Ilmu yang Wajib Diketahui Mukallaf


Ilmu yang Wajib Diketahui Mukallaf

Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Diwajibkan kepada setiap mukallaf mengetahui perintah-perintah Allah, sehingga ia mengetahui perintah-Nya supaya beriman kepada-Nya, dan perintah yang berkaitan dengan ilmunya sehingga ketika ia diwajibkan mengeluarkan zakat, ia wajib mempelajari ilmu tentang zakat, jika ia diwajibkan melaksanakan haji, ia wajib pula mempelajari ilmu tentang haji, dan demikian seterusnya. Kemudian, diwajibkan pula kepada seluruh umat pada umumnya mengetahui semua ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw supaya ilmu yang disampaikan beliau tidak hilang dari umatnya, yaitu segala sesuatu yang telah disyaratkan Alquran dan sunnah. Akn tetapi, kadar yang lebih atas kebutuhan yang diperlukan oleh orang-orang tertentu merupakan fardhu kifayah, kewajiban yang gugur atas orang lain apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya." (Majmu al-Fatawa, juz 3, h. 328 -- 329).
Kemudian muncul persoalan bahwa kadar pengetahuan dan kemampuan manusia berbeda-beda, sebagian mereka mengetahuinya (alim) dan sebagian yang lain tidak mengetahuinya atau bodoh (jahil), dan ada pula tingkatan di antara keduannya. Oleh karena itu, kewajiban yang diperintahkan kepada setiap individu pun berbeda-beda pula. Pengetahuan yang wajib diketahui, keyakinan dan perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang alim (yang mengetahui) berbeda dengan yang diperintahkan kepada oran jahil (yang tidak mengetahui).
Para nabi sebagai orang-orang pilihan yang lebih mengetahui Allah Sang pencipta menganggung kewajiban yang tidak diwajibkan kepada manusia lain pada umumnya. Rasulullah saw umpaanya, beliau diwajibkan mendirikan salat malam, dan itu (salat malam) tidak diwajibkan kepada sahabat-sahabat beliau atau kaum muslimin sesudahnya. Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Berdasarkan hal di atas, keyakinan yang diwajibkan kepada para ulama berbeda dengan keyakinan yang diperintahkan kepada masibng-masing individu umat ini pada umumnya. Demikian pula kewajiban yang diperintahkan kepada orang-orang yang hidup di lingkunganperkembangan ilmu dan keimanan (daar 'ilm wal iman) berbeda dengan kewajiban yang diperintahkan kepada orang-orang yang hidup di lingkungan kebodohan (daar jahl)." (Majmu al-Fatawa, juz 3, hh. 328).
Dengan demikian, tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk mengetahui semua khabar dn semua perintah yang terdapat di dalam Alquran dan sunnah, dan mengetahui seluruh maknanya. Inilah bentuk bentuk kemudahan dan toleransi Islam, sebagaimana Allah SWT menjelaskan di dalam firman-Nya, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Al-Baqarah: 185). Berdasarkan ayat ini, setiap perintah yang diwajibkan kepada mukallaf adalah perintah yang sesuai dengan kemampuannya, baik dalam tataran pengetahuan maupun praktik, sedangkan perintah yang di luar kemampuannya tidak menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan.
Maka, kewajiban yang harus dilaksanakan seorang muslim yang benar-benar memperhatikan keselamatannya di akhirat kelak adalah mencurahkan segala kemampuannya untuk mempelajari semua perintah Allah hingga ibadahnya benar, tidak terjebak kepada kejahilan dan menggantungkan harapan kepada Allah. Hal demikian disebabkan karena ibadah akan diterima jika telah memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan taat.
Ikhlas menuntut pengetahuan yang sempurna tentang Allah SWT dengan menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan dari semua tindakannya. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa pengetahuan yang benar tentang Allah, sebagaimana Dia berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (Fathir: 28).
Taat dalam konteks ini menuntut pengetahuan tentang petunjuk dan syariat yang diajarkan Rasulullah saw, hingga seorang hamba dapat mengikuti beliau, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21).
Ibnu Taimiyah mengatakan, "Setiap mukmin hendaknya tidak berbicara mengenai apa pun dari masalah agama kecuali dengan mengikuti apa-apa yang tleah diajarkan oleh Rasulullah saw dan tidak melebih-lebihkannya, tetapi dengan sabda Rasulullah saw, dan perbuatannya sesuai dengan perintah beliau. Demikian yang dilakukan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari golongan tabi'in dan imam-imam kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun di antara merekayang bertentangan dengan nash-nash wahyu dan tidak pula mendirikan agama selain agama yang telah diajarkan Rasululah saw. Jika mereka hendak mengetahui sesuatu dari agama dan berbicara mengenai hal itu, mereka akan melihat firman Allah dan sabda Rasulullah, belajar darinya dan berbicara berdsarkan beritanya, berpikir dan berdalil berdasarkan padanya. Inilah pokok Ahlu Sunnah." (Al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, h. 85).
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah bahwa mencari ilmu tentang pokok-pokok agama sebagaiamana yang telah dijelaskan oleh para ulama adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu belajar, baik secara otodidak (belajar sendiri) maupun melalui orang-orang yang ahli di bidangnya, sebagaiamana firman Allah SWT menyebutkan, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai mengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43).
Menolak untuk mencari ilmu dan tetap dalam kebodohan tidak dapat dijadikan alasan meninggalkan ajaran agama bagi siapa pun. Ketika kebodohan merupakan kendala yang dapat dihilangkan dan bukan karakter dasar manusia yang tidak dapat dicegah, maka kebodohan tersebut tidak dapat dijadikan alasan secara mutlak, karena dapat dihilangkan dengan mencari ilmu. Oleh karena itu, banyak dari kalangan ulama yang berbicara tentang pembagian kebodohan dan bagian yang dapat dijadikan alasan dan yang tidak. Pandangan ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, yang terpenting di antaranya ialah kebodohan yang dapat dicegah dan dihilangkan oleh mukallaf dengan cara mencari ilmu dan penjelasannya. Dari permasalahan ini, sebagian para ulama telah mengemukakan kriteria tentang kebodohan yang dapat dimaafkan dan yang tidak dapat dimaafkan. Hal itu dilakaukan sebagai upaya memelihara syariat dari penyelewengan dan pengrusakan.

Ulama yang Konsisten Melaksanakan Metode Ahli Sunnah


Ulama yang Konsisten Melaksanakan Metode Ahli Sunnah adalah Hujjah bagi Manusia Jika Mereka Meyebarkan Ilmunya dan Menjelaskannya kepada Manusia; Adanya Sebagian Kelompok yang Melaksanakan Perintah Allah


Allah SWT akan senantiasa menanamkan tunas-Nya, yaitu generasi penerus para nabi dan rasul bagi agama Islam yang dapat menegakkan hujjah-hujjah-Nya bagi manusia. Mereka akan berjuang untuk menjelaskan agama Allah dan syariat-Nya dan memberikan bantahan atas orang-orang yang mengingkari kitab-Nya (Alquran) dan aagama-Nya serta menyelewengkannya dari tempatnya.
Imam Ahmad berkata, "Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan segolongan ulama yang hidup pada setiap masa antara rasul-rasul-Nya, mereka meyeru orang-orang sesat untuk kembali kepada Allah, bersabar dalam menerima cobaan, menghidupkan orang-orang mati dengan kitab Allah, menjadikan orang-orang buta dapat melihat dengan cahaya Allah. Berapa banyak orang yang gugur karena melawan iblis telah dihidupkannya, dan berapa banyak pula orang-orang sesat yang telah mereka berikan petunjuk. Alangkah baiknya jejak mereka bagi manusia dan alangkah buruknya jejak orang-orang sesat. Mereka menghapuskan penyelewengan atas kitab Allah yang dilakukan oleh orang-orang yang lalai dan orang-orang yang sesat serta penafsiran orang-orang bodoh, yang merupakan para pembuat bid'ah. Mereka juga membersihkan para pembuat fitnah, orang-orang yang menyeleweng dari dan bertentangan dengan kitab Allah bersepakat meninggalkan kitab-Nya tanpa berdasarkan ilmu, membicarakan masalah-masalah mutasyabih (yang samar-samar) dari firman Allah dan membodohi orang-orang awam dengan penafsiran mereka tentang mutasyabih. Kami berlindung kepada Allah dari fitnah orang-orang yang sesat." (Ar-Radd 'ala al-Jahmiyyah wal Zanadiqah, 85, tahqiq Dr. Abdurrahman Umairah).
Mereka adalah kelompok yang selamat dan mendapat pertolongan Allah yang keberadaannya telah diberitahukan oleh Rasulullah saw ketika terjadi perbedaan pendapat di antara manausia dan perpecahan. Bahkan, beliau memberitakan bahwa kelanggengan golongan selamat di lingkungan umat ini hingga Allah menurunkan pertolongannya yang mana kesesatan orang-orang yang menyeleweng dan tipu daya para pembohong tidak akan memalingkan mereka. Hal demikian telah dikemukakan pada banyak hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan para sahabat yang mulia, di antaranya riwayat Imam Muslim dengan sanadnya kepada Tsauban ra bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Di antara umatku masih ada segolongan orang yang menjalankan kebenaran, yang mana mereka tidak dapat disesatkan oleh orang yang memperdaya mereka hingga pertolongan Allah datang, dan mereka pun demikian."
Juga hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, "Di dalam umat ini masih terdapat segolongan orang yang berada dalam kebenaran, yang mana mereka tidak akan disesatkan oleh orang yang menentang mereka hingga datang pertolongan Allah, begitulah keadaan mereka."
Golongan yang selamat ini memiliki ciri-ciri tertentu, dan beberapa ciri, di antaranya adalah:

  1. Berada dalam kebenaran (al-haq), mereka menjalankan agama yang benar, berpegang teguh padanya, seperti halnya mengamalkan ilmu yang benar yang berdasarkan pada dalil-dalil syar'i, dan merealisasikannya dengan sepenuh hati dan anggota tubuh.
    Syekh Salman bin Fahd al-Audah mengatakan, "Beberapa aspek yang menonjol dari kebenaran yang dapat menjadi pegangan bagi segolongan orang hingga menjadikannya sebagai golongan ang selamat adalah:

    1. Istiqamah (konsisten) dalam memegang keyakinan dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya, serta menjauhi bid'ah dan orang-orangnya.
    2. Konsisten dalam menempuh jalan hidup dengan tetap pada petunjuk dan perilaku yang berdasarkan pada metode nabi yang diwariskan kepada sahabat-sahabatnya, dan terbebas dari sebab-sebab kefasikan, keraguan, dan nafsu yang diharamkan.
    3. Konsisten dalam jihad (berjuang di jalan Allah), baik dengan jiwanya maupun hartanya, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta menegakkan hujjah bagi seluruh alam semesta.

  2. Menjalankan perintah-perintah Allah dalam menyebarkan agama yang benar, menjelaskannya kepada manusia dan mencegah keragu-raguan, menyebarkan sunnah kepada kaum muslimin, memerangi bid'ah, dan menjalankan kewajibannya dalam memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran serta berjihad di jalan Allah.
  3. Mereka tetap ada hingga hari kiamat. Syekh Salman al-Audah mengatakan, "Kata azh-zhuhur (tampak atau ada) dalam konteks ini--seperti yang terlihat--mencakup beberapa makna, yaitu: pertama, makna yang sering digunakan dalam tema ini, yakni jelas, nyata, dan tidak ada penghalang atau penutup, jadi mereka benar-benar terlihat nyata dan jelas.
    Secara global, pengertian demikian adalah ilustrasi yang benar mengenai golongan ini, karena kegiatan dakwah yang mereka lakukan, ajakan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, jihad, menegakkan hujjah, yaitu bahwa golongan ini muncul ke permukaan dan terkenal, metodenya telah dikenal dan arahnya jelas.... Upaya golongan ini dalam menjalankan kewajiban tabligh (penyampaian) dan dakwah, memerangi kemungkaran dan menghancurkan musuh-musuhnya, hal itu semua memerlukan penampilan mereka secara terang-terangan tanpa ada penghalang, berusaha keras menyuarakan kebenaran secara lantang begi setiap muslim, bahkan setiap orang."

Golongan yang selamat dan yang mendapatkan pertolongan Allah ini juga memiliki banyak ciri-ciri yang lain.
Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, "Menurutku, mereka adalah orang-orang yang melaksanakan hadis."
Yazid bi Harun mengatakan, "Jika mereka bukan orang-orang yang melaksanakan hadis, saya tidak tahu siapa mereka."
Imam Ahmad berkata, "Jika mereka bukan orang-orang yang melaksanakan hadis, saya tidak tahu siapa mereka."
Imam al-Bukhari menyebutkan sebuah hadis, "Di antara umatku masih terdapat segolongan....' Mereka adalah para ulama."
Demikian beberapa pendapat para ulama tentng golongan yang selamat dan masih banyak pendapat lain yang pengertiannya tidak jauh berbeda dari apa yang telah dikemukakan di atas.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat-pendapat di atas adalah bahwa orang-orang yang menekuni ilmu syariat, akidah, fikih, hadis, tafsir, belajar-mengajar, dakwah, dan praktik mereka adalah kaum yang paling pertama disebut sebagai golongan yang selamat. Mereka adalah orang yang paling utama melakukan dakwah dan jihad, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, menolak para pembuat bid'ah. Itu semua harus didampingi oleh ilmu yang benar yang diambil dari wahyu.
Jika golongan yang selamat ini ada yang terdiri dari pemimpin-pemimpin yang memegang teguh syariat, para ulama, dam mujahid, maka manusia pada umumnya akan menyambut mereka dengan ilmu dan keutamaan, sehingga ilmu yang benar yang berdasarkan Alquran dan sunnah Nabi saw akan melauas di masyarakat. Dengan demikian, hujjah Allah dapat ditegakkan bagi manusia, karena Allah Ta'ala telah menjadikan golongan yang selamat ini sebagai hujjah bagi hamba-hambaa-Nya sampai terjadinya kiamat. dari merekalah manusia mempelajari ilmu.
Keberadaan golongan ini di suatu tempat dapat menjadikan isyarat untuk menentukan bahwa hujjah Allah telah ditegakkan bagi orang-orang yang hidup di tempat tersebut. sebaliknya, keberadaan mereka yang tingal di lingkungan golongan selamat berbeda dengan orang-orang yang hidup di lingkungan yang mayoritas penghuninya adalah orang-orang yang sesat dan ahli bid'ah dan sunnah, karenanya menjadi sesuatu yang asing.

Nash-Nash Alquran dan Sunnah Merupakan Hujjah bagi Ulama dan Kaum Awam Ketika Sampai kepada Mereka


Nash-Nash Alquran dan Sunnah Merupakan Hujjah bagi Ulama dan Kaum Awam Ketika Sampai kepada Mereka


Allah SWT telah mewajibkan kepada manusia supaya menaati Allah dan Rasul-Nya saw, dan hujjah Allah dalam persoalan ini telah ditetapkan bagi hamba-hamba-Nya.
Allah Ta'ala berfiman yang artinya:
"Dan tatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya." (Al-Maidah: 92).
"Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka." (An-Nisa': 80).
Maka, tidak ada alasan apa pun bagi seseorang untuk berpaling dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Para ulama adalah kelompok pertama yang diwajibkan melaksanakan nash-nash Alquran dan Sunnah Nabi saw dan meninggalkan pandangan-pandangan yang berlawanan dengan itu.
Imam Syafi'i Rahimahumullah mengatakan, "Tidak ada sedikit pun kesempatan bagi seseorang yang mengetahui sunnah Rasulullah saw untuk bepaling darinya." (Ar-Risalah, h. 99).
Lebih lanjut Imam Syafi'i mengatakan, "Ketahuilah bahwa jika seorang alim meriwayatkan suatu pendapat yang bertentangan dengan sesuatu yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw, jika ia mengetahui suatu sunnah Rasulullah, ia tidak menyalahinya, dan bepaling dari pendapatnya kemudian mengambil sunnah Rasulullah-insya Allah..., jika ia tidak melakukan demikian, maka tidak ada alasan baginya...." (Ar-Risalah, h. 198 -- 199).
Kemudian, beliau bekata, "Demikianlah kewajiban orang yang telah mendengar sesuatu dari Rasulullah saw atau ditetapkan untuk mengatakan apa-apa yang didengarnya dari beliau, sehingga orang lain dapat mengetahuinya....." Beliau juga mengatakan, "Tidak ada kemungkinan bagi para sahabat untuk bersepakat atas sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah saw." (Ar-Risalah, h. 470 -- 472).
Ismail bin Ubaidilah al-Makhzumi berkata, "Sudah selayaknya bagi kita untuk menjaga dan memelihara apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw kepada kita, karena Allah SWT telah berfiman, 'Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimua maka tinggalkanlah' (Al-Hasyr: 7), dan keberadaannya sama dengan Alquran." (Diriwyatkan oleh al-Maruzi dalam kitab as-Sunnah, 28 dan al-Hujjah fi Bayan al-Muhijjah, karya al-Ashbahani, juz I, h. 244.
Abu Hanifah Rahimahullah berkata kepada Ibnu Abi Dza'ib, "Apakah anda mengambil hadis ini? Lalu, ia memukul dadaku dan berteriak kepadaku, ia mendapatkannya dariku, kemudian bekata, 'Anda menyempaikan hadis dari Rasulullah saw kepadaku, lalu anda bertanya kepadaku, 'Apakah anda mengambilnya?' Ya, aku mengambilnya, dan itu adalah wajib bagiku dan bagi orang yang mendengarnya. Sesungguhnya Allah SWT telah memilih Muhammad saw dari antara manusia dan Dia memberikan petunjuk kepada mereka dengannya melalui beliau, kemudian beliau juga memilihkan bagi mereka apa-apa yang telah Allah pilihkan baginya. Maka merupakan kewajiban bagi manusia untuk mengikutinya dengan taat, tidak ada alasan bagi kaum seorang muslim untuk berpaling darinya'. Abu Hanifah bekata, 'Ia tidak berhenti dari pembicaraannya hingga aku memohon untuk berhenti." (Dikeluarkan oleh Imam asy-Syafi'i dalam ar-Risalah, h. 450 -- 452).
Kesimpulan yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa hadis Rasulullah saw pada dirinya sendii adalah hujjah dalam seluruh persoalan agama, baik yang ilmiah (teoritis) maupun yang praktis. Orang yang telah mengetahui dan menerimanya, maka hujjah telah ditegakkan baginya.

Persoalan -Persoalan Agama yang Telah Nyata dan Jelas dengan Telah Ditegakkannya Hujjah Allah Melalui Sampainya Alquran dan Sunnah


Persoalan -Persoalan Agama yang Telah Nyata dan Jelas dengan Telah Ditegakkannya Hujjah Allah Melalui Sampainya Alquran dan Sunnah

Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz-Dzariyat: 56), dan Dia juga berfirman, "Hai manusia, sembahlkan Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 21).
Persoalan ini merupakan persoalan yang terbesar dan terpenting, yaitu bahwa kita harus mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa Allah Ta'ala telah menciptakan kita semua supaya kita beribadah kepada Allah satu-satunya, menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi lkarangan-larangan-Nya, menjalankan ketentuan-ketentuannya, serta menjauhi apa-apa yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya Muhammad saw.
Persoalan tersebut mencakup perkara-perkara mengenai tauhid, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, sebagai pengakuan dalam hati, yaitu keyakinan bahwa tidak ada yang berhak disembuh melainkan Allah-lah satu-satunya yang tidak ada sekutu bagi-Nya, hanya berdoa kepada-Nya, salat dan puasa untuk-Nya, dan semua ibadah lainnya hanya dipersembahkan untuk Dia Yang Maha Mulia, Allah SWT.
Perkara ini juga mencakup kesaksian bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan bahwa Rasulullah saw adalah utusan yang haq, yang diutus oleh Allah kepada seluruh makhluk, dari jin dan manusia, bangsa Arab dan A'jam (non Arab). Mereka semua diwajibkan mempercayai Rasul ini dan menaatinya dan tunduk kepadanya, sebagaimana problem ibadah kepada Allah yang mencakup melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam seperti slat, zakat, puasa, dan haji. (Lihat Fatawa, Syekh Abdul Aziz bin Baz, juz 5, h. 207 -- 223).
Persoalan-persoalan di atas merupakan poros agama Islam sebagai kandungan dan inti dari agama ini. Perintah-perintah dan penjelasan mengenai hukum-hukumnya telah disampaikan secara mutawatir di dalam Alquran dan Sunnah Nabi. Oleh karena itu, persoalan ini dipandang sebagai pengetahuan yang jelas dan petunjuk yang pasti.
Sesuatu yang kemudian muncul dari persoalan-persoalan besar ini adalah bahwa hujjah Allah telah ditegakkan dengan penjelasan Alquran dan Sunnah. Maka setiap orang yang telah mengetahui Alquran dan Sunnah, telah ditegakkan hujjah baginya, dan tidak adalah alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan perkara tauhid dan ibadah dengan alasan apa pun, kecuali jika ia hidup di Daar Kufr atau hidup di wilayah terpencil dan jauh dari wilayah-wilayah yang pengetahuan tntang Alquran dan Sunnahnya telah tersebar, atau ia masih anak-anak ketika Islam datang. Adapun asalnya bahwa hujjah itu ditegakkan bagi orang-orang mukallaf, dan selanjutnya diikuti hukum-hukumnya dengan sampainya petunjuk dan masalah-masalah agama yang dibawa oleh Rasulullah saw kepadanya.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Pokok-pokok agama, baik berupa masalah-masalah yang wajib diyakini, diucapkan secara lisan, dan dipraktikan dalam bentuk tindakan, seperti masalah-masalah tauhid, sifat-sifat, takdir, kenabian, dan hari akhir, atau dalil-dalil tentang masalah-masalah ini... Maka seluruh sarana yang diperlukan oleh manusia untuk mengetahuinya, meyakininya dan mempercayainya dari masalah-masalah ini, Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskannya secara gamblang dan menggugurkan 'udzr (alasan meninggalkannya); sebab hal ini merupakan perkara yang paling penting yang disampaikan oleh Rasulullah dan dan menjelaskannya kepada manusia, dan itu merupakan perkara yang paling besar yang mana Allah menegakkan hujjah bagi hamba-hamba-Nya melalui rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang menjelaskannya dan menyampaikannya kepada manusia. Kitab Allah yang disampaikan oleh para sahabat dan tabi'in dari Rasulullah saw, baik lafaz maupun maknanya, dan hikmah yang merupakan sunnah Rasulullah saw yang juga mereka riwayatkan dari beliau, mencakup tujuan yang dikehendaki-Nya dan kesempurnaan kewajiban-kewajiban dan amalan-amalan baik yang diperintah-Nya." (Dar'u Ta'arudh al-'Aql wa an-Naql, juz 1, h. 27 -- 28).
Syekh Abdullah bin Abdul Wahhab Rahimahullan mengatakan, "Adapun pokok-pokok agama yang telah dijelaskan oleh Allah dan ditentukan di dalam kitab-Nya (Alquran), maka hujjah Allah itu adalah Alquran. Orang yang telah sampai kepadanya Alquran, maka hujjah pun telah ditegakkan baginya." (Ar-Rasa'il asy-Syakhshiyah, juz 7, h. 244).
Syekh Abdullah al-Babithin Rahimahullah berkata, "Orang yang telah mengetahui kerasulan Muhammad saw dan telah sampai kepadanya Alquran, maka hujjah telah ditegakkan baginya, sehingga ia tidak diampuni jika tidak percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir." (Majmu'ah ar-Rasa'il wa al-Masa'il an-Najdiyah, juz 5, h. 510).
Syekh Hamad bin Mu'ammar Rahimahullah berkata, "Setiap orang yang telah sampai kepadanya Alquran tidak ada alasan baginya untuk meninggalkannya, karena pokok-pokok besar yang merupakan pokok agama Islam telah dijelaskan oleh Allah di dalam kitab-Nya dan dengannya Allah menegakkan hujjah bagi hamba-hamba-Nya." (An-Nubdzah asy-Syarifah, h. 116).
Inilah persoalan yang telah ditetapkan oeh para ulama dengan memperhatikan sebagian besar hamba Allah secara umum yang merupakan orang-orang yang secar syar'i tidak mempunyai alasan untuk meninggalkan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya.
Penyampaian (tabligh) dipandang telah dilaksanakan dengan melihat berbagai pertimbangan dan syarat-syarat. Di antara beberapa pertimbangan tersebut adalah diturunkannya nash-nash wahyu yang jelas dan menjelaskan, terutama dalam persoalan-persoalan dan pokok-pokok agama Islam di atas, sedangkan di antara syarat-syaratnya adalah adanya orang yang menyampaikannya yang mengetahui syariat, seperti dijelaskan sebelumnya.
Ketetapan ini berkaitan dengan persoalan-persoalan agama yang telah dijelaskan dan telah meluas di kalangan masyarakat. Sedangkan persoalan-persoalan yang detail (terperinci), samar, dan yang tidak ada pertentangannya dengan tauhid dan kerasulan, serta persoalan yang hanya diketahui oleh ulama, maka hal tersebut tidak termasuk dalam ketetapan yang telah kami kemukakan, sebagaimana dikemukakan oeh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah sebagai berikut: "Golongan orang-orang yang belum ditegakkan hujjah bagi mereka adalah anak-anak yang hidup pada masa Islam awal, orang yang hidup di daerah terpencil, atau menghadapi persoalan yang samar, seperti jual beli, maka ia tidak dapat dikafirkan hingga ia mengetahui hukum-hukumnya." (Mu'allafat asy-Syekh, juz 7, h. 244).
Mengenai rincian persoalan yang diperintahkan oleh Allah SWT telah diwakilkan kepada Rasulullah saw untuk menjelaskannya kepada manusia. Allah SWT telah berfirman, "Dan Kmi turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (An-Nahl: 44).
Sabda Nabi saw yang mencakup persoalan ini adalah hadis sahih yang disampaikan oleh Nu'man bin Bashir ra, seraya berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, sedang yang di antara keduanya adalah masalah-masalah syubhat, yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Orang yang meninggalkan syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, dan orang yang terjebak (melaksanakan) syubhat, maka ia telah terjebak dalam hal yang haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan di sekitar kandangnya yang hampir memakan rumput di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki larangan (sesuatu yang tidak boleh didekati) dan larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya." (HR Bukhari).
Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan, "Secara umum (global), Allah dan Rasul-Nya tidak meninggalkan persoalan halal dan haram kecuali keduanya dijelaskan ketentuannya, akn tetapi sebagiannya lebih jelas keterangannya dari sebagian yang lain. Maka persoalan-persoalan agama yang secara pasti telah dijelaskan, telah tersebar, dan diketahui secara umum tidak ada keraguan di dalamnya dan tidak ada alasan bagi siapa pun yang hidup di lingkungan Islam untuk tidak mengetahuinya." (Jami al-'Ulum wa al-Hikam, h. 67).

Pemahaman sebagai Syarat Penentuan Tegaknya Hujjah


Pemahaman sebagai Syarat Penentuan Tegaknya Hujjah

Allah SWT telah menjelaskan bahwa Dia mengutus Rasul-Nya untuk mengajarkan al-kitab (Alquran) dan hikmah. Dia berfirman yang artinya, "Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan." (An-Nahl: 44). Rasulullah saw kemudian melaksanakan amanat ini, maka ia menjelaskan peringatan yang diturunkan kepadanya sehingga orang-orang yang mengakui kebenaran , pengetahuan, dan yang mendapatkan petunjuk dapat mengetahui hal itu.
Rasulullah saw adalah orang yang paling mengetahui Allah al-Haq, paling fasih lisannya, paling terang penjelasannya, dan paling sungguh-sungguh memberikan petunjuk kepada hamba-hamba Allah. Hal demikian meniscayakan penjelasan Rasulullah saw sebagai yang paling sempurna daripada yang lainnya. (Lihat Dar'u Ta'arudh al-'Aql wan-Naql, juz 5, h. 371 -- 373).
Demikian ringkasan ilustrasi yang membedakan antara firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah saw, yang salah satu maksudnya adalah sebagai landasan bagi pemahaman manusia akan perintah Allah Ta'ala yang disampaikan kepada mereka dan yang mengandung perintah supaya manusia hanya kepada Allah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Demikian pula halnya dengan larangan untuk mempersekutukan Allah dengan yang lain atau menyembah sesuatu selain Dia, serta larangan melanggar perintah-Nya dan berbuat dosa terhadap-Nya.
Oleh karena itu, taklif atau memberlakukan kewajiban yang diperintahkan berdasarkan kemampuan pengembangnya merupakan salah satu poin terpenting dari keistimewaan agama Islam yang hanif (lurus). Seandainya perintah Allah tidak dapat dipahami oleh manusia sedang mereka diperintahkan untuk melaksanakannya maka hal itu merupakan taklif yang tidak perlu diindahkan, dan ini tidak akan terjadi di dalam agama Allah Ta'ala.
Firman Allah SWT dapat dipahami oleh orang yang mendengarnya dengan akal yang sadar, demikian pula halnya dengan sabda Rasulullah saw. Namun demikian, problem ini berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Keberadaan syariat yang dijelaskan pada dirinya tidak lantas menuntut bahwa ia telah dijelaskan kepada setiap orang. Berdasarkan hal ini Allah memuliakan sebagian hamba-Nya dengan ilmu dan meninggikan derajat mereka supaya mereka menjadi ahli zikir (pemberi peringatan) yang mengajarkan kebenaran kepada manusia.
Bertitik tolak dari kejelasan risalah Islam pada dirinya sendiri dan adanya penjelasan Rasulullah saw dengan penjelasan yang sebaik-baiknya, ahli ilmu (ulama) menganggap bahwa penyampaian hujjah dipandang cukup dengan menegakkannya di hadapan hamba-hamba Allah, dan mereka tidak mensyaratkan pemahaman kitab. Berdasarkan hal itu mereka mengatakan bahwa setiap orang yang telah mengetahui Alquran dan khabar/sunnah Rasulullah saw maka hujjah pun telah ditegakkan baginya, dan tidak ada alasan untuk mencari apakah ia telah memahami kitab atau tidak. Sedangkan sebagian yang lain mensyaratkan pemahaman kitab untuk memastikan bahwa hujjah telah ditegakkan baginya. Hal ini berdasarkan pada pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa keberadaan syariat itu sendiri yang telah jelas tidak mengindikasikan bahwa ia pun telah jelas bagi setiap orang, karena kemampuan intelektual (berpikir) para mukallafin berbeda-beda.
Pokok persoalan pada hujjah ini tidak dibedakan antara pengetahuan dan pemahaman terhadap hujjah tersebut, sebab mayoritas orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan kaum muslimin tidak memahami hujjah sedangkan hujjah telah ditegakkan di hadapan mereka. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Al-Furqan: 44).
Ditegakkannya hujjah merupakan satu bentuk dan penyampaikannya adalah bentuk yang lain. Jika hal itu disampaikan kepada Anda, maka perhatikanlah sabda Rasulullah saw yang artinya, "Di mana pun kamu menjumpai mereka, maka perangilah mereka." (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Istibanah al-Murtaddin, bab Qath al-Khawarij, juz 12, h. 295, no. 6930; dan Muslim dalam az-Zakat, bab at-Tahridh 'ala Qatl al-Khawarij, juz 2, h. 746, no. 1066). Dan sabda beliau, "Seburuk-buruk orang yang mati terbunuh di atas bumi...." (Tirmizi dalam at-Tafsir, surat Ali Imran, juz 5, h.210, no. 3000; Ibnu Majah dalam Dzikr al-Khawarij, juz 1, h. 62, no. 176; Ahmad juz 5, h. 250; Thabarani juz 8, h. 273, no. 8051; Hakim juz 2, h. 149; dan Harits bin Abi Usamah, seperti dalam Zawaid al-Harits juz 2, h. 817, no. 706). Sedangkan mereka hidup pada masa sahabat, dan orang-orang mengolok-olok amal sahabat bersama mereka, dan juga telah ada kesepakatan orang yang hidup pada masa itu bahwa yang mengeluarkan mereka dari agama adalah kekakuan, berlebih-lebihan, dan ijtihad. Mereka menganggap hal itu sebagai menaati Allah dan hujjah telah sampai kepada mereka, tetapi mereka tidak memahaminya. Demikian pula pembunuhan terhadap Ali ra yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa Ali berdosa, sedang mereka adalah murid-murid sahabat, suka beribadah, mendirikan salat, dan menjalankan puasa. Mereka menganggap diri mereka benar. Begitu pula kesepakatan ulama salaf untuk mengafirkan golongan Qadariyah yang sesat. (Catatan: sampai di sini kita memahami bahayanya aliran-aliran sempalan yang di dalam memahami dan mengartikan ajaran-ajaran agama atas pemahaman sendiri, mereka bukanlah golongan ahli sunnah wal jamaah, lihat dalam rubrik "ALIRAN PEMIKIRAN", pent).

Perbedaan antara Pemahaman tehadap Hujjah dan Penegakkannya


Perbedaan antara Pemahaman tehadap Hujjah dan Penegakkannya

Seperti telah dijelaskan bahwa taklif (pembebanan) tidak dapat ditetapkan kecuali dengan syariat, demikian juga siksa, ia tidak dapat ditetapkan kecuali setelah ditetapkannya hujjah melalui peringatan, dan syariat pun tidak dapat diberlakukan kecuali setelah ia disampaikan kepada manusia.
Persoalan penyampaian syariat dan keberadaannya yang meupakan syarat penegakka hujjah bagi hamba-hamba Allah merupakan pesoalan yang telah disinyalir di dalam Alquran dan Sunnah serta disepakati oleh kaum muslimin. Allah SWT berfirman yang artinya, "... Dan Alquran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peingatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Alquran (kepadanya)...." (Al-An'am: 19).
Abdur Razaq meriwayatkan di dalam tafsinya dari Qatadah secara mursal, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sampaikanlah apa-apa yang engkau terima dari Allah, barangsiapa yang telah sampai kepada sesuatu dari kitab Allah, maka ia telah meneima peintah dai Allah." (Tafsir Alquran, kaya Abdur Razaq ash-Shan'ani, juz 2, h. 205).
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan pula dai Muhammad bin Ka'ab bahwa beliau besabda, "Barangsiapa Alquran telah sampai kepadanya, berarti Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan perintah Allah kepadanya." (Tafsir ath-Thabari, juz 7, h. 163; lihat pula Tafsi Ibnu Abbas dan Riwayat-riwayatnya dalam kitab-kitab Sunnah karya Dr. Abdul Aziz al-Hamidi, juz 2, h. 267).
Imam asy-Syaqithi Rahimahullah berkata, "Dari ayat ini dapat dipahami bahwa peingatan itu besifat umum bagi semua orang yang menerimanya, dan orang yang menerima peingatan itu dan ia tidak mempercayainya, maka ia di dalam neraka, dan demikian seterusnya." (Adhwa al-Bayan, juz 2, h. 168).
Jika syariat belum disampaikan, tak seorang pun yang mendapat kewajiban menjalankannya sepeti halnya ahlul fitrah. Seandainya ada suatu syarat yang diwajibkan kepada mereka sedang syaiat itu tidak sampai kepada mereka, maka mereka tidak akan menjdi orang-orang yang diuji di jembatan penyeberangan pada hari kiamat, bahkan mereka menjadi orang-orang yang beragumen di hadapan Allah dengan tidak sampainya peingatan kepada mereka.
Oleh karena itu, maka pentingnya para nabi dan rasul adalah menyampaikan syariat, sehingga hujjah Allah Ta'ala dapat ditegakkan bagi hamba-hamba-Nya. Allah SWT befirman, "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa beita gembira dan pemberi peingatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nahl: 35), dan firmannya, "... Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (An-Nur: 54).
Syarat sampainya risalah (ajaran) atau hujjah (alasan) meupakan bagian dai bab al-ashl al-'am (pokok yang umum) dalam masalah ini. Hal demikian karena penyampaian riasalah tersebut merupakan titik tolak diberlakukannya syariat secara global. Sedangkan dari segi peinciannya dan pengeluaran hukun syariatnya bagi hamba Allah, maka hal itu terletak pada banyaknya syarat yang fundamental (asasi). Adapun syarat yang terpenting dari syarat-syarrat itu adalah memahami hujjah, dan apakah ia merupakan syaat dalam penentuan penegakkannya ataukah bahwa penyampaian itu saja sudah dipandang cukup?

Hukum Orang-Orang yang Hidup pada Masa antara Dua Nabi dan Orang yang Termasuk dalam Hukum Mereka


Hukum Orang-Orang yang Hidup pada Masa antara Dua Nabi dan Orang yang Termasuk dalam Hukum Mereka

Turunnya syariat dan penyampaiannya merupakan syarat taklif (pemberlakuan hukum) dan menentangnya mewajibkan dikenakannya siksa, maka setiap orang yang belum sampai kepadanya syariat tersebut dimaafkan di hadapan Allah, sampai ditegakkannya hujjah Allah Ta'ala, baik dengan diutusnya rasul-rasul-Nya maupun dengan mengujinya pada hari kiamat kelak.
Istilah yang dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang meninggal dunia sebelum datang kepada mereka rasul yang memberikan kabar gembira dan peringatan adalah istilah ahlul fitrah. Namun, keberadaan ahlul fitrah ini telah tiada (habis) dengan diutusnya Nabi Muhammad bin Abdullah saw. Syekh asy-Syanqithi Rahimahullah berpendapat mengenai firman Allah: "... dan kamu telah berada di tepi jurang neraka. lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya ...." (Ali Imran: 103), ia berkata, Diturunkannya risalah Nabi Muhmmad saw telah menghapus 'udzr (pengampunan) bagi siapa pun. Maka, setiap orang yang tidak mempercayai tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka (ia masuk neraka) hingga ia meninggal, sebagaimana firman Allah Ta'ala menjelaskan: "Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Alquran) dari Rabbnya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Alquran itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat. Mereka itu beriman kepada Alquran. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Qurasy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Alquran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Alquran itu. Sesungguhnya (Alquran) itu benar-benar dari Rabbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman." (Hud: 17).
Rasulullah saw bersabda, "Demi Dia yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, dari seorang Yahudi dan tidak pula seorang Nashrani yang mendengar kepadaku kemudian ia meninggal dan tidak percaya pada apa yang aku bawa, kecuali ia adalah penghuni neraka." (Dikeluarkan oleh Imam Muslim pada kitab al-Iman, bab Wujud al-Iman bi Risalah Nabiyyina Muhmmad saw, juz 1, h. 134, juz 240).
Dari hadis ini ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan ahlul fitrah, di antaranya:

  • Hukum ahlul fitrah di dunia adalah kafir, karena mereka tidak menganut agama apa pun yang benar.
  • Semua orang yang masuk neraka, baik dari kalangan mereka maupun dari golongan lain niscaya didasarkan pada satu hujjah Allah Ta'ala sesuai dengan firman-Nya, Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, 'Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?' Mereka menjawab: 'Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustkan(nya) dan kami katakan:'Allah tidak menurunkan sesuatu pun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar'." (Al-Mulk: 8 -- 9), dan firman-Nya: "Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15).
  • Kami tidak memastikan bahwa mereka masuk ke dalam neraka, tetapi mereka akan diuji pada hari kiamat di "pelataran" antara surga dan neraka. Orang yang taat akan masuk ke dalam surga dan di sana ilmu Allah akan terungkap melalui orang yang telah mendapatkan kebahagiaan, dan orang yang berbuat dosa akan masuk ke dalam neraka, dan ilmu Allah akan terungkap pula melalui orang yang mendapat kepedihan.

Demikian ketentuan mengenai ahlul fitrah menurut pandangan mazhab Ahli Sunnah. Fondasi bangunan pandangan adalah kombinasi (penggabungan) dari nash-nash yang telah dikeluarkan yang mengemukakan masalah mereka. Sedangkan orang yang bersandar pada salah satu bentuk dari nash tersebut sesungguhnya ia jauh dari benar. Namun, al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Barr berbeda pendapat dalam masalah ini. Ia melihat bahwa hadis-hadis ini tidak kuat dan tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana halnya bahwa Daar al-akhirah (akhirat) adalah tempat diberlkukannya balasan (pahala dan siksa) bukan tempat pengujian. Ia mengatakan, "Beberapa pendapat mengenai hadis-hadis pada bab ini, semua yang telah saya sebutkan dan yang belum disebutkan merupakan hadis-hadis yang berasal dari para syekh (guru-guru), dan di dalamnya terdapat beberapa cacat. Hadis-hadis tersebut bukan berasal dari imam-imam ahli fikih, sedangkan hal itu merupakan pokok persoalan yang besar. Maka memutuskan hukum berdasarkan hadis-hadis ini merupakan suatu kelemahan dalam ilmu dan nalar..." (At-Tahmid, juz 18, h. 130).
Sementara, Ibnu Katsir menanggapi hal ini dalam "tafsirnya", juz 5, h. 55 dengan mengemukakn dua hal, yakni:
1. Di antara hadis-hadis pada bab ini terdapat hadis yang sahih, hasan, dan ada pula yang dha'if (lemah), yang dikuatkan oleh hadis sahih dan hasan. Jika hadis-hadis pada satu pokok persoalan bertingkat-tingkat, seperti pola ini, maka menurut pengamat, hadis-hadis tersebut dapat dijadikan hujjah.
2. Perintah yang tertulis (manshuh) adalah di masa-masa permulaan hari kiamat, dan ini tidak ada halangannya, berdsarkan firman Allah Ta'ala: "Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa," (Al-Qalam: 42). Demikian maksud pendapat Ibnu Katsir Rahimahullah. (Lihat Radd Ibnu Qayyim ri Thariqah al-Hijratain, 399 -- 402, pendapatnya kuat dan argumentatif).
An-Nawawi Rahimahullah berpendapat bahwa orang-orang kafir dalam neraka, meskipun ia meninggal pada masa di antara dua nabi (fatrah); hal demikian karena petunjuk dan kenteks dari beberapa hadis mengenai ditimpakannya siksa kepada sebagian dari ahlul fitrah. (Syarh Muslim, karya an-Nawawi, juz 3, h. 97).
Sebagian orang yang berpendapat bahwa letak dimaafkannya orang yang berada pada masa fatrah yang tertera pada ayat "Dan Kmi tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra: 15) dan pada ayat-ayat yang serupa adalah tidak begitu jelas letaknya, yang kurang dapat diterima oleh orang berakal. Sedangkan pernyataan yang jelas yang tidak menimbulkan keraguan bagi orang yang berakal, seperti menyembah berhala, maka dalam kasus ini tidak ada seorang pun yang dimaafkan.
Sebagian lain berpendapat bahwa ahlul fitrah tetap mendapatkan siksa di akhirat kelak, sebab mereka masih memiliki sisa peringatan yang dibawa oleh rasul-rasul yang telah diutus Allah sebelum Nabi Muhammad saw yang merupakan hujjah Allah bagi mereka.
Rasulullah saw bersabda, "Ada empat golongan yang akan berhujjah (mengajukan alasan) pada hari kiamat, yaitu orang tuli (tuna rungu) yang tidak mendegar apa-apa, orang bodoh, orang lanjut usia, dan orang yang meninggal pada masa fatrah. Orang tuli berkata, 'Ya Tuhan, Islam telah datang, tetapi aku tidak mendengar sesuatu'. Orang bodoh berkata, 'Ya Tuhan, Islam telah datang, tetapi anak-anak melempariku dengan kotoran hewan'. Orang tua berkata, 'Ya Tuhan, Islam telah datang, tetapi aku tidak mengetahui sesuatu'. Dan orang yang meninggal pada masa fatarah berkata (di antara dua rasul) berkata, 'Ya Tuhan, tidak ada rasul-Mu yang telah datang kepadaku. Kemudian mereka bersumpah untuk menaatinya, hingga diperintahkan kepada mereka supaya masuk ke dalam neraka. Demi Dia yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya mereka masuk ke dalamnya, niscaya mereka akan merasakan dingin dan damainya." (HR Ahmad, Ibnu Hibban, Bazzar, Abu Na'im).
Hadis tersebut di atas adalah hadis sahih dan sebagai dalil untuk masalah ini. Maka orang yang dapat melintasi jembatan neraka, ia akan masuk surga, dan ia adalah orang yang mempercayai para rasul ketika mereka datang kepadanya di dunia, sedang orang yang terhalang, ia akan masuk neraka, dan ia adalah orang yang mendustakan para rasul ketika mereka datang kepadanya di dunia; karena Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan ketika rasul-rasul-Nya diutus kepada mereka.
Imam asy-Syanqithi Rahimahullah mengatakan, "Dengan cara penggabungan inilah, dalil-dalil tersebut dapat berpadu dan selaras, sehingga ahlul fatrah dapat dimaafkan. Sebagian kelompok dari mereka akan menjadi penghuni neraka setelah melewati ujian, dan sebagian yang lain akan menjadi penghuni surga setelah ujian yang sama. Masing-masing kedua pendapat itu mengindikasikan bahwa sebagian mereka mengetahui bahwa Allah adalah tempat kembali mereka, dan Nabi-Nya, Rasulullah saw telah memberitahukan hal itu, sehingga gugurlah pertentangan itu." (Daf'u Iham al-Idhthirab 'an ayat Alquran, juz 10, h. 185).