Kufur Nikmat Menyebabkan Rahmat Menjadi Laknat


Kufur Nikmat Menyebabkan Rahmat Menjadi Laknat

"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada orang yang merasa aman dari azab Allah kecuali mereka adalah orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka karena dosa-dosanya. Dan kami kunci mati hati mereka, sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?" (Al-A'raaf: 99 -- 100).
Sebelum turun peringatan itu, Allah 'Azza wa Jalla lebih dulu berjanji akan menurunkan berkah-Nya dari langit dan dari bumi pada suatu negeri yang masyarakatnya beriman serta bertaqwa, sebagai sarana pemakmuran dan penentraman kehidupan. Namun, sayangnya kebanyakan manusia cenderung malalaikan peringatan itu dan mengingkari nikmat Allah. Sehingga, turunlah ketetapan hukum-Nya terhadap mereka, yakni siksaan dan hinaan sehina-hinanya didunia dan akhirat (7: 96).
Ayat pembuka di atas adalah peringatan kepada siapa saja yang lalai dalam mengemban amanah Allah untuk senantiasa menjaga kehidupan dari hal-hal yang merusak. Alam adalah nikmat sempurna Allah SWT yang dipersembahkan kepada umat mnusia. Karena itu, manusia wajib mensyukurinya dengan cara memelihara kelestariannya serta mempertahankannya sekuat mungkin dari upaya-upaya destruktif.
Alam ini penuh dengan semilyar pesona dan keistimewaan-keistimewaan yang luar biasa, karena itu hanya dipersembahkan pada manusia, sebagai mahluk ciptaan-Nya yang paling istimewa dari segi jatah pemberian rezeki dari penciptanya.
Bukanlah Allah telah ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik ciptaan diantara ciptaan-Nya yang lain? Bukankah lama dan seluruh habitat tempat manusia berdiam telah diformat dalam keadan "siap pakai" dengan semua hukum alam yang pasti dan tetap, sebagai sarana penunjang kelangsungan hidup manusia?
Dan jangan lupa, selain nikmat yang bersifat zahir itu (sarana hidup), Allah juga menyempurnakan nikmat manusia dengan memberikan mereka pedoman hidup sempurna (Islam) (31: 20). Sehingga, dengan sarana dan pedoman hidup sempurna yang Allah karuniakan kepada manusia, seyogyanya mereka dengan survive, hidup mulia, makmur dan tenram. Dengan kata lain, manusia mestinya mampu eksis sebagai khalifah-khalifah Allah di atas muka bumi dengan penuh izzah dan kewibawaan.
Sebagai khalifah Allah di atas muka bumi, ada dua tugas pokok penting yang harus diemban dan ditunaikan mnusia sampai hari kiamat. Yang pertama, memakmurkan bumi (al-'Imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak mana pun (ar-Ri'ayah).
Memakmurkan Bumi
Terkait dengan tugas ini, ada kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT kepada manusia, yakni mereka harus mengekplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka, sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap memelihara kekayaan agar tidak punah. Sehingga, generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
Dengan begitu ada beberapa hal yang harus diperhatikan manusia dalam menggali kekayaan bumi. Pertama, menggunakan friendly technology (teknologi ramah lingkungan). Apa pun usaha pemanfataan kekayan alam, entah pertambangan, pertanian, usaha, kehutanan, industri dan lain-lain haruslah dengan memberi satu garansi, bahwa ekosistem alam tidak menjadi rusak, tidak membuat hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan udara menjadi punah dan tercemar racun-racun yang membahayakan kehidupan.
Kedua, adanya konsep corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan). Perusahaan atau korporasi yang bertanggung jawab tak selayaknya mendirikan bangunan-bangunan industrinya dengan megah, namun tak memberi pemberdayaan baik secara material, akal, maupun spiritual bagi warga setempat. Logikanya, masyarakat sekitar lokasi industri yang tercukupi secara materi dan tercerahkan akal spiritualnya, akan ikut bertanggung jawab memelihara ekosistem alam.
Ketiga, menjalankan usaha dengan cara-cara bersaing yang sehat. Dengan demikian, sebuah usaha yang baik tidak akan dijalankan dengan cara monopoli tanpa memberi orang lain kesempatan untuk berusaha dalam bidang yang sama.
Memelihara Bumi
Memelihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak para SDM (sumber daya manusia) sebuah perusahaan serta lingkungannya dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Karena SDM yang rusak akan sangat potensial merusak alam. Dengan demikian, premis ini menuntut bahwa setiap jenis usaha apa pun harus memperhatikan hal-hal berikut:
Pertama, tidak membiarkan SDM perusahaan melakukan kebiasaan-kebiasaan merusak (menonton film-film porno, mabuk, judi, main perempuan, dan sebagainya).
Kedua, tidak mengizinkan lingkungan sekitar berdiri sarana-sarana kemaksiatan.
Ketiga, tidak membiarkan berkembangnya sarana-saran yang memungkinkan tumbuhnya tradisi syirik dan kekerasan.
Keempa, menjatuhkan saksi yang berat bagi para perusak akidah dan akhlak.
Kelima, menumbuhsuburkan kegiatan-kegiatan keagamaan secara kontinyu dan baik.
Adalah wajar bila Islam berkepentingan agar manusia secara kolektif berjuang keras (berjihad) agar syariat-Nya tegak di atas muka bumi. Karena, hanya Islam yang paling lengkap daan concern aturannya dalam menjaga kelangsungan hidup, dan dalam memelihara ekosistem alam.
"Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karen orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena dia membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya." (Al-Maaidah: 32).
Dalam ayat lain Allah menyuruh manusia agar giat menggali karunia-Nya untuk investasi di akhirat. Ini berarti konsep pembangunan negara dan bangsa haruslah berwawasan ketuhanan (berwawasan tauhidullah). Allah SWT melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi, karena Dia tidak menyukai kamu perusak (destroyer). Dengan spirit inilah generasi awal Islam membangun dan berperang dengan rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, Islam datang tidak membawa bencana, tetapi bahkan sebaliknya, ia membawa rahmat.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Dan janganlan kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Jangan berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Al-Qashash: 77).
Kalau kita mau merenung sejenak memikirkan tentang bencana demi bencana yang tak putus menimpa bangsa Indonesia, seharusnya kita mengintrospeksi tindakan kita dan kebijakkan-kebijakkan pembangunan negara selama ini. Jikalau turunnya hujan yang semestinya membawa rahmat tetapi malah berubah menjadi bencana, sekali lagi, hal itu patut patut kita renungkan. Jangan-jangan banyak sekali kelalaian-kelalaian, baik disengaja maupun tidak, yang kita lakukan sehingga kita tidak amanah di dalam mengelola kehidupan. Alam kita biarkan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, boleh jadi kita termasuk yang langsung atau tidak langsung melakukan proses perusakan itu.
Banjir telah menggenangkan berbagai wilayah di tanah air. Di wilayah ibu kota DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang dan beberapa kota di pulau Jawa, titik-titik daerah banjir kian meluas. Volume banjir kali ini memang terbesar dalam lima tahun terakhir.
Alangkah bijaknya bila bencana hujan kali ini yang menimpa berbagai wilayah di Indonesia, kita jadikan bahan instrospeksi. Yang penulis maksud dengan "kita" adalah pemerintah dan rakyat. Agar kedua komponen bangsa itu membangun kesadaran secara bersama untuk kembali kepada jalan Allah. Kembali memperhatikan peraturan-peraturan-Nya tentang pemeliharaan kehidupan, agar kita menjadi orang-orang yang amanah sekaligus menjadi bangsa yang pandai mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Maka, tidak ada salahnya jika musibah banjir kali ini kita jadikan momentum pertaubatan nasional. Wallahu a'lam.

Takwa


Takwa


"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2 -- 3).
Makna Takwa
Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan takwa. Di antaranya, Imam ar-Raghib al-Ashfahani mendefinisikan: "Takwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan."
Imam an-Nawawi mendefinisikan takwa dengan "menaati perintah dan larangan-Nya." Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan azab Allah. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam al-Jurjani, "Taqwa yaitu menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya."
Karena itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertakwa. Maka, orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua tangannya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk oleh Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa. Jadi, orang yang membangkang perintah Allah serta melakukan apa yang dilarang-Nya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertakwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertakwa.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: "Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya."
Alangkah agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah: "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya."
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri." (Al-A'raf: 96).
Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandainya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan takwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka mendapatkannya dari segala arah.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Alquran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka." (Al-Ma'idah: 66).
Allah mengabarkan tentang ahli kitab, 'Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Taurat, Injil pada dan Alquran, demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas dalam menafsirkan ayat tersebut, niscaya Allah memperbanyak rezeki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh untuk mereka dari bumi. Syekh Yahya bin Umar al-Andalusi berkata: "Allah menghendaki, wallahu a'lam, bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat, Injil dan Alquran niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Maknanya, wallahu'alam, niscaya mereka diberi kelapangan dan kesempurnaan nikmat dunia,"
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam al-Qurthubi mengatakan, "Dan sejenis dengan ayat ini adalah firman Allah:
"Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2 -- 3).
"Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)." (Al-Jin: 16).
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi." (Al-A'raf: 96).
Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketakwaan di antara sebab-sebab rezeki dan menjanjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur. Allah berfirman, "Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu." (Ibrahim: 7).
Oleh karena itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rezeki dan kemakmuran hidup hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga hendaknya ia menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan. 

Menghidupkan Semangat Rendah Hati dan Menghilangkan Sifat Sombong


Menghidupkan Semangat Rendah Hati  dan Menghilangkan Sifat Sombong


"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku." (Al-A'raf: 146).
Takabbur atau sombong adalah lawan kata dari tawaddu' atau rendah hati, dan merupakan salah satu jenis penyakit hati yang telah memakan banyak korban, seperti Raja Fir'aun dan bala tentaranya, Namrud, Abu Jahal dan Abu lahab, kaum Yahudi dan masih banyak lagi.
Menurut tata bahasa, "takabbur" semakna dengan ta'azhzum, yakni menampak-nampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa agung dan besar. Penyusun kamus Lisanul Arab mengatakan "takabbur dan istikbar ialah ta'azhzum, merasa besar dan menampak-nampakkan kebesarannya (sombong)."
Perbedaan antara takabur, ujub dan ghurur adalah bahwa ujub itu mengagumi atau membanggakan diri dari segala seuatu yang timbul darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan tapi tidak merendahkan dan meremehkan orang lain.
Ghurur adalah sikap ujub yang ditambah sikap meremehkan dan menganggap kecil apa yang timbul dari orang lain tapi tidak merendahkan orang lain.
"Tidaklah masuk surga orang yang didalam hatinya ada penyakit kibr (takabbur) meskipun hanya seberat dzarroh." Kemudian ada seorang laki-laki berkata : "Sesungguhnya seseorang itu suka pakaiannya bagus dan sandalnya/sepatunya bagus." Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kibr (takabbur/sombong) itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain." (HR Muslim).

Sebab-Sebab Takabur

  1. Rusaknya penilaian dan tolak ukur kemuliaan manusia.
    Di antara faktor yang menyebabkan timbulnya takabur ialah terjadinya nilai dan cara pandang manusia yang rusak. Mereka memandang mulia dan hormat kepada orang-orang yang kaya harta, meskipun dia itu ahli maksiat dan menjauhi manhaj dan aturan Allah. Orang yang hidup dalam kondisi seperti ini sudah barang tentu akan begitu mudah sombong, merendahkan dan meremehkan orang lain, kecuali orang yang dirahmati Allah.
    "Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaika kepada mereka ? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar." (Al-Mu'minun: 55 -- 56).
    "Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diadzab. Katakanlah: 'Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rizki bagi siapa yang dikehandi-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang di kehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan pula anak-anak kamu yang mendekatkatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa ditempat-tempat yang tinggi (dalam surga)'." (Saba': 35 -- 37).
  2. Membandingkan nikmat yang diperolehnya dengan yang diperoleh orang lain dengan melupakan Pemberi nikmat.
    "Dan berikanlah kepada mereka (orang-orang mukmin dan orang-orang kafir) sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang." (Al-Kahfi: 32).
    "Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: 'Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat'." (Al-Kahfi: 34).
  3. Sikap tawadhu' orang lain yang berlebihan.
    Kadang-kadang ada sebagian orang yang bersikap tawadhu' secara berlebihan hingga tidak mau berhias dan mengenakan pakaian yang bagus, tidak peduli terhadap orang lain, bahkan tidak mau tampil ke depan untuk memikul amanat dan tanggung jawab. Sikap yang demikian ini kadang-kadang menimbulkan kesan negatif pada sebagian orang yang melihatnya, yang tidak mengetahui hakekat masalah sebenarnya. Lalu setan membisikkan ke dalam hatinya bahwa orang tersebut tidak menghias diri, tidak mengenakan pakaian bagus, dan tidak pernah tampil ke dalam mengurusi urusan umat adalah semata-mata karena miskin dan tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab. Anggapannya ini kemudian berkembang dengan memandang orang tersebut dengan pandangan rendah dan hina, dan sebaliknya menganggap dirinya lebih besar dan lebih agung. Inilah dia penyakit takabur telah muncul. Alquran dan Sunnah telah mengantisipasi masalah ini. Karena itu disuruhnya manusia menampakkan nikmat yang diberikan Allah kepadanya.
    "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (Adh-Dhuhaa: 11).
    Sabda Nabi saw, "Sesungguhnya Allah itu bagus dan menyukai keindahan." (HR Muslim).
    Para salaf mengerti betul akan hal ini, karena itu mereka sangat antusias menceritakan nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada mereka (dengan penuh rasa syukur, bukan sombong) dan mencela orang yang melalaikan hal ini. Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu 'anhu berkata, "Bila engkau memperoleh kebaikan atau melakukan kebaikan, maka ceritakanlah kepada orang yang dapat dipercaya dari antara teman-temanmu." (Al-Qurtubi, al-Jami' li Ahkamil Qur'an) .
  4. Mengira nikmat yang diperolehnya akan kekal dan tidak akan lenyap.
    "Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya. Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu'." (Al-Kahfi: 35 -- 36).
  5. Karena mengungguli yang lain dalam memperoleh keutamaan.
    Adakalanya yang memicu takabur bagi seseorang ialah karena lebih unggul dari pada yang lain dalam keutamaan, atau lebih banyak melakukan keutamaan-keutamaan, misalnya dalam bidang ilmu, dakwah, jihad, pendidikan dll. Keunggulan semata-mata tidak ada artinya di hadapan Allah kalau tidak disertai dengan keikhlasan dan kejujuran. (Al-Hasyr: 8 -- 10).
  6. Melupakan akibat buruk takabur.
    Di antara sebab timbulnya rasa takabbur adalah melupakan akan akibat buruknya.

Akibat Buruk dari Takabur

  1. Terhalang dari memperhatikan dan mengambil pelajaran terhadap sesuatu.
    Hal ini disebabkan orang yang takabur merasa lebih tinggi dari hamba-hamba Allah yang lain. Maka, secara sadar atau tidak sadar ia telah melampaui batas hingga menempati kedudukan Ilahi. Orang seperti ini sudah barang tentu akan terkena sangsi, dan sangsi atau hukuman yang pertama ialah terhalang dari memperhatikan dan mengambil pelajaran terhadap sesuatu.
    " Dan betapa banyak tanda-tanda di langit dan dibumi yang mereka lewati, tetapi mereka berpaling dari padanya." (Yusuf: 105).
  2. Kegoncangan jiwa.
    Orang yang takabur dan merasa lebih tinggi dari pada orang lain, berkeinginan agar orang lain menundukkan kepala kepadanya. Tetapi, harga diri manusia sudah barang tentu tidak mau berbuat demikian, dan memang pada dasarnya mereka tidak disiapkan untuk hal itu. Sebagai akibatnya timbulah kegoncangan dalam jiwanya.
    "Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit." (Thaha: 124).
    "Dan barang siapa berpaling dari peringatan Tuhannya, Tuhan akan memberinya siksaan yang berat." (Al-Jin: 17).
  3. Selalu dalam keadaan aib dan kekurangan.
    Hal ini disebabkan orang yang sombong mengira dirinya telah sempurna dalam segala hal, maka ia tidak mau intropeksi diri sehingga ia tidak mau menerima nasihat, pengarahan, dan bimbingan dari orang lain.
    "(Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan ia telah meliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (Al-Baqarah: 81).
  4. Terhalang untuk masuk surga.
    Dan Rasullullah saw telah bersabda, "Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat zarrah dari takabbur...." (HR Muslim).

Cara Mengobati Takabur

  1. Mengingat akibat-akibat dan bahaya yang ditimbulkan oleh takabur, baik yang mengenai dirinya sendiri maupun mengenai amal Islami, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi.
  2. Menengok orang sakit, meyaksikan orang yang akan meninggal dunia, menolong kesusahan, mengantarkan janazah dan ziarah kubur.
  3. Tidak berteman dengan orang-orang yang takabur dan sebaliknya bersahabat dengan orang-orang yang tawadhu' dan ahli ibadah.
  4. Suka duduk-duduk bersama orang lemah, orang fakir dan miskin, bahkan makan dan minum bersama mereka, karena hal ini akan dapat membersihkan jiwa dan mengenbalikannya ke jalan yang lurus.
  5. Suka memikirkan dirinya dan alam semesta, bahkan merenungkan semua nikmat yang diperolehnya sejak yang paling kecil hingga yang paling besar. Siapakah sumber semua itu? Siapakah yang dapat menahan dan menghalanginya? Dengan jalan bagaimanakah seorang hamba berhak mendapatkannya? Bagaimanakah keadaan dirinya seandainya salah satu kenikmatan itu dicabut, apalagi bila dicabut seluruhnya?
  6. Memeprhatikan riwayat-riwayat orang takabur, bagaimana keadaan mereka dan bagaimana akhirnya, sejak iblis, Namrud, Fir'aun, Haman, Qorun, Abu Jahal hingga para thaghut-yhaghut, para dictator dan orang-orang yang gemar berbuat dosa pada setiap waktu dan tempat.
  7. Menghadiri majlis-majlis taklim yang diasuh oleh ulama-ulama yang bisa dipercaya dan sadar akan tugas, kewajiban dan akan dirinya. Lebih-lebih majlis yang di dalamnya sering diisi dengan peringatan-peringatan dan penyucian jiwa.
  8. Meminta maaf kepada orang yang disombongi dan dihinanya.
  9. Menampakkan nikmat yang diberikan Allah kepada dirinya dan menceritakannya kepada orang lain.
  10. Selalu mengingat tolak ukur keutamaan dan kemajuan Islam.
    "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu pada pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa." (Al-Hujarat: 13).
  11. Rajin melakukan ketaatan, karena dengan melakukan ketaatan semata-mata mencari ridha Allah ini akan dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran dan kehinaan-kehinaan, bahkan akan meningkat ke derajat yang lebih tinggi.
    "Barangsiapa yang melakukan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia beriman maka benar-benar Kami akan memberinya kehidupan yang baik...."(An-Nahl: 97).
  12. Melakukan introspeksi untuk mengetahui penyakit-penyakit hatinya sampai dapat mengobatinya hingga kelak akan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan.
  13. Selalu meminta pertolongan kepada Allah SWT karena Dia akan menolong orang yang meminta pertolongan kepada-Nya dan akan mengabulkan doa orang-orang yang sungguh memohon kepada-Nya.
    "Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina'."(Al-Mu'min: 60). 

Adab Doa dan Faedahnya


Adab Doa dan Faedahnya


"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (Al-A'raaf: 55 -- 56).
Ada beberapa point penting yang dapat kita petik dari firman Allah di atas, yaitu sebagai berikut:

  1. Berdoa hanya kepada Allah Ta'ala, karena hanya Allah semata yang berhak disembah, dan doa adalah termasuk ibadah yang merupakan perwujudan dari penyembahan kepada Allah. Bahkan, inti ibadah itu sendiri adalah doa.
  2. Merendahkan diri dalam berdoa adalah suatu yang mutlak wajib, karena manusia itu lemah, jadi sudah sewajarnya kita menampakkan kelemahan kita di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, Pencipta alam semesta, disertai dengan rasa takut tidak diterima dan rasa penuh harap akan diterima, akan memberi nilai tak ternilai dalam sebuah doa.
  3. Berdoa dengan suara yang lemah lembut, bukan keras-keras yang mengganggu, apalagi berirama seperti mendendangkan lagu-lagu.
  4. Jangan melampaui batas yang Allah tentukan.
  5. Jangan berbuat kerusakan di muka bumi dengan segala bentuk kerusakan, kecil maupun besar.
  6. Perintah berbuat baik selain berdoa, karena rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Jika ada yang berdoa namun masih suka berbuat kemungkaran adalah sangat wajar kalau doanya tidak dikabulkan.

Selain itu, ada beberapa faidah tentang menyembunyikan doa atau mengucapkannya dengan suara yang lemah lembut sebagaimana disebutkan Ibnu Qayyim dalam tafsirnya:

  1. Mencerminkan iman yang lebih besar. Sebab, orang yang berdoa tahu bahwa Allah pasti mendengar doanya yang diucapkan dengan suara lembut itu, karena Allah Maha Mndengar lagi Maha Mengetahui.
  2. Mencerminkan adab dan pengagungan yang lebih besar. Ketika engkau menyampaikan permohonan dan permintaan kepada seorang raja, engkau tentu tidak menyampaikannya dengan suara yang keras, tetapi engkau akan merendahkan volume suaramu dan memelankannya sebatas raja bisa mendengarnya. Sesungguhnya Allah mempunyai perumpamaan yang lebih tinggi. Jika Allah mendengar doa dengan suara yang lembut, maka tidak ada adab yang lebih tepat di hadapan-Nya selain dengan merendahkan suara ketika berdoa kepada-Nya.
  3. Melembutkan suara lebih pas untuk merendahkan diri dan khusyu'. Padahal, merendahkan diri dan khusyu' itu merupakan roh doa, inti, dan maksudnya. Orang yang khusyu' dan merendahkan diri memohon layaknya orang yang hina dan miskin yang hatinya lembut, anggota tubuhnya tunduk dan suaranya lemah, sampai-sampai kehinaan, kemiskinan, dan kelemahan hatinya membuat lidahnya seakan kelu tak mampu berucap kata. Hatinya meminta dan berharap. Karena kehinaan dan ketundukkannya, lidahnya menjadi diam tak bergerak. Keadaan ini sama sekali tidak akan terjadi jika suara dinyaringkan ketika berdoa.
  4. Lebih menggambarkan keikhlasan.
  5. Lebih dapat menyatukan hati dengan Allah dalam doa. Sebaliknya, menyaringkan suara bisa memisahkan hati dan menjauhkannya dari Allah. Dengan melemahkan suara lebih mudah untuk memuji-Nya, membebaskan hasrat dan tujuan kepada Dzat yang dimohon kepada-Nya.
  6. Yang ini termasuk rahasia doa yang sangat mengagumkan, bahwa melembutkan suara dalam berdoa menunjukkan kedekatan pelakunya dengan Allah. Karena kedekatan dan kebersamaan inilah, dia memohon kepada Allah. Dia menyampaikan permohonan layaknya bisikan seseorang kepada orang yang sangat dekat dengannya, bukan seruan seseorang kepada orang yang jauh darinya. Karena itu, Allah memuji hamba-Nya, Nabi Zakariya, dengan firmannya yang artinya, "Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang lembut." (Maryam: 3). Selagi hati merasakan kedekatan dengan Allah, bahwasanya Allahlah yang paling dekat dengannya dari segala seuatu, tentu ia akan melembutkan doanya semaksimal mungkin.
  7. Lebih menggambarkan keberlangsungan permintaan dan permohonan, karena dengan begitu lisan tidak mudah jenuh dan anggota tubuh tidak mudah letih.
  8. Menyembunyikan doa lebih menjauhkan berbagai macam penghalang, kekalutan dan hal-hal yang melemahkan.
  9. Nikmat yang paling agung ialah menghadap kepada Allah, beribadah kepada-Nya dan menyendiri dengan-Nya, disamping setiap nikmat ada pendengki menurut takarannya, besar maupun kecil. Tidak ada nikmat yang lebih besar daripada nikmat ini. Maka, tidak ada yang lebih menyelamatkan diri orang yang didengki selain dengan menyembunyikan nikmatnya dari orang yang mendengkinya, dan tidak menampakkannya.

Kesimpulannya, marilah kita dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan rasul-Nya agar doa kita terijabah dan diterima. Kalau kita mau berpikir dan merenung sejenak, mengapa begitu banyak doa yang sudah kita panjatkan untuk kebaikan bangsa ini, namun sepertinya ijabah menjadi hal langka dan sulit dijangkau, padahal ia dekat. Kita rupanya masih berdoa dengan cara kita sendiri, kita masih banyak berbuat maksiyat daripada mematuhi perintah Allah dan rasul-Nya. Mengabulkan adalah hak mutlak Allah semata, agar permohonan dikabulkan, mohonlah dengan cara yang Allah tentukan. Wallahu a'lam.

Bertawakal kepada Allah


Bertawakal kepada Allah


"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2 -- 3).
Termasuk di antara sebab diturunkannya rezeki adalah bertawakal kepada Allah dan hanya kepada-Nya tempat bergantung.
Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para ulama ?semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan? telah menjelaskan makna tawakal. Di antaranya adalah Imam al-Ghazali, beliau berkata, "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang di-tawakali) semata."
Al-Allamah al-Manawi berkata, "Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakali."
Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, al-Mulla Ali al-Qori berkata, "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati, dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada) semuanya itu adalah dari Allah."
Dalil Syar'i bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Qhudha'i dan al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda, "Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."
Dalam hadis yang mulia ini, Rasulullah yang berbicara dengan wahyu menjelaskan orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rezeki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberi-Nya rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakal kepada Dzat Yang Maha Hidup, yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakal kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya.
"Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut, ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan, "(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia."
Apakah Tawakkal itu Berarti Meninggalkan Usaha?
Sebagian orang mukmin ada yang berkata, "Jika orang yang bertawakal kepada Allah itu akan diberi rezeki, mengapa kita harus lelah, berusaha, dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rezeki kita datang dari langit?"
Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rezeki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik, atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa dan yang kepadanya tempat bergantung. Para ulama ?semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan? telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata, "Dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang, kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut."
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, "Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rezekiku datang sendiri." Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku."
Dan beliau bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."
Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rezeki. Selanjutnya, Imam Ahmad berkata, "Para Sahabat berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita."
Syekh Abu Hamid berkata, "Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal, serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syariat. Sedangkan syariat memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?"

Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, "Sesungguhnya pengaruh bertawakal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya."
Imam Abul Qosim al-Qusyairi berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati, setelah seorang hamba meyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dari-Nya."
Di antara yang menunjukkan bahwa tawakal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya, ia berkata, "Seseorang berkata kepada Nabi, Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal?' Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian bertawakallah'."

Dalam riwayat al-Qudha'i disebutkan, "Amr bin Umayah berkata, 'Aku bertanya,'Wahai Rasulullah, apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaran (unta)mu lalu bertawakallah'."
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Setiap muslim harus berikhtiar secara lahir dengan bersungguh-sungguh mendapatkan penghidupan, akan tetapi ia tidak boleh menyandarkan diri pada kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa rezeki itu hanyalah dari Dia semata dengan segala pengaturan-Nya.

Bangga Menjadi Muslim


Bangga Menjadi Muslim

"Dialah (Allah) yang telah menamakan kamu sekalian muslimin dari dulu dan didalam (Alquran) ini, supaya rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dialah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (Al-Hajj: 78).
Saat ini kebanyakan orang bangga dengan nama dan julukan serta gelar yang disandangnya, namun enggan menyandang julukan sebagai muslim. Hingga banyak di antara mereka yang enggan menyatakan dan menampakkan bahwa dirinya muslim. Sebagian lagi malah lebih parah, mereka banyak yang bangga mendapat julukan dan sebutan yang negatif dan buruk dan bangga akan keburukan dan kejahatan yang mereka lakukan. Sementara itu, yang muslim ada juga yang tidak puas dengan titel muslim saja, maka mereka menambahinya dengan embel-embel yang tak jelas juntrungnya. Seperti tambahan liberal, subtantif, moderat dan lain sebagainya. Tidak puas dengan diri sendiri, mereka juga menjuluki muslimin lain dengan bermacam-macam, seperti ekstrim, fundamentalis, dan lain sebagainya.
Adalah julukan dan predikat sebagai muslim merupakan penghormatan dan kemuliaan dari Allah Sang Pencipta Alam yang langsung menamakan orang-orang yang beriman dengan julukan tersebut. Lalu, apakah yang membuat orang-orang enggan menampakkannya? Mungkin yang paling menonjol adalah timbulnya pandangan di kalangan muslimin bahwa dunia itu segalanya, dan orang yang memiliki kedudukan, harta di dunia memiliki kemuliaan di atas mereka, sehingga menimbulkan rasa rendah diri di hadapan kemewahan dunia. Seharusnya sebagai muslim kita justru harus bahagia dan gembira. Sebab, jika kita tidak dapat dunia, masih ada akhirat, sedangkan orang-orang kafir, walaupun dapat dunia, tetapi tidak dapat apa-apa di akhirat.
Renungkanlah firman Allah SWT yang artinya, "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah segala yang mereka usahakan di dunia serta sia-sialah segala yang telah mereka kerjakan." (Huud: 16).
Sebagai muslim kita harus bangga menampilkan diri dalam warna keislaman dari segala segi kehidupan dengan segala corak dan warnanya. Bukankah agama kita, Islam, merupakan agama yang sempurna? Di dalamnya terdapat segala aturan dan bimbingan untuk segala bidang kehidupan. Dari hal yang kecil, seperti buang air dan meludah, kita sudah dibimbing dan diarahkan untuk tampil sebagai muslim yang berbeda dari orang-orang kafir, apalagi dalam perkara yang lebih besar. Jikalau seseorang mengamati ajaran Islam, niscaya ia akan mendapatkan bahwa Islam memberikan pemeluknya identitas dan jati diri yang jelas, agar dengan mengetahui dan menyadari hakikat dirinya, ia dapat menempuh kehidupan dunia ini dengan baik dan selamat. Suatu hal yang tidak akan pernah ditemukan pada agama lain.
Kita tidak boleh ragu mengatakan bahwa kita muslim dan Islam adalah agama yang lurus dan benar. Jangan termakan hasutan orang-orang pluralisme agama. Karena, hal sebenarnya bagi orang-orang yang bingung tidak tahu mau ke mana.
Renungkan dan camkanlah firman Allah SWT yang artinya, "Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata: 'Sesungghnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslimin)'." (Fushshilat: 33).
Dalam banyak hal kaum muslimin selalu jadi bahan tertawaan dan cemoohan dari orang-orang yang banyak berdosa. Kesabaran adalah senjata pemusnahnya, karena memang itulah tabiat mereka, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya mereka dalam keadaan senang (karena telah mengejek orang-orang beriman). Dan apabila mereka melihat orang-orang beriman, mereka berkata: "Sesungguhnya mereka ini benar-benar orang yang sesat. Padahal, mereka tidak diutus untuk menjadi penjaga bagi orang-orang beriman. Maka pada hari ini, orang-orang yang berimanlah yang menertawakan orang-orang kafir, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (Al-Muthaffifiin: 29 -- 36).
Biarkanlah mereka begitu, dan janganlah kita merasa rendah diri di hadapan mereka. Persiapkanlah bekal untuk menjadi orang yang menertawakan mereka di akhirat nanti dengan bertakwa kepada Allah. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selamat dan akan berbalik menertawakan mereka orang-orang kafir kelak di akhirat yang di dunia ini kita ditertawakan, docemooh, dihinakan dan diinjak-injak martabatnya.

Keburukan Judi


Keburukan Judi


"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." (Al-Baqarah: 219).
Baru-baru ini lokalisasi perjudian di kepulauan seribu ramai dibicarakan di berbagai media massa. Lokalisasi itu diijinkan oleh pemerintah setempat dengan dalih sebagai sumber pemasukan bagi pemerintah daerah. Sungguh ironi sekali dalam keadaan bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan pemimpinnya mayoritas beragama muslim, perjudian dihalalkan demi untuk pemasukan daerahnya.
Judi dalam kehidupan masyarakat Indonesia sudah mendarah daging. Hampir di semua daerah bahkan di lingkungan sebuah desa kecil pun perjudian sudah marak, walaupun mungkin bentuk dan tata cara pelaksanaannya berbeda-beda. Bahkan, anak-anak kecil pun sudah terbiasa dengan perjudian.
Oleh karena itu, jika pemerintah melokalisasi perjudian, hal itu adalah sebuah tindakan yang salah. Tindakan itu belum tentu menjamin perjudian terselubung akan habis. Yang menjadi masalah bukan lokalisasi atau tidak; yang menjadi masalah adalah jiwa dan mental dari masyarakat itu sendiri yang mesti dibersihkan dari mental yang gemar berjudi. Ada ataupun tidak ada lokalisasi dan pengesahan dari pemerintah, perjudian akan tetap ada.
Allah SWT telah memperingatkan dengan tegas mengenai bahaya judi ini di dalam surat Al-Maidah ayat 90 -- 91 yang artinya, "Hai orang-orang mukmin! Sesungguhnya arak dan judi dan berhala dan azlam adalah kotor, berasal dari perbuatan setan; oleh karena itu, jauhilah supaya kamu beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud akan menjatuhkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui arak dan permainan judi serta akan menghalangi kamu dari ingat kepada Allah dan salat; oleh karena itu apakah kamu mau berhenti?"
Nabi saw bersabda yang artinya, "Barangsiapa berkata kepada rekannya, mari bermain judi, maka hendaklah ia bersedekah."
(HR Bukhari dan Muslim).
Banyak bentuk-bentuk perjudian yang dikemas dengan cara dan model bermacam-macam sehingga memberi kesan bahwa hal itu bukan perjudian. Sekalipun hiburan dan permainan itu dibolehkan oleh Islam, tetapi ia juga mengharamkan setiap permainan yang dicampuri perjudian, yaitu permainan yang tidak luput dari untung-rugi yang dialami oleh si pemain.
Di balik pelarangan judi di dalam Islam ini terkandung suatu hikmah dan tujuan yang tinggi sekali:

  1. Hendaknya seorang muslim mengikuti sunatullah dalam bekerja mencari uang, dan mencarinya dengan dimulai dari pendahuluan-pendahuluannya. Masukilah rumah dari pintu-pintunya, dan tunggulah hasil (musabbab) dari sebab-sebabnya.
  2. Islam menjadikan harta manusia sebagai barang berharga yang dilindungi. Oleh karena itu, tidak boleh diambil begitu saja, kecuali dengan cara tukar-menukar seperti yang telah disyariatkan, atau dengan jalan hibah dan sedekah.
  3. Perjudian itu dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan antara pemain-pemain itu sendiri, kendati dari mulut dan lahirnya mereka telah saling merelakannya. Bagi pihak yang kalah dalam judi, diamnya itu tidak sekadar diam, tetapi membawa perasaan dongkol di dalam hatinya.
  4. Kerugian itu mendorong pihak yang kalah untuk mengulangi perbuatan judi lagi. Dan, bagi yang menang pun karena sudah merasa menang, ia merasa penasaran dan ketagihan untuk memenangkan lagi, padahal belum tentu menang lagi, boleh jadi sebaliknya, kalah. Dan seterusnya sehingga membuat lingkaran setan, tak henti-hentinya melakukan maksiat.
  5. Selamanya permainan judi sibuk dengan permainannya, sehingga lupa akan kewajibannya kepada Tuhan, kewajiban akan diri, kewajiban akan keluarga, dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Renungkanlah firman Allah SWT yang artinya, "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah segala yang mereka usahakan di dunia serta sia-sialah segala yang telah mereka kerjakan." (Huud: 16).

Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya tentang Orang-Orang yang Meninggalkan Salat


Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya tentang Orang-Orang yang Meninggalkan Salat

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, 'Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian'." (Al-Muddatstsir: 42 -- 47).
Banyak orang tertawa tanpa mau menyadari bahwa kematian sedang mengintainya, banyak orang berbicara seolah hari penghisaban tak akan mendatanginya, dan banyak orang berbuat seolah surga dan neraka hanyalah janji-janji belaka.
Wahai hati yang sedang dirundung duka, tenggelam dalam kepalsuan dunia sebelum kuteruskan taushiyah ini, kuingin engkau menjawab pertanyaan ini, "Yakinkah Engkau wahai Saudaraku, akan keberadaan Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan dan mengatur alam ini serta meyakini bahwa hanya Dialah yang berhak diibadahi dengan benar? Yakinkah Engkau wahai Saudaraku, akan kebenaran ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam? Yakinkah Engkau wahai Saudaraku bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat hanyalah dengan mengamalkan Islam dengan sebenar-benarnya?" Bila Kau jawab, "Ya," maka kita berdoa, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa menunjuki kita ke jalan-Nya.
Kemudian aku memintamu membiarkan kedua mata itu melanjutkan tugasnya membaca taushiyah ini. Namun bila jawabanmu adalah "Tidak," maka tinggalkan nasihat ini, dan merenunglah serta biarkanlah otakmu berpikir, temukan hakikat keberadaanmu di dunia ini!
Saudaraku, ketahuilah bahwa Ia telah mengutus nabi dan rasul pilihan-Nya untuk membawa Islam bukan untuk sekedar permainan, dan Maha Suci Allah dari hal-hal sedemikian. Ketahuilah bahwa Islam itu adalah, "Keharusan bagi engkau mempersaksikan bahwasanya tiada sesembahan yang haq melainkan Allah, dan Muhammad itu utusan Allah. Hendaklah Engkau mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat, dan hendaklah engkau berpuasa di Bulan Ramadan dan hendaklah Engkau mengerjakan haji ke Baitullah, jika engkau kuasa menjalaninya." (HR Muslim dalam Arbain an-Nawawy).
Sekarang, wahai hati, perintahkanlah mata itu untuk melihat sekelilingnya, adakah ia melihat manusia-manusia yang telah dapat dikatakan berislam sesuai defenisi ini.
Tidak, dari sekitar lima milyar manusia hanya kira-kira satu milyar yang mengaku sebagai muslim dan kebanyakan mereka melalaikan salat. Ya, mereka melalaikan salat.
Wahai hati, suruhlah mata itu membaca apa yang telah dikatakan Allah dan Rasul-Nya sehubungan dengan salat.
Allah SWT berfirman, "Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan." (At-Taubah: 5).
"Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji-janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka: 'Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?' Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar. Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Alquran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui." (Al-Qalam: 35 ? 44).
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (Maryam: 59).
"Jika mereka bertaubat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (At-Taubah: 11).
"Dan ia tidak mau membenarkan (rasul dan Alquran) dan tidak mau mengerjakan salat, tetapi ia mendustakan (rasul) dan berpaling (dari kebenaran)." (Al-Qiyamah: 31 - 32).
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ruku'lah,' niscaya mereka tidak mau ruku'. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan." (Al-Mursalat: 48 ? 49).
Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw bersabda, "Batas antara seseorang dengan kekeafiran ialah meninggalkan salat." (HR Muslim, Ahmad, dan Ashab as-Sunan selain Nasa'i).
Diriwayatkan oleh Buraidah bin Hushaib al-Aslami ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda, 'Perjanjian antara kita dengan mereka adalah salat, maka bagi yang meninggalkan salat, sesungguhnya ia telah kafir'." (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlus Sunan).
Dari Abdullah bin 'Amr, pada suatu hari Rasulullah saw menyebut-nyebut tentang salat, sabdanya, "Barangsiapa menjaganya, maka salat itu - baginya- menjadi cahaya, bukti keterangan dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak mengindahkannya, ia tidak akan memperoleh cahaya, bukti keterangan dan keselamatan, sedang di hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir'aun, Haman, dan Ubai bin Khalaf." (HR Ahmad, Tabarani, dan Ibn Hibban dengan sanad yang cukup baik).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang melakukan salat seperti kita, dan menghadap kiblat pada kiblat kita serta memakan sembelihan sembelihan kita, maka dia adalah seorang muslim. Hak dia adalah hak kita dan baginya adalah apa yang bagi kita." (HR Bukhari dan Nasa'i).
Ya Allah, tunjukilah kami ke jalan yang lurus, dan bangkitkanlah kami bersama para nabi dan rasul-Mu, para syuhada, siddiqin serta shalihin dan janganlah Engkau membangkitkan kami bersama orang-orang yang kafir, zhalim dan fasiq!
(Catatan: Penting untuk diketahui bahwa, hukum menyatakan murtadnya (kafirnya) seseorang dari Islam adalah pekerjaan para ulama, dan bukan pekerjaan orang-orang awam termasuk mereka para thalabul ?ilmi. Janganlah hanya dengan dalil-dalil ini Anda langsung mengafirkan orang-orang yang tidak salat, karena boleh jadi dalil ini belum sampai kepada mereka, dan sekiranya dalil ini telah sampai kepada mereka belum tentu mereka telah mengerti maksudnya. Selain itu, masih ada syarat-syarat lain yang diperlukan untuk menghukumi seseorang itu kafir, yang orang-orang awam tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, jika belum mengetahui mengenai seluk-beluk menghukumi kafir kepada orang lain, hendaknya setiap kita tidak sembarangan menuduh orang lain kafir). 

Munafik, Sifat-Sifat dan Bahayanya


Munafik, Sifat-Sifat dan Bahayanya


"Dan kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang mereka (orang-orang kafir) itu? Maka (ketahuilah) sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (An-Nisaa': 138 -- 139).


"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Alquran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka berbicara hal yang lain selain itu. Karena sesungguhnya (jika kamu duduk bersama mereka) kamu tentulah sama dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (Yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) apa yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang yang beriman). Maka jika terjadi padamu kemenangan dari Allah mereka berkata: 'Bukankan kami (turut berjuang) beserta kamu?' Dan jika orang-orang kafir yang mendapat kemenangan mereka berkata: 'Bukankah kami turut serta dalam memenangkanmu dan membela kamu dari orang-orang mukmin?'Maka (ketahuilah) Allah akan memutuskan perkara di antara kalian pada hari kiamat. Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (An-Nisaa': 140 -- 141).
Saat ini kaum muslimin di seluruh jagad raya ini sedang menghadapi suatu serangan hebat dari musushnya yang dikomandoi dan disetir oleh Amerika Serikat, yaitu sebuah perang opini dan perang nyata di lapangan pertempuran di beberapa tempat. Isu terorisme dijadikan suatu pembenaran untuk melakukan apa saja yang dapat menghancurkan dan memusnahkan umat Islam dan segala kebenaran ajarannya.
Mereka ini dapat kita kategorikan sebagi musuh yang nyata, dan kita dapat menghadapinya dengan nyata pula. Namun permasalahan besar yang timbul adalah munculnya orang-orang munafik yang menggerogoti Islam dan umatnya dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Mereka mulai menampakkan taringnya ketika umat terpojok oleh pihak musuh. Mereka berusaha mengambil keuntungan tersendiri dari keadaan yang tidak menguntungkan bagi kaum muslimin saat ini.
Kita mungkin sangat sulit mengenal mereka secara detail dan rinci. Tetapi, Allah telah mengajarkan kita kriteria-kriteria orang-orang munafik dan sifat-sifat mereka, di antaranya adalah yang telah disebutkan dalam ayat-ayat di atas, dan terangkum sebagai berikut:

  1. Menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman setia dan penolong, bahkan menjadikan mereka sebagai panutan dan pimpinan.
  2. Meninggalkan orang-orang mukmin.
  3. Mencari kekuatan dan kemuliaan di sisi orang-orang kafir dengan menjadikan mereka teman dan pemimpin.
  4. Suka berolok-olok dan melecehkan ayat-ayat Alquran dengan berbagai cara dan pemahaman yang menyimpang.
  5. Jika kaum Muslimin memperoleh kemenangan atau memiliki sesuatu yang dapat menguntungkan bagi orang-orang munafik, maka ia segera bergabung dengan mereka dan meminta bagian dari kemenangan dan keuntungan tersebut. Namun, jika kekalahan yang diderita oleh kaum muslimin, maka mereka meninggalkan kaum muslimin dan bergabung dengan kaum kuffar dengan harapan dapat memperoleh bagian dari kemenangan kaum kuffar.
  6. Dalam ayat selanjutnya Allah menyebutkan kriteria berikutnya, yaitu mereka berusaha menipu Allah, padahal Allah tidak bisa mereka tipu. Jika salat mereka tidaklah salat, kecuali dalam keadaan malas, dan riya ingin dilihat manusia, serta tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.

Kalau kita mengacu pada kriteria di atas, nyatalah siapa saja orang-orang yang terkena nifak dan yang beriman murni karena Allah. Mereka saat ini sungguh banyak tersebar dalam berbagai sendi kehidupan kaum muslimin, disadari maupun tidak disadari, diakui maupun tidak diakui, apalagi kalau kita tambahkan kriteria-kriteria munafik yang lainnya, baik dari ayat-ayat lain maupun dari hadis-hadis Nabi saw.
Kita harus berhati-hati dalam menyikapi tindak-tanduk orang munafik di sekeliling kita. Kalau kita lalai menyadari hal ini, bahaya yang besar telah siap menghadang dan mengancam.
Bahaya orang munafik merupakan suatu hal yang tak dapat dipungkiri. Di hadapan musuh mereka menampilkan Islam dan umatnya sebagai suatu ajaran dan umat yang jelek dengan buruk, akibatnya Islam dan umatnya menjadi cercaan dan tertuduh. Sementara, di hadapan umat Islam mereka hanya menampakkan iman di luar saja sementara kufur mereka pupuk di dalam kalbunya. Dilemanya: mau diperangi, mereka mengaku saudara; tidak diperangi, mereka malah merusak.
Akhir kata hanya kepada Allah sajalah kita mohon kekuatan dan perlindungan dari tipu daya dan bahaya nifak dan orang-orang munafik. Hanya kepada Allah semata kita meminta dan mencari kemuliaan di dunia dan akhirat. Wallahu al musta'aan.

Beribadah kepada Allah Sepenuhnya


Beribadah kepada Allah Sepenuhnya


"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2 -- 3).
Di antara kunci-kunci rezeki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya.
Makna Beribadah kepada Allah Sepenuhnya
Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimaksud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Tetapi, yang dimaksud beribadah sepenuhnya kepada Allah (wallahu a'lam) adalah hendaknya seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu' dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis yang artinya, "Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu."

Janganlah engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di masjid, sedang hatinya berada di luar masjid. "Beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku." Al-Mulla Ali al-Qari berkata, "Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhanmu."
Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim dari Abu Hurairah, dari Nabi beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah berfirman, 'Wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)'."
Dalam hadis tersebut Nabi menjelaskan bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.
Imam al-Hakim dari Ma'qal bin Yasar ia berkata, Rasulullah bersabda, "Tuhan kalian berkata, 'Wahai anak Adam, beribadahlah kepada-Ku sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan'."
Dalam hadis yang mulia tersebut, Nabi mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji daripada-Nya berupa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar beribadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rezeki.
Siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rezeki oleh Yang Maha Memberi rezeki dan Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorang pun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorang pun yang mampu memberinya waktu luang.

Memilih Mati Syahid atau Mati Munafik


Memilih Mati Syahid atau Mati Munafik

"Katakanlah: 'tidak ada yang kamu tunggu-tunggu terjadi pada kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Sedangkan kami meunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab dari sisi-Nya, atau dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersama kamu.'" (At-Taubah: 52)
Ketika kaum muslimin bersiap-siap untuk Perang Tabuk, kaum munafikin tidak senang dengan hal itu. Mereka berusaha menghalang-halangi kaum muslimin untuk keluar berjihad di jalan Allah. Hal itu didorong oleh ketakutan mereka untuk pergi berjihad karena mereka memang kaum yang pengecut. Kecintaan mereka terhadap diri mereka dan dunia lebih dari kecintaan mereka kepada Allah dan rasul-Nya. Tidak hanya itu, mereka pun tidak senang kalau kaum muslimin mendapatkan kemenangan dan kebahagiaan, dan justru mereka akan sangat senang jika musibah dan kekalahan menimpa kaum muslimin.
Mereka lupa bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan hambanya yang beriman. Sungguh apa pun yang didapatkan seorang mukmin dalam jalan Allah tidaklah sia-sia. Dalam peperangan menegakkan kalimatullah, hanya ada dua kemungkinan: menang atau mati syahid. Memang jika dilihat dari kacamata dunia, orang yang mati dijalan Allah itu sepertinya tidak mendapat apa-apa, hanya kehilangan nyawa. Begitulah orang-orang munafik dan kuffar melihat kaum muslimin sebagai kaum yang merugi, padahal merekalah kaum yang sebenarnya merugi.
Dengan ayat ini Allah memberi berita gembira bagi kaum muslimin yang ikut berjihad di jalan-Nya bahwa apa pun yang menimpa mereka, kemenangan atau kematian, adalah baik semuanya. Jika menang, mereka mendapat pahala jihad dan kemenangan dunia dengan segala keuntungannya. Jika kalah dan mati, maka mati syahid adalah kematian terindah yang selalu didambakan oleh orang-orang yang mengharapkan ridha Allah, hal yang tidak semua orang yang mengharapkannya mendapatkannya. Ingatlah, bagaimana sahabat Khalid bin Walid Radhiayallau 'anhu--panglima perang Islam yang sangat terkenal--beliau begitu mendambakan mati syahid dalam jihad tetapi justru meninggal di atas pembaringannya. Balasan surga dan ridha Allah bagi orang yang mati syahidlah yang mendorong kaum muslimin untuk berlomba-lomba menggapai kematian jenis ini. Dengan begitu, hilanglah rasa takut akan kehilangan dunia dengan segala keindahan dan kesenangannya karena mereka tahu bahwa dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan akhirat.
Orang-orang munafik dan kuffar mungkin merasa bisa menipu kaum muslimin dengan iming-iming dunia dan menyebarkan rasa takut akan kekalahan dan kematian. Padahal, sebenarnya merekalah yang tertipu karena kebodohan mereka sendiri akan hakikat kehidupan ini. Mereka mengira dunia adalah segalanya. Mereka lalai akan adanya hari akhir yang semua perbuatan baik dan buruk akan diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Maha Pencipta seluruh alam, Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sekarang kaum muslimin pun tidak lepas dari usaha tipu daya dari kaum munafik dan kuffar untuk meruntuhkan semangat mereka dari berjihad di jalan Allah. Kaum muslimin di beberapa negeri di bumi ini ditindas dan dijajah. Begitu mereka bangkit melawan kaum penindas, malah mereka dibilang teroris, pemberontak, dan sebagainya. Bahkan saudara mereka di kawasan lain yang ingin membantu perjuangan mereka, dihambat dan dihalangi dengan pendapat-pendapat menjijikkan, seperti: ini bukan perang agama, jangan mati sia-sia, itu urusan intern, jihad bukan hanya berperang, dsb. Bahkan, mereka menyebarkan pendapat ini melalui segala media yang mereka miliki dan kuasai. Bahkan, sebagian mereka adalah dari kalangan kaum muslimin sendiri yang sudah terdidik atau termakan akan pemahaman Islam gaya Barat. Aneh, ada orang yang memahami Islam ala Barat, bukan ala Rasulullah saw dan para sahabatnya, padahal Rasulullahlah yang membawa risalah agama ini dan yang paling memahaminya, dan para sahabatnya adalah generasi terbaik dari ummat ini, yang mendapat predikat "radhiyallahu 'anhum." (Allah telah ridha akan mereka). Wallahu a'lam.

Iman dan Kewajiban Berhukum dengan Hukum Allah


Iman dan Kewajiban Berhukum dengan Hukum Allah

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut itu. Dan syaitan iingin menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah kamu tunduk kepada (hukum) yang allah turunkan dan kepada (hukum) Rasul', niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dari (mengikuti) kamu dengan sekuat-kuatnya." (An-Nisaa: 60-61)
Kewajiban untuk menjadikan hukum Allah sebagai pemutus perkara dan pengatur kehidupan bagi manusia secara umum dan bagi kaum muslimin secara khusus merupakan suatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin pada generasi awal dan tidak ada yang mempertentangkannya. Adapun yang menentang dan menghalangi manusia dari hukum Allah hanyalah orang-orang munafik, orang-ranng kuffar, dan orang-orang musyrikin.
Mengapa mesti hukum Allah? Jawaban singkatnya, karena Allah adalah Sang Pencipta alam semesta dan segala sesuatu, yang di langit dan di bumi. Dialah pemilik seluruh makhluk dan ciptaan ini. Adalah sangat wajar kalau Dialah yang seharusnya disembah dan Dialah yang berhak mengatur kehidupan manusia yang merupakan sebagian kecil dari ciptaan-Nya. Allah juga Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk apa-apa yang baik dan buruk bagi manusia.
Hukum-hukum selain hukum Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya tidak bisa ditandingi dan dibandingkan dengan hukum hasil pemikiran manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia semuanya memiliki banyak kesalahan, bahkan dalam beberapa atau banyak hal, hukum yang dibuat manusia mungkin lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya. Dengan demikian, alasan apa yang mengharuskan kita untuk tunduk dan mengikuti hukum dari hasil pemikiran manusia? Bukankah ia juga makhluk sebagaimana manusia yang lainnya?
Kegagalan demi kegagalan yang dicetak oleh sistim hukum buatan manusia, ternyata tidak membuat pengikutnya dan pengagumnya jera. Kesombongan telah menggiring mereka untuk tetap menerapkan sistim pujaan mereka, walaupun bukti-bukti kelemahannya sudah sangat konkrit dan tak terbantahkan.
Untuk penerapan hukum Allah dalam segala bidang kehidupan ternyata menghadapi banyak tantangan dan rintangan, di antaranya adalah tantangan dan hambatan dari dalam tubuh kaum muslimin sendiri, baik dari kalangan awam yang memang kurang mengetahui dan mengerti atau dari kalangan munafik. Adapun kelompok pertama bisa dimaafkan dan diberitahu kebenaran. Sedangkan kelompok kedua, ini merupakan pekerjaan yang sulit untuk dituntaskan, karena mereka secara lahir merupakan bagian dari kaum muslimin, sedangkan secara batin tidak.
Biasanya mereka begitu welcome dan senang dengan hukum selain hukum Allah. Namun jika diajak untuk berhukum dengan hukum Allah, mereka akan ogah-ogahan dan bahkan menghalangi orang lain untuk mengikuti hukum Allah. Banyak cara mereka tempuh untuk menghalangi manusia darinya, baik dengan cara memutarbalikan fakta dan kebenaran, penyelewengan pemahaman, atau bahkan menghalangi secara fisik dan lain sebagainya.
Dalam perang ide, mereka menebarkan wacana beracun tentang tidak adanya konsep kenegaraan dalam Islam yang merupakan lembaga utama penegakkan hukum Allah secara integral dalam segala aspek kehidupan. Kemudian mereka juga mengaburkan detail-detail hukum Allah yang sudah sangat gamblang dan jelas serta disepakati oleh ummat sebelumnya, seperti pengkaburan makna hijab dan sebagainya.
Dari ayat di atas dapat kita simpulkan beberapa ciri-ciri orang yang tidak ingin hukum Allah ditegakkan:

  1. Mengaku beriman kepada apa-apa yang telah diturunkan Allah kepada Rasulullah saw dan apa yang diturunkan sebelum beliau, tetapi tidak mau berhukum kepada hukum yang Allah turunkan.
  2. Mereka berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam perkara-perkara mereka. Hl itu tetap mereka lakukan walaupun sudah dilarang dan disuruh untuk mengingkarinya. Siapapun yang membuat hukum selain hukum Allah maka ia adalah thagut.
  3. Jika diseru untuk melaksanakan hukum Allah dan mentaati Rasul, mereka enggan dan justru menghalangi manusia dari mengikuti Rasul yang menegakkan hukum Allah, walaupun untuk itu mereka harus mengeluarkan segala daya upaya.

Permasalahannya sekarang adalah musuh-musuh Islam menggunakan orang-orang tipe seperti ini untuk memerangi dan merusak keyakinan kaum muslimin dari dalam tubuh kaum muslimin itu sendiri. Ini jelas lebih berbahaya dari pada serangan fisik secara nyata dari musuh yang nyata pula. Wallahu al Musta'aan.

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya


Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Alquran) dan rasul-Nya (Sunah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa': 59)
Beberapa hikmah yang dapat kita pahami dan pedomani dari ayat ini adalah sebagai berikut.


  1. Allah SWT menyeru hamba-hamba-Nya yang beriman dengan seruan "Hai orang-orang yang beriman" sebagai suatu pemuliaan bagi mereka, karena merekalah yang siap menerima perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Dengan seruan iman, mereka pun menjadi semakin siap menyambut setiap seruan Allah SWT.
  2. Kewajiban taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya adalah dengan melaksanakan perintah-perintahnya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya.
  3. Kaum muslimin harus taat kepada ulil amri apabila dalam memerintah mereka menyeru kepada yang makruf dan mencegah yang munkar. Akan tetapi, jika mereka menyuruh kepada hal-hal yang dapat melalaikan kewajiban untuk taat kepada Allah, atau bahkan menyuruh perbuatan yang melanggar aturan Allah, maka setiap kita, kaum muslimin, tidak boleh menaatinya. Rasulullah saw telah bersabda yang artinya, "Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang makruf, dan tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam maksiat terhadap sang Khaliq (Pencipta).
  4. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara kaum muslimin, atau antara mereka dengan ulil amri, atau sesama ulil amri, maka wajib baginya mengembalikan persoalan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu dengan merujuk kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya.
  5. Jika benar-benar beriman, seseorang hanya akan kembali kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya dalam menyelesaikan segala perkara, dan tidak akan berhukum kepada selain keduanya. Jika tidak, maka iman seseorang dapat diragukan dari ketulusannya.
  6. Jika seseorang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, ia akan taat kepada Allah dan Rasul-Nya karena ia mengimani benar bahwa Allah sesungguhnya Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Iman kepada hari akhir akan membuta seseorang berpikir akan akibat segala perbuatannya yang dilakukannya di dunia. Pada hari akhir, seluruh amal anak adam akan dibalas: jika baik, maka baik pula balasannya; jika buruk, maka buruk pula balasannya. Boleh jadi seseorang dapat menghindari hukuman di dunia, namun tidak akan dapat seseorang menghindar dari hukuman akhirat.
  7. Dalam hal taat dan mengembalikan segala perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya terdapat kebaikan bagi orang-orang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat. Akibatnya lebih baik bagi mereka daripada bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau kembali kepada selain-Nya.
    Perlu kita ketahui bahwa apabila manusia berlepas diri dari hukum Allah, niscaya mereka menjadi budak-budak setan dan hawa nafsu. Hal itu akan membuat seseorang dapat berhenti berselisih. Seseorang ingin mendapatkan kebebasan mutlak, tetapi yang terjadi justru adalah menjadi budak setan dan hawa nafsunya. Sekian, wallohu a'lam.

Sifat-Sifat Kepemimpinan Rasulullah


Sifat-Sifat Kepemimpinan Rasulullah

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At-taubah: 128)
Dalam ayat tersebut Allah memberikan sebuah ilustrasi yang jelas mengenai sosok seorang pemimpin yang patut diteladani oleh seluruh pemimpin yang ada di muka bumi ini agar kepemimpinannya mampu mengayomi dan menyejahterahkan masyarakat yang dipimpinnya. Dengan sifat-sifat atau karakter-karakter khusus yang diberikan Allah kepada kekasih-Nya, Muhammad saw, maka sepatutnya para pemimpin itu--dalam semua level yang ada-- bisa mencontoh dan merujuk kepadanya.
Karakter-karakter atau sifat-sifat khusus yang dimaksudkan Allah telah jelas. Pertama, rasul yang diutus Allah itu berasal dari jenis manusia sendiri. Sebagai suatu wujud kasih-sayang Allah kepada umat manusia, Allah mengutus seorang rasul yang menyebarkan risalah-Nya dari jenis mereka sendiri. Allah tidak mengutus seorang malaikat atau seorang jin kepada mereka, karena Allah tahu bahwa hanya manusialah yang paling mengerti dan menyelami komunitasnya sendiri, bukannya jenis makhluk lain.
Dari sini ada suatu hal yang bisa dijadikan ibroh (pelajaran), yaitu apabila seorang pemimpin hendak mengutus seorang duta/utusan/juru dakwah kepada suatu bangsa atau sekelompok orang, maka hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah utusan tersebut hendaknya orang yang sudah mengetahui seluk-beluk atau paling tidak mengerti gambaran mengenai komunitas masyarakat yang akan dihadapi. Hal ini untuk lebih mendekatkan sosiokultural masyarakat kepada seorang juru dakwah tersebut sehingga masyarakat tidak dengan serta-merta menolak utusan tersebut karena ternyata utusan yang datang kepada mereka itu merupakan bagian dari mereka sendiri. Ada suatu ungkapan Arab klasik yang mengatakan, "Barang siapa mengetahui bahasa suatu masyarakat, dia akan selamat dari tipu daya mereka."
Kedua, rasul yang diutus Allah itu senantiasa merasa senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan terhadap kondisi yang sedang diderita bangsanya. Seorang pemimpin yang menghendaki berpihak atau memikirkan rakyatnya sebenarnya cukup mengikuti jejak dan perilaku Rasul saw. Dengan perhatian yang penuh kepada rakyat yang dipimpin dan mencoba berlaku seperasaan dengan mereka, sudah barang tentu mereka akan merasakan kedekatan dengan pemimpinnya dan bersimpati kepadanya. Seorang pemimpin tidak perlu membual dengan janji-janji kosong dan jargon-jargon politik yang tidak pernah ada buktinya.
Ketiga, rasul yang diutus Allah itu menghendaki keselamatan atas umatnya. Rasulullah sangat mencintai umatnya dan mengharapkan umatnya untuk menempuh jalan keselamatan. Rasulullah berusaha dengan gigih semaksimal mungkin berdakwah beramar makruf nahi munkar untuk menyelamatkan umatnya dari murka Allah SWT. Sesungguhnya umat yang hendak diselamatkan oleh Rasulullah melalui perjuangannya bagaikan laron di malam hari yang memburu terangnya cahaya lampu ceplik. Hewan-hewan kecil yang beterbangan itu bukannya memburu sesuatu yang diinginkannya, akan tetapi hanya memburu sesuatu yang kelihatan menarik untuk didekati. Sesungguhnya apilah yang mereka dekati. Mereka yang tidak sampai tercegah masuk kedalamnya akan mati dan terbakar, tetapi bagi yang masih dapat tercegah, maka akan selamat dari kobaran api tersebut.
Keempat, rasul yang diutus Allah itu amat kasih sayang terhadap umatnya. Sesungguhnya Rasulullah amat kasih sayang terhadap umatnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasul saw pernah berkorban atas nama umatnya yang tidak mampu berkorban. Beliau tegaskan dalam hadisnya, "Ya Allah ini (korban) atas namaku dan atas nama umatku yang tidak berkorban." 

Muslim Multazim


Muslim Multazim


"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami ialah Allah', kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu'." (Fushshilat: 30).
Rasulullah saw dan para sahabat adalah orang-orang yang memiliki jiwa militansi sangat tinggi, mereka patut untuk kita jadikan panutan dalam hal iltizam. Apakah pantas orang-orang yang mengikuti jalan mereka selaku umat terbaik justeru dicap negatif sebagaimana yang sering terjadi sekarang ini?
Iltizam adalah suatu kata yang umum yang menunjukkan makna menetapi dan sungguh-sungguh terhadap syariat atau selainnya. Akan tetapi, dalam konteks sekarang ini lebih cenderung banyak dipakai untuk istilah orang yang berpegang teguh terhadap syariat dan tamasuk (memegang erat) agama (Islam). Dari sini kita katakan bahwa orang yang bersungguh-sungguh dalam agama (iltizam) adalah seorang lurus dan istikamah (mustaqim), memagang syariat (al mutamassik bisy syari'ah), taat kepada Allah (al muthi' lillah), atau menjalankan syariat Allah dan itiba kepada Rasulullah saw ('amilan bisyari'atillah wa muttabi'an lirasulillah).
Dari definisi (ta'rif) di atas, iltizam pada prinsipnya adalah memegang teguh syariat, mengamalkannya dan itiba kepada sunah Rasulullah saw: inilah hakikat iltizam. Kita akan melihat bahwa seorang yang multazim aktivitas kesehariannya akan berkisar pada amalan-amalan wajib, ataupun sunah, mungkin juga tambahan (nawafil) dari bentuk-bentuk ibadah dan ketaatan, bisa juga fardu kifayah. Demikianlah tuntutan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan memposisikan dirinya sebagai orang yang multazim.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Ali Imran: 103). Dalam konteks ini iltizam bermakna menetapi sesuatu dan berpegang teguh kepadanya (I'tisham).

"Maka wajib atas kalian semua berpegang teguh dengan sunahku dan sunah khulafaur rasidin yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham." (maksudnya berpegang teguhlah dengan sunah sekuat tenaga, red) (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan ad Darimi).

Apa yang dilakukan seorang multazim? Seorang yang benar-benar multazim harus melakukan amalan-amalan yang menjadi bukti konkrit atas kesungguhan dan komitmennya terhadap Islam. Pertama, Berpegang teguh dengan as Sunah. Seorang yang multazim sudah barang tentu harus memegang as Sunah dengan sungguh-sungguh, atau dengan kata lain mereka adalah ahlus sunah dan ahlus syariah. Dia juga al jamaah (kelompoknya Nabi dan para sahabat), meskipun minoritas dalam umat manusia, tetapi mayoritas untuk pengikut Muhammad; akan tetapi, mereka yang benar-benar pengikut sejati yang kuat dan berada di baris terdepan adalah minoritas dari yang mayoritas pengikut Muhammad saw.

Kedua, seorang yang multazim giat menuntut ilmu. Muslim yang multazim haruslah selalu menuntut ilmu sehingga ia beribadah kepada Allah di atas dasar cahaya dan hujjah yang jelas, bukan di atas prasangka dan dugaan, meniru dan ikut-ikutan, kejahilan dan kesesatan. Masalah ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab seorang yang iltizam dengan ajaran Islam otomatis akan menjadi da'i yang menyeru ke jalan Allah. Ia akan mengajak orang lain untuk beristikamah, iltizam dan menjalankan syariat Allah dalam kehidupan. Dengan ilmu (syar'i) inilah, ia akan mengajak orang ke jalan Allah dengan berlandaskan hujah yang terang (bashirah).

Ketiga, multazim adalah seorang yang meninggalkan bid'ah, maksiat dan kesia-siaan (lahwu). Seorang yang istikamah harus selalu bersemangat untuk senantiasa melakukan apa-apa yang disyariatkan Allah, belajar dan mengajarkan Islam. Ia selayaknya juga harus berusaha sekuat tenaga menjauhi segala bentuk yang bisa mencoreng harga dirinya, menodai keadilannya, dan apa saja yang bisa menuurunkan martabat dan kedudukannya. Hal itu dapat dilakukan dengan cara meninggalkan bid'ah, maksiat, dan segala bentuk kesia-siaan.

Keempat, ia berdakwah menyeru ke jalan Allah, juga berjihad menegakkan kalimatullah. Setelah seseorang diberi rahmat oleh Allah berupa kemampuan untuk beriltizam dan beristiqamah, maka ia tidak boleh berhenti sampai di sini. Akan tetapi, ia masih mempunyai kewajiban yang sangat penting, yaitu berdakwah mengajak orang ke jalan Allah. Mengajak siapa saja, baik itu saudara, sahabat, teman kerja, keluarga, dan siapa saja yang ada di sekelilingnya. Ini merupakan salah satu kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya seiman, sebab jika ia tidak berdakwah kepada kebaikan tentu mereka yang buruk dan sesat akan mengajak kepada keburukan dan kesesatan yang mereka kerjakan. Bukankah kita akan senang jika banyak orang yang mengikuti jejak kebaikan yang kita lakukan? Bukankah kita senang jika banyak orang yang menolong dan membantu kita? Kita juga akan merasa senang jika banyak orang yang senantiasa berbuat kebajikan dan meniti agama yang lurus, baik itu kalangan pemuda, remaja, maupun anak-anak

Kesaksian Palsu


Kesaksian Palsu


"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah (dengan uang di dunia), mereka tidak akan mendapat bagian pahala di akhirat, bahkan Allah tidak akan berkata-kata pada mereka, dan tidak akan melihat dengan rahmat padanya, dan tidak pula menyucikan (membebaskan) mereka dari tuntutan, dan bagi mereka tetap siksa yang sangat pedih." (Ali Imran: 77)
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya." (Al-Israa': 36)
Kebiasaan berbohong atau berdusta menjadi saksi palsu dengan bersumpah palsu agaknya sudah merupakan budaya yang tidak asing lagi bagi masyarakat, bahkan para tokohnya pada saat ini. Rasanya mereka tidak pernah mempunyai beban, padahal mereka melaksanakan hal-hal yang menurut ajaran Islam itu harus benar-benar dijauhi.
Disharmonis kehidupan akan senantiasa terwujud di tengah-tengah masyarakat jika memang kebiasaan tersebut tidak segera dihentikan. Padahal, ketenangan hidup akan tercapai bilamana elemen masyarakat antara yang satu dengan yang lainnya saling menaruh rasa percaya diri dan jujur (amanah) dalam kesehariannya. Ketenangan akan berubah menjadi kerunyaman dan ketidakdisiplinan manakala sifat jujur (amanah) sudah tidak menjiwai masyarakat lagi, seperti kondisi yang terjadi pada saat ini. Para pejabat sudah tidak mendapat hati di mata masyarakat. Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada mereka. Hal ini bukan terjadi pada para pejabat saja, melainkan sudah merasuki kepada para tokoh masyarakat - sebut saja para guru agama dan kyai - yang nota benenya para pemimpin informal/spiritual mereka. Persoalan ini lebih disebabkan karena mereka terlalu mengumbar kata-kata, mengumbar nasihat-nasihat dan mengumbar janji-janji, tetapi tak satu pun kata, nasihat, atau janji tersebut terbukti dalam kenyataan.

Oleh karena itu, melalui ayat ini Allah SWT kembali mengingatkan kepada para hamba-Nya akan bahaya perbuatan tersebut dan implikasinya dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Satu implikasi yang logis dalam kehidupan duniannya adalah terjadinya penghalalan segala cara yang timbul akibat kesaksian palsu dan kedustaan seorang hamba. Kesaksian palsu dan dusta tidak akan terjadi bila dibalik perbuatan tersebut tidak ada segepok uang/hadiah atau setumpuk jabatan. Lantaran adanya iming-iming ini, maka seseorang akan sangat mudah tergiur untuk melaksanakan perbuatan tersebut (melanggarnya). Sebagai seorang muslim, kita seharusnya sadar akan buruknya perbuatan tersebut serta akibat yang ditimbulkannya, sadar pula akan ancaman yang diberikan Allah kepada kita.
Pendengaran yang kita gunakan untuk mendengarkan informasi dan berita yang ada ini, mata yang kita gunakan untuk melihat apa yang ada dihadapan kita ini, dan hati yang kita gunakan untuk untuk memahami dan menyelami kehidupan ini semuanya masing-masing akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT kelak di hari kiamat. Apa saja yang dilakukan organ tubuh kita ini Allah senantiasa mengontrolnya, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam ayat ke-18 dari surat Qaaf, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir."
Berangakat dari ayat ini, sudah saatnya seorang muslim memperhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Menghindar menjadi saksi palsu atau berlaku dusta. Saksi palsu termasuk salah satu dosa besar yang harus bersama-sama kita jauhi. Dalam hal ini, Rasulullah saw menjelaskan dalam sabdanya, Dari Abu Bakrah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, "Maukah kalian aku ceritai tentang dosa besar yang paling besar?" Kami menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." Dia bersabda, "Menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua," Rasul ketika itu bersandar lalu duduk kemudian bersabda, "Ingatlah, dan kesaksian palsu." Rasul terus-menerus mengulang-ulang perkataan itu sehingga kami berkata, mudah-mudahan Rasul diam. (HR Bukhari dan Muslim)
  2. Jika kita menghindari perbuatan tersebut berarti kita mencoba menerapkan salah satu sifat-sifat orang mukmin yang dikasihi dan disayangi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Furqan, ayat: 63 - 74. Adapun ayat yang menekankan penghindaran dari perbuatan tersebut adalah seperti, "Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, maka mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya."
  3. Jika kita menjauhi perbuatan tersebut berarti kita telah memenangkan sebuah pertempuran yang dahsyat dengan setan/iblis dan kita keluar dari sebuah pusaran penyakit yang telah tumbuh kuat dalam tubuh kita. Sikap seperti ini biasanya gampang tumbuh lantaran ada satu target yang diinginkan oleh setan/iblis, yaitu terpecah belahnya hubungan umat Islam dengan sesamanya.

Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita mampu menerapkan sifat-sifat yang terpuji dalam kehidupan kita dan mampu menjauhi sifat-sifat yang tercela.