SIKAP ISLAM TERHADAP PERMAINAN


     SIKAP ISLAM TERHADAP PERMAINAN

Sikap Islam terhadap berbagai jenis permainan di atas dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini:

Jenis Permainan yang Diperbolehkan Islam

Islam tidak melarang permainan dengan berbagai macam jenisnya, bahkan Islam melihat itu sesuatu yang diperlukan oleh seseorang dan oleh masyarakat, kalaupun tujuannya bukan untuk itu kecuali untuk bersenang-senang. Di depan telah kita terangkan tentang diperbolehkannya tertawa dan menyanyi dengan merujuk kepada beberapa pendapat ulama, termasuk di antaranya dari Imam Ghazali dan Ibnu Hazm.
Bahkan ada sebagian bentuk permainan yang diserukan oleh Islam, seperti berbagai jenis permainan olah raga atau seni militer. Karena hal itu untuk menguatkan fisik dan memperoleh kemahiran serta meningkatkan kemampuan pertahanan ummat Islam.
Di dalam Sunnah Nabi SAW kita diperintahkan untuk berolah raga, diantaranya dengan memanah dan menunggang kuda. Karena mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Islam telah mensyari'atkan 'Idul Fithri dan 'Idul Adha sebagai pengganti bagi dua hari yang dahulu dipergunakan untuk bermain oleh orang-orang Anshar di masa jahillyah. Nabi SAW telah memberikan izin kepada orang-orang Habasyah untuk menari dengan tombak dan pedang mereka di serambi masjidnya yang mulia pada hari raya, dan Nabi SAW mendorong mereka dengan mengatakan, "Untukmu wahai Bani Arfidah."

Jenis Permainan yang Dilarang oleh Islam

Akan tetapi Islam melarang sebagian dari jenis permainan yang ada karena dianggap bertentangan dengan tujuannya dan menyimpang dari segi tata caranya.
1. Permainan yang sangat berbahaya tanpa darurat, seperti tinju dan lainnya.
2. Permainan yang menampakkan tubuh wanita yang tidak halal dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, seperti pada cabang olah raga renang atau lainnya, kecuali jika disediakan secara khusus kolam renang dan tempat permainan yang tidak bercampur dengan kaum lelaki.
3. Permainan sihir yang sesungguhnya, ini termasuk tujuh yang merusak. Haram bagi kita mengajarkannya atau menyebarkannya.
4. Permainan yang menipu orang demi memperoleh harta dengan kebathilan.
5. Permainan yang mengadu binatang dan menyakitinya, seperti adu ayam atau adu kambing. Yang demikian ini sungguh dilarang, maka tidak boleh bagi manusia mempermainkan binatang dengan mengalirkan darahnya. Karena barangsiapa yang tidak kasihan terhadap yang di bumi, maka tidak dikasihani oleh yang di langit.
6. Permainan berdasarkan nasib, seperti undian atau yang sejenisnya. Berbeda dengan permainan yang mengasah otak, seperti halnya catur dan yang sejenis dengannya. Menurut pendapat yang rajih, permainan jenis ini diperbolehkan dengan syarat-syarat. Bab ini telah saya terangkan di dalam kitab "Al Halal dan Al Haram" dan telah dirinci di dalam juz kedua dari kitab "Fatawa Mu'ashirah."
7. Permainan judi, ini teman setia khamr sebagaimana tersebut di dalam kitab Allah. Dia termasuk perbuatan kotor dari perbuatan syetan.
8. Permainan yang merendahkan kehormatan manusia atau menghinanya atau menjadikan orang lain sebagai bahan tertawaan. Baik orang-orang tertentu, atau sekelompok dari masyarakat, seperti orang buta, atau pincang atau yang berkulit hitam atau orang-orang yang berprofesi tertentu, kecuali dalam batas-hatas yang diperbolehkan. Lihat surat Al Hujuraat, ayat: 11.
9. Berlebihan dalam bermain, sehingga mengganggu pekerjaan pokok yang lain. Karena permainan itu termasuk "Tahsiniyyat," (kebutuhan pelengkap), maka tidak boleh rnelebihi kebutuhan-kebutuhan yang lainnya, apalagi kebutuhan yang primer. Karena segala yang diperbolehkan itu terikat dengan tidak berlebihan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Segala yang diperbolehkan itu juga disyaratkan agar tidak mengganggu kewajiban syar'i atau kewajiban duniauwi. Yang dituntut dari masyarakat Islam adalah sebagaimana yang dituntut dari pribadi Muslim yaitu menyeimbangkan antara tuntutan-tuntutan yang ada, dan hendaknya memberikan setiap orang yang berhak akan haknya.
Oleh karena itu tidak diterima di dalam neraca Islam melebihkan satu permainan atau yang lainnya, seperti sepak bola atas seluruh permainan dan olah raga dan semua itu tidak lebih penting daripada beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi serta mernelihara hak-hak makhluk. Sehingga sampai terjadi permainan sepak bola itu di sebagian negara dalam rnasa-masa tertentu telah berubah menjadi berhala yang disembah dan diperjualbelikan dengan harga ratusan ribu, bahkan dengan jutaan. Sebagian ahli pemikir dan ilmu pengetahuan hampir tidak mendapatkan lagi kekuatan mereka, karena fungsi kaki seakan lebih penting daripada fungsi kepala.

SENI LAWAK DAN HIBURAN (KOMEDI)


     SENI LAWAK DAN HIBURAN (KOMEDI)

Kehidupan merupakan rihlah (suatu perjalanan) yang panjang dan terasa amat berat. Penuh dengan kepenatan dan kesusahan. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari rasa sedih dan rasa sakit, meskipun ketika ia dilahirkan seakan sudah ada masa di mulutnya, kata orang.
Al Quran telah menyinggung yang demikian itu, yaitu dalam firman Allah SWT,
"Sunggah Krami telah menciptakan manusia dalam kesusahan." (Al Balad: 4)
Orang-orang yang beriman adalah yang paling banyak menghadapi cobaan dunia dibanding yang lainnya, dengan melihat besarnya tanggung jawab mereka di satu sisi, dan banyaknya orang-orang yang memusuhi mereka di sisi yang lain.
Sehingga termuat dalam satu atsar, "Orang yang beriman itu berada dalam lima tantangan; orang Muslim (lainnya) yang menghasudnya, munafik yang membencinya, kafir yang memeranginya, syetan yang menyesatkannya dan nafsu yang menentangnya."
Tersebut juga dalam sebuah hadits, "Bahwa orang yang berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang mirip dengan mereka (meniti jalan seperti mereka)."
Karena itu semua manusia memerlukan tempat berteduh di sepanjang perjalanannya untuk meringankan kepenatan dan megusir kelelahan.
Di tempat itu mereka bisa tertawa, bergembira dan bersuka ria. Tidak senantiasa diliputi oleh kesusahan, kesedihan dan kesengsaraan, sehingga merenggut kehidupannya dan mengotori kebersihannya.
Di antara bentuk hiburan itu adalah lagu-lagu (nasyid), dan masalah ini telah kita bicarakan di muka.
Di antara sarana hiburan yang lainnya adalah seni lawak atau komedi. Artinya segala sesuatu yang dapat memancing tawa dari manusia, mengusir kesusahan dalam hatinya, menghapus kelesuan pada wajahnya dan sirnalah kesedihan dalam hidupnya.
Tetapi apakah agama menyambut seni semacam komedi ini? Apakah menghalalkan ataukah mengharamkannya?

Tawa dan Gembira dalam Kehidupan Kaum Muslimin

Kamu dapat melihat perjalanan fitrah manusia. Sesuai dengan kemampuan mereka sendiri-sendiri, dan sesuai dengan keluwesan agama mereka, mereka telah berhasil membuat berbagai sarana dan alat hiburan.
Di antaranya adalah "An-Nukat" (teka-teki humor). Dalam hal ini orang-orang Mesir sangat pandai dan terkenal di seluruh dunia dengan beragamnya kreasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti dalam bidang siyasiyah (anekdot politik), biasanya menjadi media untuk mengkritik pemerintah dan rezim yang berkuasa, terutama di waktu-waktu terjadinya penindasan dan tekanan politik.
Manusia sangat sering mengadakan pertemuan antara mereka untuk menghibur diri mereka dengan tawa dan bergembira. Yang dengan demikian mereka dapat menghilangkan kepenatan. Bahkan dalam dunia lawak ini kita bisa menyebutkan nama-nama yang sudah terkenal, seperti Juha, Abu Nawas atau yang lainnya. Terlepas dari apakah tokoh-tokoh tersebut nyata atau fiktif, tetapi yang jelas nama-nama tersebut sudah sangat terkenal.
Ada lagi orang yang membuat lawakan dengan spontanitas, ini yang sekarang sering dilakukan oleh para pelawak, seperti Asy'ab (dulu) atau seperti Syaikh Abdul Aziz Al Busyri sekarang ini di Mesir.
Di Mesir juga ada majalah-majalah khusus tentang ini, yang paling terkenal adalah majalah "Al Ba'kukah." Serupa atau disamakan dengan itu adalah "Al Qafasyaat" yang oleh orang-orang Mesir dinamakan "Ad Dukhuul, fi Qaafiyah." Di sini mempergunakan majaz dan tauriyah seputar satu pembahasan yang diungkapkan oleh dua orang (petatah-petitih).
Ada lagi bentuk permainan yang memancing tawa dan bersuka ria, seperti mainan "Araajuuz." Ada pula yang lainnya yang dinamakan "Khayal Adz-Dzill," yaitu mengungkapkan satu jenis dari pepatah yang bisa mengundang tawa.
Ada pula bentuk permainan yang lain lagi, namanya Al Alghaz dan Al Ahaaji (teka-teki silang) atau dalam bahasa umum disebut "Al Fawaaziir." Bentuk yang lain lagi adalah kisah-kisah lucu, atau yang umumnya dinamakan Al Khawaadiits, berisi kisah-kisah yang menghibur dan menyenangkan.
Ada lagi bentuk yang lainnya yakni Al Amtsal Asy-Sya'biyah (pepatah negeri) yang memuat banyak pemikiran atau ungkapan yang membuat orang tertawa dan bersuka ria. Biasanya dibuat oleh seniman setempat --yang terkenal maupun tidak--sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya sesuai dengan nilai-nilai dan pemahaman.
Setiap zaman selalu ada perubahan, penambahan baru atau pengembangan-pengembangan dari yang sudah ada. Sebagaimana hal itu kita lihat di dalam seni "Karikatur," yang mengubah dari bentuk kata yang diucapkan menjadi gambar yang mengungkapkan sesuatu, baik disertai tulisan atau tidak.
Saya pernah ditanya mengenai bagaimana sikap agama terhadap semua ini (seni lelucon atau seni lawak). Mengingat ada dari sebagian aktifis yang sangat anti dan hampir tidak pernah tertawa, tidak pernah bergurau, sampai ada sebagian orang mengira bahwa kecemberutan itu merupakan tabiat agama ini dan ummatnya.
Maka saya jawab, "Sesungguhnya tertawa itu termasuk tabiat manusia. Binatang tidak dapat tertawa, karena tertawa itu datang setelah memahami dan mengetahui ucapan yang didengar atau suatu sikap dari gerakan yang dilihat, sehingga ia tertawa karenanya."
Oleh sebab itu manusia merupakan 'binatang' yang bisa tertawa, dan benarlah ucapan orang yang mengatakan, "Saya tertawa, karena saya manusia." Islam sebagai agama fithrah, tidak pernah terbayangkan darinya, bahwa ia memerintahkan kita untuk keluar dari fithrah, dalam hal ini untuk tidak tertawa dan bergembira. Tetapi justru sebaliknya, menyambut segala sesuatu yang membuat kehidupan ini menjadi tersenyum bergembira. Islam juga menyukai seorang Muslim agar memiliki kepribadian yang senantiasa optimis dan berseri. Dan tidaklah membenci kepribadian seperti ini, kecuali yang melihat dengan kaca mata hitam yang pekat.
Uswah ummat Islam -Rasulullah SAW- adalah orang yang menghadapi berbagai kesusahan yang beraneka ragam. Tetapi meski demikian, beliau juga bergurau dan beliau tidak berbicara sesuatu kecuali yang haq. Beliau juga hidup bersama para sahabatnya dengan kehidupan yang fithri dan wajar. Beliau ikut serta bergurau dan bermain dengan mereka, sebagaimana beliau ikut bersusah-payah dan bersedih bersama mereka.
Zaid bin Tsabit, ketika diminta untuk menceritakan tentang keadaan Rasulullah SAW maka ia berkata, "Saya bertetangga dengan Nabi, maka apabila turun kepadanya wahyu, beliau memerintahkan kepadaku untuk menulisnya. Dan apabila kami mengingat dunia, maka beliau juga mengingatnya bersama kami, dan jika kami mengingat akhirat, belian juga mengingatnya bersama kami, dan apabila kami ingat makanan, beliau juga ingat makanan bersama kami, ini semuanya aku ceritakan kepadamu dan Rasulullah SAW.,"(HR. Thabrani)
Para sahabat mensifati Rasulullah SAW bahwa beliau adalah termasuk orang yang sering bergurau. (Kanzul 'Ummal, no: 184)
Kita dapatkan bahwa Rasulullah SAW di rumahnya juga bergurau dengan isteri-isterinya dan mendengarkan cerita mereka. Sebagaimana diceritakan di dalam haditsnya Ummu Dzar yang terkenal di dalam shahih Bukhari. Kita lihat juga bagaimana perlombaan Nabi SAW dengan 'Aisyah RA di mana sesekali 'Aisyah menyalipnya dan sesekali Nabi mendahuluinya, maka Nabi bersabda kepadanya, "Ini dengan itu (satu-satu)."
Diriwayatkan juga bahwa punggung Rasulullah SAW pernah ditunggangi oleh kedua cucunya Hasan dan Husain ketika masih kecil. Beliau dan kedua cucunya menikmati tanpa rasa berat. Ketika itu ada salah seorang sahabat yang masuk dan melihat pemandangan itu, maka sahabat itu berkata, ..Sebaik-baik yang kamu naiki adalah yang kamu naiki berdua." Nabi SAW berkata, "Sebaik-baik yang naik adalah keduanya."
Rasulullah SAW juga pernah bergurau dengan nenek-nenek tua yang datang dan berkata, "Doakan aku kepada Allah agar Allah memasukkan aku ke surga," maka Nabi SAW berkata kepadanya, "Wahai Ummu Fulan! Sesungguhnya surga itu tidak dimasuki orang yang sudah tua," maka wanita tua itu pun menangis, karena ia memahami apa adanya. Maka Rasulullah SAW memahamkannya, bahwa ketika dia masuk surga, tidak akan masuk surga sebagai orang yang sudah tua, tetapi berubah menjadi muda belia dan cantik. Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (wanita-wanita surga) itu dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya." (Al Waqi'ah: 35-37)
Ada seorang laki-laki datang ingin dinaikkan unta, maka Nabi bersabda, "Saya tidak akan membawamu kecuali di atas anak unta," maka orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang dapat saya perbuat dengan anak unta?" Ingatannya langsung ke anak unta yang masih kecil. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Apakah ada unta yang melahirkan kecuali unta juga?"
Zaid bin Aslam berkata, Ada seorang wanita bernama Ummu Aiman datang ke Rasulullah SAW berkata, "Sesungguhnya suamiku mengundangmu." Nabi berkata, "Siapakah dia, apakah dia orang yang matanya ada putih-putihnya?." Ia berkata, "Demi Allah tidak ada di matanya putih-putih!." Maka Nabi berkata. "Ya, di matanya ada putih-putih," maka wanita itu berkata, "Tidak, demi Allah." Nabi berkata, "Tidak ada seorang pun kecuali di matanya ada putih-putihnya." (Az-Zubair bin Bakar dalam "Al Fakahah wal Mizah" dan Ibnu Abid-Dunya). Yang dimaksud dalam hadits ini adalah putih yang melingkari hitamnya bola mata.
Anas berkata, "Abu Talhah pernah mempunyai anak bernama Abu 'Umair, dan Rasulullah SAW pernah datang kepadanya lalu berkata, 'Wahai Abu 'Umair apa yang diperbuat oleh Nughair (burung kecil)?' Karena anak burung pipit yang dipermainkan."
'Aisyah berkata, "Rasulullah SAW dan Saudah binti Zam'ah pernah berada di rumahku, maka aku membuat bubur dan tepung gandum yang dicampur dengan susu dan minyak, kemudian aku hidangkan, dan aku katakan kepada Saudah, 'Makanlah' maka Saudah berkata, 'Saya tidak menyukainya,' Maka aku berkata, 'Demi Allah benar-benar kamu makan atau aku colekkan bubur itu ke wajahmu, ' maka Saudah berkata, 'Saya tidak mau mencicipinya, ' maka aku ('Aisyah) mengambil sedikit dari piring, kemudian aku colekkan ke wajahnya, saat itu Rasulullah SAW menurunkan kepada Saudah kedua lututnya agar mau mengambil dariku, maka aku mengambil dari piring sedikit lalu aku sentuhkan ke wajahku, sehingga akhirnya Rasulullah SAW tertawa." (HR. Zubair bin Bakkar di dalam kitabnya "Al Fukahah")
Diriwayatkan juga sesungguhnya Dhahhak bin Sufyan Al Kallabi adalah orang yang berwajah buruk. Ketika dibai'at oleh Nabi SAW maka Nabi bersabda, "Sesungguhnya aku mempunyai dua wanita yang lebih cantik daripada si Merah Delima ini ('Aisyah),--ini sebelum turun ayat tentang hijab--, "Apakah tidak sebaiknya aku ceraikan salah satunya untukmu, kemudian kamu menikahinya?" Saat itu 'Aisyah sedang duduk mendengarkan, maka Aisyah berkata, 'Apakah dia lebih baik atau engkau?" Maka Dhahhak menjawab, "Bahkan saya lebih baik daripada dia dan lebih mulia." Maka Rasulullah SAW tersenyum karena pertanyaan 'Aisyah kepadanya, karena ia laki-laki yang berwajah buruk. ' (HR. Zubair bin Bakkar di dalam "Al Fukaahah")
Rasulullah SAW senang untuk menebarkan kegembiraan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia, terutama di dalam momen-momen seperti hari raya atau pesta pernikahan.
Ketika Abu Bakar RA tidak setuju dengan nyanyian dua budak wanita pada hari raya di rumahnya dan mengusir keduanya, maka Nabi berkata kepada Abu Bakar, "Biarkan keduanya, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Di dalam riwayat lain dikatakan, "Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa sesungguhnya di dalam agama kita ini ada hiburan."
Rasulullah SAW juga pernah mengizinkan kepada orang-orang Habasyah untuk bermain dengan tombak mereka di Masjid Nabawi pada hari-hari besar dan Nabi SAW mendorong mereka, "Di bawahmu wahai Bani Arfidah."
Rasulullah SAW memberi kesempatan kepada Aisyah RA untuk melihat mereka dari belakangnya, sedangkan mereka terus bermain dan menari, dan Nabi tidak memandang demikian itu sebagai dosa.
Pada suatu hari beliau pernah menegur suatu pesta perkawinan yang sepi-sepi saja, tidak disertai permainan atau lagu-lagu. Beliau mengatakan, "Mengapa tidak ada permainannya? Sesungguhnya kaum Anshar itu tertarik dengan permainan."
Di dalam sebagian riwayat Rasulullah SAW bersabda, "Mengapa kamu tidak mengirimkan bersamanya orang yang menyanyi dan mengatakan. 'Kami telah datang kepadamu... kami telah datang kepadamu... (karena itu) sambutlah kami...,' sebagai ucapan selamat kami untukmu."
Para sahabat Nabi SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka (para tabi'in) adalah sebaik-baik generasi, namun mereka juga tertawa dan bergembira karena mengikuti petunjuk Nabinya. Sampai orang seperti Umar bin Khaththab yang terkenal kerasnya, juga pernah bergurau dengan budaknya. Umar mengatakan kepada budaknya, "Aku diciptakan oleh Pencipta orang-orang mulia, dan engkau diciptakan oleh Pencipta orang-orang durhaka!" Ketika Umar melihat budaknya sedih karena kata-kata itu, maka Umar menjelaskan dengan mengatakan, "Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan orang-orang mulia dan orang-orang durhaka kecuali Allah 'Azza wa Jalla."
Sebagian sahabat ada yang bersenda gurau dan Rasulullah SAW pun membiarkan dan menyetujui. Hal seperti ini terus berjalan setelah Rasul SAW wafat. Semua itu diterima oleh para sahabat, tidak ada yang mengingkari, meskipun seandainya peristiwa itu terjadi sekarang pasti akan diingkari oleh sebagian besar aktifis Islam dengan pengingkaran yang keras, bahkan mungkin mereka menganggap pelakunya tergolong orang-orang yang fasik atau menyimpang.
Di antara sahabat yang terkenal sering bergurau adalah Nu'aiman bin Umar Al Anshari RA, yang telah diriwayatkan darinya beberapa keistimewaan yang aneh dan menakjubkan.
Beliau termasuk orang yang ikut berbai'ah 'Aqabah yang kedua, pernah ikut perang Badar dan Uhud, Khandaq dan seluruh peperangan yang ada.
Zubair bin Bakkar telah meriwayatkan darinya sejumlah keanehan-keanehan yang langka di dalam kitabnya "Al Fukahah wal Marakh," di sini kita sebutkan sebagian darinya:
Zubair bin Bakkar berkata, "Nu'aiman itu tidak masuk ke Madinah sekejap mata pun kecuali ia membeli sesuatu darinya, kemudian membawanya ke Rasulullah SAW kemudian ia berkata, "Ini aku hadiahkan untukmu (wahai Rasulullah SAW)." Ketika pemiliknya datang ingin meminta uang kepada Nu'aiman, maka orang itu dibawa kepada Nabi SAW Nu'aiman berkata, "Wahai Rasulullah SAW berikan kepada orang ini uangnya (harga barangnya), maka Nabi berkata, "Bukankah kamu telah menghadiahkan kepadaku?" Nu'aiman berkata, "Demi Allah, saya tidak mempunyai uang (untuk membelinya), tetapi saya ingin engkau memakannya, maka Rasulullah SAW tertawa, dan memerintahkan untuk memberikan uangnya kepada pemilik (barang)nya."
Zubair bin Bakkar juga meriwayatkan kisah lainnya dari Rabi'ah bin Utsman, ia berkata, "Ada seorang Badui masuk ke rumah Rasulullah SAW dan mengikat untanya di halaman, maka berkata sebagian sahabat kepada Nu'aiman Al Anshari, "Bagaimana kalau kamu sembelih unta ini, lalu kami memakannya, sesungguhnya kami ingin sekali makan daging, maka Nu'aiman pun melakukannya, sehingga orang Badui itu keluar dari rumah Nabi SAW dan berteriak, "Untaku disembelih, wahai Muhammad !" Maka Nabi SAW keluar, lalu berkata, "Siapa yang melakukan ini?," mereka menjawab, "Nu'aiman," maka Nabi SAW mencarinya sehingga telah mendapatkannya masuk ke rumah Dhaba'ah binti Zubair bin Abdul Muththalib dan bersembunyi di bawah gubuk kecil yang beratap daun kurma. Ada seorang yang memberi tahu Nabi SAW di mana Nu'aiman bersembunyi, maka Nabi SAW mengeluarkannya dan Nabi bertanya, "Apa yang mendorong kamu untuk berbuat demikian?" Nu'aiman berkata. "Mereka yang memberitahu engkau wahai Rasulullah, merekalah yang menyuruh aku untuk berbuat demikian." Setelah itu Nabi SAW membersihkan debu yang ada di wajahnya dan tertawa, kemudian menggantinya kepada Badui itu.
Zubair bin Bakkar juga berkata, "Pamanku telah menceritakan kepadaku dari kakekku, kakekku berkata, "Makhrumah bin Naufal telah mencapai usia 115 tahun, maka ia berdiri di masjid ingin kencing, sehingga para sahabat berteriak, "MasjidÉ ! MasjiiiidÉÉ ! Maka Nu'aiman bin 'Amr menuntunnya dengan tangannya, kemudian ia membungkuk dengan membawa orang itu di bagian lain dari masjid. Setelah itu Nu'aiman berkata kepadanya, "Kencinglah di sini, " maka para sahabat berteriak lagi dan Makhrumah berkata, "Celaka kalian! Siapakah yang membawaku ke tempat ini?" Mereka menjawab, "Nu'aiman." Makhrumah berkata, Sungguh jika aku beruntung aku akan memukulnya dengan tongkatku!" Maka berita itu sampai pada Nu'aiman, lalu Nu'aiman tinggal beberapa hari, kemudian datang kepada Makhrumah, sedangkan Utsman sedang shalat di bagian pojok masjid. Maka Nu'aiman berkata kepada Makhrumah, "Apakah kamu menginginkan Nu'aiman? "Makhrumah menjawab, "Ya," maka Nu'aiman menuntunnya sehingga berhenti di hadapan Utsman (yang sedang shalat), dan Utsman kalau shalat tidak pernah menengok, maka Nu'aiman berkata. "Di depanmu itu Nu'aiman." Maka Makhrumah memukulkan tongkat itu kepada Utsman sehingga Utsman pingsan, maka para sahabat berteriak kepadanya, "Apakah engkau tega memukul Amirul Mukminin ?." 28)
Di antara kisah yang menarik adalah ada sahabat lainnya yang juga termasuk ahli melawak. Ia berhasil menjerumuskan Nu'aiman di dalam suatu masalah, sebagaimana Nu'aiman menjerumuskan orang lain. Yakni dalam kisah Suwaibith bin Harmalah dengan dia. Orang ini termasuk orang yang ikut perang Badar juga.
Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya "Al Istii'aab" berkata, "Suwaibith RA adalah seorang tukang melawak, berlebihan dalam bermain-main dan ia memiliki kisah menarik dengan Nu'aiman dan Abu Bakar As-Siddiq RA sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, "Abu Bakar As-siddiq RA pernah keluar berdagang ke Bushra satu tahun sebelum Nabi SAW wafat. Bersama Abu Bakar adalah Nu'aiman dan Suwaibith bin Harmalah, kedua-duanya pernah ikut perang Badar. Saat itu Nu'aiman membawa bekal makanan, maka Suwaibith berkata kepadanya, "Berilah aku makan.
Nu'aiman berkata, "Tidak, hingga datang Abu Bakar RA," Suwaibith berkata, "Ingat, demi Allah aku akan benar-benar marah kepadamu." Ketika mereka berjalan melewati suatu kaum, maka Suwaibith berkata kepada kaum itu, "Apakah kalian mau membeli budak dariku?" mereka berkata, "Ya, mau." Suwalbith berkata, "Tetapi budakku itu doyan ngomong, dan dia akan berkata kepadamu, "Saya merdeka," karena itu jika ia mengatakan demikian maka biarkanlah, dan jangan kalian rusak budakku." Mereka menjawab, "Kita beli saja dari kamu." Suwaibith berkata, "Belilah dengan sepuluh qalaish, " maka kaum itu datang dan meletakkan di leher Nu'aima sorban atau tali, dan Nu'aiman berkata, "Sesungguhnya ia (Suwaibith) itu menghina kamu, karena aku adalah orang yang merdeka dan bukan budak," mereka berkata, "Dia (Suwaibith) telah memberi tahu kepadaku tentang engkau." Maka kaum itu membawa Nu'aiman. Sampai saat datangnya Abu Bakar RA, maka Suwaibith memberitahu kepadanya perihal Nu'aiman, lalu Abu Bakar mengikuti mereka dan mengganti uang sepuluh qalaish dan mengambil kembali Nu'aiman. Ketika datang ke hadapan Nabi SAW mereka pun menceritakannya, maka Nabi tersenyum, demikian juga para sahabatnya karena kisah ini, selama satu tahun." (HR. Ibnu Abi Syaibah dan lbnu Majah)

Sikap Orang-orang yang Ekstrim

Tidak diragukan bahwa di sana ada beberapa hukama' ahli sastra dan puisi yang mencela lelucon (lawakan) dan memperingatkan akan akibatnya yang tidak baik dan memandang bahwa itu berbahaya, tetapi sayang, mereka melupakan sisi-sisi yang lainnya. Padahal sebenarnya apa-apa yang datang dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah lebih berhak untuk diikuti.
Nabi SAW pernah berkata kepada Hanzhalah, yakni ketika dia merasa ada perubahan kondisi di saat berada di rumahnya dan ketika bersama Rasulullah SAW. Hanzhalah mengira bahwa di dalam dirinya ada kemunafikan. Maka Nabi berkata kepadanya, "Wahai Handzalah, seandainya kamu tetap seperti ketika bersamaku, maka pasti malaikat akan berjabat tangan denganmu di jalan-jalan, tetapi wahai Handzalah pelan-pelan (sedikit-sedikit)." Inilah fithrah, dan inilah kemanusiaan.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abi Salamah bin Abdir Rahman, ia berkata, "Sahabat Rasulullah SAW bukanlah orang-orang yang serius terus-menerus, bukan pula orang-orang bermalas-malas (yang tidak bergerak), tetapi mereka itu seiring bersenandung dengan paisi-puisi (syair-syairy) dan mengingat masa-masa jahiliyah mereka, dan apabila diinginkan dari mereka sesuatu dari masalah-masalah agamanya berkunang-kunanglah sinar matanya, seakan-akan seperti orang gila. "Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah.
Ibnu Sirin pernah ditanya tentang kebiasaan para sahabat, "Apakah mereka itu juga bergurau? Beliau menjawab, "Mereka tidak lain adalah manusia biasa seperti umumnya manusia, seperti Ibnu Umar, beliau sering bergurau dan bersenandung dengan syair." (HR. Abu Nu'aim di dalam Al Hilyah: 2/275)
Dengan demikian maka sikap mereka, orang-orang yang mengaku aktifis atau orang-orang yang semangat dalam beragama, yang wajah mereka selalu cemberut--sehingga ada yang mengira bahwa sikap seperti ini dianggap inti ajaran Islam--padahal sikap ini sedikit pun tidaklah menampakkan hakekat agama yang sebenarnya, dan tidak sesuai dengan petunjuk Nabi SAW dan para sahabatnya. Tetapi semata-mata berasal dari kesalahfahaman mereka terhadap Islam, atau kembali kepada tabiat kepribadian mereka, atau karena situasi dan kondisi pertumbuhan dan pendidikan mereka.
Yang jelas seseorang tidak boleh bodoh bahwa Islam itu tidak diambil dari perilaku seseorang atau kelompok dari manusia baik mereka salah atau benar. Islamlah yang semestinya menjadi hujjah atas mereka, bukan mereka yang menjadi hujjah (dalil) atas Islam. Islam itu diambil dari Al Qur'an dan As-Sunnah.

Batas-batas yang diperbolehkan Syar'i dalam Tertawa dan Bergurau

Sesungguhnya tertawa dan bersenda-gurau itu sesuatu yang diperbolehkan di dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh nash-nash qauliyah maupun sikap dan perilaku Rasulullah SAW serta perilaku para sahabat.
Yang demikian itu tidak lain kecuali karena kebutuhan fithrah manusia untuk memperoleh hiburan yang dapat meringankan beban dan kepenatan hidup serta keresahan-keresahan dan permasalahan yang ada.
Berbagai jenis permainan dan hiburan juga dapat berfungsi untuk menumbuhkan semangat jiwa, sehingga dapat melanjutkan perjalanan untuk menempuh perjuangan yang panjang. Sebagaimana juga orang yang mengistirahatkan kendaraannya dalam bepergian, sehingga tidak terputus di tengah jalan.
Tertawa dan bersendau gurau tidak diragukan kebolehannya menurut syari'at, Tetapi dia juga terikat dengan persyaratan-persyaratan yang harus dijaga, antara lain sebagai berikut:
Pertama. Hendaklah senyum dan tawa itu tidak menjadi sarana kebohongan dan dusta, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian masyarakat pada setiap permulaan April yang mereka namakan "Kadzibah April."
Karena itu Rasulullah SAW bersabda, "Celaka bagi orang yang berbicara lalu berbohong, untuk ditertawakan oleh manusia. Celaka baginya! Celaka baginya! Dan celaka baginya!" (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasulullah SAW memang pernah bergurau, akan tetapi tawa dan guraunya adalah benar (tidak mengandung dusta).
Kedua. Hendaklah tidak bernada penghinaan kepada seseorang atau meremehkan atau mengolok-olok, kecuali diizinkan dan diridhai oleh yang bersangkutan. Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman" (Al Hujuraat: 11)
Rasulullah SAW bersabda:
"Cukuplah bagi seorang dikatakan buruk jika ia menghina saudaranya (sesama muslim)." (HR. Muslim)
Aisyah RA pernah menyebut-nyebut di hadapan Nabi SAW salah seorang dari dharairnya (pembantunya) bahwa ia pendek, maka Nabi SAW bersabda:
"Wahai Aisyah, sungguh kamu telah mengatakan suatu perkataan yang kalau seandainya dicampur dengan air laut maka akan mengotorinya," Aisyah berkata, "Apakah engkau pernah menceritakan seseorang, yakni menirukan dalam gerakannya atau suaranya atau lainnya, " maka Nabi SAW bersabda, "Saya tidak suka menceritakan seseorang dan sesungguhnya bagiku demikian, demikian." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ketiga. Hendaknya tidak menakut-nakuti orang Muslim:
Abu Dawud meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Abi Laila, ia berkata, Telah menceritakan kepada kami para sahabat Muhammad SAW bahwa mereka itu pernah berjalan bersama Nabi SAW maka ada salah seorang dari mereka berdiri, dan sebagian ada yang berangkat mengambil tali bersama orang itu sehingga orang itu terkejut, maka Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti seorang Muslim."
Diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir RA, yang berkata, "Kami pernah berada dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah SAW, maka ada salah seorang yang mengantuk di kendaraannya, kemudian ada orang lain di antara kami yang mengambil busur/anak panah dari tempatnya sehingga orang mengantuk itu bangun dan terkejut, maka Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal bagi seseorang untuk menakut-nakuti seorang Muslim" (HR. Thabrani).
Di dalam hadits lainnya Rasulullah SAW bersabda, "Jangan ada di antara kamu yang mengambil barang saudaranya karena main-main dan jangan pula karena serius." (HR. Tirmidzi)
Keempat. Hendaknya jangan bergurau di saat sedang serius, dan jangan tertawa di saat kondisi mengharuskan untuk menangis, karena segala sesuatu itu ada masanya dan segala sesuatu juga ada tempatnya, setiap tempat ada ucapannya yang sesuai, dan hikmah (kebijaksanaan) adalah meletakkan sesuatu pada posisinya yang sesuai.
Allah SWT membenci orang-orang musyrik, karena mereka itu tertawa ketika mendengar Al Qur'an, padahal seharusnya mereka menangis. Allah SWT berfirman:
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan (Al Qur'an) ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melalaikan(nya)?" (An-Najm: 59-61)
Kelima, Hendaknya bergurau itu dalam batas yang logis, dengan ukuran sedang dan tawazun. Yaitu bisa diterima oleh fithrah dan akal yang sehat serta sesuai dengan masyarakat yang positif yang bekerja secara aktif.
Islam tidak suka berlebihan dalam segala sesuatu, sekalipun dalam beribadah, apalagi dalam permainan dan bergurau!
Oleh karena itu Taujih Nabawi mengatakan, "Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya memperbanyak tawa itu dapat mematikan hati." Jadi yang dilarang adalah berlebihan dalam tertawa.
Ali RA berkata, "Campurilah perkataan itu dengan tawa, seperti kamu mencampur makanan dengan garam."
Ini adalah perkataan yang bijaksana, membuktikan atas tidak bolehnya kita untuk melarang dari bergurau, sebagaimana juga menunjukkan atas bahayanya berlebihan di dalam tertawa.
Sebaik-baik perkataan adalah yang tengah-tengah, dan ini merupakan sistem Islam dan karekteristiknya yang pokok, serta rahasia keutamaan ummatnya atas ummat yang lainnya.29)

Seni Bermain, Kebutuhan untuk Bermain

Sebagaimana dikenal oleh bangsa-bangsa, bahwa seni musik itu bisa membawa kenikmatan pada telinga, seni lukis dan menggambar itu dapat membawa keindahan bagi mata, dan seni lawak itu dapat membuat bibir mereka tertawa. Di sana masih ada berbagai seni lainnya yang dikenal oleh manusia, yang dapat membawa suasana kehidupan menjadi indah, menghilangkan kebosanan, ini meliputi berbagai jenis permainan yang beragam, baik yang kita ketahui atau pun yang belum kita ketahui. Permainan dan seni dapat mengisi kekosongan di satu sisi dan dapat memberikan beberapa manfaat dari sisi-sisi lainnya.

Berbagai Jenis Permainan

Sebagian permainan ada yang kita kenal dewasa ini dengan jenis. "Olah Raga Fisik," seperti berenang, lari, Ioncat, angkat besi dan bola. Ada lagi jenis permainan yang lebih dekat pada kemiliteran, seperti memanah, bermain tombak dan pedang serta menunggang kuda. Ada juga jenis permainan yang sifatnya menghibur dan mengisi waktu, dan ada juga yang memakai akal, seperti catur.
Ada jenis permainan yang cukup dilakukan oleh seorang diri dan ada yang harus ada orang seperti gulat dan tinju, dan ada juga yang dilakukan oleh dua kelompok, seperti tarik tambang, sepak bola dan sebagainya. Ada permainan yang bersifat perlombaan antara dua orang, dua grup, beberapa orang atau beberapa grup.
Ada pula permainan sihir, yang mempergunakan tukang sihir dan kecepatan tangan atau murni sihir. Ada permainan yang menggunakan binatang, seperti permainan dengan burung merpati, mengadu ayam, atau kambing atau sapi atau banteng. Demikian juga permainan monyet dan beruang dengan dilatih untuk melakukan berbagai atraksi. Demikian juga dengan kuda, gajah dan singa.
Pada acara-acara festifal nasional di Mesir, hari raya dan pada momen-momen penting lainnya, masyarakat dapat melihat berbagai permainan. Dan tentu tiap-tiap negara mempunyai jenis permainan sendiri-sendiri sebagai warisan budaya pendahulunya atau bisa juga membuat yang baru.
Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, bagaimana sikap Islam terhadap semua permainan ini?
 
28) Lihat dalam Kitab Ibnu Hajar Al Ishaabah dinukil dari Kirab Zubair bin Bakkar dalam Al Fakahah wal Maraah
29) Lihat Kitab saya, Fatawa Mu'ashirah, 2/445-457. Darul Wafa'

BEBERAPA RENUNGAN TENTANG FIQIH HADITS


BEBERAPA RENUNGAN TENTANG FIQIH HADITS

Dalam suasana itu ketika seni menggambar sudah ada sejak masa kenabian, terdapat sebagian hadits-hadits yang mengharamkan. Tidak heran jika hadits-hadits itu bersikap keras dalam masalah tersebut, meskipun kekerasan di dalam membuat gambar itu lebih banyak daripada kekerasan mengambilnya, karena sebagian gambar yang diharamkan untuk membuatnya diperbolehkan untuk menggunakannya. Dalam hal ini untuk penggunaan yang sepele, seperti untuk gorden, bantal dan lainnya sebagaimana yang kita baca dalam haditsnya 'Aisyah.
Dan di antara hadits yang diriwayatkan mengenai larangan menggambar adalah hadits yang diriwayatkan oleh Shahihain dari Ibnu Abbas, marfu', "Setiap pelukis itu di neraka, yang akan menjadikan nyawa untuk setiap gambar yang ia buat, lalu akan menyiksanya di neraka Jahanam."
Di dalam riwayat Imam Bukhari dari Sa'id bin Abil Hasan ia berkata, "Aku pernah berada di sisi Ibnu Abbas ra, tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki maka orang itu berkata, "Wahai Ibnu Abbas, sesungguhnya aku ini adalah seseorang yang sumber ma'isyah saya dan kerajinan tanganku, dan sesungguhnya aku tukang membuat lukisan-lukisan ini." Maka Ibnu Abbas berkata, "Saya tidak akan berbicara denganmu kecuali dengan apa yang pernah saya dengar dari Rasulullah SAW beliau bersabda. "Barangsiapa melukis suatu gambar, sesungguhnya Allah akan menyiksanya, sehingga akan diberikan nyawa padanya, sementara dia tidak bisa meniupkan ruh ke dalamnya selama-lamanya. Maka orang itu kemudian merasa sakit hati. Berkata Ibnu Abbas, "Celaka kamu, jika kamu tetap tidak mau kecuali harus membuat juga, maka buatlah gambar pohon, dan segala sesuatu yang tidak bernyawa."
Imam Muslim meriwayatkan dari Hayyan bin Hushain, ia berkata, "Berkata kepadaku Ali bin Abi Thalib RA, "Saya akan menyampaikan sesuatu kepadamu sebagaimana Rasulullah SAW telah menyampaikan sesuatu padaku, yaitu hendaklah kamu tidak membiarkan gambar kecuali kamu menghapusnya. dan tidak membiarkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan."
Imam Muslim juga meriwayatkan dari 'Aisyah ra, ia berkata, Jibril pernah berjanji kepada Rasulullah SAW bahwa ia akan datang pada suatu saat yang ditentukan. Maka tibalah saat yang ditentukan itu, tetapi Jibril belum juga tiba. Saat itu Nabi memegang tongkat, maka tongkat itu dilemparkan oleh Nabi dari tangannya, seraya berkata, "Allah dan para utusan-Nya tidak akan mengingkari janji," kemudian Nabi berpaling, ternyata ada anak anjing di bawah tempat tidur, maka Nabi berkata, "Wahai 'Aisyah, kapan anjing ini masuk?" Aisyah berkata, "Demi Allah saya tidak tahu, maka Nabi memerintah untuk mengeluarkan anak anjing itu, sehingga datanglah Jibril. Maka Rasulullah SAW berkata, "Engkau telah berjanji kepadaku, maka aku duduk menunggumu, tetapi kamu tidak kunjung datang!" Jibril berkata, "Telah mencegahku anjing yang ada di rumahmu, sesungguhnya kami tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (patung)" (HR. Muslim)
Dengan demikian maka kita mengetahui sesungguhnya ada sejumlah hadits yang membahas tentang menggambar dan gambarnya. Bahkan sedikit, sebagaimana anggapan sebagian ulama yang menulis tentang demikian itu, sungguh telah diriwayatkan oleh sejumlah para sahabat, di antaranya adalah Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, 'Aisyah, Ali, Abu Hurairah yang kesemuanya adalah shahih.
Telah terjadi ikhtilaf (beda pendapat) di kalangan fuqaha' mengenai masalah menggambar ini berdasarkan hadits-hadits tersebut, dan yang paling keras adalah Imam Nawawi yang telah mengharamkan setiap gambar yang bernyawa, baik manusia atau binatang, baik yang berbentuk atau tidak, baik dijadikan sebagai profesi atau tidak. Tetapi beliau memperbolehkan gambar yang dijadikan sebagai profesi untuk dipergunakan, meskipun pekerjaan menggambarnya tetap haram, seperti orang yang menggambar di gorden, bantal atau yang lainnya.
Akan tetapi para fuqaha' salaf sebagian ada yang mengatakan bahwa pengharaman itu khusus untuk gambar yang berbentuk, yang ada bayangannya, inilah yang dinamakan patung, karena ini mirip dengan berhala-berhala. Dan ini pula yang dianggap mengungguli ciptaan Allah SWT, karena makhluk yang dicipta oleh Allah itu berbentuk. Allah SWT berfirman,
"Dialah yang membentuk (memberi rupa) kamu di dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya." (Ali Imran: 6)
Pendapat ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Khaththabi, kecuali yang berlebihan, seperti gambar-gambar yang diperjualbelikan berjuta-juta dan lain sebagainya.
Dikecualikan dari gambar yang berbentuk adalah mainan anak-anak seperti boneka yang berbentuk orang, kucing, anjing atau kera, karena itu tidak dimaksudkan untuk diagungkan, dan anak-anak biasanya bermain-main dengan itu.
Dasar dari hal itu adalah hadits 'Aisyah ra, bahwa ia pernah bermain-main dengan boneka teman-temannya, dan Nabi merasa gembira dengan kedatangan mereka.
Termasuk yang dikecualikan adalah patung-patungan atau gambar yang dibuat dari manisan atau permen dan diperjualbelikan pada musim-musim tertentu, kemudian setelah itu dimakan.
Termasuk juga yang dikecualikan adalah patung-patung yang sudah dirusak bentuknya seperti dipotong kepalanya, sebagaimana tersebut di dalam hadits Jibril as, ia berkata kepada Rasulullah SAW "Perintahkan agar kepala patung itu dipenggal sehingga seperti bentuk pohon"
Adapun patung-patung setengah badan yang dipasang di alun-alun atau di tempat lainnya yaitu patung raja-raja dan para pemimpin, itu tidak keluar dari lingkup larangan, karena masih tetap diagungkan.
Cara Islam di dalam mengabadikan sejarah para pembesar dan para pahlawan itu berbeda dengan cara Barat. Islam mengabadikan mereka dengan penyebutan yang baik, dan sirah (perjalanan hidup) yang baik yang di sampaikan oleh generasi masa lalu kepada generasi kini untuk dijadikan sebagai teladan dan uswah. Dengan demikian para Nabi, sahabat, Imam, pahlawan dan orang-orang rabbani disebut-sebut oleh lesan kita, meskipun tidak di gambar atau dijadikan patung kemudian di pasang di jalan-jalan.
Karena berapa banyak patung-patung yang tidak dikenal oleh manusia, siapakah sebenarnya tokoh yang dipatungkan itu. Seperti contohnya patung "Ladzu Ghali" di jantung Kairo Mesir. Dan berapa banyak patung-patung yang dilewati oleh manusia tetapi justru dilaknat oleh manusia itu sendiri.
 


GAMBAR FOTOGRAFI
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Tidak diragukan lagi, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan menggambar dan melukis yang dilarang adalah tertuju pada gambargambar yang dipahat atau dilukis, sebagaimana yang telah kami terangkan.
Adapun fotografi yang diambil dengan kamera, itu termasuk barang baru yang di masa Rasulullah SAW belum ada, juga di masa salafus shalih. Apakah itu juga termasuk larangan yang dimuat dalam hadits-hadits tersebut di atas?
Bagi para ulama yang mengharuskan larangan itu pada patung-patung yang berbentuk, maka ini tidak termasuk yang diharamkan, terutama yang tidak utuh sempurna (satu badan).
Adapun pendapat ulama lainnya, apakah fotografi itu disamakan dengan lukisan ataukah tidak--karena alasan untuk mengungguli ciptaan Allah--di sini tidak ada, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli ushul.
Sesungguhnya pendapat yang jelas dalam hal ini adalah apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad Bakhit (Mufti Mesir) dalam risalahnya "Al Jawaabusy-Syafi fi lbaahatit-Tashwir Al Futugrafi." Bahwa sesungguhnya fotografi itu adalah pengambilan gambar yang sudah ada. Dia tidak termasuk membuat gambar yang dilarang, karena yang dilarang adalah membuat gambar yang semula belum ada atau belum dibuat sebelumnya untuk mengungguli ciptan Allah SWT. Hal ini tidak ada pada pengambilan gambar dengan alat kamera."
Ini sebagaimana telah menjadi ketetapan suatu hukum, bahwa esensi gambar itu mempunyai pengaruh di dalam menentukan hukum haram dan tidaknya. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang tidak setuju haramnya gambar yang esensinya bertentangan dengan masalah aqidah atau syari'at dan akhlaq. Seperti gambar-gambar wanita telanjang atau setengah telanjang, menampakkan bagian-bagian tubuh wanita yang merangsang, melukis dan menggambarnya di berbagai tempat yang merangsang syahwat dan membangkitkan keinginan terhadap dunia, sebagaimana yang kita lihat di majalah-majalah, surat-surat kabar dan gedung-gedung film. Semua itu tidak diragukan keharamannya dan keharaman menggambarnya, keharaman mengedarkan gambar-gambar tersebut, keharaman memasangnya di rumah-rumah, kantor-kantor, majalah-majalah, dan dinding, serta keharaman melihat gambar tersebut.
Termasuk foto yang diharamkan adalah foto-foto atau gambar orang-orang kafir, orang-orang zhalim dan orang-orang fasik, dan wajib bagi seorang Muslim untuk memusuhi mereka dan membenci mereka karena Allah. Maka tidak halal bagi seorang Muslim untuk menggambar atau mengambil gambar seorang pemimpin yang mengingkari wujudnya Allah atau orang musyrik yang menyekutukan Allah. Atau orang Yahudi atau Nasrani yang mengingkari kenabian Muhammad SAW. Atau orang-orang yang mengaku Islam tetapi tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah. Atau orang yang menyebarkan kemaksiatan dan kerusakan di masyarakat.
Termasuk juga gambar-gambar yang melambangkan kekafiran seperti simbol-simbol, berhala-berhala dan lain-lainnya.
 


KESIMPULAN HUKUM TENTANG GAMBAR (LUKISAN) DAN PARA PELUKISNYA
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Di sini bisa kita simpulkan mengenai hukum lukisan dan para pelukisnya secara ringkas sebagai berikut:
A. Jenis lukisan (gambar) yang paling berat dosanya adalah gambar sesuatu yang disembah selain Allah. Ini menjadikan pelukisnya (pemahatnya) menjadi kafir apabila dia mengetahui tujuannya. Dalam hal ini gambar yang berbentuk itu lebih berat lagi dosanya dan pengingkaran kita terhadap-Nya. Juga setiap orang yang menyebarkan gambar itu atau mengagungkannya dengan cara apa pun, maka ia masuk ke dalam dosa itu sejauh keikutsertaannya.
B. Tingkat yang kedua dalam besarnya dosa adalah orang yang menggambar sesuatu yang tidak untuk disembah, tetapi dimaksudkan untuk mengungguli ciptaan Allah SWT. Ini mendekati kekufuran dan dia berkait erat dengan niat orang yang menggambar.
C. Satu tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang berbentuk yang tidak disembah, tetapi diagungkan. Seperti gambar raja-raja, para pemimpin dan selain mereka dari tokoh-tokoh yang diabadikan dengan patung dan dipasang di lapangan dan tempat-tempat lainnya. Di sini sama antara yang utuh satu badan atau setengah badan.
D. Tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang berbentuk untuk setiap yang bernyawa, yang tidak disucikan dan diagungkan. Ini disepakati haramnya, kecuali mainan anak-anak atau yang dipakai untuk permen.
E. Tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang tidak berbentuk, berupa lukisan-lukisan yang diagungkan. Seperti lukisan para pengusaha, pemimpin dan lainnya, terutama yang ditempel atau digantung. Semakin kuat haramnya apabila mereka itu adalah orang-orang zhalim, fasik dan kafir, karena mengagungkan mereka berarti merobohkan Islam.
F. Tingkatan di bawahnya lagi adalah gambar-gambar yang tidak berbentuk, mempunyai nyawa yang tidak diagungkan, tetapi sekedar untuk kemewahan. Seperti hiasan dinding, ini hukumnya makruh.
G. Adapun gambar-gambar yang tidak bernyawa seperti pohon, kurma, lautan, kapal, gunung-gunung, awan dan sejenisnya dari pemandangan alam maka tidak berdosa bagi orang yang menggambarnya atau memasangnya, selama tidak mengganggu ketaatan atau tidak untuk kemewahan yang dimakruhkan.
H. Adapun fotografi, pada dasarnya boleh, selama foto itu tidak diharamkan. Kecuali kalau sampai mengkultuskan seseorang, terutama dari orang-orang kafir atau fasik, Komunis dan para artis yang melecehkan nilai-nilai ajaran Islam.
I. Terakhir, sesungguhnya patung-patung dan lukisan-lukisan yang diharamkan atau dimakruhkan, apabila diubah bentuknya atau dihinakan, maka berubah dari lingkup haram dan makruh ke lingkup halal. Seperti gambar-gambar di kain keset yang diinjak-injak oleh kaki dan sandal.
 


BEBERAPA MODEL PENAKWILAN
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Di antara para ulama, ada sebagian yang mencoba menakwilkan hadits-hadits shahih tentang haramnya gambar dan mengambilnya agar mereka bisa mengatakan itu semua diperbolehkan, sampai yang berbentuk sekalipun.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Abu 'Ali Al Farisi di dalam tafsirnya, dari orang yang memahami bahwa kata-kata "Al Mushawwirin" dalam hadits tersebut maksudnya adalah orang-orang yang membuat gambar yang berbentuk, yang menyerupai ciptaan Allah SWT. Ini dikemukakan oleh Abu Ali Al Farisi di dalam kitabnya Al Hujjah. Pendapat ini berlebihan dan tidak kuat.
Sebagaimana juga orang yang menyandarkan kepada apa yang diperbolehkan bagi Sulaiman AS, yang disebutkan dari dalam Al Qur'an sebagai berikut,
"Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dan gedung-gedung yang tinggi, dan patung-patung. . ." (Saba': 1 3)
Mereka yang berpendapat demikian ini tidak menyertakan nasakhnya dalam syari'at kita bahwa dia telah dimansukh (dihapus). Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ja'far An-Nahhas, dan setelah itu diceritakan juga oleh Makky dalam tafsirnya "Al Hidayah ila Bulughin-Nihaayah."
Seperti juga orang (ulama) yang memahami larangan di sini sekedar makruh, dan sesungguhnya kekerasan hukum itu teriadi ketika manusia masih dekat dengan masa jahiliyah, padahal sekarang kondisinya telah berubah.
Pendapat ini bathil, karena saat ini masih banyak orang yang beragama Watsani, bahkan berjuta-juta jumlahnya. Memang pendapat ini pernah dikatakan oleh ulama sebelum mereka, tetapi dicounter oleh Imam Ibnu Daqiq Al 'Id, bahwa pendapat ini tidak benar karena dia menghilangkan alasan yang dikemukakan oleh syari' (hadits), yaitu mereka telah mengungguli ciptaan Allah SWT. Ibnu Daqiq mengatakan, "Alasan ini berlaku secara terus-menerus secara umum, tidak dibatasi oleh masa, dan bukan wewenang kita untuk mengalihkan makna nash-nash yang jelas dengan makna yang bersifat khayalan." 27)
Yang jelas bahwa pendapat ini tidak bisa memberi kepuasan kepada akal seorang Muslim, selain itu tidak sesuai dengan peradaban Islam dan kehidupan yang Islami, meskipun hal itu dilakukan oleh sebagian manusia di sebagian negara, sebagaimana yang kita lihat di Istana Merah di Granada, Andalusia (Spanyol).
27) Lihat Al Ahkam Syarah 'Amdatul Ahkam, Ibnu Daqaiq Al 'Id: 2/171, 173
 


ALTERNATIF UMUM BAGI PERADABAN ISLAM
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Akan tetapi budaya Islam tidak menghendaki adanya gambar-gambar manusia dan binatang, terutama yang berbentuk dan telanjang. Yang dikehendaki adalah yang selain itu (yang tidak bernyawa) dan sesuai dengan aqidah tauhid, bukan yang berbentuk dan identik dengan patung-patung yang disembah, dengan segala macamnya dan tingkatannya.
Dari sinilah maka seni Islam itu beralih kepada bentuk lain yang juga sangat indah dan menarik, seperti yang nampak pada lukisan-lukisan kaligrafi dan hiasan-hiasan yang dibuat oleh seniman Muslim. Sebagaimana terlihat di masjid-masjid, mushaf, gedung-gedung, rumah-rumah dan tempat lainnya di dinding, atap, pintu dan jendela. Bahkan kadang-kadang di lantai dan pada alat-alat perkakas rumah tangga, sprei, sarung bantal, pakaian dan gagang pedang. Dengan menggunakan bahan-bahan dari batu, marmer, kayu, semen, kulit, kaca, kertas, besi, tembaga dan bahan tambang lainnya, yang beraneka ragam.
Termasuk lukisan/hiasan yang menarik adalah kaligrafi Arab dengan berbagai model, tsuluts, naskh, riq'ah, farisi, diwani, kufi dan lainnya. Kaligrafi itu ditulis oleh para khathath (ahli khat) yang ahli, sehingga terlihat sangat indah dan menarik.
Seni kaligrafi dan hiasan itu banyak dipergunakan untuk penulisan mushaf Al Qur'an dan ornamen di masJid-masjid, sebagaimana yang masih bisa kita lihat di Masjid Nabawi, Masjid Qubbatus-Sakhrah (Palestina) Masjid Jami' Al Umawi di Damascus Syiria, Masjid Sultan Ahmad dan Maslid As-Sulaimaniyah di Istanbul Turki, Masjid Sultan Hasan dan Jami' Muhammad Ali di Kairo dan masih banyak lagi masjid di seluruh penjuru dunia Islam yang lainnya.
Terlihat juga seni Islam di bangunan-bangunan megah. Ada ahli sejarah yang mengatakan, "Sesungguhnya seni bangunan itu sebaik-baik yang menampilkan tentang seni Islam, dan ini telah terbukti di berbagai tempat, seperti yang ada di India, ada satu tempat yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang menggambarkan keindahan arsitektur Islam, itulah "Taj Mahal."
Demikianlah, dilarangnya melukis dan memahat (makhluk hidup) tidak menjadi penyebab terpuruknya dunia seni Islam. Bahkan menjadikan seni Islami memiliki ciri khas yang menarik dan keindahan tersendiri.

PERINGATAN AGAR TIDAK MUDAH MENGATAKAN HARAM


PERINGATAN AGAR TIDAK MUDAH MENGATAKAN HARAM

Kita akhiri pembahasan kita kali ini dengan kata-kata terakhir yang kita tujukan kepada yang mulia para pembaca (ulama) yang mudah untuk mengatakan kata-kata haram ketika mereka berfatwa atau ketika mereka menulis dalam buku. Hendaklah mereka muraqabah kepada Allah terhadap ucapan mereka, dan menyadari bahwa kata-kata "Haram" itu sangat berbahaya. Karena itu berarti memutuskan akan datangnya siksa dari Allah bagi yang melakukannya. Ini merupakan suatu permasalahan yang tidak bisa diucapkan dengan main-main atau dengan hadits-hadits dha'if. Tidak pula dengan sekedar berasal keterangan dari "kitab kuning" (sembarang kitab), akan tetapi itu harus berdasarkan dalil atau nash yang shahih dan sharih, atau ijma' yang mu'tabar shahih. Jika tidak ada, maka sesungguhnya lingkup pemaafan dan pembolehan itu sangat luas, dan mereka bisa beruswah kepada ulama salaf.
Imam Malik RA berkata, "Tidak ada sesuatu yang paling berat bagi saya selain ditanya tentang masalah halal dan haram, karena ini merupakan kepastian di dalam hukum Allah SWT. Dan sungguh saya pernah melihat ahlul ilmi dan fiqih di daerah kami, salah seorang di antara mereka itu apabila ditanya tentang masalah seperti ini seakan-akan kematian berada di hadapannya. Tetapi saya juga melihat ulama di zaman sekarang ini telah mengobral fatwa. Seandainya mereka mengetahui apa yang akan mereka hadapi kelak pasti mereka akan berhati-hati. Sesungguhnya Umar bin Khaththab dan Ali serta umumnya para sahabat yang mulia itu, apabila diajukan kepada mereka persoalan-persoalan ummat, mereka mengumpulkan para sahabat Nabi SAW dan mereka bertanya, baru setelah itu mereka berfatwa dengan para sahabat, padahal mereka itu adalah sebaik-baik generasi. Sementara orang-orang sekarang ini telah tertipu dengan kebanggaan mereka, atas dasar ini semua, mereka itu mencari ilmu.
Imam Malik juga berkata, "Sikap yang tidak pernah ada pada ulama salaf kita yang mereka pantas untuk diikuti adalah mereka tidak terbiasa mengatakan, "ini halal" dan "ini haram." Tetapi mereka mengatakan, "Saya tidak suka, saya berpendapat demikian, adapun halal dan haram, itu iftira' terhadap Allah SWT, tidakkah kamu mendengar firman Allah SWT:
"Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tent:ang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagian haram, dan (sebagian) halal, " Katakanlah, "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah." (Yunus: 59)
Karena sesungguhnya yang halal adalah yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, demikian juga yang haram."
Imam Syafi'i menukil dalam kirabnya "Al Um" dari imam Abu Yusuf, muridnya Abu Hahifah, beliau berkata, "Aku melihat guru-guru kita dari ahlul ilmi itu tidak suka berfatwa, dengan mengatakan, "Ini halal" dan "Ini haram" kecuali apa-apa yang ada di dalam kita Allah SWT, dengan nyata, tanpa penafsiran."
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Saib dari Rabi' bin Haitsam (tabi'in yang mulia), ia berkata, "Hendaklah seseorang itu berhati-hati untuk mengatakan, 'Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya', lalu Allah berkata kepadanya, 'Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya!'. atau orang itu mengatakan, 'Sesungguhnya Allah telah mengharamkan ini', kemudian Allah berkata, 'Kamu bohong, saya tidak mengharamkannya dan tidak melarangnya.'"
Telah menceritakan juga kepada kami sebagian teman-teman kami dari Ibrahim An-Nakha'i, bahwa ia menceritakan dari sahabat-sahabatnya, bahwa sesungguhuya mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka mengatakan, "Ini markruh," "Ini tidak apa-apa," adapun mengatakan, "ini halal" dan "Ini haram," adalah amat berat bagi mereka."
 


SENI KEINDAHAN YANG TERLIHAT (SENI LUKIS, KALIGRAFI)
<< Kembali ke Daftar Isi >>

At-Tashwir (Melukis) dalam Perspektif Islam

Al Qur'an menjelaskan tentang melukis atau menggambar, bahwa itu merupakan salah satu perbuatan Allah SWT. Dia yang telah memberi rupa yang indah, terutama terhadap makhluk hidup, dan utamanya lagi manusia. Allah SWT berfirman:
"Dialah (Allah) yang memberi rupa kamu di dalam perut (ibumu) sebagaimana dikehendaki-Nya..." (Ali Imran: 6)
"Dan telah memberi rupa kamu dengan sebaik-baik rupa (bentuk)." (At-Taghabun: 3)
"Yang telah menciptakan kamu lalu menryempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu." (Al Infithar: 7-8)
Al Qur'an juga menjelaskan bahwa sesungguhnya di antara Asma Allah Al Husna adalah "Al Mushawir," sebagaimana di dalam firman Allah SWT,
"Dialah Allah Yang Menciptakan Nama-nama yang Paling Baik ..." (Al Hasyr: 24)
Demikian juga Al Qur'an relah menyebutkan patung-patung di dua tempat; pertama, patung-patung yang dicela dan diingkari, yaitu melalui lisan Ibrahim as, di mana kaumnya telah menjadikan patung-patung itu sebagai sesembahan. Maka Ibrahim mengingkarinya, sambil mengatakan, "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" Mereka menjawab, "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." (Al Anbiya': 52-53)
Yang kedua, disebutkan oleh Al Qur'an dalam nada memberikan karunia kepada Sulaiman as, yang telah ditundukkan kepadanya angin dan jin yang siap bekerja di sisinya atas seizin Tuhannya. Firman Allah.
"Para jin itu bekerja untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dangedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)..." (Saba':13)
 


HUKUM MELUKIS MENURUT SUNNAH NABI
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Adapun Sunnah telah dipadati dengan hadits-hadits shahih, yang sebagian besar mencela gambar dan orang-orang yang menggambar, bahkan sebagian hadits-hadits itu sangat keras dalam melarang dan mengharamkan serta memberikan ancaman kepada mereka, sebagaimana tidak boleh mengambil dan memasang gambar-gambar itu di rumah, dan menjelaskan bahwa malaikat tak mau masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambarnya.
Malaikat merupakan penyebab datangnya rahmat Allah SWT, ridha dan berkah-Nya. Maka apabila dia tidak mau masuk ke dalam rumah, itu berarti bahwa pemilik rumah itu tidak mendapatkan rahmat, ridha dan berkah dari Allah SWT.
Barangsiapa yang merenungkan makna hadits-hadits mengenai lukisan -dan tindakan memasangnya- serta memperbandingkan antara yang, satu dengan yang lainnya, maka akan jelas bahwa larangan, pengharaman dan ancaman di dalam hadits-hadits itu tidak asal-asalan. Tidak pula apriori, tetapi dibelakanganya ada sebab dan alasan, tujuan yang jelas di mana syara' sangat memelihara dan mewujudkannya.

Menggambar sesuatu yang diagungkan dan dikultuskan

Sebagian gambar (patung) dimaksudkan untuk mengagungkan yang digambar. Ini pun bertingkat-tingkat, dari sekedar peringatan sampai ke tingkat pengkultusan, bahkan sampai pada beribadah kepadanya.
Sejarah watsanniyat (keberhalaan) membuktikan bahwa mereka berawal dari pembuatan gambar atau patung untuk kenang-kenangan, tetapi kemudian sampai pada tingkat pengkultusan dan beribadah.
Ahli tafsir menjelaskan tentang firman Allah SWT melalui lisan Nuh AS, "Dan mereka berkata, "Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwa', yaghuts, ya'uq dan nasr." (Nuh: 23) "Bahwa nama berhala yang telah disebutkan dalam ayat tersebut semula adalah nama-nama orang-orang shalih, tetapi ketika mereka meninggal dunia, syetan membisiki kaum mereka agar memasang di majelis-majelis mereka dan menamakan mereka dengan namanya. Maka kaum itu pun melakukannya. Semula tidak disembah, tetapi setelah generasi mereka hancur dan ilmu telah dilupakan, ketika itulah patung-patung tersebut disembah." (HR. Bukhari)
Dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Ketika Rasulullah SAW sakit beliau menyebutkan kepada sebagian isterinya, bahwa ada gereja yang diberi nama "MARlA." Saat itu Ummu Salamah dan Ummu Habibah datang ke bumi Habasyah, maka keduanya menceritakan bagusnya gereja itu dan di dalamnya terdapat patung-patung. Maka Rasulullah SAW mengangkat kepalanya, lalu mengatakan, "Mereka itu apabila ada orang di kalangan mereka yang mati mereka membangun masjid di kuburannya, kemudian mereka meletakkan gambar patung di atasnya, mereka itulah seburuk-buruk makhluk Allah." (HR. Muttafaqun 'alaih)
Satu hal yang dimaklumi bahwa gambar-gambar patung itu adalah yang paling laku di kalangan orang-orang kafir watsaniyah. Sebagaimana terjadi pada kaum Nabi Ibrahim, di kalangan masyarakat Mesir kuno, bangsa Yunani, Rumawi dan India sampai hari ini.
Kaum Nasrani ketika berada di bawah kekuasaan Konstantinopel Imperium Rumawi telah banyak dimasuki oleh ornamen-ornamen watsaniyah dari Rumawi.
Barangkali sebagian hadits yang mengancam keras terhadap gambar adalah dimaksudkan untuk mereka yang membuat tuhan-tuhan palsu dan sesembahan yang beraneka ragam di kalangan ummat yang bermacam-macam, demikian itu seperti haditsnya Ibnu Mas'ud RA, marfu':
"Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya di sisi Allah adalah orang-orang yang menggambar." (HR. Muttafaqun 'alaih)
Imam Nawawi berkata, "Ini dimaksudkan bagi orang yang membuat patung untuk disembah, dia adalah pembuat berhala dan sejenisnya. Ini adalah kafir yang sangat berat siksanya. Ada juga yang mengatakan, "Ini maksudnya adalah untuk mengungguli ciptaan Allah SWT dan ia meyakini hal itu, maka ini kafir yang lebih berat lagi siksanya daripada orang kafir biasa, dan siksanya bertambah karena bertambah buruknya kekufuran dia." 26)
Sesungguhnya Imam Nawawi mengemukakan hal tersebut, padahal dia termasuk orang-orang yang keras di dalam mengharamkan gambar dan pembuatannya. Karena tidak terbayangkan menurut tujuan syari'i bahwa tukang gambar biasa itu lebih berat siksanya daripada orang yang membunuh, berbuat zina, peminum khamr, pemakan riba dan pemberi saksi palsu dan yang lainnya dari orang-orang yang berbuat dosa-dosa besar dan kerusakan.
Masyruq pernah meriwayatkan hadits Ibnu Mas'ud -yang telah disebutkan- ketika dia dan temannya masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung, maka Masruq berkata, "Ini adalah patung-patung Kisra," temannya berkata pula, "Ini adalah patung-patung Maryam," maka kemudian Masruq meriwayatkan haditsnya.

Menggambar Sesuatu yang dianggap termasuk Syi'ar Agama Lain

Yang lebih mendekati dari jenis pertama adalah gambar yang menunjukkan syi'ar agama tertentu selain agama Islam. Seperti salib menurut orang-orang Nasrani, maka setiap gambar yang berbentuk salib itu diharamkan, dan wajib bagi seorang Muslim menghilangkannya.
"Aisyah RA menceritakan bahwa Rasulullah SAW tidak membiarkan di rumahnya sesuatu yang berbentuk salib kecuali merusaknya (HR. Bukhari)

Mengungguli Ciptaan Allah

Mengungguli ciptaan Allah SWT, dengan pengakuan bahwa ia juga menciptakan seperti Allah SWT. Yang jelas hal ini terkait erat dengan tujuan (motivasi) dari pelukisnya. Meskipun ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang menggambar itu berarti merasa mengungguli ciptaan Allah.
'Aisyah RA meriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda, "Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang mengungguli ciptaan Allah." (Muttafaqun 'alaih)
Ancaman yang keras ini memberi satu pengertian bahwa mereka itu bermaksud mengungguli ciptaan Allah. Inilah makna yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di dalam syarah Muslim, karena tidak bermaksud demikian kecuali orang yang kafir.
Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman (dalam hadits qudsi), "Siapakah yang lebih menganiaya daripada orang yang pergi untuk mencipta seperti ciptaanku (melukis), maka hendaklah mereka menciptakan jagung, dan hendaklah menciptakan biji-bijian, atau hendaklah menciptakan gandum." (Muttafaqun 'alaih)
lni menunjukkan kesenjangan dan maksud untuk mengungguli ciptaan Allah SWT. Inilah rahasia tantangan Allah SWT terhadap mereka pada hari kiamat, saat dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan!," ini perintah untuk melemahkan, sebagaimana pendapat ahli ushul.

Gambar atau Lukisan Termasuk Fenomena Kemewahan

Jika gambar itu di jadikan sebagai sarana kemewahan, maka ini termasuk yang tidak diperbolehkan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di rumahnya.
'Aisyah RA meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dalam peperangan, maka 'Aisyah pernah memasang kain untuk tutup (gorden) di pintunya. Ketika Nabi SAW datang, beliau melihat penutup itu, maka Rasulullah SAW menarik dan merobeknya, kemudian bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk memberi pakaian batu atau tanah liat." 'Aisyah berkata, "Maka kami memotongnya dari kain itu untuk dua bantal dan kami isi bantal itu dengan kulit pohon yang tipis kering, maka beliau tidak mencela itu kepadaku ." (Muttafaqun 'alaih)
Keterangan seperti dalam hadits ini "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita," berarti itu tidak wajib dan tidak sunnah, tetapi lebih menunjukkan makruh tanzih. Sebagaimana dikatakan oleh imam Nawawi (di dalam syarah Muslim), bahwa rumah Rasulullah SAW haruslah menjadi uswah dan teladan bagi manusia untuk dapat mengatasi keindahan dunia dan kemewahannya.
Ini dikuatkan oleh hadits Aisyah lainnya, beliau mengatakan, "Kami pernah mempunyai gorden yang bergambar burung, sehingga setiap orang yang mau ke rumah kami, dia selalu melihatnya (menghadap). Maka Rasulullah SAW bersabda kepadaku, "Pindahkan gambar ini, sesungguhnya setiap aku masuk (ke rumah ini) aku melihatnya, sehingga aku ingat dunia." (HR. Muslim)
Di dalam hadits lain juga diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, dari 'Aisyah ra, sesungguhnya 'Aisyah pernah mempunyai baju yang ada gambarnya yang dipasang di pintu, dan Nabi kalau shalat menghadap gambar itu. Maka Nabi bersabda, "Singkirkan dariku, 'Aisyah berkata, "Maka aku singkirkan dan aku buat untuk bantal."
Ini semuanya menunjukkan bahwa kemewahan dan kenikmatan, termasuk makruh, bukan haram, tetapi Imam Nawawi mengatakan. "Ini difahami sebelum diharamkannya mengambil gambar, oleh karena itu Nabi SAW masuk melihatnya, tetapi tidak mengingkarinya dengan keras." (Syarah Muslim)
Artinya Imam Nawawi berpendapat bahwa hadits-hadits yang zhahirnya haram itu menasakh (menghapus) terhadap hadits ini tetapi nasakh ini tidak bisa ditetapkan sekedar perkiraan. Karena penetapan nasakh seperti ini harus didukung oleh dua syarat; pertama, benar-benar terjadi pertentangan antara dua nash, yang tidak mungkin dikompromikan di antara keduanya, padahal masih mungkin dikompromikan, yaitu dengan maksud bahwa hadits-hadits yang mengharamkan itu artinya mengungguli ciptaan Allah SWT atau khusus untuk gambar yang berbentuk (yang memiliki bayangan).
Yang kedua, artinya harus mengetahui mana yang terakhir dari nash itu, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang diharamkan itu yang terakhir. Bahkan menurut pendapat Imam Thahawi di dalam kitab "Musykilul Atsar" sebaliknya, di mana mula-mula Islam sangat hersikap keras dalam masalah gambar, karena masih berdekatan dengan masa jahiliyah, kemudian diberikan keringanan untuk gambar-gambar yang tidak berbentuk, artinya yang menempel di kain dan lainnya.
Di dalam hadits lainnya 'Aisyah RA meriwayatkan bahwa ia membeli bantal kecil yang bergambar, maka ketika Rasulullah SAW melihatnya lalu berdiri di hadapan pintu, tidak mau masuk. Kata 'Aisyah, "Aku melihat dari wajahnya ketidaksukaan." Maka aku berkata, "Wahai Rasululiah SAW, aku bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya, dosa apakah yang aku lakukan?," maka Nabi bersabda, "Untuk apa bantal kecil ini?" saya menjawab, "Saya membelinya untukmu agar engkau bisa duduk di atasnya dan bisa engkau tiduri," maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan."
Rasulullah SAW juga bersabda, "Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar, tidak dimasuki malaikat." (HR. Muttafaqun 'Alaih)