Musnad karya Imam Ahmad, “Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada saudaramu dengan suatu pembicaraan di mana ia membenarkanmu namun kamu berdusta kepadanya.”

2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini terbagi kepada dua jenis: Pertama, seseorang berjanji padahal di dalam niatannya tidak ingin menepatinya. Ini merupakan pekerti paling buruk.

Kedua, Berjanji pada dirinya untuk menepati janji, kemudian timbul sesuatu, lalu mengingkarinya tanpa alasan. Dalam hadits yang dikeluarkan Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Bila seorang laki-laki berjanji dan berniat menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).”

3. Bila berseteru, ia berbuat fajir. Makna fujur adalah keluar dari kebenaran secara sengaja sehingga kebenaran ini menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan dusta sebagaimana sabda Nabi SAW, “Berhati-hatilah terhadap kedustaan, sebab kedustaan dapat menggiring kepada ke-fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya laki-laki yang paling dibenci Allah adalah yang paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berseteru dalam kebatilan padahal ia mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam kemurkaan Allah hingga menghadapi sakaratul maut.” Di dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang membantu dalam perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah.”

4. Bila berjanji, ia mengkhianati (mengingkari) dan tidak menepatinya. Padahal Allah SWT menyuruh agar menepati janji seraya berfirman, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-Nya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91)

Di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap pengkhianat akan memiliki panji pengenal pada hari kiamat, lalu dikatakan; inilah pengkhianatan si fulan.”

Mengkhianati setiap perjanjian yang terjadi antara seorang Muslim dan orang lain haram hukumnya sekali pun orang yang diajak berjanji itu adalah seorang kafir.

Oleh karena itu, di dalam riwayat al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Siapa yang membunuh jiwa yang diberi perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya terasa dari jarak perjalanan 40 tahun.”

Tentunya, perjanjian yang terjadi di antara sesama Muslim, harus lebih ditepati lagi dan membatalkannya merupakan dosa besar. Bentuk dosa paling besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan imam (pemimpin negara Islam) yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti dan sudah rela terhadapnya.

Di dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat azab yang pedih…” Di dalam hadits ini, beliau SAW menyebutkan salah satu dari mereka, yaitu seorang laki-laki yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya hanya karena dunia; jika ia (sang imam) memberinya sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka ia menepatinya dan bila tidak, maka ia tidak pernah menepatinya.”

Termasuk dalam janji yang wajib ditepati dan haram dikhianati adalah seluruh akad seperti jual beli, pernikahan dan akad-akad lazim yang wajib ditepati, yang terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya. Demikian pula, sesuatu yang wajib ditepati karena Allah SWT dari perjanjian hamba dengan Rabbnya seperti nadzar berbuat kebajikan dan semisalnya.

5. Bila diberi amanah, ia berkhianat. Bila seseorang diberi amanah, maka ia wajib mengembalikannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS.an-Nisa’/4:58)

At-Turmudzi dan Abu Daud mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang beramanah kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu.”

Khianat terhadap amanah merupakan salah satu sifat munafik sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh.[75] Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).[76]Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.[77]” (QS.at-Taubah/9:75-77)

Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung…..” (QS.al-Ahzab/33:72)

Pokoknya, semua Nifaq Ashghar terpulang kepada adanya perbedaan antara perkara tersembunyi (bathiniah) dan terang-terangan (lahiriah). Al-Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata, ‘Kekhusyu’an nifaq hanya terlihat pada kehusyu’an raga sedangkan hatinya tidak pernah khusyu’.”

‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau kemungkaran.”

Nifaq Ashghar merupakan sarana melakukan Nifaq Akbar sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan maksiat adalah merupakan ‘kotak pos’ kekufuran.

Bentuk sifat nifaq ‘amali (praktis) yang paling besar adalah manakala seseorang melakukan suatu perbuatan, tampak berniat baik namun ia melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk. Dengan tipuan itu, ia lantas mencapai tujuannya, bergembira dengan makar dan tipuannya sementara orang-orang memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang membuatnya sampai kepada tujuan buruk yang dipendamnya itu.

Manakala di kalangan shahabat telah ditetapkan bahwa nifaq adalah adanya perbedaan antara perkara tersembunyi dan terang-terangan, maka sebagian mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi, kekhusyu’an dan kelembutannya ketika mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an) dengan menoleh dunia dan sibuk dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua akan menjadi salah satu bentuk kemunafikan dari mereka. Karena itu, Rasulullah SAW sampai berkata kepada mereka, “Hal itu bukan termasuk kemunafikan.”
(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314)

Puasa Syawal


Puasa Syawal



 

عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أنه حدثه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal [1], maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim 1164] [2]

Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan berpuasa enam hari di bulan Syawwal yakni seperti berpuasa setahun penuh. Karena satu kebaikan di sisi Allah nilainya sama dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Maka berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sepadan dengan sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari di bulan Syawwal sepadan dengan enam puluh hari atau dua bulan, sehingga menjadi genap dua belas bulan (1 tahun). Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan Tsauban radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda:

صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة

“Berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sepadan dengan sepuluh bulan dan berpuasa enam hari (di bulan Syawwal) sepadan dengan dua bulan, demikian puasa setahun penuh.” [HR. An-Nasa'i Al-Kubra 2/163]



Berpuasa Berturut-turut atau Tidak [?]

Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amir As-Shan’ani rahimahullah menerangkan:
“Dan perlu diketahui, bahwa pahala puasanya akan diperoleh orang yang berpuasa dengan berlainan hari atau berturut-turut, dan atau orang yang berpuasa sehari setelah ‘Id atau pada pertengahan bulan Syawwal. Dalam Sunan At-Tirmidzi diriwayatkan dari Ibnul Mubarak, bahwasannya beliau memilih berpuasa enam hari di permulaan bulan Syawwal. Diriwayatkan pula dari Ibnul Mubarak bahwasannya beliau berkata: “Jika puasa enam hari di bulan Syawwal dilakukan dengan tidak berturut-turut maka yang demikian boleh” [3].
Akan tetapi yang afdhal (lebih utama) adalah dengan mengerjakannya berturut-turut [4] karena yang demikian merupakan bentuk bersegera dalam amalan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

“Mereka itu orang-orang yang bersegera dalam berbagai amalan kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dulu memperolehnya.” [Al-Mu'minun: 61]

Bolehkah Berpuasa Syawwal Sebelum Qadha’ (mengganti) Puasa Ramadhan [?]

Hal ini berkaitan dengan hukum puasa sunnah sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan, dan terjadi silang pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama dalam masalah ini.

Para ulama malikiyah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mewajibkan qadha’ Ramadhan sebelum berpuasa sunnah [5]. Karena meng-qadha’ hukumnya wajib, berpuasa enam hari hukumnya sunnah, hal yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ta’ala sejalan dengan pendapat ini [7]. Dalil mereka ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam:

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim 1164]

Dipahami pula lafadzh “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan…” yakni telah berpuasa Ramadhan dengan tuntas. Karena jika masih ada hutang puasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawwal maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Orang yang masih berhutang puasa sehari saja di bulan Ramadhan, tidak dikatakan telah berpuasa Ramadhan, akan tetapi berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan.

Sementara para ulama syafi’iyah menganjurkan untuk mendahulukan qadha’ puasa Ramadhan sebelum berpuasa sunnah [7]. Artinya boleh berpuasa sunnah sebelum meng-qadha’, namun lebih utama mendahulukan yang wajib.

Adapun para ulama dari kalangan hanafiyah, dan Imam Ahmad dalam riwayat lain [8] serta para ulama yang sependapat dengan mereka berpandangan bahwa hal tersebut tidaklah wajib, yakni boleh berpuasa sunnah walaupun belum mengqadha’ puasa Ramadhan. Dalilnya adalah sebagai berikut:

1. “….Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tinggalkan puasanya itu) pada hari-hari yang lain.” [Al-Baqarah: 184]

2. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menyatakan: “Aku pernah punya hutang puasa Ramadhan, akan tetapi aku tidak mampu mengqadha’nya melainkan di bulan Sya’ban.” [HR. Muslim 1146] [9]

Sisi pendalilannya bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menunda qadha’ hingga bulan Sya’ban, sehingga berpuasa Syawwal dapat dilakukan sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan, berhubung rentan waktu yang begitu panjang.

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-’Asqalaani rahimahullah menyatakan: “Dalam hadits ‘Aisyah menunjukkan bolehnya menunda qadha’ puasa Ramadhan secara mutlak, sama saja apakah karena ‘udzur ataupun tidak ada ‘udzur.

Syaikh Muhammad Al-Amiin bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi rahimahullah juga berdalil dengan hadits ‘Aisyah tersebut dalam membolehkan puasa Syawwal sebelum mengqadha’ Ramadhan, dan beliau menganggap tidak masalah seseorang menunaikan amalan sunnah sementara masih punya hutang amalan yang wajib, dan qadha’ Ramadhan memiliki rentan waktu yang cukup panjang.

Beliau memberikan permisalan : “Jika telah berkumandang adzan dzhuhur, maka wajib atas engkau shalat dzhuhur, akan tetapi engkau mendahulukan shalat sunnah rawatib sebelum shalat dzhuhur, dan berarti engkau telah mendahulukan yang sunnah sebelum yang wajib (berhubung waktu dzhuhur masih panjang, pen) [10].”

3. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda kepada beliau tentang qadha’ puasa Ramadhan: “Jika kamu mau bisa berlainan hari, dan jika kamu mau bisa berturut-turut.” [HR. Ad-Daruquthni]

Pendapat yang Lebih Kuat

Menimbang berbagai perbedaan pendapat yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa pendapat ulama yang mewajibkan qadha’ sebelum berpuasa sunnah khususnya enam hari di bulan Syawwal adalah pendapat yang lebih kuat. Hal ini ditimbang dari beberapa sisi :
Pertama, hikmah dari puasa enam hari di bulan Syawwal seperti berpuasa setahun penuh, sementara orang yang berpuasa Syawwal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan berarti belum sempurna setahun penuh.

Kedua, firman Allah dalam surat Al-Baqarah 184 tersebut berkenaan dengan orang-orang
yang tidak mampu yakni karena sakit, dalam perjalanan atau ada ‘udzur lain, jadi tidak melazimkan bolehnya berpuasa sunnah sebelum qadha’ Ramadhan. “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.”

Ibnu Hazm rahimahullah ketika menerangkan ayat ini menyatakan: “Jika belum mampu maka dia boleh meng-qadha’nya dengan tidak berturut-turut, dan cukup baginya firman Allah Ta’ala: “Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.”, dan Allah tidaklah membatasinya dengan waktu dalam meng-qadha’ puasa, tidak sahnya qadha’ jika dikerjakan diluar waktunya [11].

Ketiga, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menunda puasa karena ada alasan tertentu yakni tidak mampu, sehingga beliau meng-qadha’nya pada bulan Sya’ban. Di sini ada isyarat bahwa jika seandainya ‘Aisyah mampu, maka beliau tidak akan menundanya. Demikian penuturan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam memahami hadits ‘Aisyah tersebut di atas [12]

Keempat, telah tersembunyi atas Ibnu Hajar rahimahullah tentang ‘udzurnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yakni ketidakmampuan beliau sehingga menunda qadha’-nya di bulan Sya’ban [13].

Kelima, riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam sanadnya terdapat kelemahan, berhubung ada rawi yang dinilai majhul (misterius) bernama Sufyan bin Bisyr [14].

Keenam, permisalan Syaikh Muhammad As-Syinqithi rahimahullah jika ditelaah kembali kurang tepat, karena hal ini berkaitan dengan hutang puasa Ramadhan yang wajib segera dibayar. Sama halnya dengan orang yang lupa dari shalat fardhu dan sudah di luar waktunya, maka dia harus segera menunaikannya ketika ingat. Wallahu a’lam.

Bolehkah Meng-qadha’ Puasa Syawwal di Bulan lain [?]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menerangkan :
“Yang nampak dari dua pendapat para ulama, bahwasannya jika telah berlalu bulan Syawwal dan seseorang belum sempat berpuasa (enam hari) maka tidak perlu meng-qadha’ (di bulan lain), karena puasa Syawwal merupakan sunnah yang telah luput waktunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam telah mengkhususkannya dengan bulan Syawwal, maka tidak akan diperoleh pahala puasa pada bulan tersebut jika dilakukan di bulan lain, dikarenakan luput dari maslahat menyegerakan amalan kebaikan yang dicintai oleh Allah ta’ala. Jika seandainya bulan Syawwal sama kedudukannya dengan bulan-bulan lain, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam tidak akan menyebutkan keutamaannya.” Dan ada yang mengatakan : “Jika seseorang mengalami ‘udzur seperti sakit, haidh, nifas atau ‘udzur-’udzur yang lainnya yang menyebabkan dia terhalang dari puasa Syawwal dan menundanya, maka dia tetap akan mendapatkan pahalanya walaupun berpuasa pada bulan berikutnya, wallahu a’lam [15].”
Demikian sedikit uraian yang dapat kami sajikan berkenaan dengan puasa Syawwal, wallahu a’lamu bis-shawwab.

Fikri Abul Hasan
——————————————————————-
Footnote:


1. Berkata Yahya : “Aku mendengar Imam Malik berkata tentang berpuasa enam hari setelah ‘Idul Fithri; sesungguhnya beliau rahimahullah tidak melihat seorang pun dari Ulama ahli fiqh berpuasa enam hari di bulan Syawwal, dan belum sampai kepadaku berita mengenai hal itu dari kalangan Salaf seorang pun. Dan sesungguhnya para Ulama melarangnya karena mereka khawatir hal tersebut bid’ah.” [Al-Muwattha' hal. 210].

Hal ini semata-mata ijtihad Imam Malik rahimahullah dalam menilai puasa enam hari di bulan Syawwal, dan ijtihad ulama siapa pun bisa diambil dan bisa ditolak, sebagaimana dikatakan oleh beliau: “Semua omongan bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali omongan penghuni kubur ini (sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam).” [Atsar riwayat Ibnu 'Abdil Bar dalam Al-Jami' 2/91].
Abul ‘Ala Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 3/389 : “Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah bahwa riwayat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu menjadi dalil yang sharih (tegas) bagi madzhab Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad, Dawud (Adz-Dzhahiri, -pent) serta para Ulama yang mencocoki madzhab mereka dalam memandang sunnahnya puasa enam hari (di bulan Syawwal, -pent).”

2. Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amir As-Shan’ani rahimahullah : “Ibnu Dihyah menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Sa’d bin Sa’iid (bin ‘Amr Al-Anshari Al-Madani, -pent) lemah haditsnya.”, berkata Al-Imam An-Nasa’i: “Tidak kuat.”, berkata Abu Hatim: “Tidak boleh sibuk dengan haditsnya Sa’d bin Sa’id.” –selesai-. Berkata Ibnus Subki : “Syaikh kami Abu Muhammad Ad-Dimyathi telah merasa cukup dengan mengumpulkan sanad-sanadnya dan ada dua puluh tiga lebih (yakni antara 23 – 29) para perawi yang meriwayatkannya dari Sa’d bin Sa’iid, dan mayoritas dari mereka para huffadzh lagi terpercaya di antaranya “Sufyanaani” (yakni Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri dan Sufyan bin ‘Uyainah, -pent), dan ada mutaabi’ atas Sa’d bin Sa’iid dalam riwayatnya yakni saudaranya Yahya bin Sa’id dan ‘Abdu Rabbih bin Sa’id, dan Shafwan bin Sulaim dan selain mereka. Diriwayatkan pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam tersebut oleh Tsauban, Abu Hurairah, Jabir bin ‘Abdillah, Ibnu ‘Abbas, Al-Bara’ bin ‘Azib, ‘Aisyah, dan riwayat Tsauban dengan lafadzh: “Berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sepadan dengan sepuluh bulan dan berpuasa enam hari (di bulan Syawwal) sepadan dengan dua bulan, demikian puasa setahun penuh.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i [Syaikh Al-Albani menilai "shahih" dalam Shahihul Jami' no. 3851, -pent)." [Subulus Salam Al-Muwasshilah ilaa Bulughil Maram hal. 567]

3. Subulus Salam Al-Muwasshilah ilaa Bulughil Maram hal. 567

4. Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 8/304

5. Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401 – Shahih Fiqhus Sunnah 140

6. Syarh Riyadhus Shalihin 3/507, dan Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqhus Sunnah 3/134 menukil dari Syarhul Mumti’ 6/448

7. Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401 – Shahih Fiqhus Sunnah 140

8. idem

9. Kelengkapan riwayatnya: “Aku pernah punya hutang puasa Ramadhan, akan tetapi aku tidak mampu meng-qadha’nya melainkan di bulan Sya’ban karena sibuk mengurus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam.” Potongan lafadz terakhir “….karena sibuk mengurus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam” adalah mudraj (terselip) dalam hadits, dan bukan perkataan ‘Aisyah namun perkataan salah satu perawi yakni Yahya bin Sa’id sebagaimana yang diterangkan Ibnul Qayyim dan Al-Hafidz rahimahumallah.” [Tamamul Minnah hal. 422]

10. Mausu’ah Al-Fatawa Al-Islamiyah – Khulashatul Kalam Fi Ahkami Ulama’ Al-Baladil Haram hal. 193

11. Al-Muhalla tahqiq Ahmad Syakir 3/308

12. Tamamul Minnah Fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 422:

13. Idem, hal 423

14. Idem

15. Fatawa Syaikh As-Sa’di hal. 230


Shalat Sunnah Rawatib

Shalat Sunnah Rawatib

A. Muakad..............                                             B. Gahiru Muakad..................

·       Sebelum/ Sesudah Shalat Dzuhur       Sebelum Shalat Ashar
·       Sesudah shalat magrib                          Sebelum shalat Magrib                          
·       Sesudah Shalat Isya                              Sebelum Shalat Isya
·       Sebelum Shalat Subuh
·       Sesudah shalat Jum'at

Masing- masing 2 ( dua ) rakaat salam.

Shalat Sunnah berkaitan dengan waktu

·       Shalat Dhuha
·       Shalat Lail ( Tahajud )
·       Shalat Tarawih
·       Shalat Witr

·       Shalat Dhuha
8 Rakaat, waktu antara jam 07 s/d 11 wib, waktu setempat.
Sebaiknya Di Rumah.

     2. Shalat lail ( Tahajud )
Rakaat sekemampuan kita ( sebanyak-banyaknya)
Waktu antara Ba/da shalat Isya s/d menejelang Subuh.

     3. Shalat Tarwih
Di Malam Bulan ramadhan, waktu Ba'da Sholat Isya
8 Rakaat, 20 Rakaat dll, 2 Rakaat  salam.

     4. Shalat Witr
Setelah Shalat Isya, rakaat bilangan Ganjil
Waktu antara Ba'da Shalat Isya sampai menjelang subuh.

Shalat Sunah berkaitan dengan Ibadah yang lain

·       Shalat intizhar
·       Shalat Iftitah
·       Shalat antara azan  dan iqamah
·       Shalat antara Magrib dan Isya
·       Shalat setelah Tawaf


·       Shalat Intizhar
Shalat menanti datangnya Khotib Jum'at. 2 Rakaat atau lebih sesuai kemampuan.

·       Shalat Iftitah
Shalat yg mengawali shalat lail / malam. 2 rakaat .

·       Shalat antara Azan dan Iqamah
2 Rakaat, dengan bacaan surat pendek.

·       Shalat antara Magrib dan Isya
Jumlah Rakaatnya tidak ditentukan, sampai menjelang shalat isya.

·       Shalat setelah Tawaf
2 rakaat setealh Tawaf. Dilaksanakan di Mekkah ( Rumah Allah ).

Shalat sunnah berkaitan dengan hari Raya

Shalat Idul Fitri dan Shalat Idul Adha
Shalat Ba'diah id

·       Shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha

2 rakaat, membaca takbir 7 kali pada rakaat pertama. Sebelum membaca Alfatihah. Membaca takbir 5 kali pada rakaat kedua sebelum membaca Alfatihah.
Tanpa Azan dan Iqamah.

·       Shalat Ba'diah Ied.
2 Rakaat, Dilakukan di Rumah, sepulang menunaikan Shalat Ied.

Shalat sunnah berkaitan dengan keperluan tertentu.

·       Shalat Istikharah
·       Shalat hajat
·       Shalat Taubat dan
·       Shalat Istisqa

·       Shalat Istikharah
2 Rakaat . Dikerjakan kapan saja. Siang atau malam.
Doa sesudah Shalat Istikharah.
“ Allaahumma inni astakhiiruka bi ilmika wa astaqdiruka bi qudratika wa asaluka min fadh likal azhiim, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta'lamu wa laa a'lamu wa anta allaamul ghuyuub, allaahumma in kunta ta'lamu anna haadzal amra kairul lii fii diini. Wa ma'aasyii wa aaqibati amrii faqdurhu lii wayassirhu lii tsumma baarik liih fiih. Wa in'kunta ta'lamu wa'aaqiibati amrii fashrifhu, annii washrifni, anhu waqdurliyal khaira haitsu kaana tsumma ardhinii bih.
·       Shalat hajat
2 Rakaat sebelum melakukan Hajat atau keinginan kita.
Ba'da sholat membaca tahmid, tasbih dan takbir. Lalu membaca :

laa ilaaha illlallaahul haliimul kariim, subhaanallaahi rabiil 'arsyil 'azhiim. Alhamdu lillaahi rabbil aalamiin, as alukamuujibaati rahmatik, wa azaa'ima maghfiratik, wal ghaniimata min kulli birr, wassalamata min kulli itsm, laa tada' lii dzamban illaa ghafartah, wa laa hmman illaa farrajtah wa laa haajatan hiya laka ridhan illaa qadhaitahaa yaa arhamar raahimiin.

·       Shalat Taubat
2 Rakaat. Sesegera mungkin, setelah melakukan dosa.
Ba da sholat membaca “ astaghfirullaahal'azhim' “ sebanyak-banyaknya.

·       Shalat Istisqa
2 Rakaat. Sebelum Khutbah atau sesudah khutbah.di lapangan terbuka. Di pimpin Imam dan terus berdo'a. Do'a nya “ alhamdulillaahi rabbil 'aalaamiin arrahmaanir rahiim, maaliki yaumid diin, laa ilaaha illallaah, yaf 'alullahu maa yuriid, allahumma antallah, laa ilaaha illa anta, antal ghaniyyu wa nahnul fuqaraa, anzil 'alainal ghaitsa waj'al maa anzalta lanaa quwwataw wa balaaghan ilaa hiin. “

 Shalat Sunnah berkaitan dengan Peristiwa tertentu

·       Shalat Gerhana
·       Shalat Sepulang bepergian
·       Shalat Sesudah Akad Nikah
·       Shalat sesudah berwudhu, dan
·       Shalat Tahiyyatul Masjid

·       Shalat Gerhana
Dua rakaat, 1 , 2 , 3 , 4 atau 5 kali ruku dalam satu rakaatnya.
Bacaan Surat yg panjang-panjang. Berkuthbah.

·       Shalat sepulang bepergian
Sepulang bepergian jauh, ( safar ). Dua rakaat. Waktunya kapan saja.

·       Shalat sesudah Akad Nikah
Dua rakaat, sebelum campur suami istri. Kapan saja. Agar terlindung dari sifat Zhalim, curang, boros dll.

·       Shalat sesudah berwudlu,
Dua rakaat, sesudah wudlu dan sebelum mengerjakan shalat yg lainnya.
·       Shalat tahiyyatul Masjid
Dua rakkat sebelum duduk di mesjid. Sebelum mengerjakan shalat yg lainnya.

Shalat Sunnah yang lainnya.

Shalat yang tidak tercakup dalam pengelompokan Shalat sunnah yg diatas.
Yaitu Shalat TASBIH.

4 rakaat. Dilakukan kapan saja saja ( siang atau malam ), satu kali sehari, seminggu sekali, sebulan sekali , setahun sekali atau satu kali selama hidup kita didunia.

Tata Cara :
sesudah membaca surat sebelum ruku membaca : “alhamdulillah wa subhaanallaah wa laa ilaahaillallaah, wallaahu akbar.”
sebanyak 15 kali.

Ketika ruku membaca bacaan tsb 10 kali.
Ketika i'tidal sebelum sujud membaca bacaan tsb 10 kali
Ketika sujud membaca bacaan tsb 10 kali
Ketika duduk diantara dua sujud membaca bacaan tsb 10 kali
Ketika sujud kedua membaca bacaan tsb 10 kali
Ketika duduk istirahat membacaan tsb 10 kali
Ketika berdiri pada rakaat kedua, setelah membaca surah alfatihah, membaca bacaan tsb 15 kali.
Selanjutnya membaca bacaan tsb 10 kali-10 kali seperti pada rakaat pertama.
Juga sama ketika rakaat ke tiga dan keempat.



Semoga amal ibadah sholat kita diterima Allah swt.
Salam
ASEP HIDAYAT