Tidak Ada Kewajiban kecuali Berdasarkan Syariat dan Tidak Ada Siksa kecuali Setelah Peringatan


Tidak Ada Kewajiban kecuali Berdasarkan Syariat dan Tidak Ada Siksa kecuali Setelah Peringatan

Allah SWT telah memberikan fitrah kepada manusia untuk melihat kebaikan dalam berbagai benda dan perbuatan. Kejujuran dan keadilan, kelembutan dan kebaikan, keramahan dan keindahan, semua itu dipandang baik oleh manusia berdasarkan fitrahnya yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Demikian pula dengan perkara-perkara buruk yang berkaitan dengan perbuatan dan benda-benda dipandang buruk oleh manusia. Hal ini juga diketahui oleh manusia berdasarkan fitrah. Oleh karena itu, kezaliman, kedustaan, dan kejahatan merupakan perkara-perkara yang tercela.
Ketika syariat Ilahi dikebumikan sesuai dengan apa yang terpusat pada fitrah manusia, maka ia turun untuk menetapkan apa-apa yang telah wujud dalam fitrah tersebut. Syariat menguatkan keburukan sesuatu yang asalnya buruk, sebagaimana ia menegaskan kebaikan sesuatu yang baik bahkan memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan.
Namun demikian, meskipun persoalan ini muncul hanya dihadapkan pada orang-orang yang berakal, ia menjadi salah satu titik perbedaan yang besar di kalangan beberapa golongan, terutama golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah.... Persoalan ini dikenal dengan istilah "masalah baik dan buruk, apakah keduanya ditentukan berdasarkan akal atau syariat (wahyu)?"
Baik dan Buruk dan Alasan Kewajiban
Sebelum turunnya perintah dan larangan tidak ada keburukan yang akan dikenakan sangsi (balasan) karena keburukan yng ada pada dirinya, dan Allah SWT tidak akan memeberi balasan kecuali setelah mengutus rasul-rasu-Nya.
"Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15).
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (An-Nahl: 90).
Qatadah mengatakan, "Perbuatan baik yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah bukanlah suatu kebaikan hingga Allah memerintah mereka melakukannya melalui ayat ini, dan bukan pula suatu keburukan apa-apa yang dianggap tercela di kalangan mereka hingga Allah melarang mereka dan menyebutnya buruk, dan Dia hanya melarang perbuatan-perbuatan yang kotor dan tercela. (Tafsir ath-Thabari, juz 8, h. 163).
Ali ra berkata, "Ketika Allah memerintahkan kepada nabinya untuk menghadapi kabilah-kabilah Arab, beliau keluar dan menemui mereka pada suatu majelis dari kaum Syaiban bin Tsa'labah. Beliau mengajak mereka masuk Islam dan menolongnya. Salah seorang di antara mereka, Mafruq bin 'Amr bertanya, 'Wahai Saudara Quraisya, ke mana engkau mengajak kami?' Maka Rasulullah saw membacakan ayat yang artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat." Ia berkata, "Demi Allah, engkau telah mengajak kami pada akhlak yang mulia. (Dala'il an-Nubuwwah, al-Baihaqi, juz 2, h. 422/425; Dala'il an-Nubuwwah, Abu Nu'aim, juz 1, h. 203 -- 207).
Landasan Penentuan Perintah dan Pahala
Perbuatan baik dan buruk dapat saja ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal, tetapi pahala dan siksa tidak dapat ditentukan kecuali dengan adanya syariat. Maka, hal yang sebaliknya dari problematika akal adalah bahwa ia tidak berhak menetapkan siksa kecuali dengan diutusnya rasul sebagaimana telah ditunjukkan oleh Alquran dan Sunnah. Jika hal ini telah ditetapkan demikian, maka ditetapkan pula bahwa perintah (kewajiban) tidak ditentukan kecuali dengan syariat. Oleh karena itu, wajibnya erintah dan haramnya larangan tidak ditentukan kecuali dengan syariat, dan sama sekali tidak ada intervensi akan di dalamnya. Hal itu terjadi karena pahala dan siksa masing-masing tergantung pada ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan atau sebaliknya, yakni melanggar perintah dan melakukan larangan, dan ini hanya terjadi berdasarkan tuntunan syariat, bukan yang lain. Dengan demikian, fitrah akal dan ra'yu (pendapat) tidak dapat menjadi landasan bagi penentuan perintah yang dapat ditegakkan di atasnya hujjah bagi makhluk, kecuali wahyu dan diutusnya seorang rasul.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, "Makhluk tidak mengetahui apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, perintah-Nya dan larangan-Nya, karamah-Nya yang dijanjikan kepada wali-wali (penolong-penolong) -Nya dan siksa-Nya yang dijanjikan untuk musuh-musuh-Nya. Mereka juga tidak mengetahui hak Allah dari nama-nama yang baik (asma al-husna) dan sifat-sifat-Nya yang agung yang akal tidak mampu mengetahuinya dan hal-hal yang serupa dengan itu, kecuali melalui rasul-rasul-Nya yang telah diutus Allah kepada hamba-hamba-Nya." (Ibnu Taimiyah, Majmu'ul-Fatawa, juz 1, h. 121).
Di antara ayat-ayat Alquran yang menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya diperoleh melalui pendengaran (as-sama'u) dan bukan melalui akal adalah:
Firman Allah Ta'ala yang artinya, "Maka ketahuilah bahwa tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu." (Muhammad: 19).
"Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu; tidak ada Ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik." (Al-An'am:106).
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasannya tidak ada Ilah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'." (Al-Anbiya: 25).
Menurut Imam al-Lalaka'i Rahimahullah bahwa ayat yang terakhir mengandung pengertian bahwa Allah telah memberitahukan kepada nabi-Nya (Muhammad) bahwa nabi-nabi Allah terdahulu tidak mengetahui tauhid kecuali melalui pendengaran dan wahyu. (Syarh I'tiqad Ahlu Sunnah, juz 1, h. 195).
Imam al-Lalaka'i Rahimahullah juga mengatakan, Demikian pula halnya dengan kewajiban mengetahui rasul, hal ini ditentukan berdasarkan pendengaran. Allah Ta'ala berfirman, "Katakanlah: 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang brhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (Al-A'raf: 158), firman-Nya, "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15), firman-Nya, "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa: 165), juga firman-Nya, "Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat Gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (Kami beritahukan itu kepadamu) sebagai rahmat dari Rabbmu, supaya kamu memberi peringatan kepada kaum (Qurasy) yang sekali-kali belum datang kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat. Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan: 'Ya Rabb kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin," (Al-Qashash: 44 -- 47), dan firman-Nya, "Dan mereka berkata, 'mengapa ia tidak membawa bukti kepada Kami dari Rabbnya? Dan apakah belum datang kepada mereka bukti yang nyata dari apa yang tersebut di dalam kitab-kitab yang dahulu? Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Alquran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: 'Ya Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?" (Thaha: 133 -- 134). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Allah dan rasul-Nya diperoleh melalui pendengaran, sebagaimana diberitahukan oleh Allah Azza wa jalla, dan ini adalah pandangan Ahlu Sunnah wal Jamaah. (Syarh I'tiqad Ahlu Sunnah, juz 1, h. 196).
Syekh Shalih bin Hamid mengatakan, "Di antara beberapa persoalan yang telah ditetapkan di dalam syariah adalah syarat menentukan suatu kewajiban (taklif) melalui suatu perintah di antara perintah-perintah yang datang dari Allah (syari') adalah pengetahuan mukallaf tentang tuntutan syari' (pembuat syariat/Allah) kepadanya untuk melaksanakan perintah-Nya." (Raf'u al-Haraj fi asy-Syariah al-Islamiyah, 229; lihat pula Mizan al-Ushul fi Nataij al-'Uqul, juz 1/h. 285).
Dengan demikian, wayhu Allah dan syariatnya merupakan hujjah bagi makhluk-Nya. Allah SWT memiliki hikmah yang sempurna dalam menciptakan makhluk-Nya, seraya berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz-Dzariyat: 56). Kemudian Allah menjelaskan bahwa Dia menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya dan Dia tidak membiarkan mereka sia-sia, sebagaimana Dia berfirman, "Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)." (Al-Qiyamah: 36).
Allah SWT Maha Adil di antara yang paling adil. Dia tidak mengazab hamba-hamba-Nya kecuali setelah Dia memberikan peringatan kepada mereka dengan mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya, sehingga Dia tidak akan menghukum mereka sebelum Dia menegakkan hujjah-Nya di hadapan mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, h. 28 dan lihat pula Fathul Qadir, juz 3, h. 214).

Penyelewengan Umat dari Agama yang Benar


Penyelewengan Umat dari Agama yang Benar

Fenomena penyelewengan agama sangat menuntut perhatian para ulama dan segera mengajak mereka kembali kepada Allah, memohon ampunan-Nya dan menegakkan hujjah-Nya sebagai manifestasi (perwujudan) dari tanggung jawab ulama.
Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di kalangan kaum muslimin awam telah melahirkan penyelewengan lain pada sebagianorang yang melakukan dakwah kepada Allah, yang seharusnya berupaya memperbaharuikeadaan manusia dan mengajak mereka pada agama yang benar. Sebagian yang lain mengajarkan hukum-hukum yang salah kepada masyarakat umum, bahkan terjadi pula pertentangan dalam hukum-hukum tersebut sehingga merreka mengeluarkan kata-kata yang dibuat-buat(bid'ah) dan hina, dan pada beberapa waktu tertentu mengakibatkan kesesatan.

  1. Fenomena Penyelewengan Umat dari Agama yang Benar

    1. Kebodohan dalam masalah agama, tidak ada upaya mempelajari agama dan tidak pula berupaya membetulkan akidah dan ibadah.
    2. Orang-orang sesat dan pembuat bid'ah mengelabuhi kaum muslimin, memanipulasi syirik hingga seakan-akan merrupakan sesuatu yang baik dan mereka mempropagandakannya.
    3. Menyebarkan tabarruk (meminta berkah) yang dilarang secara syara' dengan bentuk dan caranya yang bermacam-macam hingga menjadi suatuyang terrbiasa, bahkan menjadi keyakinan bagi orang yang melakukannya.
    4. Berlebih-lebihan menggantungkan diri kepada makhluk, memohon bantuan dan pertolongan kepada mereka dan tawassul (berperantara) kepada orang-orang yang sudah meninggal.
    5. Berpaling dari syariat Allah dan mengambil hukum dari orang-orang sesat.
    6. Mengangkat orang-oang sesat yang ingkar dan zindiq menjadi pemimpin dan hakim-hakim yang memutuskan perkara bukan bedasarkan ketentuan Allah, membantu dan mendukung mereka, sebaliknya memerangi orang-orang yang bedakwah kepada Allah.
    7. Bergabung dengan golongan-golonganyang ingkar dan zindiq, dan menyerukan fanatisme jahiliyah, seperti ajakan pada nasionalisme dan partai-partai nasionalisme dan sekuler.
  2. Fenomena Penyelewengan dalam Menghadapi Penyelewengan Umat

    1. Melalaikan dan menganggap remeh dakwah kepada Allah dan dalam penyebaran ilmu yang benar kepada manusia, serta dalam upaya membebaskan manusia dari belenggu kemusyrikan, kekufuran, dan kesesatan.
    2. Tersebarkan pengafiran dan berlebih-lebihan di dalamnya tanpa memperhatika kriterria dan hukum-ukumnya. Pengafiran hanya dilakukan berdasarka keumuman dan aspek lahir sebagian nash yang tidak merujuk kepada ulama, serta munculnya aliran-aliran yang mengatasnamakan kelompok dakwahyang pada hakikatnya merupakan uapaya menghidupkan kembali aliranWa'idiyah yang berlebih-lebihan pada nash-nash ancaman dan mengafikan golongan umat yang terpilih. (Lihat al-Ghuluw fi ad-Dina, kaya Abdurrahman al-Luwaihiq).
    3. Munculnya fenomena kepasrahan pada nasib di kalangan kaum muslimin, sehingga umat merelakan agamanya sebagaimana adanya tanpa mempelajari agama yang benar dan tidak pula mengamalkannya, di samping meninggaklan dakwah dan jihad menegakkan kalmat Allah. (Lihat Zhahirah al-Irja' fi al-Fikr al-Islam, karya Syekh Safar bin Abdurrahman al-Hawali).
    4. Penyelewengan yang dilakukan sebagian orang dalam hal batas-batas kebodohan dalam masalah agama yang dapat ditoleransi danyang tidak, mengada-ada kriteria orang bodoh yang ditolerasi, dan pada gilirannya juga mengada-ada kriteria yang tidak dapat ditoleransi.
    5. Kaku dalam menyampaikan hukum-hukum dan fatwa-fatwa tanpa memberikan penjelasan dan menganalisa lingkup hukum da fatwa tersebut, kecuali pada bagian kecil dari pendapat ulama setempatdi antara para ulama yang terhormat dan para da'i yang ikhlas.

Bahaya Sikap Tergesa-gesa dalam Mengafirkan Seorang Muslim


Bahaya Sikap Tergesa-gesa dalam Mengafirkan Seorang Muslim

Pada hakikatnya mengafirkan seseorang adalah hak Allah SWT semata, sehingga tidak diperbolehkan mendahului ketentuan-Nya, kecuali dengan izin Allah SWT dan berdasarkan pengetahuan, atau berdasarkan nash-nash Alquran dan Sunnah Nabi saw serta hujjah (dalil) yang pasti dan tidak diragukan. Hal demikian karena, iman dan kafir terdapat dalam hati, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang, kecuali Allah SWT.
Tanda-tanda lahiriyah yang terdapat pada seseorang tidak secara meyakinkan dan pasti menunjukkan apa yang terdapat dalam hati, tetapi hanya bersifat dugaan. Sementara, Islam melarang mengikuti dugaan (prasangka) sebagaimana terdapat pada banyak nash Alquran dan Sunnah, dan dilarang pula hanya mencari -cari alasan atau pertanda atas suatu tuduhan, terutama dalam persoalan-persoalan akidah. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain...." (Al-Hujurat: 12).
Oleh karena itu, Rasulullah saw memperingatkan Usamah bin Zaid yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan 'Laa Ilaha Illallahu' (Tiada Tuhan selain Allah), sebagaimana pula Allah memperingatkan para sahabat yang hendak pergi berperang agar tidak membunuh seseorang yang memberi salam kepada mereka berdasarkan prasangka mereka bahwa ia mengucapkan salam tersebut hanya kemunafikan dan ketakutannya, maka Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan 'salam' kepadamu, 'kamu bukan seorang mukmin' (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu terdahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (An-Nisaa': 94)
Dengan demikian, adalah suatu keharusan mengetahui ketentuan hukum tentang seorang muslim yang keluar dari Islam dan masuk dalam kekafiran. Seorang muslim tidak dapat mengafirkan seseorang, kecuali berdasarkan petunjuk yang jelas seperti matahari di siang hari. Adapun bahaya dari sikap mengafirkan seorang muslim tanpa petunjuk yang jelas dapat menimbulkan beberapa akibat buruk yang menimpanya, di antaranya:

  1. Perlindungan terhadap darah dan hartanya menjadi hilang, sehingga tidak ada hukum qishash bagi pelakunya, tetapi hanya diasingkan.
  2. Memisahkan dirinya dengan pasangan (istrinya) dan memutuskan sebab warisan antara dirinya dan pasangannya.
  3. Kekuasaannya pada anak-anaknya menjadi hilang, karena tidak ada kepercayaan mereka kepadanya.
  4. Kepemimpinannya atas kaum muslimin putus dan harus dimusuhi.
  5. Terjadi pembunuhan atas dirinya.
  6. Tidak dimandikan dan tidak pula dikafani, serta tidak dapat dikuburkan di komplek pemakaman kaum muslimin.
Dan, akibat-akibat lain yang berbahaya yang muncul akibat klaim pengafiran yang tergesa-gesa tanpa berdasarkan bukti yang jelas. Jika bukti-buktinya banyak dan jelas, maka hilanglah bahaya pengafiran tersebut. Sebagaimana dituntutnya bukti-bukti pengafiran dan tidak adanya halangan untuk memutuskannya, maka diwajibkan pula penelitian dan pembahasan yang mendalam sebelum dikeluarkannya hukum pengafiran tersebut, terutama terhadap orang-orang yang telah menyatakan keislaman mereka dengan mengucapkan syahadat 'Laa Ilaha Illallahu Muhammadur Rasuulullahi' (Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah).
Imam as-Syaukani ra mengatakan, "Memutuskan kekafiran seseorang haruslah dengan keterbukaan dan dengan ketenangan hati serta kedamaian jiwa, sehingga tidak ada keputusan yang diterima dari dugaan kemusyrikan, terutama jika tidak mengetahui adanya penyimpangan dari jalan Islam. Juga tidak ada anggapan seseorang melakukan perbuatan kafir selama ia tidak keluar dari Islam dan menjadi kafir, dan tidak juga dapat ditentukan seseorang itu kafir hanya berdasarkan ucapannya yang menunjukkan ucapan seorang kafir, sedang ia tidak meyakini maknanya.
Maka, tidak setiap perbuatan atau perkataan yang menunjukkan kekafiran dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir, jika ia seorang muslim dan tidak mengetahui maksudnya. Akan tetapi, jika maksudnya sudah jelas dan hujjah (dalil) telah ditegakkan baginya dengan penjelasan bahwa perbuatan demikian dapat menjadikannya kafir, tetapi ia tetap melakukannya, maka ia adalah kafir. Jika kenyataan itu belum jelas, maka tidak diperbolehkan tergesa-gesa menuduhnya kafir.
Penjelasan di atas telah ditegaskan banyak nash yang melarang keras mengafirkan seorang muslim tanpa bukti yang jelas. Di antaranya sabda Rasulullh saw, "Orang yang mengatakan kepada saudaranya, 'Hai kafir', maka hal itu akan menyebabkan salah seorang di antara keduanya terbunuh." ( HR al-Bukhari). Sabda beliau yang lain, "Orang yang memanggil seseorang kafir, atau berkata, 'musuh Allah', sedangkan orang tersebut tidak demikian, maka ia telah sesat." (HR Muslim)
Ibnu Hajar berkata, "Hadis tersebut dimaksudkan untuk mencegah seorang muslim mengatakan demikian kepada saudaranya sesama muslim...." Disebutkan bahwa hadis ini menjelaskan seseorang yang mengafirkan saudaranya, kekurangan, dan dosanya dikembalikan kepadanya. Pengertian demikian ini dapat diterima. Disebutkan pula bahwa tindakan tersebut dikhawatirkan akan terus berlanjut pada kekafiran, seperti dikatakan bahwa perbuatan dosa adalah jalannya kekafiran, sehingga dikhawatirkan orang yang melakukannya akan mengalami suu'ul khatimah (meninggal dalam keadaan yang jelek).
Dari semua pendapat tersebut, saya menegaskan bahwa orang yang menyebut kafir saudaranya yang tidak diketahuinya kecuali keislamannya dan tidak ada keraguan dalam tuduhannya, maka ia adalah kafir. Ia menjadi kafir karena mengafirkan saudaranya. Jadi, pengertian hadis ini adalah bahwa pengafiran tersebut kembali kepada orang yang mengafirkan saudaranya, dan pendapat yang kuat adalah pengafiran dan bukannya kekafiran, seakan-akan ia mengafirkan dirinya, karena ia mengafirkan seseorang yang seperti dirinya, dan siapa yang tidak mengafirkannya selain orang kafir yang tidak mempercayai kebenaran agama Islam.
Di dalam hadis-hadis seperti ini juga terdapat peringatan keras untuk tidak tergesa-gesa mengafirkan sesama muslim, karena tindakan demikian mengandung ancaman terhadap kehormatan seorang muslim yang telah tegas keislamannya berdasarkan keyakinan. Oleh karena itu, tidak dibolehkan menuduh seseorang kafir, kecuali setelah mendapatkan bukti yang pasti akan kekafirannya secara meyakinkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, hadis-hadis demikian merupakan tameng bagi manusia untuk tidak melakukan tuduhan tanpa alasan kepada sesamanya. Tuduhan kafir kepada sesama muslim akan menyebabkannya terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang merupakan bagian dari kekafiran atau kemusyrikan ketika hukum diberlakukan baginya.

Al-Kufru al-Asghar (kafir Kecil)


Al-Kufru al-Asghar (kafir Kecil)

Al-Kufru al-Asghar (kafir kecil) ialah sesuatu yang tidak bertentangan dengan pokok iman dan tidak mengeluarkan pelakunya dari agama (Islam), tidak menyebabkannya kekal di dalam neraka, meskipun ia tetap mendapat siksaan dan ancaman jika ia melakukannya.
Ibnu Qayyim ra mengatakan, "Al-Kufru al-Ashghar (kafir kecil) menyebabkan seseorang mendapatkan siksaan, tetapi ia tidak kekal di dalam neraka, sebagaimana firman Allah SWT -ayat ini hukumnya di nasakh, tetapi masih berlaku bacaannya, "Janganlah kamu sekalian membenci nenek moyang kami, karena hal itu adalah kafir," dan sabda Rasulullah saw, "Ada dua perkara pada umatku yang merupakan kekafiran, yaitu menjelaskan silsilah keluarga dan membunuh seorang muslim." Demikian pula sabda Nabi saw dalam sunan Abu Daud, "Orang yang menggauli istrinya dalam keadaan haidh atau dari duburnya, maka ia telah mengufuri apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw." Dan dalam hadis lain disebutkan,"Orang yang mendatangi dukun atau paranormal dan ia mempercayai apa yang telah diucapkannya, maka ia telah mengufuri apa yang telah diturunkan Allah kepada Muhammad saw." Sabdanya lagi, "Janganlah kamu kembali kepada kekafiran setelah aku, di mana sebagian dari kamu akan membunuh (memenggal) sebagian yang lain."
Berikut ini, penafsiran dari Ibnu Abbas dan para sahabat pada umumnya tentang firman Allah SWT, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44). Ibnu Abbas ra berkata, "Hal ini bukanlah kekafiran yang dapat memindahkan seseorang menjadi agama lain (keluar dari Islam), tetapi jika ia melakukannya, ia menjadi kafir, tapi tidak sama dengan orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir." Thawus juga berkata demikian.
Atha' berkata, "Orang yang melakukan demikian adalah kafir di bawah kafir, dzalim di bawah dzalim dan fasik di bawah fasik."
Berdasarkan ini pulalah, ketaatan di sebut iman, sebagaimana firman Allah SWT: " ...dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu." (Al-Baqarah: 143). Maksud iman dalam ayat ini adalah salat menghadap ke Baitul Maqdis (Yerussalem), seperti bunyi ayat ini secara lengkap, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menjadikan Kiblat yang menjadi Kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (Al-Baqarah: 143). Dalam ayat ini disebutkan pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis (Palestina) ke Ka'bah (Mekah).
Adapun perbuatan dosa disebut 'kufur', seperti pada beberapa penjelasan di muka, dalam konteks penjelasan Ibnu Qayyim umpamanya, tetapi apa yang di sebut kafir dalam konteks ini bukanlah kafir yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam.
Beberapa hal yang mengindikasikan hal tersebut adalah disebutkannya ungkapan perbuatan dosa, seperti saling bunuh, mendatangi dukun, dan lain-lain. Adapun dalam keadaan tertentu, dosa (ma'siat) mencakup kafir dan selain kafir, seperti firman Allah SWT menyebutkan, "Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya." (Al-Jinn: 23). Dengan disebutkannya perbuatan dosa, dapatlah diketahui sejauh mana hal itu dapat menghilangkan pokok tauhid, dan pada umumnya jika bukan sebagai perbuatan dosa, maka hal itu adalah syirik yang nyata atau salah satu dari macam-macam kafir, yang termasuk kafir kecil sebagaimana disepakati secara bulat (sesuai Ijma') oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bahwa Rasulullah saw menyebut pertikaian di kalangan kaum muslimin sebagai kekafiran sebagaimana tergambar dalam sabdanya, "Janganlah kamu menjadi kafir setelahku, di mana sebagian kamu akan membunuh (memenggal) sebagian yang lain."
Allah SWT juga berfirman, "Sesungguhnya ada dua golongan di antara orang-orang yang beriman yang saling membunuh...."
Dengan demikian, kekafiran yang dimaksud dengan hadis ini bukanlah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam, jika tidak demikian, mengapa Allah menyebut orang-orang yang saling membunuh sebagai orang-orang beriman? Karena, mustahil apabila Sunnah bertentangan dengan Alquran, tetapi Sunnah merupakan penjelas bagi Alquran sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Maka, hadis tersebut cenderung mengandung pengertian yang tidak bertentangan dengan Alquran dengan menyebut orang-orang beriman yang saling membunuh.
Perbuatan ma'siat (dosa) kadang-kadang juga disebut sebagai perbuatan jahiliyah, karena keburukannya dan hal itu tidak menjadikan kafir pelakunya, kecuali kemusyrikan. Imam al-Bukhari ra berkata, "Perbuatan dosa merupakan perbuatan jahiliyah, tetapi hal itu tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, kecuali kemusyrikan." Hal ini berdasarkan hadis rasululah saw, "Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat perbuatan jahiliyah," dan firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa': 48). Kemudian al-Bukhari mengemukakan hadis dari Abu Dzarr tentang seseorang yang mencela orang lain dan ia mengejek ibunya dan Rasulullah saw menyebutkan hadis di atas.
Imam Badruddin al-'Aini mengatakan, "Aspek dalil yang ditunjukkan oleh hadis tersebut adalah bahwa beliau berkata kepada orang tersebut: 'Tindakanmu yang mengejek ibunya', hal itu merupakan perbuatan yang dilakukan orang-orang jahiliyah, dan bukan semata-mata kamu orang jahil (bodoh). Seandainya perbuatan tersebut merupakan suatu kekafiran, maka rasulullah saw akan menjelaskannya kepada Abu Dzarr dan tidak akan cukup dengan mengatakan: "Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat perbuatan jahiliyah," sebagaimana dipahami dari hadis ini bahwa yang dimaksudkannya bukanlah jahiliyah itu sendiri, sebab jahiliyah pada masanya adalah kekafiran, tetapi tindakannyalah yang merupakan perilaku jahiliyah.
Ibnu Hajar ra mengatakan, "Barangsiapa di dalam dirinya terdapat salah satu sifat dari sifat-sifat jahiliyah selain syirik, ia tidaklah keluar dari iman, baik dosa kecil maupun besar."
Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dikategorikan sebagai kekafiran tidak selamanya menyebabkan seseorang keluar dari Islam hingga terlihat hakikatnya dari segi bentuk kekafiran tersebut, kecil atau besar. Syekh Islam Ibnu Taymiyyah mengatakan, "Tidak setiap orang yang melakukan salah satu bagian dari kekafiran menjadi kafir mutlak sampai jelas hakikat kekafiran yang dilakukannya."
Sebagaimana kekafiran terbagi menjadi kecil dan besar, maka demikian pula halnya dengan kezaliman, kefasikan dan kemunafikan. Yang besar dari semua dosa tersebut menyebabkan pelakunya keluar dari agama dan kekal di dalam neraka, serta sinonim dengan kekafiran yang besar, sedangkan yang kecil, ia tidak menyebabkan hilangnya pokok keimanan dan tidak menghapuskannya secara keseluruhan, tetapi ia hanya mengurangi kesempurnaannya dan bagian-bagiannya, yang secara syara' menjadikan orang tersebut tercela. Jika terdapat hukum-hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, maka hukum-hukum tersebut diberlakukan pula baginya, karena ia tidak keluar dari Islam.
Adapun ciri-ciri dari kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan yang kecil adalah sebagaimana ciri-ciri kafir kecil seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Syekh al-Hakami ra mengatakan, "Tidak ada sesuatu yang dihilangkan dari seseorang karena perbuatannya yang termasuk kefasikan atau pelakunya sebagai fasik dan ia dapat tetap dikatakan muslim serta diberlakukan baginya hukum-hukum kaum muslimin. Sebab, tidak setiap kefasikan menyebabkan kafir, dan tidak setiap yang dinamakan kafir atau zalim mengeluarkan seseorang dari Islam, sampai jelas bukti-bukti dan tanda-tandanya. Hal demikian disebabkan karena setiap kekafiran, kezaliman, kefasikan, dan kemunafikan (sebagaimana dijelaskan dalam nas-nas yang ada) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Kategori besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama, karena menghilangkan pokok iman secara mendasar.
- Kategori kecil, yang mengurangi keimanan dan menghilangkan kesempurnaannya, tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari iman, sehingga kategori ini disebut kafir di bawah kafir, zalim di bawah zalim, fasik di bawah fasik, dan munafik di bawah munafik.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan tentang kafir kecil di atas adalah sebagai berikut:

  1. Orang-orang yang berbuat dosa tidak dikatakan mu'min, karena nas-nas tidak menyebutkan demikian, dan merupakan suatu keharusan memberlakukan nas-nas tersebut dan menetapkannya seperti adanya. Akan tetapi, karena perbuatan tersebut, mereka tidak pula dikatakan telah keluar dari agama. Iman yang hilang dari mereka adalah iman yang teraplikasikan, bukan fondasi iman, karena pangkal iman masih ada pada diri mereka.
    Berdasarkan hal di atas, Muhammad bin Nashr al-Marwazi berkata, "Allah dan Rasul-Nya serta jama'ah kaum muslimin menyebut sesuatu dengan sebutan yang secara umum berlaku untuk tindakan tersebut. Maka, orang yang berzina disebut fasik, yang menuduh seseorang berzina disebut fasik dan peminum khamr (minuman keras) itu fasik. Mereka tidak menyebutkan pelaku-pelaku dosa tersebut sebagai orang yang bertakwa dan wara' (menjauhi diri dari dosa, maksiat, dan sesuatu yang syubhat), tetapi kaum muslimin sepakat bahwa di dalam diri mereka yang melakukan dosa masih terdapat pangkal takwa dan wara', dan hal itu menjaganya untuk menjadi kafir atau menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu (syirik). Hal itu juga tidak menyebabkan mereka tidak dimandikan jenazahnya atau tidak disalatkan, mereka tetap dimandikan dan disalatkan.... Mereka juga tidak menyebut, orang yang melakukan dosa tersebut sebagai orang yang bertakwa atau wara', karena tindakannya yang melakukan sebagian dosa besar, tetapi mereka menyebutnya sebagai fasik dan fajir (orang berdosa), yang pada saat bersamaan ia juga telah melakukan sebagian dari ketakwaan dan wara, karenanya perbuatan dosa tersebut menghalangi penyebutan takwanya sebagai pujian dan kesucian dan Allah akan memberikan ampunan dan sorga. Kami juga tidak menyebutnya sebagai mukmin, tetapi menyebutnya sebagai orang fasik yang berzina, meskipun di dalam hatinya terdapat pangkal iman. Karena, iman adalah suatu sebutan yang dipuji oleh Allah bagi kaum mu'minin dan iman tersebut menyucikan mereka dan menjanjikan sorga bagi mereka.
  2. Sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya menyebut perbuatan-perbuatan dosa dengan sebutan kafir tanpa menyelewengkannya, sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan di dalam kitab-Nya (Alquran) dan apa yang diwahyukan kepada Nabi-Nya Muhammad saw. Maka, perbuatan yang disebutnya kafir, kami menyebutnya pula sebagai kafir, demikian pula yang disebut zalim atau fasik, kami menyebutnya zalim atau fasik. Adapun hukum-hukumnya, kami memberlakukannya sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya, maka kafir kecil meskipun disebutkan oleh syar'i (Allah dan Rasul-Nya) sebagai tindakan melakukan sebagian dosa besar, hal itu tidak mengeluarkan seorang hamba dari iman dan tidak memisahkannya dari agama, darahnya, hartanya dan keluarganya pun tidak halal (tidak boleh dibunuh).
Oleh karena itu, kafir besar dan kafir kecil harus dibedakan, hingga tidak terjerumus pada bahaya dengan menanggalkan iman dari pemiliknya dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak.

Hal-Hal yang Menyebabkan Timbulnya Kafir Besar (al-Kufru al-Akbar)


Hal-Hal yang Menyebabkan Timbulnya Kafir Besar (al-Kufru al-Akbar)

Hal-hal yang dapat menyebabkan kafir besar adalah sebagai berikut.
Tidak Menetapkan Pokok Iman secara Mutlak
Hal ini dapat terjadi karena penyimpangan dari syarat-syarat penetapan keimanan dari segi perkataan hati dan perbuatannya, yaitu kepercayaan dan ketaatan. Penyimpangan ini memiliki berbagai bentuk yang semuanya menunjukkan penolakan terhadap apa yang dibawa Rasulullah saw, baik dengan mendustakannya, berpaling darinya, meragukannya, atau mengingkarinya.
Jika perkataan hati yang tercermin dalam pengetahuan dan kepercayaan pada keterangan (berita) yang datang dari Rasulullah saw itu menyeleweng, hal itu merupakan kafir dusta atau berpaling atau ragu.
Ibnu Qayyim ra berkata, "Kafir dusta (takdzib) adalah meyakini bahwa Rasulullah saw dusta. Kafir ini sedikit dan jarang terdapat pada kalangan orang-orang kafir, karena Allah SWT telah menguatkan rasul-rasul-Nya dan memberikan bukti-bukti kepada mereka dan tanda-tanda atas kebenaran mereka, yang dengannya hujjah ditegakkan dan pengampunan (karena kebodohan) ditiadakan."
Tentang kafir berpaling (i'radh), ia mengatakan, "Pendengaran dan hatinya berpaling dari Rasulullah saw, tidak membenarkannya dan tidak pula mendustakannya, tidak menolongnya dan tidak pula memusuhinya, dan sama sekali tidak menghiraukan apa yang beliau bawa. Jelaslah bahwa sikap tersebut menunjukkan tidak adanya kepercayaan dan tidak pula ketaatan karena berpaling, sehingga hal demikian merupakan kafir yang besar karena sama sekali tidak ada pokok iman di dalam dirinya."
Adapun jika penyelewengan terjadi pada perbuatan hati dan anggota badan, yaitu ketundukan dan ketaatan, hal itu adalah kafir ingkar dan takabbur, karena adanya pengetahuan di dalam batinnya, bahkan keyakinan dalam dirinya tentang kebenaran berita dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenarannya). Maka perhatikanlah, betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (An-Naml: 14). Ayat ini merupakan dalil tentang kesombongan jiwa dan tabiat-tabiat keingkaran.
Di dalam Ma'arijul Qabul, ia juga mengatakan, "Jika ia menyembunyikan kebenaran, sedangkan ia mengetahui kebenarannya, hal itu adalah kafir ingkar (juhud) dan kitman (menyembunyikan kebenaran)."

Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenarannya). Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (An-Naml: 14).
"Dan setelah datang kepada mereka Alquran dari Allah SWT yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang mereka telah ketahui, lalu mereka ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu." (Al-Baqarah: 89).
"Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri al-kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (Al-Baqarah: 146-147).
Jika tidak ada perbuatan hati dan tidak pula anggota badan, sedangkan ia mengetahui berita dari Rasulullah saw dan mengakuinya dengan lisan, maka hal itu adalah kafir ingkar ('inad) dan takabbur (istikbar), seperti kafirnya iblis dan sebagian orang-orang Yahudi yang menyaksikan bahwa Rasulullah saw benar, tetapi mereka tidak mengikutinya seperti Hayyi bin Akhthab, Ka'ab bin al-Asyraf, dan lain-lain.

Menetapkan Pokok Iman secara Lahir Tanpa Batin
Bentuk kekafiran ini adalah kafir nifaq (munafik), yaitu menampakkan keimanan secara lisan dan perbuatan anggota badan, sementara hatinya tidak mempercayai dan tidak taat pada ajaran agama.
Di dalam kitab Ma'arij Qabul dijelaskan bahwa, "Jika hati kosong dari niat, keikhlasan dan kecintaan disertai ketaatan anggota badan secara lahir, hal itu adalah kafir nifaq, terdapat pengakuan mutlak maupun tidak ada, tidak adanya kepercayaan karena mendustakan maupun meragukan. Allah SWT berfirman, "Di antara manusia ada yang mengatakan: 'kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman." (Al-Baqarah: 8).
Para ulama menyebutkan enam macam dari kekafiran ini, yaitu:

  1. Mendustakan Rasulullah saw.
  2. Mendustakan sebagian ajaran yang di bawa Rasulullah saw.
  3. Membenci Rasulullah saw.
  4. Membenci sebagian ajaran yang di bawa Rasulullah saw.
  5. Merendahkan agama Rasulullah saw.
  6. Enggan (benci) berjuang untuk menyebarkan agama rasulullah saw.

Menetapkan Iman secara Hakiki, Kemudian Berpaling darinya
Jika iman tidak dapat terealisasi kecuali dengan terealisasinya unsur-unsurnya dari perkataan dan perbuatan secara lahir dan batin, dan jika kekafiran itu merupakan penyimpangan salah satu dari unsur-unsur tersebut yang menyentuh pokok iman, maka terealisasinya keimanan seseorang tidak lantas menjaminnya terbebas dari neraka, kecuali jika ia meninggal dalam keadaan iman dan tidak ada perkataan, perbuatan, dan keyakinannya yang bertentangan dengan pokok iman.
Jika di dalam diri seseorang terdapat perbuatan, perkataan atau keyakinan yang bertentangan dengan pokok iman, maka keimanannya hilang dan karenanya ia keluar dari iman menjadi kafir. Na'udzubillah (kita mohon perlindungan kepada Allah dari hal ini).
Para ulama telah mengemukakan hal-hal yang bertentangan dengan pokok iman ini di dalam kitab-kitab mereka, baik mengenai hukum murtad (keluar dari Islam), maupun buku-buku khusus yang membahas penyimpangan-penyimpangan tersebut. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menghimpun penyimpangan-penyimpangan yang bertentangan dengan pokok iman dalam risalah tersendiri, yang merupakan buku yang paling lengkap dalam persoalan ini.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, "Ketahuilah bahwa hal-hal yang bisa menggugurkan (merusak) Islam ada sepuluh macam, yaitu:
Pertama, syirik (menyekutukan Allah) dalam beribadah kepada Allah SWT.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya" (An-Nisa': 48).
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya sorga dan tempatnya ia adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zalim itu seorang penolong pun." (Al-Maidah: 72). Contohnya adalah seperti menyembelih bukan untuk Allah, tetapi untuk jin atau kuburan.
Kedua, orang yang membuat perantara-perantara antara dirinya dengan Allah, meminta syafa'at kepada mereka, dan menggantungkan diri kepada mereka. Hal ini kafir secara Ijma' (konsensus ulama).
Ketiga, orang yang tidak mengafirkan orang-orang musyrik atau meragukan kekafiran mereka atau membenarkan aliran mereka.
Keempat, orang yang berkeyakinan akan adanya petunjuk yang lebih lengkap daripada petunjuk Nabi saw atau hukum lain lebih baik dari hukum beliau, seperti orang yang mendahulukan hukum orang-orang yang sesat daripada hukum beliau.
Kelima, orang yang membenci sesuatu yang di bawa oleh Rasulullah saw, meskipun ia melakukan hal itu.
Keenam, orang yang mengolok-olok sesuatu yang di bawa oleh Rasulullah saw, atau pahala dan siksanya.
"... katakanlah, 'apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman...." (At-Taubah: 65-66).
Ketujuh, Sihir, seperti mantra-mantra dan jampi-jampi. Orang yang melakukannya atau menyetujuinya adalah kafir.
"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman itu tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir'. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui." (Albaqarah: 102).
Kedelapan, mendampingi dan membantu orang-orang musyrik yang memerangi kaum muslimin.
"Barangsiapa di antara kamu mangambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah SWT tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Maidah: 51).
Kesembilan, orang yang berkeyakinan bahwa manusia dapat keluar dari (boleh tidak mengikuti) syariat Muhammad sebagaimana Khidhir keluar dari syariat Musa as.
Kesepuluh, berpaling dari agama Allah SWT, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya.
"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (As-Sajdah: 22).
Semua hal yang disebutkan di atas mempunyai bahaya yang besar, dan sering manusia terjebak di dalamnya. Oleh karena itu, seorang muslim wajib waspada dan menghindarinya serta takut akan hal itu sehingga tidak menimpa dirinya.

Macam-Macam Kekafiran


Macam-Macam Kekafiran

Hadis Jibril yang populer menyebutkan, agama terdiri dari tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Ihsan mencakup Islam dan Iman. Sedang Iman mencakup Islam, dan Islam sendiri menuntut dasar keimanan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa dasar agama adalah pelaksanaan Islam secara global dan menyatakan kepercayaan terhadap semua berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berdasarkan keyakinan. Orang yang melaksanakan dasar ini, sebagai langkah awal, ia telah dinyatakan Islam. Jika kemudian diikuti dengan melaksanakan perintah-perintah agama dan meninggalkan larangan-larangannya, serta tidak melakukan pelanggaran yang berarti, maka keislamannya meningkat dan dapat berlanjut pada kesempurnaannya dengan merealisasikan iman dan ihsannya.
Pengakuan ini adalah dasar agama. Ketika iman terdiri dari pokok-pokok (ushul) dan cabang-cabang (furu'), yaitu melakukan kewajiban-kewajiban dan kebaikan-kebaikan serta meninggalkan larangan-larangan, maka cabang-cabang ini tidak berarti apa-apa kecuali jika dasarnya telah terlaksana. Maka orang yang berpaling dari dasar ini, pada kenyataannya ia adalah kafir, meskipun ia melaksanakan cabang-cabang iman.
Demikian juga kekafiran, ia terdiri dari pokok-pokoknya dan bagian-bagiannya. Maka orang yang terjerumus ke dalam pokok kekafiran, yaitu yang bertentangan dengan pokok iman dan hakikatnya, maka tidak diragukan lagi bahwa ia adalah kafir. Adapun orang yang terjerumus ke dalam bagian-bagian tertentu dari kekafiran yang tidak bertentangan dengan pokok-pokok keimanan dan hakikatnya, sedangkan ia memiliki pokok keimanan yang menetapkan keislamannya, maka ia tidak dapat diklaim sebagai kafir.
Akan tetapi, tindakannya yang melakukan bagian-bagian dari kekafiran memberikan pengaruh pada cabang-cabang keimanan, dari segi derajat keimanannya, sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama salaf ketika mereka ditanya mengenai sabda Rasul saw, "Tidak ada seseorang yang berzina ketika dia dalam keadaan mukmin" mereka mengatakan bahwa inilah Islam yang meliputi cakupan yang luas, sedangkan iman meliputi cakupan kecil dalam lingkup yang besar. Maka, ketika seseorang berzina atau mencuri, ia keluar dari lingkaran iman masuk ke lingkaran Islam, tetapi tidak mengeluarkannya dari Islam kecuali jika ia mengingkari Allah SWT.
Oleh karena itu, hilangnya keislaman seseorang mengharuskan hilangnya keimanan darinya, berbeda dengan hilangnya keimanan seseorang tidak mengharuskan hilangnya keislaman darinya.
Jadi, pokok iman berhadapan dengan pokok kufur. Tingkatan keimanan dan cabang-cabangnya berhadapan dengan tingkatan kekafiran dan bagian-bagiannya. Masing-masing dari keduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, ada dan tidak adanya.
Dari keterkaitan yang terdapat pada nama-nama dan hukum-hukum ini, jelaslah bagi Anda maksud para ulama mengenai pembagian kafir menjadi bermacam-macam, dan ketahuilah bahwa hal ini merupakan penjelasan yang menyatakan bahwa tidak selayaknya seseorang menuduh orang atau perbuatan tertentu sebagai kekafiran. Maksudnya adalah kekafiran yang bertentangan dengan pokok iman yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi kadang-kadang juga dimaksudkan selain itu, yaitu apa yang sering disebut dengan kufur kecil yang menurunkan iman seseorang tetapi tidak menghilangkan keislamannya, sedangkan keislamannya tersebut hanya akan hilang apabila ia mengingkari atau kafir kepada Allah SWT.
Pangkal Macam-Macam Kekafiran
Sebagaimana disebutkan bahwa dilihat dari segi berlawanannya dengan pokok keimanan, kekafiran terdiri dari beberapa macam. Berdasarkan hal ini kekafiran dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama,Sesuatu yang bertentangan dengan agama, yaitu mengeluarkan seseorang dari Islam dan menjadi kafir dan diakhirat ia kekal di dalam neraka.
Para ulama menyebutkan kekafiran ini dengan kufur besar (al-kufru al-akbar), yaitu kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari Islam dan menggugurkan keimanannya. Kekafiran ini adalah kufur yang tidak memberikan kesempatan menyandang iman bagi orang yang masuk ke dalamnya, dan itu terjadi dengan perkataan atau perbuatan yang menunjukkan kekafiran tersebut dengan dilakukannya unsur-unsur kekafiran tersebut.
Oleh karena itu, ungkapan bahwa kekafiran yang berdasarkan keyakinan adalah kekafiran yang besar (al-kufru al-akbar) dan ia berhadapan dengan kafir perbuatan yang merupakan kufur kecil adalah ungkapan yang salah. Akan tetapi, kufur perbuatan kadang-kadang merupakan kufur akbar (kufur besar).
Ibnu Qayyim ra berkata, "Sebagaimana kekafiran terjadi dengan perkataan, dan itu merupakan bagian dari kekafiran, demikian pula kekufuran terjadi sebab melakukan sebagian perbuatan kafir seperti menyembah patung dan menghina mushhaf."
Kedua,Tindakan yang tidak bertentangan dengan pokok keimanan, tetapi perbuatan tersebut berkaiatan dengan cabang-cabang iman, tingkatannya, dan hal-hal yang dapat menyempurnakannya, sehingga tidak mengeluarkan seseorang dari lingkaran agama Islam. Sebab, pokok iman masih melekat pada dirinya, selama tidak ada penentangnya, baik dari perkataan maupun perbuatan. Pada kekafiran semacam ini, yang hilang adalah kesempurnaan iman dan derajat yang dapat meningkatkan pokok iman dan tingkatan keislamannya, bukan semata-mata iman.
Kekafiran ini yang disebut dengan 'al-kufru al-ashghar' (kufur kecil) adalah selain dari kufur besar. Untuk menyebut hal ini, para ulama mempunyai istilah khusus seperti sebutan 'kufrun duuna kufrin' (kekafiran di bawah kekafiran), kezaliman di bawah kezaliman dan kefasikan di bawah kefasikan.
Al-Kufru al-Akbar (Kafir Besar)
Al-Kufru al-akbar (kafir besar) adalah sesuatu yang bertentangan dengan pokok iman dan hakikatnya, yang menjadikan seseorang kekal di dalam neraka dan mengeluarkan seseorang dari Islam.
Al-Kufru al-akbar terbagi menjadi beberapa macam. Para ulama menyebutkan beberapa hal, di antaranya Ibnu Qayyim, dia berkata: "Kufur akbar terdiri dari lima macam, yaitu Kafir karena dusta, kufur karena takabbur dan enggan percaya, kufur karena berpaling, kufur karena ragu dan kufur karena nifaq (munafiq)."
Dalil-dalil kekafiran tersebut:
Pertama, kufur karena dusta, Allah berfirman yang artinya, "Maka siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya. Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?" (Az-Zumar: 32)
Kedua, kufur karena takabbur dan enggan percaya, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'sujudlah kamu kepada Adam', maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir?" (Al-Baqarah: 34)
Ketiga,kufur karena berpaling, Allah berfirman, "Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka." (Al-Ahqaaf: 3)
Keempat,kufur karena ragu, Allah berfirman, "Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata dengan kawannya (yang mukmin) ketika ia bercakap-cakap dengan dia, 'Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat', Dan ia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendirinya, ia berkata, 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira bahwa hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu'. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya, sedang ia bercakap-cakap dengannya, 'Apakah kamu kufur kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna'." (Al-Kahfi: 34-37)
Kelima,kufur karena nifaq, Allah berfirman, "Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti."
(Al-Munafiquun: 3)
Syekh Ibnu Taimiyah membagi kufur menjadi dua macam, yaitu kafir zahir dan kafir nifaq (kafir yang terang-terangan dan kafir yang disembunyikan).
Syekh Muhammad Shiddiq Khan juga membagi kafir menjadi dua macam, yaitu kafir sharih (jelas) dan kafir ta'wil.
Namun demikian, pendapat Muhammad Hasan khan memerlukan penjelasan lebih lanjut, yaitu tentang bentuk kafir yang kedua, yaitu kafir ta'wil. Jika yang ia maksudkan adalah kafir kecil (ashghar), maka ia tidak termasuk ke dalam macam-macam kekafiran dalam pembahasan ini (kafir besar). Hal ini, karena seseorang yang melakukan kafir yang besar kadang-kadang berdasarkan penafsiran (ta'wil) yang ia lakukan, dan ia dapat diampuni karena beberapa alasan seperti penafsiran itu sendiri.
Pembagian kafir besar (akbar) yang dilakukan para ulama tidak terlepas dari pembagian istilah yang memerlukan banyak pertimbangan, yang terpenting adalah pertimbangan ilmiyah dengan meneliti nash-nash dan ijtihad berdasarkan nash-nash tersebut.
Hal itu dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada manusia supaya mereka mempelajarinya dan tidak terjerumus ke dalam kekafiran itu, sebagai upaya menghalau keragu-raguan atau kesamaran-kesamaran yang timbul dalam benak manusia, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa kafir hanya ada satu macam yaitu ingkar kepada Allah Sang Pencipta atau keyakinan adanya sekutu bagi Allah, dan selain itu tidak berpengaruh kepada keimanan selama pernyataan tauhid (dua syahadat) telah diucapkan dengan jelas.
Jika kita mau melihat hakikat kafir yang merupakan lawan dari iman dari setiap aspeknya, di mana orang yang melakukannya berdasarkan pengetahuan dan dengan sengaja menjadi kafir dan keluar dari agama Islam di dunia, sedang di akhirat ia kekal di dalam neraka, maka jika kita ingin mengetahui hakikat kekafiran dari aspek ini, kita dapat mengembalikan semua pembagian kekafiran pada tiga pokok yang menghimpun macam-macam kekafiran besar tersebut.
Pertama, dapat dilihat dari segi kekafiran yang menghilangkan pokok keimanan, yaitu penyimpangan dengan perkataan hati yang merupakan perwujudan ilmu dan kepercayaan, dan perbuatan hati yang merupakan ketaatan atas keislamannya. Hal itu dikarenakan iman adalah perkataan dan perbuatan, dan keduanya adalah fondasi yang asasi. Jika salah satunya menyimpang, yang lainnya tidak diperhitungkan. Hal yang dapat menghilangkan pokok iman ini adalah jika berpaling dari pelaksanaan secara terperinci dalam melakukan perintah atau meninggalkan larangan, dan kekafiran itu terjadi dengan menolak perintah dan mengingkarinya.
Pokok iman kadang-kadang ditetapkan jika terdapat pernyataan dan pelaksanaan secara global, bahkan kadang-kadang ditetapkan pula dengan cara yang lebih tinggi derajatnya, yaitu dengan pelaksanaan secara terperinci. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi kekurangan yang juga dapat mengurangi keimanan. (bersambung)

Fase-Fase dan Keadaan Golongan yang Selamat


Fase-Fase dan Keadaan Golongan yang Selamat
Banyak nash yang memerintahkan agar berpegang teguh pada Jamaah, sebagaimana dijabarkan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.
1. Di antaranya terdapat nash-nash yang memerintahkan agar berpegang pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, seperti dalam hadis-hadis mengenai perpecahan umat dan hadis berikut, "Senantiasa ada segologan dari umatku yang tetap membela kebenaran." Juga dalam hadis yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah Rasulullah saw dan Sunnah Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin setelah sepeninggal Nabi saw.
2. Di dalamnya terdapat pula nash-nash yang memerintahkan untuk mengikuti Jamaah yang mempunyai pemimpin. Hadis mengenai hal tersebut antara lain, "Barangsiapa melihat sesuatu (yang tidak disukainya) dari seorang penguasa, hendaklah dia bersabar. Sebab, barangsiapa memisahkan diri dari Jamaah walaupun sejengkal, maka ia akan mati dalam keadaan Jahiliyah." Juga hadis berikut: "Barangsiapa menginginkan sorga, hendaklah berpegang teguh pada Jama'ah." Perintah-peritah seperti ini masih terdapat pada hadis-hadis yang lain.
3. Terdapat pula nash-nash yang berkaitan dengan rincian perintah agar berpegang teguh pada Jamaah kaum muslimin beserta Imam mereka jika keduanya ada. Jika tidak ada, hendaklah meninggalkan firqah-firqah yang ada. Hal ini ditunjukkan oleh hadis Hudzaifah dengan berbagai riwayat yang berbeda-beda.
Nash-nash seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa Firqah an-Naajiyah (gologan yang selamat) atau Ahli Sunnah wal Jamaah mempunyai keadaan yang berbeda-beda:
Pertama, Terdapat Imam yang sah (Imam Syar'i) yang sekaligus menjadi Imam Ahli Sunnah wal Jamaah dengan mengikuti mazhab mereka, menyeru kepadanya, menjalankannya, serta mewaspadai siapa saja yang menentangnya dan memerangi pengikut aliran sesat dan bid'ah. Keadaan seperti ini terjadi pada masa khulafaur-rasyidin. Pada masa itu berhimpun dua makna sekaligus dalam Jamaah. Al-Jamaah adalah orang-orang yang berhimpun mengikuti Imam, dan al-Jamaah adalah Ahli Sunnah wal Jamaah.
Keadaan seperti inilah yang tertinggi, keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap muslim pada masa kini agar terwujud di dalam umat ini. Pada kondisi seperti ini, wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti al-Jamaah, dan mengikuti pemimpin serta memenuhi seruannya.
Kedua, Ada seorang Imam, namun ia pelaku bid'ah, tidak iltizam kepada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, bahkan sering mengikuti mazhab ahli bid'ah. Akan tetapi, di kalangan umat masih terdapat sekelompok atau individu yang terpencar-pencar yang tetap lantang menyerukan mazhab Ahli Sunnah. Mereka juga siap memikul beban apa pun dalam rangka menempuh jalan tersebut, sekalipun harus menerima ujian dan cobaan berat. Keadaan seperti ini terjadi pada masa al-Ma'mun yang mengambil mazhab Mu'tazilah dan memaksa rakyatnya untuk mengikutinya. Demi kepentingan itu, ia tak segan-segan melakukan penyiksaan terhadap mereka. Al-Ma'mun adalah seorang Imam yang melakukan bid'ah. Namun, pada masa kekuasaanya masih terdapat jamaah Ahli Sunnah yang menentang bid'ah dan iltizaam (berpegang teguh) pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah. Mereka tidak menaati khalifah untuk mengikuti Mu'tazilah.
Dalam kondisi seperti ini, setiap muslim mempunyai dua kewajiban:
(a) Hendaknya mengikuti Imam, dalam pengertian tidak memberontak kepadanya sekalipun Imam itu seorang fasik, sebagaimana ajaran Ahli Sunnah wal Jamaah. Akan tetapi, ia tidak boleh menaatinya dalam maksiat kepada Allah, seperti yang diserukannya itu. Sebab, seorang amir wajib ditaati selama ia tidak memerintahkan maksiat. Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat.
(b) Agar tetap berpegang pada mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah dan memihak kepada jama'ah yang menyeru kepada kebaikan. Di samping itu, hendaknya ia berjuang melawan bid'ah. Ia harus menyerukan kebenaran sebagaimana seruan mereka kepadanya. Hal ini didukung oleh sabda Rasul saw kepada Hudzaifah, "Ikutilah Jamaah kaum muslimin dan Imam mereka."
Ketiga, Tidak terdapat pemimpin yang sah, baik yang adil maupun yang zalim, sebagaimana terjadi pada sebagian umat Islam. Namun demikian, masih terdapat Ahli Sunnah wal Jamaah, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Dalam keadaan seperti ini wajib bagi seorang muslim mengikuti jamaah tersebut dan bersatu menyerukan kepada jalan Allah. Hendaknya mereka juga berperan aktif dalam rangka menegakkan kewajiban mereka, yaitu menegakkan ad-din dan menyerukan mazhab Ahli Sunnah. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasul saw, "Ikutilah jama'ah kaum muslimin dan imam mereka."
Hudzaifah berkata, "Jika tidak tedapat jamaah dan imam ...." Maksudnya, jika terdapat jamaah kaum muslimin, tetapi tidak terdapat Imam yang sah, maka wajib seorang muslim untuk mengikuti jamaah ini.
Keempat, Di kalangan kaum muslimin tidak ada imam dan jama'ah, yang menyeru kepada mazhab Ahli Sunnah. Keadaan seperti lazim terjadi pada masa-masa berkecamuknya fitnah besar, seorang muslim yang iltizam terhadap mazhab Ahli Sunnah menjadi sangat asing, tidak ada seorang pun yang membela dan melindunginya, kecuali ahli bid'ah.
Pada kondisi seperti ini, seorang muslim wajib mencari jamaah yang mengikuti mazhab Ahli Sunnah. Jika ia tidak menemukannya, haruslah menyeru kepada kebenaran dan berusaha membentuk jamaah seperti itu. Kaum salaf dahulu menyerukan orang lain di negeri-negeri yang jauh untuk menegakkan mazhab Ahli Sunnah dan membentuk jamaah. Ibnu Wadlah meriwayatkan dari beberapa orang bahwa Asad Ibnu Musa menulis surat kepada Asad bin Furat, "Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa yang mendorongku untuk menulis surat kepada Anda adalah cerita penduduk negeri Anda tentang sikap Anda yang baik terhadap orang lain. Dan keadaan Anda yang baik dalam menzahirkan sunnah dan mencela ahli bid'ah. Cerita Anda yang banyak tentang mereka beserta kecaman terhadap mereka. Allah menaklukkan mereka dengan perantara Anda, karena Anda pula Ahli Sunnah menjadi eksis dan kuat. Allah telah memberikan kekuatan kepada Anda, sehingga mampu menangkap cacat dan cela mereka. Hingga Allah menghinakan dan membuat takut mereka. Bergembiralah, wahai saudaraku, dengan pahala yang patut Anda terima, dan hitunglah hal itu sebagai kebaikan-kebaikan yang lebih utama daripada pahala salat, saum, haji, dan jihad. Di manakah letak amal-amal ini dalam rangka menegakkan kitabullah dan menghidupkan sunnah Rasul-Nya?" Lalu ia menyebut hadis-hadis tentang dakwah dan seruan menghidupkan sunnah, kemudia ia berkata, "Maka peliharalah hal itu dan serukan sunnah hingga Anda bisa memperoleh kerukunan dan jamaah yang mampu mengganti kedudukan Anda bila terjadi sesuatu terhadap diri Anda. Agar mereka menjadi imam-imam setelah Anda, dan Anda patut menerima pahala karena jerih payah itu hingga hari kiamat, sebagaimana tersebut dalam hadis. Karena itu, bekerjalah dengan mengikuti bashirah (kata hati) dan niat dengan penuh perhitungan...." (Ibnu Wadhah dalam al-Bida' wan Nahyu Anha, h. 5-7).
Jika seorang muslim tidak mendapati jamaah dan tidak mendengarnya dari seorang pun, maka ia tidak boleh condong kepada seorang pun dari ahli bid'ah, bahkan diperintahkan kepadanya untuk menjauhkan diri (uzlah) sampai datang keputusan Allah sesuai dengan yang Dia kehendaki, atau ia mati pada saat mengasingkan diri (i'tizal). Nabi saw bersabda kepada Hudzaifah al-Yamani, "Hai Hudzaifah, lebih baik Engkau mati menggigit akar pepohonan daripada Engkau mengikuti salah seorang dari mereka."

Sinopsis Pembahasan Kitab "Ahlu Sunnah wal Jama'ah Maalimul Inthilaaqah al-Kubraa" (Bagian II)


Sinopsis Pembahasan Kitab "Ahlu Sunnah wal Jama'ah Maalimul Inthilaaqah al-Kubraa" (Bagian II)
Lanjutan dari tulisan terdahulu untuk kajian kitab yang sama.

  1. Firqah-firqah yang menyalahi Ahlu Sunnah wal Jama'ah adalah Murji'ah, Khawarij, Rafidhah, Qadariyah dan Jahmiyah.
    1. Murji'ah. Golongan ini yang pertama kali berpendapat bahwa amal perbuatan tidak termasuk iman. Pada umumnya, perselisihan mereka dalam masalah lafazh, bukan masalah hukum. Kemudian pendapat-pendapat mereka meningkat lebih berat, hingga menyepakati pengabaian nilai-nilai amalan. Sebagian mereka tidak wajib melaksanakan faraidh (kewajiban) dan tidak perlu menjauhi hal-hal yang diharamkan. Mereka menganggap cukup dengan mengatakan beriman.
    2. Khawarij. Prinsip mazhab mereka adalah mengagungkan Alquran dan menuntut untuk diikutinya, tetapi mereka keliru dalam memahaminya dan keluar dari Sunnah dan Jama'ah. Di samping itu, mereka membenarkan bahwa Nabi berbuat dzalim. Mereka tidak mematuhi hukum-hukumnya dan tidak pula hukum-hukum para imam sesudahnya. Mereka tidak mengikuti Sunnah yang mereka anggap bertentangan dengan Alquran, seperti hukum rajam, menolak kadar nishab untuk hukuman potongan tangan bagi si pencuri, dan lainnya. Mereka juga mengafirkan orang yang menyalahi pendapat mereka. Karena, menurut mereka, barangsiapa yang menyalahi Alquran patut dikafirkan, meskipun ia hanya keliru atau merasa berbuat dosa, padahal ia meyakini kewajiban dan keharamannya. Mereka juga menghalalkan darah penentangnya karena dianggap murtad. Akan tetapi, mereka justru tidak menghalalkan darah orang kafir. Bid'ah mereka, dalam mengafirkan kaum muslimin karena dosa-dosa dan kekeliruannya, merupakan bid'ah pertama yang muncul dalam Islam.
    3. Rafidhah atau Syi'ah. Pokok pendapat mereka adalah bahwa sesungguhnya Nabi telah mengangkat Ali dengan pengangkatan yang tak terbantahkan. Sebagian dari mereka (golongan mufadhdhilah) berpendapat bahwa Ali ra lebih utama daripada Abu Bakar dan Umar. Golongan Sabah (pencaci maki) membolehkan mencaci maki Abu Bakar dan Umar, sedangkan golongan ekstrim (ghulah) berkeyakinan secara berlebihan hingga mempertuhankan Ali ra.
      Rafidhah berpendapat bahwa Ali itu ma'shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan) dan menganggap kafir orang yang menentangnya. Mereka menganggap bahwa para sahabat Muhajirin dan Anshar telah menyembunyikan nash tentang pengangkatan Ali, mengingkari keimamannya yang ma'shum, mengikuti hawa nafsu mereka, mengganti agama, mengubah syariat, berlaku aniaya, dan melampui batas. Mereka menganggap bahwa para sahabat itu kafir, kecuali sedikit dari mereka. Mereka juga berpendapat bahwa para imam mereka ma'shum, mengetahui segala sesuatu, dan merupakan sumber kebenaran dan ilmu, bukan Alquran dan as-Sunnah.
      Mereka termasuk golongan yang paling berdusta dan yang paling banyak mengidap banyak kedengkian terhadap Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Jumhur mereka menyebut dan memvonis, Ahlu Sunnah lebih kafir dari Yahudi dan Nashrani, sebab, menurut mereka Ahli Sunnah itu murtad. Oleh karena itu, mereka bersekongkol dengan orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan Ahli Kitab untuk melawan Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Mereka merupakan golongan bid'ah yang jauh dari Alquran dan Sunnah, mereka sangat berbahaya bagi Islam dan pemeluknya. Dari merekalah lahir induk-induk zindik dan munafik, seperti al-Qaramithah, al-Bathiniyah dan sejenisnya. Sebagian besar imam mereka juga adalah zindiq yang menampakkan sikap penolakan terhadap Islam, karena ini merupakan cara untuk menjatuhkan Islam.
    4. Qadariyah atau Mu'tazilah. Akal mereka tak berdaya menyatukan iman dengan takdir, iman dengan perintah serta larangan, janji serta ancaman, dan mereka menyangka bahwa hal demikian tidak mungkin. Oleh sebab itu, mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT tidak menghendaki kecuali apa yang diperintahkan dan tidak menciptakan amalan para hamba sama sekali, sehingga menafikan kekuasaan, kehendak serta ilmu Allah. Mereka menyerupai Majusi dalam berbuat syirik rububiyah dengan menjadikan selain Allah sebagai Pencipta. Mereka menamakan Jama'ah dan as-Sawaadul A'dzam dari Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagai orang awam atau rakyat jelata.
      Prinsip-prinsip ajaran mereka ada lima:
      • Tauhid: Prinsip ini, menurut mereka, mencakup pengingkaran dan penolakan tentang sifat-sifat Allah.

      • Adil: Menurut mereka, adil ini mencakup pengingkaran terhadap takdir Allah, bahkan golongan ekstrim dari mereka menafikan ilmu Allah yang qadim.

      • Manzilah bainal Manzilatain: Menurut mereka, orang fasik tidak bisa disebut orang beriman pada satu aspek, dan tidak pula disebut orang kafir, maka mereka menempatkannya pada posisi di antara dua kedudukan.

      • Pelaksanaan ancaman siksa: Menurut mereka, orang Islam yang berbuat fasik kekal di dalam neraka, dan tidak akan dikeluarkan karena syafaat atau lainnya, sama dengan pendapat kaum khawarij.

      • Amar ma'ruf nahi munkar: Menurut mereka, prinsip ini meliputi diperbolehkannya keluar menentang para Imam dan memerangi mereka dengan pedang.
    5. Jahmiyah. Mereka menganggap bahwa qadar itu menyalahi syari'at, sehingga mereka menolak kebijaksanaan dan keadilan Allah. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya seorang hamba tidak memiliki perbuatan dan kekuatan sama sekali, yang berbuat dan berkuasa hanyalah Allah semata-mata. Oleh karena itu, Allah hanya mempunyai sifat kuasa (Qadir) tanpa sifat-sifat lainnya.
      Mereka berkata: "Tidak ada perbedan antara yang diperintahkan dan yang dilarang Allah. Seluruhnya sama. Demikian juga, antara para wali (kekasih) dan musuh-musuh-Nya, serta antara yang dicintai dan yang dibenci-Nya. Dia hanya membedakan antara dua hal yang serupa semata-mata berdasarkan masyi'ah (kehendak-Nya). Dia memerintahkan ini dan melarang ini."
      Mereka mengingkari perbedaan dan pembagian antara tauhid dan syirik, antara iman dan kufur, antara ketaatan dan kemaksiatan, serta antara halal dan haram. Mereka menjadikan iman hanya sebagai pengetahuan semata-mata.
      Menurut mereka, tidak ada perbedaan antara beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya. Bahkan mereka membolehkan beribadah kepada selain-Nya, sebagaimana halnya mereka membolehkan beribadah kepada-Nya.. Sehingga puncak tauhid mereka adalah ketauhidan orang musyrik. Orang arif, menurut mereka, adalah orang yang tidak menganggap buruk sesuatu yang buruk, mereka juga mengingkari syariat dan nubuwwah (kenabian). Secara batin mereka adalah munafik, dan musyrik lahir dan batin.

  2. Ahli Sunnah membedakan antara bid'ah yang ringan dan perselisihan yang lafdziyah dengan bid'ah berat dan perselisihan mengenai hakikat, makna, serta prinsip-prinsip besar. Oleh karena itu, mereka membagi bid'ah menjadi bermacam-macam:

    1. Bid'ah yang pelakunya tidak dikafirkan, seperti Murji'ah dan Syiah Mufadhilah.

    2. Bid'ah yang pelakunya masih diperselisihkan kekafirannya, seperti Khawaij dan Rafidhah.

    3. Bid'ah yang pelakunya dikafirkan secara umum, bukan terhadap kelompok tertentu, seperti Jahmiyah murni.
    Akan tetapi, selain itu mereka juga membedakan antara hukum umum atas pelaku-pelaku bid'ah dengan tuduhan maksiat, fasik, atau kafir dengan hukum terhadap pribadi tertentu -bagi orang yang menetapkan Islamnya secara yakin- yang melakukan salah satu dari bid'ah-bid'ah tersebut dengan tuduhan maksiat, fasik atau kafir. Dengan demikian, terhadap pribadi-pribadi tertentu mereka tidak menghukuminya, sampai pendapatnya jelas bertentangan dengan Sunnah berdasarkan hujjah yang kuat, tanpa keraguan. Sebagaimana mereka membedakan antara nash-nash ancaman yang bersifat umum dengan patut atau tidaknya seseorang dikenai ancaman tersebut di akhirat. Karena ada kalanya hukum ancaman itu tidak dikenakan kepada orang-orang tertentu disebabkan ia telah bertaubat, atau mempunyai kebaikan-kebaikan yang dapat menghapus dosa-dosanya, atau ditimpa musibah yang dapat menutupi dosa-dosanya, atau karena mendapat syafaat. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa ditetapkan apakah ia masuk sorga atau neraka, kecuali disertai dalil-dali khusus.
    Pengafiran termasuk hukuman. Oleh sebab itu, perkataan atau pendapat pelaku bid'ah yang mendustakan sabda Nabi bisa diampuni. Karena, boleh jadi orang tersebut baru masuk Islam (muallaf), atau ia dibesarkan di kampung yang terpencil, atau ia tidak mendapatkan nash-nash yang jelas, atau ia menghadapi kesulitan sehingga ia harus menakwilkannya, tetapi keliru. Maka orang yang berijtihad dan melakukan takwil dalam rangka mengikuti Rasul, serta orang awam yang bertaklid demi mengikuti qudwah Nabi, diampuni kesalahan-kesalahannya.
    Ahlu Sunnah tidak mengafirkan seorang pun dari kaum muslimin, sekalipun ia melakukan kesalahan, sampai diperoleh hujjah risaliyah yang menjelaskan bahwa ia menentang Rasul. Karena, menentukan hukum itu diperlukan syarat-syarat yang kuat dan tidak ada sesuatu yang menghalangi. Barangsiapa telah jelas keislamannya, maka tidaklah dapat digugurkan dengan alasan yang meragukan. Dia tetap muslim, kecuali diperoleh hujjah yang kuat, dan tidak ada kesamaran yang menunjukkan ketidakislamannya. Ahlu Sunnah tidak membolehkan mengafirkan atau menganggap fasik seseorang, bahkan mereka tidak menganggap berdosa ulama yang keliru dalam melakukan ijtihad atau melakukan takwil terlalu jauh, lebih-lebih masalah dzanniyah (dalil-dalil yang bersifat dugaan) yang diperselisihkan.
    Mereka membedakan antara pelaku bid'ah dari ahli kiblat -sekalipun bid'ah mereka berat- dengan orang yang diketahui kekafirannya melalui kacamata Dinul Islam seperti kaum musyrikin dan ahli kitab. Maka mereka terapkan hukum Islam yang dzahir kepada pelaku bid'ah itu, meskipun mereka tahu bahwa diantara mereka terdapat orang-orang munafik yang berada di dasar neraka dan kafir di dalam batin. Dan jika diketahui keadaannya, maka ia pun kafir secara lahiriyah.
  3. Bid'ah-bid'ah pengikut hawa nafsu dikenal menyalahi Alquran dan Sunnah, seperti bid'ah yang dilakukan kaum Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji'ah dan Jahamiyah. Barangsiapa menentang Kitabullah, Sunnah dan Ijma' ulama salaf, maka ia diperlakukan sebagai ahli bid'ah.
    Tujuan utama Ahlu Sunnah terhadap ahli bid'ah ialah menjelaskan perihal mereka dan memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap pendapat-pendapat mereka yang merusak, disamping menjelaskan Sunnah dan memperkenalkannya. Kemudian memerangi bid'ah dan menolak kezaliman serta pelanggaran pelakunya.
    Para Imam Sunnah sepakat bahwa bid'ah yang berat lebih buruk daripada dosa-dosa yang diakui oleh pelakunya. Untuk itulah, wajib menghentikan ahli bid'ah dan menolak kejahatan mereka meskipun dengan memerangi dan membunuh mereka jika kejahatannya tidak dapat dihentikan kecuali dengan cara seperti itu. Ulama salaf memerintahkan membunuh penyeru bid'ah yang dapat menyesatkan umat manusia, mengingat bahayanya terhadap Islam, baik mereka yang dianggap kafir maupun tidak. Sebab disyariatkannya hukum di dunia ini untuk menolak atau menghentikan tindak kedzaliman dan pelanggaran, sekalipun menghilangkan madharat dan kerusakan. Hukuman duniawi tidaklah mengharuskan adanya hukuman akhirat, bahkan sebaliknya.
    Terkadang seseoang yang melakukan bid'ah karena keliru dalam melakukan ijtihad atau karena melakukan takwil yang jauh, lalu mencampuradukkan Sunnah dengan bid'ah, dengan kebaikan dan keburukan. Perbuatan Sunnah dan kebaikan yang dilakukannya patut mendapat dukungan dan pahala, sedangkan perbuatan bid'ah dan kejelekannya patut dibenci dan dihukum.
    Adakalanya Imam dan ahli ilmu serta Ahli Din tidak menyalati jenazahnya untuk memperingatkan orang lain agar tidak melakukan bid'ah seperti yang dilakukannya. Tetapi, mereka membolehkan orang lain menyalatkannya dan memohonkan ampun secara rahasia (batin). Barangsiapa yang diketahui kemunafikannya, seperti kaum Rafidhah yang ekstrem dari golongan Nushairiyah, Ismailiyah dan yang lainnya, dan seperti orang-orang yang melampui batas terhadap guru-gurunya, yang menyembah orang hidup dan yang sudah mati, orang yang menyembah kuburan-kuburan dan kubah-kubah, serta seperti pengikut faham wahdatul wujud, hulul dan ittihad. Mereka adalah orang-orang murtad yang lebih buruk daripada orang murtad biasa, dan lebih kafir dibandingkan dengan orang kafir asli dan ahli kitab. Oleh karena itu, tidak dihalalkan menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka. Mereka juga tidak boleh tinggal tetap di tengah-tengah kaum muslimin, tidak dipungut jizyah (pajak), dan tidak dilindungi. Jika mereka tidak mau kembali ke jalan yang benar, mereka wajib diperangi sebagaimana halnya kaum murtad.
    Ahlu Sunnah membedakan antara ahli bid'ah yang aktif menyerukan bid'ahnya dan yang pasif. Ahli bid'ah yang menyeru kepada bid'ah dan menampakkan perbuatannya kepada khalayak, maka ia patut dihukum dengan hukuman pengasingan, ditolak kesaksiannya, dilarang salat dibelakangnya, tidak boleh mengambil darinya, dan tidak boleh mengawinkan muslimah dengannya. Ini merupakan hukuman baginya, hingga ia menghentikan seruannya. Sedangkan bagi yang menyembunyikan dan menutupi bid'ahnya -yang tidak dikafirkan- maka paling jauh ia ditempatkan pada kedudukan seperti orang munafik yang sikap lahiriyahnya diterima oleh Nabi dan isi hatinya beliau serahkan kepada Allah. Ia diingkari secara diam-diam jika bahayanya tidak menimpa orang lain dan tidak dikhawatirkan menyesatkan manusia. Meskipun begitu, keadaan mereka perlu dijelaskan kepada umat agar hati -hati dan mewaspadainya.
    Dalam menyingkap perihal ahli bid'ah, mengingatkan manusia agar mewaspadainya, termasuk usaha mengingkari dengan lisan, memutuskan hubungan dengan mereka bahkan dengan kekerasan, Ahlu Sunnah menggunakan dua pedoman yang bersifat syar'i:
    Pertama: Landasan mereka adalah keikhlasan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin, demi menaati Allah, mengharap kebaikan, menolak kemudharatan, kasih sayang dan kemashlahatan bersama. Selain itu, tidak bercampur dengan sentimen pribadi, permusuhan duniawi, kebencian, kedengkian, dan persaingan jabatan. Karena, adakalanya manusia pada lahirnya menampakkan kejujuran, namun sebenarnya memendam kebencian di dalam hatinya. Kemudian ia merusak kehormatan, harta dan darah orang lain tanpa mendasarkan tindakannya pada aturan Allah serta tanpa tujuan yang benar. Tetapi, semata-mata demi kepentingan pribadinya, bukan demi menegakkan syariat.
    Kedua: Tindakan pengingkaran dengan pemutusan hubungan, dengan tangan, atau dengan lisan sesuai dengan perintah syara' adalah untuk kemaslahatan dan menolak mafsadat sesuai dengan situasi dan kondisi. Jika tidak demikian, maka amalan-amalan tersebut tidak disyariatkan. Pemutusan hubungan misalnya, jika tidak menjadikan pelaku bid'ah jera, bahkan semakin bertambah keadaannya terutama terhadap orang yang lemah, dan kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan, maka pemutusan hubungan seperti itu tidak disyariatkan. Dengan demikian, menyatukan hati sesama pelaku bid'ah akan menjadi lebih baik daripada pemutusan hubungan.
    Prinsip syara' sebenarnya bertujuan melindungi darah, harta, dan kehormatan orang muslmin. Maka jika pelaku bid'ah bercampur dengan yang lainnya, hendaklah diperlakukan sesuai kenyataan lahiriyah dan dipenuhi haknya. Tidak boleh membunuh seseorang karena kesalahan orang lain, dan tidak boleh menolak bid'ah dengan bid'ah lainnya.
    Pada prinsipnya, jika seorang muslim berdiam di suatu tempat yang menjunjung tinggi syi'ar Sunnah, hendaklah ia melakukan salat berjama'ah dan salat jum'ah bersama kaum muslimin lainnya, mendukung mereka, dan tidak memusuhi mereka. Jika melihat sebagian dari mereka menyimpang, hendaklah menunjukkan dan meluruskannya jika mampu. Tetapi, jika tidak mampu melaksanakannya, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan tidak boleh mengafirkan seorang muslim disebabkan dosa yang diperbuatnya, seperti dalam perkara-perkara yang diperselisihkan ahli kiblat.
    Apabila hawa nafsu telah merajalela, dan orang muslim tidak menyukai salat di belakang orang yang tidak dikenalnya, maka boleh saja ia berbuat demikian dengan tidak mengingkari orang yang berbeda pendapat dengannya dan tidak menyia-nyiakan kewajibannya, seperti salat berjama'ah dan salat jum'at, bagi yang berpendapat bahwa salat jama'ah itu wajib. Sebab, salat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya, diperbolehkan menurut Ahlu Sunnah. Dan barangsiapa yang melarang atau menganggap batal salat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya, maka ia telah menyalahi Ahlu Sunnah wal Jama'ah.
    Seorang muslim tidak diperbolehkan menyalatkan dan mendoakan orang yang jelas-jelas diketahui kemunafikannya. Maka bagi setiap orang yang tidak di ketahui kekufuran dan kemunafikannya, diperbolehkan menyalatkan dan memohonkan ampunan baginya, sekalipun ia berbuat bid'ah dan pelanggaran (dosa).

Sinopsis Pembahasan Kitab Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ma'alimul Inthilaaqah al-Qubraa')


Sinopsis Pembahasan Kitab Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ma'alimul Inthilaaqah al-Qubraa')
Berikut adalah ringkasan pembahasan kitab Ma'alimul Inthilaaqah al-Qubraa'.
Bagian Pertama

  1. Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para sahabat Rasulullah saw dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, menempuh jalan hidup mereka, serta iltizam kepada prinsip dan manhaj mereka, baik secara keilmuan maupun amalan. Mereka tidak mengambil dien mereka, baik berupa ilmu maupun amalan, kecuali dari kitab Allah dan sunnah Rasululah saw sesuaidengan pemahaman para sahabat Rasul saw. Mereka tidak mendahului dan tidak menentang semua itu, baik dengan akal, ra'yu (pendapat), qiyas (persamaan), perasaan, selera, penyelidikan, atau dengan lainnya.
    Oleh karena itu, barangsiapa iltizam (komitmen) terhadap Alquran , sunnah, dan ijma sahabat Rasulullah saw termasuk Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena, hal ini merupakan prinsip yang terpelihara menurut mereka dan selain itu tidaklah terpelihara. Bahkan, setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali Rasulullah saw. Maka, setiap perkataan imam-imam mereka mengikuti sunnah Nabi dan tidak mendahuluinya, dan setiap ijtihad dicocokkan terlebih dahulu dengan Alquran, sunnah, serta pemahaman salaf as-salih dari kalangan sahabat, tabiin, serta imam-imam ahli ilmu agama sebelum diterima atau ditolak.
    Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ahlut tajammu dan i'tilaaf (yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan). Mereka merupakan pelanjut alami dan penerus jejak asli ad-dien ini, dengan tetap berpegang pada kalimat yang kokoh dan benar dari kitab, sunnah, dan ijma. Mereka jauh dari hal-hal yang mengandung syubhat yang memecah-belah jamaah dan merusak keutuhannya. Karena, jamaah menurut mereka merupakan faktor penentu keselamatan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.
  2. Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memerlukan sebutan lain, kecuali Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini berbeda dengan ahli bid'ah yang membutuhkan bermacam-macam nama untuk membedakannya dengan golongan yang lain atau memakai nama yang diberikan golongan lain. Adapun Ahlus Sunnah tidak memerlukan nama lain selain nama tersebut, sekalipun golongan lain menyebut mereka dengan nama-nama batil, yaitu nama-nama yang dikaitkan dengan hal-hal yang justru bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, telah datang seseorang laki-laki kepada Malik dan berkata, "Wahai Abu Abdillah, aku hendak bertanya kepadamu tentang suatu persoalan yang aku jadikan hujjah antara aku dan Allah." Malik bertanya, "Masya Allah, laa quwwata illa billaahi, bertanyalah." Orang itu bertanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu?" Maka, Imam Malik berkata, "Ahlus Sunnah adalah orang yang tidak memakai gelar-gelar sebagai tanda pengenal bagi mereka, bukan Jahamiyah, bukan Qadariyah, bukan pula Rafidhah."
    Demikianlah Imam Malik memberikan batasan dan memperkenalkan Ahlus Sunnah dengan mengatakan bahwa mereka tidak memerlukan gelar-gelar sebagai pengenal, kecuali gelar yang ditanyakan tersebut.
  3. Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah golongan mayoritas umat Muhammad saw, tidak hanya berhimpun pada satu negara tertentu, atau membangsakan diri kepada dinasti atau suku tertentu. Mereka tersebar di berbagai negara, baik secara individu maupun kelompok. Mereka juga tidak terhimpun dalam profesi atau keahlian tertentu. Di antara mereka terdapat ahli hadis, fuqaha, ahli zuhud, pejuang, da'i yang sabar, orang awam yang muqallid (penurut), serta para pemimpin politik. Imam Nawawi berkata, "Golongan Ahli Sunnah wal Jamaah terdiri dari berbagai kalangan orang-orang mukmin. Ada yang menjadi ahli perang, fuqaha, ahli hadis, zahid, penyeru amar ma'ruf dan nahi munkar, dan dari kalangan pelaku kebaikan lainnya. Mereka tidak harus berkumpul pada suatu tempat, tetapi berpencar di berbagai negeri.
  4. Dalam lingkaran Ahlus Sunnah wal Jamaah terdapat satu titik pusat yang kokoh, yaitu al-kitab, sunnah, serta pemahaman salaf. Tingkatan pemahaman mereka, baik secara individu maupun kelompok berbeda-beda, tergantung dekat dan jauhnya jarak mereka dari titik pusat tersebut. Sebagian lebih mengetahui dan menekuni sunnah daripada lainnya. Sebagian lagi lebih menitikberatkan pada pengkajian, dan ada juga yang menitikberatkan pada praktik, dan sebagainya. Dalam lingkaran besar ini, berhimpunlah seluruh persolan agama, sebagian yang satu menyempurnakan sebagian yang lain, baik dalam hal ilmu maupun amalan. Pada lingkaran itu berhimpunlah agama dan syari'at yang diterima Nabi dari Rabbnya, tak ada yang keluar dari Jamaah as-sunnah, baik menyangkut soal akidah, ibadah, pandangan hidup, siyasah syar'iyyah, maupun berbagai kebaikan lainnya. Di dalam lingkaran itu terdapat juga kalangan mujtahid yang berbeda pendapat di antara sesama mereka dalam persoalan ilmu atau pun amaliyah, tetapi mereka tidak keluar dari kebenaran menurut batasan-batasan jamaah, sebab para ulama dan para imam mereka tegak berdiri membela nubuwwah dalam rangka memelihara dien ini. Masing-masing berdiri sesuai dengan bidang keahlian mereka yang dimudahkan Allah bagi mereka.
    Di dalam lingkaran tersebut, manusia bertingkat-tingkat dalam kebaikan dan kejahatan, keadilan dan kezaliman, kesabaran dan kekejian, serta keteguhan dan pelanggaran. Ahlus Sunnah, sebagaimana golongan lainnya, adalah manusia biasa yang sekali waktu bisa melakukan kesalahan, kefasikan, dan kemaksiatan. Di dalam jamaah, mereka juga bersemayam kebaikan dan keburukan, namun kebaikan mereka lebih banyak daripada golongan lain, dan keburukan mereka lebih sedikit dibandingkan golongan lainnya. Manakala Ahlus Sunnah mengikuti petunjuk dan dien yang haq, ketika itulah Allah menjanjikan pertolongan terhadap dien ini dan mengunggulkannya di atas agama yang lain. Dengan demikian, mereka adalah golongan yang dimenangkan dan diunggulkan Allah dalam membela kebenaran hingga datang hari kiamat. Di antara mereka ada kelompok yang tampil membela kebenaran dengan pena dan lisan, atau dengan tangan dan fisik mereka. Syekh Abu Bathin berkata, "Yang dimaksud membela di sini bukanlah dengan pedang, namun dengan hujjah yang terus-menerus, sedangkan membela dengan pedang hanyalah bersifat insidental." Sekalipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah, namun mereka selalu komitmen terhadap jamaah, senantiasa memelihara keutuhan dan kesatuan jamaah, dan selalu loyal terhadap jamaah dengan memelihara kesucian darah, harta, harga diri, serta persaudaraan.
  5. Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai ciri khas berupa perilaku dan akhlak yang tidak kalah pentingnya dengan timbangan kebenaran dari pusaka ilmu dan petunjuk yang telah dikhususkan Allah bagi Jamaah ini. Nabi saw diutus Allah untuk menyampaikan ilmu, petunjuk, dan bukti-bukti aqliah (rasional) dan sam'iyah (yang didengar). Disamping itu, beliau juga diutus untuk membawa kebaikan dan rahmat kepada umat manusia tanpa pamrih, bersabar terhadap gangguan mereka disertai sikap santun dan mulia.
    Ahlus Sunnah senantiasa mengamalkan dan menyerukan kebenaran dan berupaya kuat untuk membelanya. Mereka mendermakan diri dengan harta mereka untuk kemanfaatan dan kebaikan manusia, mereka bersabar dalam menghadapi cercaan dan gangguan, suka memaafkan kesalahan, dan mendoakan semua manusia agar mendapat petunjuk dan bimbingan. Mereka mencintai semua bentuk kebaikan. Mereka mengetahui bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya. Oleh karena itu, mereka mengamalkan akhlak yang mulia dan luhur yang dicintai Allah SWT dan menjauhi akhlak buruk yang dibenci-Nya.
  6. Ahlus Sunnah senantiasa beramar ma'ruf nahi munkar, karena mereka adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia. Dalam menegakkan perintah ini, mereka selalu berpegang dengan tuntutan syariat. Oleh sebab itu, mereka selalu mengacu pada prinsip utama dan tonggak-tonggak besar, yaitu senantiasa memelihara Jamaah, mempersatukan hati, menyelaraskan pendapat, serta menjauhi perpecahan dan ikhtilaf. Mereka mengetahui bahwa perintah berbuat baik dan mencegah kemunkaran ini merupakan kewajiban dari Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, mereka memikul amanah rangkap, berupa amanah ilmu, dakwah, jihad, memelihara keutuhan jamaah secara syar'i dan menyeluruh. Mereka melaksanakan amanah-amanah tersebut dengan pertimbangan cermat dan berdasarkan petunjuk syariat yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana, terlepas dari penguasaan hawa nafsu, kemauan, adat, fanatik mazhab, golongan, organisasi, thariqat, dan sebagainya.
    Mereka setia dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Juga tidak menyukai tumbuh dan berkembangnya kelompok, jamaah, dan aliran yang berbeda-beda, atau ijtihad khusus. Mereka terikat perjanjian kepada Allah dan tidak mau terikat perjanjian dengan yang lain yang tidak sesuai dengan tuntunan-Nya. Mereka juga tidak mau menaati orang lain, kecuali dalam rangka menaati Allah, karena tidak boleh menaati makhluk untuk melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Oleh karena itu, loyalitas Ahlus Sunnah hanya bersandar pada kebenaran dan persatuan besar dalam pengertian syariat yang sempurna dan menyeluruh. Mereka memandang setiap individu, kelompok, atau organisasi bedasarkan asas tersebut, bukan pada asas fanatik jahiliyah yang bertumpu pada suku, kota, negara, mazhab, thariqat, partai, atau figur. Oleh sebab itu, mereka mendahulukan orang yang patut didahulukan menurut Allah dan Rasul-Nya, dan mengakhirkan seseorang yang diakhirkan Allah dan rasul-Nya berdasarkan kriteria dien dan ketakwaan. Mereka tidak menguji manusia dengan perkara dan syi'ar yang tidak diperintahkan Allah, seperti dalam hal saling mencintai, saling membenci, saling bermusuhan, dan tidak memecah-belah umat. Karena semulia-mulia manusia di sisi Allah adalah yang paling takwa, apa pun kelompoknya.
  7. Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat atas prinsip-prinsip penting yang menjadi syi'ar mereka, dan setiap firqah yang menentang mereka tentulah menyalahi satu atau lebih dari prinsip ini.

    1. Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah berkenaan dengan sifat-sifat Allah SWT adalah membenarkan tanpa menentukan bentuk-Nya, dan menyucikan-Nya tanpa mengingkari sedikit pun.
    2. Akidah mereka tentang Alquran, bahwa Alquran adalah kalamullah, bukan makhluk.
    3. Mereka meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dunia ini.
    4. Mereka meyakini bahwa orang mukmin bisa melihat Rabb mereka di sorga dengan mata.
    5. Mereka meyakini berita yang dibawa Nabi saw mengenai perkara-perkara setelah kematian, seperti fitnah kubur, azab dan kenikmatannya, kembalinya ruh-ruh ke dalam jasad makhluk, timbangan amal, pemaparan buku catatan amal, adanya telaga, jembatan (shirat), dan syafa'at.
    6. Mereka meyakini takdir yang baik dan buruk, meyakini ilmu Allah yang Qadim dan Lauh Mahfudz, dan kepada kehendak-Nya yang berlaku dan qudrat-Nya yang menyeluruh. Dia adalah Pencipta para hamba-Nya berikut perbuatan-perbuatannya. Namun, Allah memerintahkan mereka untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Dia melarang mereka berlaku maksiat kepada-Nya. Allah tidak mencitai orang kafir dan tidak meridhai orang-orang fasik, tidak memerintahkan para hamba-Nya untuk berbuat keji, dan tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kufur, dan Dia tidak suka pada pelaku kerusakan.
    7. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa sesungguhnya iman itu berupa perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan dapat berkurang. Mereka juga meyakini bahwa iman itu mempunyai pokok dan cabang, oleh karena itu iman tidak akan terlepas kecuali jika terlepas pokok keimanannya. Mereka tidak mengafirkan seorang pun dari ahli kiblat karena kemaksiatannya semata-mata, kecuali jika akar keimanannya terlepas. Dan, menganggap mungkin (bisa terjadi) berhimpunnya antara azab dan pahala dalam hak seseorang. Akan tetapi, mereka tidak mengharuskan perlunya seseorang menerima azab atau mendapat pahala, kecuali jika didukung dengan dalil tertentu (khusus).
    8. Mereka setia dan mencintai para sahabat Rasul, ahlul bait, istri-istri Rasulullah, namun tidak mema'shumkan seorang pun selain Rasulullah.
    9. Mereka membenarkan adanya karomah para wali Allah dan segala yang terjadi pada diri mereka karena izin Allah sebagai hal yang luar biasa.
    10. Ahlus Sunnah bersepakat membolehkan memerangi orang yang keluar dari syariat Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
    11. Mereka berperang bersama pemimpin mereka, baik yang berperilaku baik maupun yang durjana, untuk menegakkan syariat Islam.
    12. Mereka menerima perbedaan ijtihad di antara mereka menyangkut persoalan yang memang dimungkinkan terjadinya perselisihan tanpa menganggap sesat orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Seperti perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Rasul mengenai Muhammad melihat Rabbnya pada malam mi'raj. Juga bekenaan dengan pengafiran orang yang meninggalkan keempat bangunan (rukun) agama, dan perselisihan tentang siapa yang lebih utama antara pribadi Utsman dan Ali.

  8. Faktor yang mendorong orang-orang memperselisihkan sunnah dari kalangan ahli bid'ah dan ahli kesesatan, serta kelompok-kelompok lainnya adalah jahil, zalim, dan keterlaluan. Karena, yang menjadi dasar timbulnya bid'ah adalah perkataan yang berdasarkan prasangka dan hawa nafsu yang disertai sikap berlebihan dan fanatik terhadap seseorang dan pendapat yang boleh jadi di dalamnya terdapat ijtihad dan perbedaan pendapat. Sikap-sikap yang seperti itu menyebabkan dominannya hawa nafsu, banyaknya pendapat, serta memperberat ikhtilaf dan perpecahan, permusuhan dan persengketaan.
    Orang-orang yang menyalahi Sunnah menempuh berbagai tahapan. Pertama, mereka mendahului Allah dan Rasul-Nya karena salah, jahil, mengikuti hawa nafsu, serta berbuat maksiat, sehingga mereka keluar dari kebenaran dan menjauhi sunnah. Mereka menjadikan kebaikan sebagai keburukan, dan menjadikan keburukan sebagai kebaikan. Mereka berusaha menghubungkan antara kekeliruan dan dosa, sehingga menganggap penentang mereka berdosa. Kemudian mereka tetapkan figur, pendapat, atau syi'ar yang mereka dukung dan bela, yang mereka gunakan untuk memecah-belah umat, mencerai-beraikan jamaah, dan mengeluarkannya dari jamaah. Mereka menetapkan i'tiqad batil untuk membedakan Ahlus Sunnah wal Jamaah, seperti mengafirkan seseorang, menuduh fasik, dan menganggap pelaku dosa kekal di neraka. Selanjutnya, mereka tetapkan sendiri hukum-hukum buat para penentang mereka sebagai orang yang halal darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Mereka ingin menandingi Ahlus Sunnah dengan melakukan kezaliman, pelanggaran, dan permusuhan.
  9. Orang-orang yang menentang Sunnah ada beberapa macam.
    Pertama, orang yang menyalahi Sunnah setelah mereka melakukan ijtihad syar'i yang mu'tabar. Akan tetapi, mereka keliru dalam berijtihad atau terlalu jauh melakukan takwil, khususnya yang disertai dengan maksud syubhat yang menyalahi, tanpa bertujuan menentang Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya lahir dan batin.
    Kedua, banyak di kalangan ulama periode mutaakhirin yang kurang berpegang pada Alquran dan Sunnah, mereka lebih mengandalkan pendapat-pendapat yang diada-adakan oleh guru-guru mereka tanpa mengetahui hakikat dan tujuannya. Seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menyalahi sunnah, tentulah mereka akan meninggalkannya.
    Ketiga, orang yang menyalahi sunnah karena kebodohan, kezaliman, dan hawa nafsu, disamping berbuat aniaya, permusuhan, kefasikan, dan kemaksiatan. Kelompok-kelompok ini tidaklah tergolong kafir dan munafik, namun mereka tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya lahir dan batin. Meskipun mereka telah menyalahi sunnah, mereka tetap membelanya terhadap musuh-musuh mereka. Maka sebenarnya mereka menolak bid'ah besar dengan bid'ah kecil sebagai ijtihad yang mereka lakukan tanpa sengaja mendahului Allah dan Rasul-Nya. Sejauh-jauh mereka adalah mujtahid yang melakukan kekeliruan yang bisa diampuni. Sebab, tujuan mereka adalah mengikuti Rasul sesuai kemampuan yang mereka miliki. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah dalam perkara-perkara besar, ada pula yang menyalahinya dalam perkara-perkara kecil, tanpa menjadikannya sebagai pendapat yang bisa memecah-belah jamaah muslimin. Boleh jadi, mereka ceroboh dalam mengikuti Alquran dan sunnah, atau melampui batas ketentuan Allah dengan menempuh jalan-jalan yang dilarang-Nya. Atau, mungkin mereka mengikuti hawa nafsu tanpa mengikuti petunjuk Allah, sehingga berlaku zalim terhadap diri mereka sendiri. Jika demikian, mereka termasuk ahlul wa'iid (yang patut mendapat ancaman siksaan Allah), karena mencampuradukkan kebaikan dengan keburukan.
    Keempat, yang termasuk menyalahi sunnah di antaranya adalah orang-orang munafik zindiq yang menyembunyikan kekafiran, kedengkian, dan kemurkaan mereka terhadap kaum muslimin. Kebanyakan mereka berasal dari golongan Rafidlah dan Jahamiyah yang kezindikannya berasal dari kaum Shabi'in dan musyrikin dengan penuh kecintaan, penghormatan, dan kesesuaian. Merekalah orang-orang kafir di dalam batin, dan jika diketahui hal-ihwalnya, mereka pun kafir secara lahiriyah.
    Kelima, adalah orang-orang musyrik yang sesat. Mereka adalah penyembah kuburan, pengagung para guru, penyembah orang-orang yang sudah mati, patung-patung dan berhala-berhala secara umum. Termasuk penganut akidah al-hulul, al-ittihaad, dan wihdatul wujud. Orang-orang seperti mereka diharuskan bertaubat jika menampakkannya. Jika mereka tidak mau bertaubat, maka boleh dibunuh dan diperangi sebagai orang kafir dan murtad.